Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PANCASILA

PERJALANAN PANCASILA DARI LAHIR HINGGA SEKARANG

Dosen Pengampu

Ramelan Sugijana, S.Pd, M.Kes

Disusun Oleh :

Aulia Ughti Ratriana


(P1337437118054)

PROGAM STUDI DIII RMIK KELAS IA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanggal 1 Juni 1945 disebut sebagai tanggal lahirnya Pancasila. Hal tersebut
berasal dari pidato Ir.Soekarno di hadapan para anggota Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Lima dasar/sila yang beliau
ajukan beliau namakan sebagai filosofische grondslag. Pancasila yang disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan dasar filsafat Negara Republik
Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yaitu : Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan. Dalam kenyataannya secara
objektif Pancasila telah dimilki oleh Bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah
yang cukup panjang yaitu sejak zaman kerajan-kerajaan pada abad ke IV, ke V
kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII,
yaitu ketika munculnya kerajaan Kutai di Kalimantan, Sriwijaya di Palembang,
kerajaan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Dalam konteks relevansi Pancasila di masa sekarang ini, harus dibedakan antara
Pancasila sebagai pandangan hidup (falsafah) bangsa, Pancasila sebagai ideologi,
maupun Pancasila sebagai dasar negara. Kerancuan dan perbedaan persepsi yang
berkembang di masyarakat tidak terlepas dari perbedaan pemahaman tentang tatanan
nilai dalam kehidupan bernegara yang belum berjalan secara sinergis, yaitu antara
nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis.
Berdasarkan pemahaman tersebut, jika sebagian masyarakat bingung dan
mempertanyakan apakah masih relevan membicarakan Pancasila, maka yang perlu
dikaji adalah dua nilai terakhir tersebut, karena Pancasila bisa berubah bentuk
aktualisasi maupun implementasinya oleh pemerintah yang berkuasa. Sedangkan
perenungan tentang falsafah adalah final, artinya nilai dasar yang terkandung dalam
Pansasila adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena Pancasila
merupakan tujuan keseluruhan yang diinginkan dan diupayakan bangsa Indonesia.
Arah dan tujuan reformasi yang utama adalah untuk menanggulangi dan
menghilangkan, dengan cara mengurangi secara bertahap dan terus-menerus, krisis
yang berkepanjangan di segala bidang kehidupan, serta menata kembali ke arah
kondisi yang lebih baik atas sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah
hancur, menuju Indonesia baru. Namun, arah tujuan reformasi kini tidak jelas
untungnya. Meskipun secara birokratis rezim Orde Baru telah tumbang, tetapi
mentalitas Orde Baru masih nampak di sana-sini. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila
bisa bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat, tetapi bisa pula pudar dan
ditinggalkan oleh pendukungnya bergantung pada daya tahan ideologi tersebut.
Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan, sehingga
gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan
reformasi juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri. Hal tersebut
terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat yang mengatasnamakan gerakan
reformasi, tetapi justru melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna
reformasi itu sendiri, misalnya pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu
instansi atau lembaga (baik negeri maupun swasta), memaksa untuk mengganti
pejabat dalam suatu instansi, melakukan perusakan, bahkan yang paling
memprihatinkan adalah melakukan pengerahan massa dengan merusak dan
membakar toko-toko, pusat-pusat kegiatan ekonomi, kantor instansi pemerintah,
fasilitas umum, kantor pos, dan kantor bank yang disertai dengan penjarahan dan
penganiayaan. Oleh karena itu, makna reformasi itu harus benar-benar diletakkan
dalam pengertian yang sebenarnya, sehingga agenda reformasi itu benar-benar sesuai
dengan tujuannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah pemikiran dan perumusan Pancasila ?


2. Bagaimana perkembangan dan perjalanan Pancasila pada masa Orde Lama, Orde
Baru, dan Reformasi ?
3. Bagaimana relevansi Pancasila dengan kemajuan masyarakat dari masa ke masa
berikutnya
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila


2. Untuk mengetahui sejarah pemikiran dan perumusan Pancasila
3. Untuk mengetahui perkembangan dan perjalanan Pancasila pada masa Orde
Lama,Orde Baru, dan Reformasi
4. Untuk mengetahui relevansi Pancasila dengan kemajuan masyarakat dari masa ke
masa berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERUMUSAN PANCASILA

Istilah “Pancasila” sebenarnya telah dikenal di Indonesia sejak zaman


Majapahit abad XIV, yang terdapat di dalam buku “Negara Kertagama” karangan
Empu Prapanca dan dalam buku “Sutasoma” karangan Empu Tantular. Tetapi istilah
“Pancasila” baru disuarakan dan dikenal luas oleh bangsa Indonesia sejak tanggal 1
Juni 1945, yaitu pada waktu Ir. Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar
negara dalam sidang pertama Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI).
Sejarah penetapan Pancasila ini berawal dari pemberian janji kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia oleh Perdana Menteri Jepang masa itu, Kuniaki Koiso, pada
tanggal 7 September 1944. Hal ini dilakukan pemerintah Jepang sebagai strategi
untuk mendukung Angkatan Perang Jepang pada Perang Dunia II melawan Sekutu,
karena Jepang melihat bahwa Indonesia memiliki potensi dari sumber daya alam
ataupun sumber daya manusianya. Namun, janji pemerintah Jepang memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia ini baru dipenuhi ketika Jepang mengalami banyak
kekalahan di medan perang dan adanya desakan dari tokoh pejuang Indonesia. Lalu,
pemerintah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Maret 1945, yang bertujuan untuk
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan Indonesia
Merdeka.
Organisasi tersebut kemudian mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 29
Mei 1945 – 1 Juni 1945 untuk merumuskan falsafah dasar negara Indonesia. Pada
hari pertama, tanggal 29 Mei 1945, dalam pidato singkatnya Mr. Muhammad Yamin
mengemukakan lima dasar negara, yaitu: Peri Kebangsaan; Peri Kemanusiaan; Peri
Ketuhanan; Peri Kerakyatan; dan Kesejahteraan Rakyat. Hari kedua, tanggal 30 Mei
1945, diisi oleh pembicara dari tokoh Islam, yaitu Bagoes Hadikusumo dan K.H.
Wahid Hasyim yang menyampaikan pentingnya nilai-nilai Islam untuk dimasukkan
dalam dasar negara. Hari berikutnya, tanggal 31 Mei 1945, Dr. Supomo juga
mengajukan lima dasar lain, yaitu Persatuan; Kekeluargaan; Mufakat dan Demokrasi;
Musyawarah; dan Keadilan Sosial.
Segenap peserta sidang kemudian mendapat pencerahan setelah Ir. Soekarno
maju untuk berpidato tentang dasar negara yang disampaikannya pada tanggal 1 Juni
1945. Lima dasar yang dikemukan oleh Sukarno dalam pidatonya adalah
Kebangsaan; Kemanusiaan; Kerakyatan; Keadilan Sosial; dan Ketuhanan. Dasar-
dasar itu diberi istilah Pancasila. Soekarno kemudian meringkas lagi lima dasar itu
menjadi tiga, yang dinamakan Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi,
dan Ketuhanan. Terakhir, ia juga memaktubkan kelima dasar itu dalam Ekasila, yaitu
Gotong Royong.
Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1
Juni itu, katanya:
“Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma,
tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya
ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita
mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Apa yang Soekarno sampaikan dalam pidatonya sebenarnya merupakan
kristalisasi pemikirannya sejak tahun 1926 ketika ia menulis buku bertajuk
Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Pidato Soekarno disambut baik, dikenang amat
bersejarah; bahkan sempat tercatat bahwa pidatonya itu disambut dengan tepukan
dan sorakan hadirin yang riuh-rendah.
Di samping sidang resmi yang dilakukan oleh BPUPKI, beberapa anggota
BPUPKI yang tinggal di Jakarta, yaitu Ir. Soekarno; Drs. Mohammad Hatta; Mr.
A.A. Maramis; Abikusno Tjokrosujoso; Abdul Kahar Mudzakkir; Haji Agus
Salim; Mr. Achmad Subardjo; Wahid Hasyim; dan Mr. Muhammad Yamin juga
melakukan pertemuan di luar sidang yang biasa dikenal dengan Panitia Sembilan,
yakni pada tanggal 22 Juni 1945. Panitia sembilan menetapkan rancangan undang-
undang yang disebut piagam Jakarta, yang di dalamnya tercantumkan rumusan
Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluK-
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah upacara proklamasi kemerdekaan,
datang berberapa utusan dari wilayah Indonesia Bagian Timur, yakni Sam
Ratulangi, wakil dari Sulawesi; Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor, wakil
dari Kalimantan; I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara; dan Latu Harhary,
wakil dari Maluku. Mereka semua berkeberatan dan mengemukakan pendapat
tentang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga
merupakan sila pertama dalam Pancasila, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada sidang PPKI I, tanggal 18 Agustus 1945, Hatta lalu mengajukan
usulan untuk mengubah tujuh kata tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Pengubahan kalimat ini telah dikonsultasikan sebelumnya oleh Hatta
dengan empat orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim,
Ki Bagoes Hadikusumo, dan Teuku M. Hasan. Mereka menyetujui perubahan
kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Akhirnya bersamaan
dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada
Sidang I PPKI, Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.

2.2 PERKEMBANGAN PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE


BARU, DAN MASA REFORMASI

Perubahan kepemimpinan yang besar kala itu, ketika Presiden Soekarno


harus digantikan oleh Soeharto, secara tidak langsung merubah kepemerintahan
di Indonesia. Sistem pemikiran politik yang pada masa Soekarno di kenal
dengan Orde Lama, yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi terpimpin
diganti oleh Soeharto yang dikenal dengan Orde Baru, yang kemudian
mengenalkan sistem politik Demokrasi Pancasila. Demokrasi merupakan
sebuah sistem pemerintahan yang memegang penuh kedaulatan rakyat.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila. Tetapi pada kenyataannya,banyak penyimpangan yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru yang menimbulkan kekecewaan pada masyarakat
dan mengakibatkan terjadi banyak pemberontakan di Indonesia pada masa itu.
Demokrasi yang dijadikan sebagai bentuk dari sistem pemerintahan pada
masa Orde Baru tidak dapat berjalan dengan baik, karena pemerintah yang
berkuasa kala itu bertindak sangat otoriter. Demokrasi Pancasila yang dijadikan
sebagai sistem pemerintahan, ternyata dalam pelaksanaannya banyak terjadi
penyimpangan. Demokrasi yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru sekilas
memang terlihat begitu mengakomodasi kepentingan rakyat. Tetapi pada
kenyataanya, jika dilihat lebih jauh maka sebenarnya kepentingan rakyat
tersebut diatur dalam sebuah kendali, yaitu pemerintah Orde Baru itu sendiri.
Pada masa Orde Lama, Pancasila dijadikan sebagai suatu ideologi murni.
Pancasila lebih banyak berada dalam ranah idealisasi. Artinya, pemikiran
Pancasila lebih kepada ide, gagasan, dan konsep yang dijadikan sebagai
pegangan dalam seluruh aspek kehidupan. Pancasila seakan-akan ada di
awang-awang, karena hanya berupa dogma yang sulit diterjemahkan. Pada era
tersebut, ideologi Pancasila masih didominasi oleh kehebatan karisma Sukarno.
Apa yang keluar dari pidatonya selalu dielu-elukan masyarakat yang saat itu
sangat euforia dengan kebebasan setelah masa penindasan Belanda dan jepang.
Pada masa Orde Baru, penguasa pemerintahan menjadikan Pancasila
sebagai ideologi politik. Jelas sekali pemerintah menggunakan Pancasila
sebagai "alat" untuk melegitimasi berbagai produk kebijakan. Dengan
berjalannya waktu, muncul persoalan infrastruktur politik yang terlalu larut
dalam mengaktualisasi nilai dasar dari Pancasila, sehingga mulai muncul
wacana adanya berbagai kesenjangan di tengah masyarakat. Kondisi ini
ditambah dengan bergulirnya globalisasi yang menjadikan tidak adanya lagi
sekat-sekat pemisah antarnegara, sehingga pembahasan dan wacana yang
mengaitkan Pancasila dengan ideologi atau pemahaman liberalisasi,
kapitalisasi dan sosialisasi tidak dapat terelakkan. Pada pertengahan Orde Baru,
mulai banyak wacana yang menginginkan agar Pancasila diamalkan dalam
kehidupan nyata, konkret, dan tidak hanya menjadi angan-angan semata.
Dengan kata lain, muncul banyak wacana yang menginginkan agar Pancasila
menjadi ideologi praktis (dipraktikkan).
Pada era Reformasi, pola pikir masyarakat perlahan mulai bergeser.
Masyarakat menginginkan adanya kesinergisan antara apa yang terkandung
dalam nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis, serta tidak menginginkan
lagi adanya perwujudan Pancasila sebagai bentuk ideologi murni ataupun
ideologi politik semata. Peranan Pancasila sebagai falsafah (pandangan) hidup
bangsa, sebagai ideologi, politik dan strategi harus dijalankan secara sinergis
dan semuanya ditujukan untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh
seluruh bangsa Indonesia, yaitu mewujudkan civil society, social justice,
welfare state.

2.3 PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ORDE LAMA

Pada masa Orde Lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang


berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi.
Pada saat itu, kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh
kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari
masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka. Masa Orde Lama merupakan
masa pencarian bentuk implementasi Pancasila, terutama dalam sistem
kenegaraan. Pada masa ini, terdapat tiga periode implementasi Pancasila yang
berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi
masalah, tetapi lebih dari itu, ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila
sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan
di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang ingin mendirikan negara dengan
dasar Islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika
menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di
bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai
mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang
mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab
demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden
hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang
oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas
pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah
Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan
sistem presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi
rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan
suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih
menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan
mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS,
PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang
politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang
dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak
dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis
politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan
Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak
berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari
penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai
ideologi liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.
Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin
adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Panc asila
dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi
presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis,
Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya
kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan
nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan
pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi
terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi
kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi
Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta
semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah
Pancasila telah diarahkan sebagai ideologi otoriter, konfrotatif dan tidak
memberi ruang pada demokrasi bagi rakyat.

2.4 PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ORDE BARU

Orde Baru secara harfiah merupakan masa baru yang menggantikan masa
kekuasaan Orde Lama. Namun secara politis, Orde Baru merupakan masa
untuk mengembangkan negara Republik Indonesia ke dalam sebuah tatanan
yang sesuai dengan haluan negara sebagaimana yang terdapat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 serta falsafah negara (Pancasila) secara murni dan
konsekuen. Pada awal masa ini, muncul harapan besar akan dimulainya suatu
proses demokratisasi. Orde Baru mencoba membangun antitesa terhadap
paradigma Orde Lama, dengan mengurangi keterlibatan politik rakyat, atau
yang disebut dengan depolitisasi.
Orde Baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul
berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah
menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan.
Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi pada masa Orde Lama, yaitu Pancasila tetap dijadikan sebagai alat
pembenar rezim otoritarian baru di bawah kepemimpinan presiden.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru selalu
didasarkan pada alasan pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang
sebenarnya terjadi hanyalah upaya untuk mempertahankan kekuasaan Presiden
Soeharto dan kroni-kroninya. Hal tersebut mengandung arti bahwa demokrasi
yang dijalankan pemerintahan Orde Baru bukanlah demokrasi yang
semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Kekuasaan sentralistik yang
digunakan oleh pemerintah menunjukkan berbagai akibat di akhir
pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru memang merupakan pemerintahan yang
berjalan di atas hukum. Hukum yang dimaksudkan adalah hukum yang
dijadikan pemerintah untuk melakukan apa yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan. Hukum yang dijadikan sebagai alat untuk mengontrol sebuah
pemerintahan yang dilakukan oleh rakyatnya. Namun, hal itu tidak sepenuhnya
diberlakukan, karena masa ini kekuatan militer sangatlah tinggi. Sehingga
hukum pada masa ini hanya dijadikan sebagai legitimasi untuk memperlama
kekuaaan rezim Orde Baru. Hasilnya, rakyat seakan-akan merasa sangat takut
untuk berurusan dengan aparat penegak hukum, karena apabila mereka
berurusan dengan penegak hukum dapat dipastikan bahwa mereka berada di
pihak yang bersalah. Hal ini dikarenakan pada masa Orde Baru, sesuatu hal
yang tidak sependapat dengan pemerintah, maka dianggap salah dan harus
berhadapaan dengan para aparat penegak hukum pada masa itu.
Seperti rezim otoriter pada umumnya, ideologi sangat diperlukan Orde
Baru sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara.
Sehingga Pancasila kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu,
Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri
masyarakat Indonesia untuk memberikan legitimasi atas segala tindakan
pemerintah yang berkuasa. Adapun dalam pelaksanaannya, upaya
indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari
pengkulturan Pancasila sampai dengan Penataran P4.
Upaya pengkulturan terhadap Pancasila dilakukan pemerintah Orde Baru
guna memperoleh kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu
yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran
dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai
landasan konstitusi hanya berada di tangan negara. Pengkulturan Pancasila juga
tercermin dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober
sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan
Pancasila dengan ideologi komunis.
Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa
Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan.Uniformitas menjadi
hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Gagasan
mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara
intensif. Sebagai puncaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik
digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar
filosofis sebagai asas tunggal, dan setiap warga negara yang mengabaikan
Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas
tunggal akan dicap sebagai penghasut atau pengkhianat negara. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi
juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda
pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak
kriminal..
Selain melakukan pengkulturan Pancasila, pemerintah secara formal juga
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan
di masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga
negara diwajibkan untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran
P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi
Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut
maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga
disampaikan pemahaman terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi
tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7).
Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi
generasi muda, akan berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur,
setelah dikemas dalam penataran P4, justru mematikan hati nurani generasi
muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama
disebabkan oleh adanya pendidikan yang doktriner yang tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD 1945, tetapi dalam kenyataannya
masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan.
Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin
serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena
masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat)
tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain
Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu
terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Kecenderungan Orde Baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin
yang komprehensif terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai
dan norma. Oleh karena itu, harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara
terpusat. Pada akhirnya, pandangan tersebut bermuara pada keadaan yang
disebut dengan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang
merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya, dan
kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami
negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga muncul
formulasi kebenaran yang menyebutkan bahwa segala sesuatu dianggap
benar apabila hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa. Begitupun
sebaliknya, sesuatu akan dianggap salah apabila bertentangan dengan kehendak
penguasa.
2.5 PANCASILA DALAM PERSPEKTIF REFORMASI

Makna reformasi secara etimologi berasal dari kata “reformation” dengan


akar kata “reform” yang bermakna “make or become better by removing or
putting right what is bad or wrong” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English, 1980, dalam Wibisono, 1998). Secara harfiah reformasi
memiliki makna: suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang, atau
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format
atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Gerakan reformasi di lakukan dengan syarat – syarat, sebagai berikut :
i) Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-
penyimpangan. Masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi
penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi
dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan
UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
ii) Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang
jelas atau landasan ideologis tertentu (dalam hal ini Pancasila sebagai
ideologi bangsa dan negara Indonesia). Jika landasan ideologi tidak
jelas, maka gerakan reformasi akan mengarah pada anarkisme,
disintegrasi bangsa, dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa
dan negara Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet dan
Yugoslavia.
iii) Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu
kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka
acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya merupakan gerakan untuk
mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan
struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka
reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara
demokrasi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah
sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya, sebagaimana terkandung
dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi
manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum.
Oleh karena itu, reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum
yang jelas. Selain itu, reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah
transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam setiap kebijaksanaan dalam
penyelenggaraan negara, karena hal tersebut merupakan manifestasi bahwa
rakyatlah yang menjadi asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala
aspek kegiatan negara.
Reformasi harus dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta
keadaan yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus
mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala
aspeknya, antara lain di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
kehidupan beragama. Dengan kata lain, reformasi harus dilakukan ke arah
peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia. Oleh
karena itu, gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam perspektif Pancasila
sebagai landasan cita-cita dan ideologi (Hamengkubuwono X, 1998: 8). Sebab,
tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas, suatu reformasi akan mengarah pada
suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada akhirnya menuju pada
kehancuran bengsa dan negara Indonesia. Pada hakikatnya, reformasi dalam
perspektif Pancasila harus berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila itu sendiri.
Reformasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa suatu
gerakan ke arah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik
bagi kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang
sempurna yang berakal budi, sehingga senantiasa bersifat dinamis yang selalu
melakukan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Oleh karena
itu, reformasi harus berlandaskan moral religius dan hasil reformasi harus
meningkatkan kehidupan keagamaan. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai
religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain,
serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab berarti bahwa
reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai martabat manusia yang
beradab. Oleh karena itu, reformasi harus dilandasi oleh moral yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan reformasi mentargetkan ke
arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menghargai hakrkat dan
martabat manusia yang secara jelas menghargai hak-hak asasi manusia.
Reformasi menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia
terhadap manusia lain atau oleh suatu golongan terhadap golongan lain, bahkan
oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa
Indonesia, semangat reformasi yang berdasar pada kemanusiaan menentang
praktek-praktek yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi sosial, baik
alasan perbedaan suku, ras, asal-usul, maupun agama. Reformasi yang dijiwai
nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab, seperti
membakar, menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan
lainnya yang mengarah pada praktek anarkisme. Reformasi yang
berkemanusiaan pun harus memberantas sampai tuntas masalah Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang telah sedemikian mengakar pada
kehidupan kenegaraan pemerintahan Orde Baru.
Reformasi yang berazaskan Persatuan Indonesia. Semangat reformasi
harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus menjamin
tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan
diri dari praktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya
separatisme, baik atas dasar kedaerahan, suku, maupun agama. Reformasi
memiliki makna menata kembali kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga
reformasi harus mengarah pada lebih kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa,
dan reformasi juga harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan sebagai suatu
bangsa Indonesia.
Reformasi yang berazaskan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Semangat dan jiwa
reformasi harus berakar pada asas kerakyatan karena permasalahan dasar
gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penataan kembali secara
menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus
meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya, karena rakyat adalah asal mula
kekuasaan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu,
semangat reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis,
seperti kediktatoran (baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung),
feodalisme, maupun, totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dan
permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat
demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa
harus diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada
anarkisme. Oleh karena itu, penataan kembali mekanisme demokrasi seperti
pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta perangkat
perundang-undangan, pada hakikatnya adalah untuk mengembalikan tatanan
negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaimana
terkandung dalam sila keempat Pancasila.
Reformasi yang berazaskan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Visi dasar reformasi haruslah jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan
perubahan dan penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan negara
harus bertujuan untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu, hendaklah
disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan
kembali pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri,
melainkan perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan.
Perlindungan terhadap hak asasi, peradilan yang benar-benar bebas dari
kekuasaan, serta legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat
terwujudkan, sehingga rakyat benar-benar menikmati hak serta kewajibannya
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan hukum terutama aparat pelaksana dan
penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk
terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat.
Dalam perspektif Pancasila, gerakan reformasi merupakan suatu upaya
untuk menata ulang dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai realisasi
kedinamisan dan keterbukaan Pancasila dalam kebijaksanaan dan
penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka dan
dinamis, Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman,
terutama perkembangan dinamika aspirasi rakyat. Nilai-nilai Pancasila ada
pada filsafat hidup bangsa Indonesia, dan sebagai bangsa, maka akan
senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai tuntutan zaman. Oleh karena
itu, Pancasila sebagai sumber nilai, memiliki sifat yang reformatif, artinya
memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan
dinamika aspirasi rakyat, yang nilai-nilai esensialnya bersifat tetap, yaitu
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

2.6 RELEVANSI DAN KONSTRIBUSI PANCASILA DENGAN


KEMAJUAN MASYARAKAT

2.6.1 Zaman Kerajaan

Pada zaman ini, masyarakat sudah mulai maju dan pintar. Dalam
kehidupan mereka sudah diatur oleh norma-norma kerajaan, dan
mereka sudah mulai menerapkan apa yang berlaku di dalam kerajaan
tersebut. Pada zaman ini nilai-nilai Pancasila sudah diterapkan
masyarakat kerajaan terutama Kerajaan Kutai yang membuka zaman
sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial
politik dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan.

2.6.2 Zaman Penjajah

Pada zaman ini Pancasila memang belum dirumuskan, akan tetapi


masyarakat sudah mulai menerapkan sepenuhnya isi dari Pancasila
meskipun ditaman penjajah ini banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan terhadap isi Pancasila oleh para penjajah. Pada zaman
ini ada satu nilai dalam Pancasila yang dilupakan oleh rakyat yaitu
persatuan dan kesatuan. Karena tidak adanya persatuan dan kesatuan
maka para penjajah dengan leluasa masuk ke wilayah Indonesia,
menghancurkan dan menguasainya.

2.6.3 Zaman Kemerdekaan

Pada zaman ini Pancasila sudah dirumuskan pada tanggal 18


Agustus 1945. Dengan mengamalkan isi Pancasila, masyarakat
Indonesia berhasil merumuskan Pancasila dengan cara bermusyawarah.
Zaman setelah proklamasi Indonesia, RIS dibentuk. Berdirinya RIS
adalah sebagai taktik secara politis untuk tetap konsisten terhadap
deklarasi proklamasi yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945,
yaitu negara persatuan dan kesatuan.

2.6.4 Zaman Orde Baru

Pada zaman Orde Baru, Pancasila baru benar-benar diterapkan


dalam kehidupan sehari-hari. Adapun yang dilakukan oleh masyarakat,
mereka akan berpedoman pada norma-norma yang ada dalam Pancasila.
Pada zaman ini juga terjadi pemberontakan suatu kelompok yang ingin
merubah Pancasila yang merupakan dasar negara. Tetapi
pemberontakan ini berhasil dilumpuhkan. Ini menunjukkan bukti betapa
kuatnya Pancasila.

2.6.5 Zaman Reformasi

Pada zaman Reformasi, Pancasila sebagai Ideologi Yang


Reformasi, Dinamis dan Terbuka. Sebagai suatu paradigma reformasi,
Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba
memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia
personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Paradigmanya justru sila-
silanya, karena sila-sila tesebut mengandung sejumlah nilai yang satu
dengan yang lainnya saling melengkapi. Pancasila sebagai paradigma
juga berada pada posisi pembangunan nasional yang meliputi segala
bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya,
pertahanan dan keamanan, dan juga bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta hukum dan hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa :


1. Sejarah pemikiran dan perumusan Pancasila diawali dengan adanya tiga tokoh
Indonesia yang menyuarakan inspirasinya, yakni M.Yamin, Soepomo, dan Sukarno
dalam sidang BPUPKI yang pertama, tanggal 29 Mei 1945-1 Juni 1945.
2. Dari masa ke masa (Orla-Orba-Reformasi) Pancasila selalu mengalami perkembangan.
Peranan Pancasila selalu mengalami perubahan,karena Pancasila bisa berubah bentuk
aktualisasi maupun implementasinya sesuai dengan pemerintah yang berkuasa.
3. Pancasila merupakan suatu yang selalu bisa mengikuti perkembangan zaman, karena
Pancasila memiliki sifat yang terbuka dan fleksibel.

3.2 SARAN
Berdasarkan apa yang telah di bahas,kita dapat menyadari bahwa Pancasila dapat
terumuskan melalui proses yang tidak mudah. Perjalanan Pancasila dari masa ke masa
membutuhkan perjuangan yang patut kita hargai dan kita jadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Pada masa sekarang,kita harus lebih meyakini atau mempercayai,
menghormati, menghargai,menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal yang telah
dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman bahwa falsafah Pancasila
adalah sebagai dasar falsafah negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://berlianarblog.wordpress.com/2016/09/27/perkembangan-pancasila-dari-masa-ke-
masa/ Diakses pada 28 Oktober 2018

http://catatantugaskuliah31.blogspot.com/2017/11/makalah-pancasila-dalam-
perjalanan.html Diakses pada 28 Oktober 2018

http://akucintaindonesia-zaylen91.blogspot.com/2011/06/perjalanan-sejarah-pancasila-
dari-lahir.html Diakses pada 28 Oktober 2018

http://fendyi.blogspot.com/2014/04/implementasi-pemikiran-demokrasi-pada.html

Diakses tanggal 30 Oktober 2018

http://taufiqurrohim97.blogspot.com/2015/12/makalah-pancasila-pada-masa-orde-
lama.html Diakses tanggal 30 Oktober 2018

https://dindhut.wordpress.com/2014/03/07/sejarah-pemikiran-dan-perkembangan-
pancasila-di-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/ Diakses tanggal 30 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai