Anda di halaman 1dari 26

Laporan Tugas Kelompok

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK


DENGAN STUNTING
Dosen Pembimbing :
Ns. Nevi Hazrati Nizami, M. Kep

Oleh:

Angga Riswa 1712101010119


Bryan Markus Buineni 1712101010135
Cut Dharwina Amir 1712101010017
Intan Ramadhan 1712101010016
Kartika Tiaranisa Kosasih 1712101010118
Lisa Maghfirah 1712101010013
Muhammad Rizki 1712101010075
Nabila Mulyadi 1712101010070
Nanda Luthfia 1712101010027
Novi Amalia 1712101010028
Ocha Dwi Melisa 1712101010064
Rumaisha Yasmine 1712101010124
Tessya Melzana 1712101010014
Tia Feradisa 1712101010015
Ulfatul Khasanah 1712101010011
Rahma Amalia 1712101010039
Rahmi Muhsina 1712101010066
Zukira Herawati 1712101010025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang layak penulis haturkan selain puji serta syukur kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan limpahan anugerah serta hidayahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
Anak dengan Stunting” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah ini tentunya mengalami proses yang tidak terlepas


dari berbagai kesulitan dan hambatan. Akan tetapi, berkat motivasi serta
dukungan maka kesulitan dan hambatan pun dapat teratasi. Sehubungan dengan
itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang berperan membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis juga mengharapkan kritik, dan masukan yang konstruktif agar


dapat meningkatkan kualitas dan penyempurnaan makalah ini untuk masa
mendatang. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan siapa saja yang membacanya.

Banda Aceh, 09 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….… ……iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….…2
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN………………………………….………………....
3
A. Pengertian Stanting…………………………………………………..…3
B. Penyebab Stunting……………………………………………………....4
C. Masalah Stunting di Indonesia…………………………………………10
D. Penanganan Stunting…………………………………………………...12

BAB III PENUTUP……………………………………………………………..22


A. Kesimpulan…………………………………………………………......22

DAFTAR PUSTAKA………………………….………………………...…..…23
LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stunting merupakan keadaan dimana tinggi seseorang menjadi lebih

pendek disbanding tinggi badan pada keumuman. Hal ini tentunya dapat

mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan dari seorang anak. Oleh karena

itu stunting menjadi penyebab kematian dan dapat menyebabkan timbulnya

berbagai macam penyakit. Tentunya hal ini dapat menjadi masalah di masyarakat

umum dan membuat dampak baik dari segi social maupun ekonomi bahkan

kesehatan.

Penyebab yang dapat menimbulkan terjadinya stunting ada beberapa factor

namun salah satu diantaranya ialah asupan gizi yang kurang atau dapat dikatakan

gizi buruk dan kurangnya pemenuhan asi bahkan dapat disebabkan oleh

pengetahuan ibu yang kurang dalam pemenuhan gizi.

Hal yang dapat ditimbukan oleh stunting ini sendiri dapat berupa adanya

gangguan pada kinerja fisik, fungsi mental dan intelektual.

Penanganan pada stunting dapat dilakukan dengan berbagai macam cara

diantaranya seperti melakukan intervensi gizi yang dapat dimulai dari masa hamil

hingga melahirkan.

1
B. RUMUSAN MASALAH

a. Apakah yang dimaksud dengan stunting?

b. Apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya stunting?

c. Bagaimana masalah stunting di Indonesia?

d. Bagaimana cara penanganan stunting?

C. TUJUAN

Memberikan informasi mengenai stunting yang terdiri dari:

a. Pengertian stunting

b. Penyebab stunting

c. Masalah stunting di Indonesia

d. Penanganan stunting

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Stunting

Stunting adalah suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih pendek

dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya ( sesuai usia), (Kemendesa

PDTT, 2017). Menurut TNP2K (2017), Stunting adalah suatu kondisi gagal

tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis

sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi ini terjadi sejak bayi

dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, . Akan tetapi, kondisi

stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan

sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau

tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-

MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006.

Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi

badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya, (Kemenkes RI,

2018). Sedangkan menurut WHO, Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita

memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur.

Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua

standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting

termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi

sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan

gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami

3
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal

(Kemenkes RI 2018).

B. Penyebab Stunting

Dalam (Kemenkes RI, 2018), Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika

seorang remaja menjadi ibu yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika

hamil dengan asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan, disertai dengan

kondisi ibu yang hidup di lingkungan dengan sanitasi kurang memadai. Remaja

putri di Indonesia usia 15-19 tahun, kondisinya berisiko kurang energi kronik

(KEK) sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada 24,2% Wanita Usia Subur

(WUS) 15-49 tahun dengan risiko KEK, dan anemia sebesar 37,1.

Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa ASI penting untuk tumbuh

kembang optimal bayi. Salah satu jurnal yang melakukan penelitian tersebut

adalah penelitian dari Sofyana yang menyatakan bahwa rata-rata perubahan

panjang badan neonatus selama 1 bulan (28 hari) pada neonatus yang diberikan

ASI eksklusif sebesar 1,078 cm, sedangkan neonatus yang diberikan non eksklusif

sebesar 1,008 cm. Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada balita

baduta usia 6-24 bulan yang tidak ASI eksklusif lebih banyak mengalami stunting

sebesar 30,7%, dibandingkan dengan balita baduta yang mendapatkan ASI eks-

klusif hanya 11,1% stunting. Sebaliknya bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih

banyak yang mempunyai status gizi (TB/U) normal (88,9%) dibandingkan balita

baduta yang tidak eksklusif (69,3%). Hasil ini menunjukkan ada kecenderungan

4
balita yang tidak diberi ASI eksklusif lebih tinggi proporsi stunting.

(devriany&dkk, 2018)

Selain disebabkan oleh kekurangan pemenuhan ASI stunting juga disebabkan

oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang

dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan

untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada

1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil,

beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting yaitu :

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan

ibu mengenai kesehatan dan konsumsi gizi sebelum dan pada masa

kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi

yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak

mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-

24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).

MP-ASI diberikan mulai berusia diatas 6 bulan. Fungsinya untuk

mengenalkan jenis makanan baru pada bayi dan untuk memenuhi

kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI serta

sebagai daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak

terhadap makanan maupun minuman.

2. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan ibu dan gizi yang harus

terpenuhi baik itu sebelum dan juga pada masa kehamilan serta pada saat

sesudah melahirkan.

5
3. Masih terbatasnya layanan kesehatan ANC - Ante Natal care ( Pelayanan

kesehatan kepada ibu pada masa kehamilan) dan Post Natal Care

(pelayanan kesehatan kepada ibu setelah melahirkan) serta pembelajaran

dini yang berkualitas. Informasi yang terdapat dalam publikasi Kemenkes

dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu

semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum

mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi, 1 dari 3 anak usia 3-

6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia Dini. Fakta lain adalah 2

dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai

serta tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.

4. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal

ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong

mahal. Menurut RISKESDAS (2013), SDKI (2012) dan SUSENAS,

komunitas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di

New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal dari di

Singapura serta terbatasnya akses ke makanan bergizi.

5. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi, hal ini disebabkan oleh penduduk

yang padat sehingga air bersih sulit dijumpai serta pada masyarakat yang

tinggal di daerah pedesaan yang kebiasaan menggunakan air sungai untuk

keperluannya sehari-hari. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan

bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB)

diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air

minum bersih. (TNP2K, 2017 & Kemendesa PDTT, 2017).

6
Ciri-ciri stunting menurut Kemendesa PDTT (2017) adalah :

 Tanda pubertas terlambat terjadi

 Usia anak 8-10 tahun menjadikan anak itu lebih pendiam

 Pertumbuhannya melambat

 Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

 Pertumbuhan gigiyang lambat

 Wajah tampak lebih muda dari usianya

Dampak buruk yang terjadi jika anak mengalami stunting diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu :

a. Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh

 Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian

 Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak

optimal

 Peningkatan biaya kesehatan.

b. Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah

 Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek

dibandingkan pada umumnya

 Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit jantung dan pembuluh

darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

 Menurunnya kesehatan reproduksi

 Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

7
 Fungsi tubuh yang tidak seimbang

 Mengakibatkan kerugian ekonomi

 Menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar

 Menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, penyakit.

 Saat tua beresiko mudah sakit berhubungan dengan pola makan.

(Kemendesa PDTT, 2017).

Penyebab Stunting terbagi atas beberapa kejadian diantaranya :

1. Kejadian stunting pada balita

Hasil penelitian didapatkan bahwa 16,7% dari 528 balita di Desa

pasirdoton mengalami stunting, hal ini merupakan salah satu masalah besar yang

mengancam sumber daya manusia karena tinggi badan merupakan parameter

penting untuk mengukur tumbuh kembang terutama balita. Stunting adalah

masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam

waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

gizi. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak,

menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal

saat dewasa. Kemampuan kognitif juga berkurang sehingga menyebabkan

kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara. (MCA-Indonesia).

2. Kejadian stunting berdasarkan riwayat pemberian ASI

Hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengahnya balita sebanyak

65,3% tidak diberikan ASI ekslusif. Padahal Organisasi kesehatan dunia dan

8
UNICEF merekomendasikan tentang menyusui. Menuerut peneliti masih

banyaknya kejadian tersebut dikarenakan banyak ibu yang mengira bayinya tidak

cukup kenyang ketika hanya diberikan ASI saja sehingga pemberian makanan

tambahan di usia kurang dari 6 bulan sudah dilakukan, sebagian lagi

diakarenakan banyak ibu balita yang bekereja sehingga bayinya dititipkan pada

pengesuh rumahan, makanan yang diberikan pun cukup beragam seperti bubur

serelac, buah – buahan dan khususnya susu formula.

3. Kejadian stunting berdasarkan riwayat berat bayi lahir

Hasil penelitian menunjukan bahwa balita dengan riwayat BBLR yang

sebanyak 57,4% , dengan adanya masalah yang sering dijumpai pada BBLR

antara lain keadaan bayi yang tidak stabil, inkoordinasi refleks menghisap dan

menelan, semakin tingginya kebutuhan metabolisme sedangkan cadangan energi

tidak tercukupi hal ini akan mengakibatkan kurangnya kecepatan pertumbuhan.

Menurut (IDAI, 2010) keterlambatan tumbuh kembang dapat dilihat dari fisik

BBLR, seperti berat badan rendah =2500 gram, panjang badan pendek =45 cam

dan lingkar kepala kecil =33 cm. Stunting yang sudah terjadi jika tidak

diimbangai dengan catch – up growth (kejar tumbuh) akan mengakibatkan

menurunnya pertumbuhan.

4. Kejadian stunting berdasarkan pengetahuan ibu

Hasil penelitian menunjukan bahwa balita dengan pengetahuan ibu baik

lebih banyak yaitu sebanyak 57,2% , pengetahuan orang tua tentang gizi

9
membantu memperbaiki kematangan pertumbuhan terutama jika diimbangi

dengan pola asuh yang benar. Karena pengetahuan merupakan suatu landasan

berfikir manusia dalam melakukan suatu hal yang berkaitan dengan pencarian

jawaban atas pertanyaan yang ada, seperti berkaitan dengan status gizi dan

tumbuh kembang pada balita. Meskipun pengetahun ibu baik lebih banyak

dibandingan dengan pengetahuan ibu kurang yang mempunyai balita stunting, hali

ini tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak karena pola asuh yang ada

dilingkungan tersebut, banyaknya ibu yang menitipkan anaknya karena alasan

pekerjaan menjadi salah satu penyebab tidak teraturnya asupan nutrisi yang

seimbang.

(rifiana & Agustina, 2018)

C. Masalah Stunting di Indonesia

Dalam (Kemenkes RI, 2018), Kejadian balita pendek atau biasa disebut

dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di

dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia

mengalami stunting Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika

dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Data

prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),

Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional

Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita

stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. (Kemenkes RI, 2018).

Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan

10
memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, selain itu anak menjadi lebih rentan

terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat

produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat

pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan

serta menghilangkan generasi yang mampu bersaing di bidang nasional, (

Pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat

menghambat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dan menurunkan produktivitas

pasar kerja yang ada, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross

Domestic Products) hingga dapat mengurangi pendapatan pekerja dewasa sampai

dengan 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya

kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur

hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi, (TNP2K, 2017).

Di Indonesia, berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga

tahun terakhir, Pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan

masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita

pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%.

Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi

balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%.

Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun

2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan

oleh pemerintah, (Kemenkes RI, 2018)

11
D. Penanganan Stunting

Penanganan stunting dilakukan untuk mendukung kesehatan setiap individu

dalam mencapai kesempurnaan baik itu fisik maupun psikologis. Ada beberapa

cara dalam menangani stunting pada umumnya khususnya di Indonesia

diantaranya :

1. Investasi gizi

Kerangka intervensi stunting di indonesia Pada 2010, gerakan global yang

dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar

bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses makanan yang cukup

dan bergizi. Pada 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut

melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka Intervensi

Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam program

yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga pemerintahan. Investasi gizi yang

terbukti secara bermakna dapat meningkatkan status gizi terbagi menjadi 3 (tiga)

area besar yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif Lingkungan

yang mendukung (enabling-environment), (Kemenkes RI, 2018).

a. Intervensi Gizi Spesifik.

Intervensi gizi spesifik lebih ditujukan pada upaya menangani penyebab

langsung masalah gizi (asupan makan dan penyakit infeksi) dan berada dalam

lingkup kebijakan kesehatan. Melalui intervensi ini sekitar 15% kematian anak

balita dapat dikurangi bila intervensi berbasis bukti tersebut dapat ditingkatkan

12
hingga cakupannya mencapai 90%, termasuk stunting yang dapat diturunkan

sekitar 20,3% serta mengurangi prevalensi sangat kurus 61,4%. Selebihnya

membutuhkan peran dari intervensi sensitif (sekitar 80%).(Kemenkes RI, 2018).

Intervensi ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000

Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor

kesehatan. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, dimana hasilnya dapat

dicatat dalam waktu relatif pendek. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik

umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Kegiatan yang idealnya dilakukan

untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa

intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:

1) Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:

 Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi

kekurangan energi dan protein kronis.

 Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.

 Mengatasi kekurangan iodium.

 Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.

 Melindungi ibu hamil dari Malaria.

2) Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan:

Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran ini adalah :

 Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI jolong/colostrum).

 Mendorong dan memberikan edukasi kepada ibu untuk terus memberikan

ASI Eksklusif kepada balitanya.

13
 Promosi menyusui ASI eksklusif (konseling individu dan kelompok),

imunisasi dasar, pantau tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan

penanganan bayi sakit secara tepat.

3) Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:

 Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi

oleh pemberian MP-ASI.

 Menyediakan obat cacing.

 Menyediakan suplementasi zink.

 Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.

 Memberikan perlindungan terhadap malaria.

 Memberikan imunisasi lengkap.

 Melakukan pencegahan dan pengobatan diare. (TNP2K, 2017).

b. Intervensi Gizi Sensitif

Intervensi gizi sensitif ditujukan untuk mengatasi penyebab tidak langsung

yang mendasari terjadinya masalah gizi (ketahanan pangan, akses pelayanan

kesehatan, kesehatan lingkungan, serta pola asuh) dan terkait dengan kebijakan

yang lebih luas tidak hanya bidang kesehatan saja tetapi juga bidang pertanian,

pendidikan, hygiene air dan sanitasi, perlindungan sosial, serta pemberdayaan

perempuan. Program dan kebijakan gizi sensitif ini memiliki kontribusi yang

cukup besar untuk mendukung pencapaian target perbaikan gizi meskipun secara

tidak langsung, (Kemenkes RI, 2018).

14
Intervensi ini ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor

kesehatan. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat umum, tidak

khusus untuk ibu hamil dan balita pada sasaran 1.000 Hari Pertama Kehidupan.

intervensi ini berkontribusi hingga 70 – 80 % dalam menangani Stunting.

Kegiatan Intervensi Gizi Sensitif dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang

umumnya makro. Menurut TNP2K (2017), Ada 12 kegiatan yang dapat

berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai

berikut:

a). Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih terpenuhi dan mudah

dicapai oleh masyarakat dengan adanya program dari PAMSIMAS dan dilakukan

dengan cara berkontribusi dengan pemerintah daerah serta masyakarat melalui

pelaksanaan beberapa jenis kegiatan seperti dibawah:

 Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat

 Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum dan

sanitasi yang berkelanjutan.

 Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal (pemerintah

daerah maupun masyarakat) dalam penyelenggaraan layanan air minum

dan sanitasi berbasis masyarakat

 Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang

pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis

masyarakat.

15
b). Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi agar lingkungan tidak

tercemari

c). Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan (Garam, Terigu, dan Minyak Goreng),

umumnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian.

d). Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB)

agar masyarakat mudah dalam mengkonsultasikan masalahnya serta menjadikan

akses layanan sebagai penolong bagi masyarakat tersebut.

e). Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), hal ini dikarenakan agar

masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sakitnya tanpa dibebankan dengan biaya

yang relatif tinggi pada umumnya

f). Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

g). Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua, agar orang tua memiliki

pengetahuan kebersihan lingkungan sekitar serta pengetahuan tentang pentingnya

untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

h). Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal, dilakukan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Program

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kegiatan yang dilakukan

 Perluasan dan peningkatan mutu satuan PAUD.

 Peningkatan jumlah dan mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK)

PAUD.

 Penguatan orang tua dan masyarakat.

16
 Penguatan dan pemberdayaan mitra (pemangku kepentingan,

stakeholders).

i). Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat agar masyarakat dapat memilah jenis

makanan apa saja yang harus dikonsumsi dan dilaksanakan oleh Kementerian

Kesehatan (melalui Puskesmas dan Posyandu) Kegiatan yang dilakukan berupa:

 Peningkatan pendidikan gizi.

 Penanggulangan Kurang Energi Protein.

 Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi kekurangan zinc dan zat besi,

mengatasi Ganguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta

kekurangan Vitamin A

 Perbaikan keadaan zat gizi lebih.

 Peningkatan Survailans Gizi.

 Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat

j). Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada

Remaja termasuk pemberian layanan konseling dan peningkatan kemampuan

remaja dalam menerapkan Pendidikan dan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS).

k). Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin melalui

Program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan

Program Keluarga Harapan (PKH) yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial

(Kemensos). Kegiatannya berupa pemberian subsidi untuk mengakses pangan

(beras dan telur) dan pemberian bantuan tunai bersyarat kepada ibu Hamil,

Menyusui dan Balita.

17
l). Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi. Kegiatan yang dilakukan :

 Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama ibu

hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.

 Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua

golongan penduduk.

 Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan gender.

 Pemberdayaan Ekonomi Mikro bagi Keluarga dengan Bumil KEK

(Kurang Energi Protein).

 Peningkatan Layanan KB.

Selain dari intervensi gizi dan sensitif ada juga beberapa intervensi lainnya

yang dapat dilakukan dalam menangani stunting, diantaranya adalah :

 Ibu hamil mendapat tablet penambah darah minimal 90 tablet yang harus

dikonsumsi selama kehamilan

 Ibu hamil diberikan makanan tambahan untuk memenuhi nutrisi ibu dan

janin selama masa kehamilan

 Pastikan pemenuhan gizi pada ibu hamil terpenuhi dengan baik

 Lakukan persalinan dengan dokter ataupun bidan yang ahli pada bagian

tersebut agar dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan

 Anjurkan untuk melakukan IMD (inisiasi menyusui dini) agar bayi

terpenuhi akan nutrisinya

 Berikan asi ekskludif pada bayi selama bayi berusia 6 bulan

18
 Berikan makanan pendamping asi (MP ASI) untuk bayi diatas 6 bulan

sampai bayi berusia 2 tahun.

 Berikan imunisasi dasar yang lengkap dan juga vitamin A

 Secara rutin memantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat atau

pukesmas yang bisa dijangkau.

 Lakukan perilaku hidup bersih dan sehat seperti melakukan cuci tangan,

membuang sampah pada tempatnya, sertaadanya ventilasi di setiap

ruangan untuk mencegah kelembapan yang merupakan sumber penyakit.

c. Lingkungan yang mendukung (enabling-environment)

Lingkungan yang mendukung, ditujukan untuk faktor-faktor mendasar yang

berhubungan dengan status gizi seperti pemerintahan, pendapatan, dan kesetaraan.

Investasi ini dapat berbentuk undang-undang, investasi untuk pertumbuhan

ekonomi, peraturan, kebijakan, dan peningkatan kapasitas pemerintahan. Sebagian

kegiatan yang dilakukan tidak secara eksplisit ditujukan untuk tujuan

penanggulangan masalah gizi, namun intervensi ini dapat menjadi bagian penting

dari perbaikan gizi (Kemenkes, 2018). Pada masyarakat, dalam hal sanitasi sangat

diperlukan utuk mengurangi pencemaran lingkungan dan juga udara, serta untuk

mencegah perkembangbiakan bakteri dan jamur yang merupakan sumber penyakit

utama pada masyarakat, selain itu sanitasi yang buruk serta kurangnya akses air

bersih dapat memicu terjadinya stunting pada anak, dalam hal ini perlu diterapkan

5 pilar Sanitasi Total Berbasis Ligkungan (STBM) yang telah dicanangkan oleh

pemerintah dalam mengurangi stunting. 5 pilar STBM yaitu :

 Cuci tangan menggunakan sabun

19
 Berhenti buang air sembarangan

 Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga

 Pengelolaan sampah rumah tangga

 Pengelolaan limbah cair rumah tangga,( Kemendesa PDTT, 2017)

1) Pemanfaatan dan Prioritas Penggunaan Dana Desa

Sebuah kelompok/masyarakat akan sejahtera terutama dalam hal mengatasi

stunting diperlukan adanya potensi dan kewenangan desa yang turun langsung

dalam menangani stunting karena desa berwenang untuk mengatur dan mengurus

kegiatan berdasarkan hak asal usul dan kegiatan yang berskala lokal, serta desa

berwenang untuk mengurus dan melaksanakan kegiatan yang ditugaskan oleh

Pemerintah dan Pemerintah Daerah hal ini sesuai dengan UU tentang Desa. Maka

terhadap upaya penanganan stunting yang sudah menjadi prioritas nasional sangat

memungkinkan bagi Desa untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang relevan dan

yang bersifat skala desa melalui APBDes serta adanya Rujukan Belanja Desa

untuk penanganan stunting diperkuat dengan telah dikeluarkannya Permendesa

No. 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Hal ini tercantum

dalam Bab III Pasal 4 yaitu Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk membiayai

kegiatan bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu

desa harus membuat kebijakan dalam menanggulangi serta mengatasi masalah

kesehatan pada umumnya. (Kemendesa, 2017).

20
Penggunaan dana desa dalam mengatasi masalah stunting di masyarakat dapat

tercapai apabila desa membangun program-program yang dapat menunjang

kesehatan, beberapa contoh program kesehatan yang dibangun dengan

menggunakan dana desa untuk mengatasi gizi buruk dan dalam peningkatan

kualitas layanan kesehatan antara lain :

 Pembangunan dan rehabilitasi poskesdes, polindes dan posyandu

 Penyediaan makanan sehat untuk peningkatan gizi balita dan anak

 Perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui

 Pembangunan sanitasi dan air bersih

 Pembangunan MCK

 Insentif kader kesehatan masyarakat

 Pembangunan rumah singgah

 Pengelolaan balai pengobatan desa

 Pengadaan alat-alat kesehatan

 Pengadaan kebutuhan medis ( makanan, vitamin, dll)

 Sosialisasi dan edukasi gerakan hidup bersih dan sehat

 Penyediaan Ambulance desa (Kemendesa, 2017).

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Stunting adalah suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih pendek
dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (sesuai usia), (Kemendesa
PDTT, 2017). Stunting terjadi akibat masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dan akan terlihat stunting ketika bayi
berumur 2 tahun.

Adapun beberapa faktor penyebab stunting adalah : Praktek pengasuhan


yang kurang baik, kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan ibu dan gizi,
terbatasnya layanan kesehatan ANC - Ante Natal care (pelayanan kesehatan
kepada ibu pada masa kehamilan) dan Post Natal Care (pelayanan kesehatan
kepada ibu setelah melahirkan) serta pembelajaran dini yang berkualitas,
kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi, serta kurangnya
akses air bersih dan sanitasi.

Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa ASI penting untuk


tumbuh kembang optimal bayi. Hasil ini menunjukkan ada kecenderungan balita
yang tidak diberi ASI eksklusif lebih tinggi proporsi stunting. Di Indonesia,
berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,
Pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya
seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (2017).


Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta.

Sakti, Eka. (2017) . Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan.

TNP2K. (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil


(Stunting). Jakarta.

Nuraliyani & Yohanta. (2018). Faktor Tidak Langsung dengan Kejadian Gizi
Kurang
dan Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kutabumi Kabupaten
Tangerang.

Rifiana & Agustina. (2018). Analisis Kejadian Stunting pada Balita di Desa
Pasirdoton Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat
Tahun 2017-2018. JAKHKJ Vol.4, No.2, 2018.

23

Anda mungkin juga menyukai