Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

1. Asma

a. Definisi

Asma adalah penyakit penyumbatan jalan napas akibat penyempitan

saluran napas yang dapat hilang dengan sendirinya (reversible), pada

asma yang berat baru hilang setelah pengobatan (irreversibel)

(Djojodibroto, 2015). Penyumbatan atau obstruksi ditandai dengan jalan

napas yang hiper-reaktif dan hiper-responsif sehingga terjadi

bronkokontriksi (Tao & Kendall, 2013).

Penyakit asma secara fisiologis merupakan kondisi yang kompleks.

Pada asma terjadi interaksi yang mengakibatkan obstruksi aliran udara

akut, meningkatkan produksi mukus, hiperreaktivitas bronkus, dan

inflamasi jalan napas. Interaksi fisiologis menyebabkan timbulnya bunyi

wheezing dan kesulitan saat bernapas yang dialami oleh penderita asma

(Clark, 2013).

b. Anatomi dan Fisiologi Asma

1) Saluran nasal (hidung)

Hidung mempunyai tiga fungsi dalam sistem pernapasan

pertama, menghangatkan udara oleh permukaan konka dan

septum yang luas. Kedua, melembabkan udara yang masuk


kedalam saluran pernapasan. Ketiga, penyaringan udara oleh

rambut dan jauh lebih banyak oleh presipitasi partikel diatas

konka. Kesemua fungsi ini bersama-sama dinamai fungsi air

conditioning jalan pernapasan atas (Guyton, 2012).

2) Faring (tenggorokan)

Saluran hidung membuka kedalam faring (tenggorokan),

yang berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem

pernapasan dan pencernaan. Terdapat 2 saluran yang berasal

dari faring yaitu trakea dan esophagus.

3) Laring

Laring terletak dipintu masuk trakea. Tonjolan anteriol

laring membentuk jakun (“adam’s apple”). Dua pita jaringan

elastic yang melintang dipintu masuk laring, dapat diregangakan

dan diposisiskan dalam berbagai bentuk oleh otot laring.

4) Bronkus

Bronkus terbagi menjadi 2 cabang, bronkus kanan dan kiri

yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri. Didalam

masing-masing paru, bergabang-cabang menjadi saluran napas

yang semakin sempit, pendek, dan banyak seperti percabangan

sebuah pohon.

5) Bronkiolus

Bronkiolus yang lebih kecil tidak memiliki tulang rawan

untuk menjaganya tetap terbuka. Dinding salurannya ini


mengandung otot polos yang dipersyarafi oleh sistem saraf

otonom dan peka terhadap hormone dan bahan kimia lokal

tertentu.

6) Alveolus

Alveolus adalah kelompok-kelompok kantung mirip

anggur yang berdinding tipis dan dapat mengembang diujung

cabang saluran napas pengantar. Kantung-kantung udara halus

dialveolus berfungsi untuk tempat pertukaran antara gas dan

darah (Sherwood, 2012).

c. Klasifikasi

Menurut Robbins, Kumar, & Cotran (2013) Klasifikasi asma

berdasarkan ada atau tidaknya penyakit imun penyebab :

1) Asma Ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah asma yang disebabkan oleh

reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang dipicu oleh pajanan. Jenis

asma ekstrinsik adalah: asma atopik, asma pekerjaan, dan

aspergilosis bronkopulmonal alergik (kolonisasi bronkus oleh

organisme Aspergillus diikuti oleh terbentuknya antibodi

immunoglobulin E (IgE). Jenis asma ekstrisik yang paling sering

adalah asma atopic biasanya dimulai dari masa kanak-kanak dan

disertai dengan gejala alergi pada pasien dan keluarga. Kadar

IgE serum biasanya meningkat, demikian juga hitung eosinofil


darah. Bentuk asma ini diperkirakan diperantarai oleh sel T

CD4+ subset TH2.

2) Asma Instrinsik

Asma instrinsik disebabkan oleh pemicu yang bersifat

nonimun. Rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang

normal dapat menyebabkan bronkospasme pada penderita asma

instrinsik. Faktor tersebut mencakup aspirin, infeksi paru,

terutama yang disebabkan oleh virus, dingin, stress, psikologis,

olahraga, dan inhalasi iritasi seperti ozon dan sulfur dioksida.

Biasanya tidak terdapat manifestasi alergi pada pasien atau

keluarganya, dan kadar IgE serum normal (Robbins, Kumar, &

Cotran, 2013).

Berdasarkan tingkat kegawatan asma maka asma dapat dibagi

menjadi 3 tingkat yakni :

1) Asma Bronkiale

Asma bronkiale adalah asma yang bersifat reversible

yang disebabkan oleh alergi.

2) Status Asmatikus

Status asmatikus disebabkan oleh bronkospasme yang

persisten dan sulit disembuhkan dengan obat-obatan

konvensional.
3) Asmatikus Emergensi (Kegawatdaruratan Asmatikus)

Kegawatdaruratan asma adalah asma yang dapat

menyebabkan kematian (Rab, 2010).

d. Etiologi

Penyebab asma belum diketahui secara pasti. Asma memiliki

hubungan dengan alergi, karena pada sebagian besar penderita asma

ditemukan riwayat alergi. Serangan asma juga sering dipicu oleh

penajanan terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen

alergi, sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini

menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan

seseorang menderita asma. Faktor genetik yang diturunkan adalah

kecendrungan memproduksi antibodi jenis IgE yang berlebihan.

Seseorang yang mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan

disebut mempunyai sifat atopik, sedangkan keadaannya disebut atopi.

Namun, ada penderita asma yang tidak atopik dan juga serangan asmanya

tidak dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Pada penderita ini, jenis

asmanya disebut idiosinkratik, biasanya serangan asmanya didahului oleh

infeksi saluran napas bagian atas (Djojodibroto, 2015).

Sumbatan saluran napas disebabkan oleh menebalnya dinding saluran

napas, yang ditimbulkan oleh peradangan dan edema yang dipicu oleh

histamin, tersumbatnya saluran napas oleh sekresi berlebihan mukus

kental, dan hiperresponsivitas saluran napas, yang ditandai oleh kontriksi

hebat saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding saluran
napas. Pemicu yang menyebabkan peradangan dan respons

bronkokontriksi yang berlebihan ini mencakup pajanan berulang ke

alergen (misalnya kutu debu rumah atau serbuk sari tanaman), iritan

(misalnya asap rokok), dan infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa

infeksi jangka panjang oleh chlamydia pneumonia, suatu penyebab

infeksi paru yang umum dijumpai, mendasari hampir separuh dari kasus

asma dewasa (Sherwood, 2012).

Menurut Margaret Varnell Clark (2013), faktor penyebab dan

pencetus asma adalah :

1) Jamur indoor(molds)/sick building syndrome

Penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan antara

jamur indoor dan penyakit pernafasan alergik. Secara

Terminology sick building syndrome telah digunakan untuk

berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan lingkungan

internal. Hal ini sering diperberat dengan adanya lingkungan

yang lembab dan pertumbuhan jamur.

2) Radon

Merupakan gas radioaktif alami yang dapat ditemukan

ditanah, air dan udara, baik didalam maupun diluar ruangan.

Diperkirakan lebih dari 50% dosis efektif radioaktif alami setiap

tahunnya disebabkan oleh paparan radon.


3) Alergen binatang/hewan peliharaan

Binatang melepaskan protein ke lingkungan sekitar

melalui cairan tubuhnya seperti saliva dan dander. Dander

adalah bahan organik atau protein dari tubuh hewan atau disebut

sebagai serbuk hewan. Pada sebagian besar pasien alergi, dander

tidak membuat iritasi, akan tetapi dander dapat menjadi

makanan untuk tungau debu untuk mengiritasi banyak pasien

asma. Alergen juga dapat dijumpai pada urin hewan pengerat

liar atau peliharaan. Pada akhirnya semua hewan termasuk

manusia dapat menghasilkan makanan yang cukup untuk tungau

debu organik dan memberikan kesempatan bagi pertumbuhan

bakteri di rumah.

4) Tungau debu rumah

Tungau debu tidak bisa dihindari tetapi bisa

meminimalisai pengaruh yang ditimbulkannya. Dengan hidup

bersih dan sehat dengan sering membersihkan rumah dan

peralatannya seperti bantal dan matras dapat dibungkus dengan

pembungkus alergen plastik. Linen tempat tidur harus dicuci

secara rutin dengan air panas. Bantal, boneka dan mainan juga

dicuci dengan cara biasa secara rutin. Deterjen dan pemutih

dapat juga berperan dalam mengurangi alergen tungau debu

pada proses pencucian.


5) Kecoa

Data menunjukan bahwa membasmi dan menghindari

alergen kecoa memiliki aspek yang positif pada asma. Makanan

dan sampah didalam rumah tidak boleh dibiarkan dalam keadaan

terbuka. Racun, seperti yang digunakan sebagai umpan kecoa

dan alat semprot, merupakan alat yang efektif dalam

mengendalikan populasi kecoa, tetapi dapat menimbulkan iritasi

bagi pasien asma.

6) Serbuk sari

Serbuk sari bersifat iritatif pada banyak pasien asma.

Pemantauan ketat pada rencana terapi masing-masing individu

dengan asma saat musim serbuk sari harus dilakukan dan

dilakukan penyesuaian terhadap obat-obatan yang diberikan agar

asmanya dapat terkontrol dengan baik.

7) Polusi udara dan gas buangan kendaraan

Banyak studi menunjukan bahwa peningkatan zat-zat

tertentu dari gas buangan kendaraan memberikan efek negatif

pada pasien asma. Pada pasien asma terjadi peningkatan stress

oksidatif saluran nafas dan penurunan fungsi saluran nafas pada

pasien asma ketika terpajar dengan polusi udara.

8) Asap rokok

Asap rokok dapat mencetuskan serangan asma. Data

menunjukan efek yang bervariasi menurut usia. Efek merokok


pasif telah terbukti lebih berat dalam mencetuskan serangan

asma pada seorang anak bila yang merokok adalah ibunya

daripada orang lain di sekitar mereka. Selain itu, beberapa studi

menunjukan bahwa ibu yang perokok dapat meningkatkan

resiko timbulnya asma saat masih bayi dan kanak-kanak.

9) Gas iritan

Pajaran terhadap zat kimia seperti komponen

formaldehida dan senyawa organik volatil (SOV) dapat

mengiritasi saluran pernafasan pasien asma dan mencetuskan

serangan asma. Gas-gas SOV dihasilkan dari berbagai macam

sumber seperti produk rumah tangga, seperti: cat, pelarut cat,

pengawet kayu, alat semprot, pembersih dan desinfektan,

repelen serangga dan pengharum ruangan. Zat-zat kimia yang

dilepaskan ke udara oleh linolium yang dilepaskan dari proses

pembuatan kramik lantai, karpet, kertas lapis dinding, mebel dan

lukisan yang baru dapat meningkatkan resiko serangan pada

pasien asma. Pemakaian alat seperti pemanas ruangan dan

kompor tanpa ventilasi dapat meningkatkan kadar NO2 yang

dapat meningkatkan resiko terjadinya wheezing dan serangan

asma. Partikel buangan dari mobil dan polusi udara, terutama

ukuran ≤ 10 mikrometer (PM10) juga menyebabkan wheezing.


e. Patofisiologi

Keadaan yang dapat menimbulkan serangan asma menstimulasi

terjadinya bronkospasme melalui salah satu dari 3 mekanisme, yaitu:

1) Degranulasi sel mast dengan melibatkan immunoglobulin E (IgE).

2) Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE.

Degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamine. Yaitu

suatu slow-reacting substance of anaphylaxis, dan kinin yang

menyebabkan bronkokontriksi.

3) Stimulasi langsung otot bronkus tanpa melibatkan sel mast.

Episode bronkospatik berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-

GMP (cyclic guanosine monophosphate) atau konsentrasi c-AMP (cyclic

adenosine monophosphate), atau konsentrasi keduanya didalam otot

polos bronkus dan sel mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan

penurunan konsentrasi c-AMP intraselular berkaitan dengan terjadinya

bronkospasme, sedangkan keadaan yang sebaliknya, yaitu penurunan

konsentrasi c-GMP dan peningkatan konsentrasi c-AMP menyebabkan

bronkodilatasi. Produksi IgE spesifik memerlukan sensitisasi terlebih

dahulu. Penurunan aliran udara ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh

bronkokontriksi saja, tetapi juga oleh adanya edema mukosa dan sekresi

lendir yang berlebihan (Djojodibroto, 2015).

Patofisiologi asma meliputi limitasi aliran udara dan inflamasi

saluran napas. Dengan memahami mekanisme yang terjadi didalam

saluran napas ini, dapat memberikan jalan untuk mengembangkan


rencana terapi yang adekuat dan memperoleh/mempertahankan kontrol

asma. Komponen yang paling sering menjadi penyebab adalah kontraksi

otot polos bronkus (bronkokontriksi) yang didefinisikan sebagai kontraksi

atau penyempitan jalan napas akibat mediator dan neurotransmitter

bronkokonstriktor. Akibat penyempitan jalan napas ini maka aliran udara

menjadi sempit dan menimbulkan bunyi “mengi” yang sering disebut

sebagai asma (Clark, 2013)

Serangan asma ditandai dengan dyspnea berat disertai mengi;

kesulitan utama terletak pada ekspirasi. Korban bersusah payah

menghirup udara dan kemudian tidak dapat mengeluarkannya, sehingga

terjadi hiperinflasi progresif paru dengan udara terperangkap disebelah

distal bronkus. Bronkus mengalami konstriksi dan terisi oleh mukus dan

debris. Pada kasus yang biasa, serangan berlangsung 1 hingga beberapa

jam dan mereda secara spontan atau dengan pengobatan, biasanya berupa

bronkodilator dan kortikosteroid. Selama interval diantara serangan

pasien biasanya terbebas dari kesulitan bernafas, terapi defisit pernafasan

yang samar dan persisten dapat dideteksi dengan metode-metode

spirometrik. Kadang-kadang terjadi serangan hebat yang tidak berespon

terhadap terapi dan menetap selama beberapa hari atau bahkan minggu

(status asmatikus) (Robbins et al., 2013).


f. Manifestasi Klinis

Menurut Global Initiative for asthma (2017) manifestasi klinis

asma adalah :

1) Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada),

terutama pada orang dewasa

2) Gejala sering memburuk di malam hari atau di pagi hari

3) Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya

4) Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan

alergen, perubahan cuaca, tawa, atau iritasi seperti asap knalpot

mobil, asap atau bau kuat (GINA, 2017).

Gejala yang sering terlihat jelas adalah penggunaan otot napas

tambahan, timbulnya pulsus paradoksus, serta timbulnya Kussmaul’s

sign. Pasien akan mencari posisi yang enak, yaitu duduk tegak dengan

tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, biasanya

berpegangan pada lengan kursi, dengan demikian otot napas tambahan

dapat bekerja dengan lebih baik. Takikardi akan timbul diawal serangan,

kemudian diikuti dengan sianosis sentral (Djojodibroto, 2015). Serangan

dyspnea, batuk, mengi (suara bersiul lembut sewaktu ekspirasi),

penyakit umum ini mengenai sekitar 5 % orang dewasa dan 7% hingga

10% anak (Robbins et al., 2013)


Tabel 1
Klasifikasi Gradasi Asma
(dimodifikasi dari NAEPP*
Gambaran klinis sebelum terapi
Klasifikasi Gejala Gejala malam Fungsi
hari paru
Intermitten ringan 1. Gejala ≤2 ≤2 kali/bulan 1. FEV1
kali/minggu atau PEF ≥
80%
perkiraan
2. Asimtomatik 2.
dan PEF normal Variabilitas
di antara PEF 20%
eksaserbasi
3. serangan
singkat (beberapa
jam sampai
beberapa hari)
intensitas
mungkin
bervariasi
Persisten ringan 1. Gejala > 2 >2 kali/minggu
kali/minggu
namun <1
kali/hari
2. Serangan
mungkin
mempengaruhi
aktivitas
3. FEV1 atau PEF
≥ 80 % perkiraan
4. Variabilitas
PEF 20-30%
Persisten sedang 1. Gejala muncul > 1 1. FEV1
setiap hari kali/minggu atau PEF >
60-80 %
perkiraan
2. Penggunaan 2.
harian inhalasi variabilitas
agonis-𝛽2 kerja PEF >30%
singkat
3. Serangan
memengaruhi
aktivitas
4. serangan ≥ 2
kali/minggu

Persisten berat 1. Gejala muncul Sering 1. FEV1


terus-menerus atau PEF ≤
60 %
perkiraaan
2. aktivitas fisik 2.
terbatas variabilitas
3. sering serangan PEF >30 %
*) NAEPP = National Asthma Education and Prevention Program

g. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit asma meliputi :

1) Status asmatikus

2) Gagal napas (respiratory failure) (Kowalak, Welsh, & Mayer,

2011).

h. Pemeriksaan

Pemeriksaan diagnostik

Tindakan objektif pada diagnosis dan pengukuran keparahan

asma terdiri atas spirometri dan pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan

alergi dapat dilakukan dengan memastikan alergen pemicu. Pengukuran

spirometri FVC, FEV1, dan rasio FEV1 :FVC dilakukan sebelum dan

setelah pasien menginhalasi bronkodilator kerja singkat, yang

menentukan apakah obstruksi aliran udara terjadi dan apakah reversibel.

Peningkatan minimal 12% dan 200 ml FEV1 setelah inhalasi

bronkodilator kerja singkat mengindikasi reversibilitas yang signifikan

dan menegaskan adanya asma. Rasio FEV1 : FVC kurang dari 75%

yang diprediksi. Tahanan jalan napas meningkat sehingga FEV

berkurang terlalu besar untuk penurunan FVC. Flow meter puncak

portabel digunakan untuk memantau fungsi paru secara kontinu. Pasien


diajarkan tentang cara mengukur aliran ekspirasi puncak, suatu

indikator derajat obstuksi aliran udara pada jalan napas yang besar,

dengan menggunakan flow meter puncak secara teratur (Morton,

Fontaine, Hudak, & Gallo, 2014).

Pemeriksaan membantu menegakkan diagnosis penyakit asma :

1) Pemeriksaan faal paru memperlihatkan tanda-tanda penyakit

obstruksi jalan napas, kapasitas vital yang normal atau menurun,

dan kapasitas total paru serta kjapasitas residual yang

meningkat. Faal paru yang dapat normal pada saat-saat diantara

serangan. Tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) serta PaCO2

biasanya mengalami penurunan, kecuali pada asma berat,

dengan PaCO2 bisa normal atau meningkat, yang menunjukkan

obstruksi bronkus yang berat. Pemeriksaan menggunakan

spirometri untuk mengetahui fungsi paru penderita asma.

Pemeriksaan spirometri hanya dapat dilakukan pada penderita

usia diatas 5 tahun.

2) Kadar IgE serum dapat meningkat akibat reaksi alergi,

i. Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi pada serangan akut adalah meredakan kesulitan

pernapasan. Dalam jangka panjang, ppenting untuk membantu klien

dalam penatalaksanaan medis asma yang tepat guna meningkatkan

kualitas keseluruhan hidup. Strategi ini akan meliputi penggunaan

beberapa klasifikasi obat. Semua klien asma yang sedang hingga berat
harus menggunakan inhaler anti-inflamasi sebagai terapi dilini depan.

Steroid yang di inhalasi akan meningkatkan fungsi paru, mengurangi

gejala dan gejolak (serangan) asma.

Obat yang digunakan untuk mengatasi asma

1. Antikolinergik

Bronkodilator ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk

mengendalikan ukuran jalan napas.

1) Atropin nmetilnitrat

2) Ipratropium bromida (Atrovent)

2. Agonis beta

Obat ini mendilatasi jalan napas bronkial dengan bekerja pada

sistem saraf yang mengendalikan jaringan otot di sekitar jalan

napas:

1) Albuterol (Asmavent, Proventil, Ventolin, Volmax)

2) Epinefrin (Adrenalin, AsthmaNefrin, Epifrin,

Micronefrin, Sus-Phrine)

3) Metaproterenol sulfat (Alupent)

4) Pirbuterol asetat ( Maxair Inhaler)

5) Terbutalin sulfat (Brethine, Bricanyl)

3. Kortikosteroid

Obat ini bekerja sebagai agens anti-inflamasi:

1) Beklometason (Vanceril, Beclovent, Beconase)

2) Budesonid (Pulmicort, Rhinocort)


3) Flunisolid (AeroBid, Nasalide)

4) Flutikason propionate (Flovent, Flonase)

5) Metilprednison (Medrol)

6) Nedokromil (Tilade)

7) Prednisone (Metilcorten, Orasone, Deltasone)

8) Triamsinolon (Azmacort)

4. Antagonis leukotrien

Obat ini menghambat alur biokimia inflamasi, yang

menyebabkan jalan napas kurang sensitif terhadap pemicu

asma:

1) Natrium montelukast (singulair)

2) Zafirlukast (Accolate)

3) Zileuton (Zyflo)

5. Metilsantin

Bronkodilator ini merelaksasikan otot polos bronkial :

1) Aminofilin/teofilin etilenediamin (Truphylline)

2) Teofilin (Theo-Dur; Theovent, Slo-Phyllin, Uni-Dur;

Uniphyl)

6. Penstabil Sel Mast

Agens ini menghambat pelepasan histamine yang dipicu oleh

alergen dan zat anafilaksis lepas lambat (leukotrien) dari sel

mast:
1) Natrium kromolin (Intal, NasalCrom) (Rosdahl &

Kowalski, 2015).

j. Pencegahan

Kekambuhan asma dapat dicegah dengan menghindari kontak

dengan alergen penyebab asma yang umumnya spesifik bagi masing-

masing individu penderita.

Obat-obat golongan beta-blocking agent (termasuk ophthalmic

beta blocker) tidak boleh diberikan pada penderita asma karena dapat

memperberat bronkospasme penderita (Soedarto, 2012).

Daftar Pustaka

Clark, M. V. (2013). Asma : Panduan Penatalaksanaan Klinis (A. Diani, Trans.). Jakarta: EGC.
Djojodibroto, D. R. D. (2015). Respirologi : Respirologi Medicine (2 ed.). Jakarta: EGC.
GINA. (2017). Global Initiative For Asthma. Retrieved from http://www.wms-GINA-2017-
main-report-tracked-changes-for-achive.pdf.
Guyton, A. C. (2012). Fisiologi Manusia Dan Mekanime Penyakit (P. andrianto, Trans. 3 ed.).
Jakarta EGC.
Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisiologi Jakarta EGC.
Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2014). Keperwatan Kritis (8 ed. Vol.
1). Jakarta: EGC.
Rab, T. (2010). ilmu penyakit paru. Jakarta: Trans Info Media.
Robbins, S. L., Kumar, V., & Cotran, R. S. (2013). Buku Ajar Patologi (7 ed. Vol. 2). Jakarta:
EGC.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar (10 ed.). Jakarta:
EGC.
Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem (B. U. Pendit, Trans. 6 ed.).
Jakarta: EGC.
Soedarto. (2012). Alergi Dan Penyakit Sistem Imun Jakarta: Sagung Seto
Tao, L., & Kendall, K. (2013). Sinopsis Organ System Pulmonologi. Jakarta: Karisma
Publishing Group.

Anda mungkin juga menyukai