Anda di halaman 1dari 7

PENATALAKSANAAN TONSILITIS DIFTERI

Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. Jika diduga kuat difteri maka terapi
spesifik dengan antitoksin dan antibiotik harus segera diberikan tanpa menunggu hasil
laboratorium, terutama pemberian antitoksin difteri secepatnya.1
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit diphtheria.2
Terapi antimikroba diperlukan untuk menghentikan produksi toksin, dengan
mengeradikasi mikroorganisme penyebab sehingga dapat mencegah penyebaran lebih lanjut.
Pasien dengan suspek difteri, harus dilakukan tindakan pencegahan paling sedikit dengan
pemberian antibiotik selama 4 hari atau sampai diagnosis difteri dapat disingkirkan.1
Pada kasus tonsillitis difteri stirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian
cairan serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.2
Penatalaksanaan tonsillitis difteri terbagi menjadi medikamentosa dan operatif, berikut
penjelasannya:
A. Medikamentosa
1. Anti Difteri Serum (ADS)
Merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari kuda. Antitoksin hanya
menetralisir toksin yang berada dalam sirkulasi sebelum terikat dengan jaringan.
Pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko miokarditis dan neuritis. Tes
sensitivitas dapat dilakukan sebelum pemberian antitoksin difteri.1
ADS harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus
dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS
terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin
1 : 1000 dalam semprit. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 :1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi
> 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam
garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit
tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.2
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar
antara 20.000-120.000 KI. Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat/reaksi dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness).2
Tabel. Rekomendasi WHO terhadap dosis pemberian ADS pada tipe Difteri.
Tipe Difteri Dosis (unit) Cara Pemberian
Hidung 10.000 – 20.000 Intramuscular (IM)
Tonsil 15.000 – 25.000 IM / IV
Faring atau laring 20.000 – 40.000 IM / IV
Campuran/ delayed 40.000 – 60.000 Intravaskular (IV)
diagnosis

2. Antibiotik
Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin. Rekomendasi pemberian adalah
sebagai berikut: 1
a. Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anakanak), 1,2 juta unit/dosis
(pada orang dewasa). Pemberian intramuskular.
b. Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4 dosis. Pemberian
peroral dan parenteral
c. Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena
d. Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari, namun penyakit ini biasanya tidak menular
48 jam setelah antibiotik diberikan.3
Individu yang kontak dekat dengan tonsillitis difteri dari kasus yang telah
terkonfirmasi, arus dikultur dengan sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan,
tanpa melihat status imunisasi mereka atau simptom yang ada.2
Setelah kultur dikumpulkan, kontak dekat harus menerima dosis tunggal Penisilin
benzatin (IM) (600.000 unit untuk usia < 6 tahun, dan 1.2 juta unit untuk usia > 6 tahun)
atau Eritromisin oral (40 mg/kg/dosis untuk anak-anak, dan 1 g/dosis untuk orang dewasa)
selama 7-10 hari, tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak dekat yang mempunyai
hasil kultur positif harus dilakukan kultur ulang setelah selesai terapi, untuk memastikan
eradikasi terjadi.2
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian
atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.2

B. Tindakan Operatif
Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.2
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah
obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of
Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi
terbagi menjadi 2 :
a. Indikasi absolut
i. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
ii. Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.
iii. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
iv. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
b. Indikasi relatif
i. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat.
ii. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medic
iii. Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap ß-laktamase

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila


sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
a. Gangguan perdarahan
b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
c. Anemia
d. Infeksi akut yang berat
e. Asma
f. onus otot yang lemah
g. Sinusitis
h. lbuminuria
i. ipertensi
j. Rinitis alergika
k. Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Tindakan tonsilektomi memiliki beberapa komplikasi, diantaranya komplikasi dari


anestesi dan pembedahan, berikut komplikasinya:
a. Komplikasi anestesi
i. Laringosspasme
ii. Gelisah pasca operasi
iii. Mual muntah
iv. Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
v. Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
vi. Hipersensitif terhadap obat anestesi.
b. Komplikasi bedah
i. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan dapat
terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat
perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali
karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
ii. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa,
biasanya 14-21 hari setelah operasi
i. Lain-lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10. 000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus tonsillitis difteri adalah sebagai berikut:3
1. Sumbatan jalan napas
Pseudomembran yang menutupi tonsil akan membuat kesulitan bernapas. Partikel-partikel
pada pseudomembran akan jatuh ke paru dan menyebabkan inflamasi pada paru sehingga akan
mengalami gangguan fungsi baik unilateral maupun bilateral, menyebabkan respiratory
failure.
2. Miocarditis
Toksin yang diproduksi oleh bakteri difteri dapat menginflamasi otot jantung, dikenal sebagai
miokarditis. Miokarditis dapat menyebabkan irama jantung ireguler, paling sering
menyebabkan irama blok. Hal ini terjadi ketika denyut listrik yang mengontrol detak jantung
terganggu, menyebabkan jantung berdetak sangat lambat (bradikardia). Blok jantung dapat
diobati dengan alat pacu jantung sementara/ pacemaker. Dalam kasus miokarditis berat,
jantung bisa menjadi sangat lemah sehingga tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh
sehingga akan mengalami gagal jantung.
3. Gangguan sistem saraf pusat
Difteri dapat menyebabkan komplikasi yang mempengaruhi sistem saraf, seperti
polyneuropathy dan neuritis. Ini dapat terjadi berminggu-minggu setelah mengalami gejala
difteri pertama.
4. Difteri malignant
Difteri malignan juga dikenal sebagai difteri hipertoksis atau difteri gravis, merupakan bentuk
difteri yang berat. Penderita dengan difteri malignan akan mengalami gagal ginjal dan
perdarahan.

PROGNOSIS
Prognosis dapat tergantung pada virulensi dari bakteri yang menyerang, lokasi dan
perluasan membran, status imunitas, serta kecepatan dalam mendapat pengobatan dan perawatan.
Dari virulensi bakteri, biotipe gravis mempunyai prognosis yang paling buruk, sedangkan lokasi
difteri pada laring dapat menyebabkan meningkatnya persentasi kematian karena difteri akibat
terjadinya obstruksi saluran nafas.1
Pada status imunitas, prognosis akan menjadi lebih berat pada pasien yang tidak diimunisasi,
sedangkan penderita yang semakin cepat mendapat pengobatan dan perawatan maka prognosis
lebih baik, untuk itu maka perlu juga ketepatan dalam penegakkan diagnosis, karena keterlambatan
dalam pengobatan dapat meningkatkan kematian hingga 20 kali. Kematian kasus (CFR/cases
fatality rate) akibat difteri di dunia masih cukup tinggi yaitu sekitar 3–10%. Kematian kasus di
Indonesia berdasarkan laporan kasus difteri dalam beberapa tahun terakhir adalah 5,6-27%, untuk
tahun 2001 kematian kasus sebesar 11,7-31,9 %.1

PENUTUP

Tonsillitis difteri adalah infeksi akut yang menyerang tonsil disebabkan oleh
Corynebacterium Diphteriae. Bakteri ini termasuk gram positif. Tidak semua orang yang
terinfeksi bakteri ini akan menimbulkan manifestasi klinis sakit, tetapi tergantung titer kadar
antitoksin seseorang.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan paling banyak
pada usia 2-5 tahun. Gejala lokal dari tonsillitis difteri adalah tonsil terlihat tertutup bercak putih
kotor mudah berdarah makin lama makin meluas dengan membentuk membrane, membran dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring trachea dan bronkus, dapat menyumbat saluran
nafas, kelenjar imfe dapat membengkak bila infeksi terus-terusan, pembengkakan kelenjar limfe
disebut Bull Neck.

Diagnosis dari tonsilitis difteri adalah berdasarkan kondisi klinis dan pemeriksaan
langsung dari bakteri yang di ambil di bawah membran dan ditemukan kuman Corynebacterium
diphteri. Tanda seperti membran di tonsil, dan bull neck sign menjadi penguat diagnosis.

Penatalaksanaan tonsillitis difteri adalah dengan pemberian ADS, antibiotik,


kortikosteroid, simptomatis, serta dilakukan tindakan operatif tonsilektomi. Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain, dapat menyebabkan gagal napas, polyneuropathy, neuritis, miokarditis,
dan gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitriana., Novriani, Harli. 2014. Penatalaksanaan Difteri. Jakarta: Puslitbang Sumber Daya
dan Pelayanan Kesehatan Balitbangkes, Kemenkes RI, halaman 541-544.
2. Khalid, Naman., Putra, Steven., Widiatuti, Tri., et al. 2011. Tonsilitis Difteri. Rumah Sakit
Karawang, Universitas Trisakti.
3. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

Anda mungkin juga menyukai