Bab Ii Pembahasan 1
Bab Ii Pembahasan 1
Oleh:
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….… ……iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….…2
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN………………………………….………………....
3
A. Pengertian Stanting…………………………………………………..…3
B. Penyebab Stunting……………………………………………………....4
C. Masalah Stunting di Indonesia…………………………………………10
D. Penanganan Stunting…………………………………………………...12
DAFTAR PUSTAKA………………………….………………………...…..…23
LAMPIRAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
pendek disbanding tinggi badan pada keumuman. Hal ini tentunya dapat
berbagai macam penyakit. Tentunya hal ini dapat menjadi masalah di masyarakat
umum dan membuat dampak baik dari segi social maupun ekonomi bahkan
kesehatan.
namun salah satu diantaranya ialah asupan gizi yang kurang atau dapat dikatakan
gizi buruk dan kurangnya pemenuhan asi bahkan dapat disebabkan oleh
Hal yang dapat ditimbukan oleh stunting ini sendiri dapat berupa adanya
diantaranya seperti melakukan intervensi gizi yang dapat dimulai dari masa hamil
hingga melahirkan.
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
a. Pengertian stunting
b. Penyebab stunting
d. Penanganan stunting
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Stunting
Stunting adalah suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih pendek
dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya ( sesuai usia), (Kemendesa
PDTT, 2017). Menurut TNP2K (2017), Stunting adalah suatu kondisi gagal
tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, . Akan tetapi, kondisi
stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan
sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau
tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi
badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya, (Kemenkes RI,
2018). Sedangkan menurut WHO, Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita
memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur.
Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua
standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting
termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi
sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan
gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami
3
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal
(Kemenkes RI 2018).
B. Penyebab Stunting
Dalam (Kemenkes RI, 2018), Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika
seorang remaja menjadi ibu yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika
hamil dengan asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan, disertai dengan
kondisi ibu yang hidup di lingkungan dengan sanitasi kurang memadai. Remaja
putri di Indonesia usia 15-19 tahun, kondisinya berisiko kurang energi kronik
(KEK) sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada 24,2% Wanita Usia Subur
(WUS) 15-49 tahun dengan risiko KEK, dan anemia sebesar 37,1.
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa ASI penting untuk tumbuh
kembang optimal bayi. Salah satu jurnal yang melakukan penelitian tersebut
panjang badan neonatus selama 1 bulan (28 hari) pada neonatus yang diberikan
ASI eksklusif sebesar 1,078 cm, sedangkan neonatus yang diberikan non eksklusif
sebesar 1,008 cm. Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada balita
baduta usia 6-24 bulan yang tidak ASI eksklusif lebih banyak mengalami stunting
sebesar 30,7%, dibandingkan dengan balita baduta yang mendapatkan ASI eks-
klusif hanya 11,1% stunting. Sebaliknya bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih
banyak yang mempunyai status gizi (TB/U) normal (88,9%) dibandingkan balita
baduta yang tidak eksklusif (69,3%). Hasil ini menunjukkan ada kecenderungan
4
balita yang tidak diberi ASI eksklusif lebih tinggi proporsi stunting.
(devriany&dkk, 2018)
oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang
dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan
untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil,
ibu mengenai kesehatan dan konsumsi gizi sebelum dan pada masa
yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-
kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI serta
2. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan ibu dan gizi yang harus
terpenuhi baik itu sebelum dan juga pada masa kehamilan serta pada saat
sesudah melahirkan.
5
3. Masih terbatasnya layanan kesehatan ANC - Ante Natal care ( Pelayanan
kesehatan kepada ibu pada masa kehamilan) dan Post Natal Care
semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum
6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia Dini. Fakta lain adalah 2
dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai
New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal dari di
5. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi, hal ini disebabkan oleh penduduk
yang padat sehingga air bersih sulit dijumpai serta pada masyarakat yang
bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB)
diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air
6
Ciri-ciri stunting menurut Kemendesa PDTT (2017) adalah :
Pertumbuhannya melambat
Dampak buruk yang terjadi jika anak mengalami stunting diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu :
optimal
7
Fungsi tubuh yang tidak seimbang
pasirdoton mengalami stunting, hal ini merupakan salah satu masalah besar yang
masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam
waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak,
menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal
65,3% tidak diberikan ASI ekslusif. Padahal Organisasi kesehatan dunia dan
8
UNICEF merekomendasikan tentang menyusui. Menuerut peneliti masih
banyaknya kejadian tersebut dikarenakan banyak ibu yang mengira bayinya tidak
cukup kenyang ketika hanya diberikan ASI saja sehingga pemberian makanan
diakarenakan banyak ibu balita yang bekereja sehingga bayinya dititipkan pada
pengesuh rumahan, makanan yang diberikan pun cukup beragam seperti bubur
sebanyak 57,4% , dengan adanya masalah yang sering dijumpai pada BBLR
antara lain keadaan bayi yang tidak stabil, inkoordinasi refleks menghisap dan
Menurut (IDAI, 2010) keterlambatan tumbuh kembang dapat dilihat dari fisik
BBLR, seperti berat badan rendah =2500 gram, panjang badan pendek =45 cam
dan lingkar kepala kecil =33 cm. Stunting yang sudah terjadi jika tidak
menurunnya pertumbuhan.
lebih banyak yaitu sebanyak 57,2% , pengetahuan orang tua tentang gizi
9
membantu memperbaiki kematangan pertumbuhan terutama jika diimbangi
dengan pola asuh yang benar. Karena pengetahuan merupakan suatu landasan
berfikir manusia dalam melakukan suatu hal yang berkaitan dengan pencarian
jawaban atas pertanyaan yang ada, seperti berkaitan dengan status gizi dan
tumbuh kembang pada balita. Meskipun pengetahun ibu baik lebih banyak
dibandingan dengan pengetahuan ibu kurang yang mempunyai balita stunting, hali
ini tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak karena pola asuh yang ada
pekerjaan menjadi salah satu penyebab tidak teraturnya asupan nutrisi yang
seimbang.
Dalam (Kemenkes RI, 2018), Kejadian balita pendek atau biasa disebut
dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di
dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Data
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan
10
memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, selain itu anak menjadi lebih rentan
terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat
pasar kerja yang ada, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross
dengan 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya
masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita
Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi
balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%.
Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun
2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan
11
D. Penanganan Stunting
dalam mencapai kesempurnaan baik itu fisik maupun psikologis. Ada beberapa
diantaranya :
1. Investasi gizi
bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses makanan yang cukup
dan bergizi. Pada 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut
yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga pemerintahan. Investasi gizi yang
terbukti secara bermakna dapat meningkatkan status gizi terbagi menjadi 3 (tiga)
area besar yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif Lingkungan
langsung masalah gizi (asupan makan dan penyakit infeksi) dan berada dalam
lingkup kebijakan kesehatan. Melalui intervensi ini sekitar 15% kematian anak
balita dapat dikurangi bila intervensi berbasis bukti tersebut dapat ditingkatkan
12
hingga cakupannya mencapai 90%, termasuk stunting yang dapat diturunkan
Intervensi ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor
dicatat dalam waktu relatif pendek. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik
intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:
2) Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan:
13
Promosi menyusui ASI eksklusif (konseling individu dan kelompok),
imunisasi dasar, pantau tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan
3) Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:
kesehatan, kesehatan lingkungan, serta pola asuh) dan terkait dengan kebijakan
yang lebih luas tidak hanya bidang kesehatan saja tetapi juga bidang pertanian,
perempuan. Program dan kebijakan gizi sensitif ini memiliki kontribusi yang
cukup besar untuk mendukung pencapaian target perbaikan gizi meskipun secara
14
Intervensi ini ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor
kesehatan. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat umum, tidak
khusus untuk ibu hamil dan balita pada sasaran 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
berikut:
a). Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih terpenuhi dan mudah
dicapai oleh masyarakat dengan adanya program dari PAMSIMAS dan dilakukan
masyarakat.
15
b). Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi agar lingkungan tidak
tercemari
c). Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan (Garam, Terigu, dan Minyak Goreng),
d). Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB)
e). Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), hal ini dikarenakan agar
g). Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua, agar orang tua memiliki
PAUD.
16
Penguatan dan pemberdayaan mitra (pemangku kepentingan,
stakeholders).
i). Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat agar masyarakat dapat memilah jenis
makanan apa saja yang harus dikonsumsi dan dilaksanakan oleh Kementerian
kekurangan Vitamin A
j). Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada
k). Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin melalui
(beras dan telur) dan pemberian bantuan tunai bersyarat kepada ibu Hamil,
17
l). Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi. Kegiatan yang dilakukan :
golongan penduduk.
Selain dari intervensi gizi dan sensitif ada juga beberapa intervensi lainnya
Ibu hamil mendapat tablet penambah darah minimal 90 tablet yang harus
Ibu hamil diberikan makanan tambahan untuk memenuhi nutrisi ibu dan
Lakukan persalinan dengan dokter ataupun bidan yang ahli pada bagian
18
Berikan makanan pendamping asi (MP ASI) untuk bayi diatas 6 bulan
Lakukan perilaku hidup bersih dan sehat seperti melakukan cuci tangan,
penanggulangan masalah gizi, namun intervensi ini dapat menjadi bagian penting
dari perbaikan gizi (Kemenkes, 2018). Pada masyarakat, dalam hal sanitasi sangat
diperlukan utuk mengurangi pencemaran lingkungan dan juga udara, serta untuk
utama pada masyarakat, selain itu sanitasi yang buruk serta kurangnya akses air
bersih dapat memicu terjadinya stunting pada anak, dalam hal ini perlu diterapkan
5 pilar Sanitasi Total Berbasis Ligkungan (STBM) yang telah dicanangkan oleh
19
Berhenti buang air sembarangan
stunting diperlukan adanya potensi dan kewenangan desa yang turun langsung
dalam menangani stunting karena desa berwenang untuk mengatur dan mengurus
kegiatan berdasarkan hak asal usul dan kegiatan yang berskala lokal, serta desa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah hal ini sesuai dengan UU tentang Desa. Maka
terhadap upaya penanganan stunting yang sudah menjadi prioritas nasional sangat
yang bersifat skala desa melalui APBDes serta adanya Rujukan Belanja Desa
No. 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Hal ini tercantum
dalam Bab III Pasal 4 yaitu Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk membiayai
20
Penggunaan dana desa dalam mengatasi masalah stunting di masyarakat dapat
menggunakan dana desa untuk mengatasi gizi buruk dan dalam peningkatan
Pembangunan MCK
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stunting adalah suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih pendek
dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (sesuai usia), (Kemendesa
PDTT, 2017). Stunting terjadi akibat masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dan akan terlihat stunting ketika bayi
berumur 2 tahun.
22
DAFTAR PUSTAKA
Sakti, Eka. (2017) . Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
Nuraliyani & Yohanta. (2018). Faktor Tidak Langsung dengan Kejadian Gizi
Kurang
dan Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kutabumi Kabupaten
Tangerang.
Rifiana & Agustina. (2018). Analisis Kejadian Stunting pada Balita di Desa
Pasirdoton Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat
Tahun 2017-2018. JAKHKJ Vol.4, No.2, 2018.
23