Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PEMBAHASAN

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan


penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui, serta manifestasi
klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik,
imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.1
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender
wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.2
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai dua atau lebih kriteria
sebagai berikut :3
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan
3. Muskuloskeletal : artritis, artralgia, miositis
4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis
5. Ginjal : hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru
8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retokulo-endotel : organomegali (limfadenopati, spleenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi : anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan
kognitif neuro kranial dan perifer
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan
diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting. The American College of
Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997 menciptakan suatu kriteria untuk mempermudah
diagnosis SLE.
Pemeriksaan Penunjang Minimal yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
pasien SLE :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§ , anti-dsDNA† , komplemen† (C3,C4))
6.Foto polos thorax
 pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
 Setiap 3-6 bulan bila stabil
 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif. ANA, antibodi antinuklear;
PT/PTT,protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Rekomendasi dari Perhimpunan Reumatologi Indonesia tahun 2011 :
Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE.
Tabel 8. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Berdasarkan ACR 19973,4
Kriteria Gambaran Klinis

Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

Ruam Diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan


folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.

Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar


matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dlihat oleh
dokter pemeriksa

Ulkus Mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Arthritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak, atau efusi.

Serositis a. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub


yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura,

b. Perikarditis : terbukti dengan rekaman EKG atau


pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium

Gangguan a. Proteinuria menetap >0.5 gr perhari atau 3+ bila tidak


Renal dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau

b. Silinder seluler : silinder eritrosit, hemoglobin, granular,


tubular, atau campuran.

Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau


Neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-batan atau


gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit)

Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau


hematologi
b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau

c. limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau


lebih, atau

d. trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-


obatan

Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang


Imunologi abnormal, atau

b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm


atau

c. temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang


didasarkan atas :

1. kadar serum antibodi anti-kardiolipin abnormal baik IgG


atau IgM
2. Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda
standard, atau

3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-


kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes
imobilisasi Treponema pallidum atau tes Fluoresensi absorbsi
antibodi treponema.

Anti bodi anti Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan


nuklear positif pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
(ANA+) pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindrom lupus yang
diinduksi obat.

a) Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b) Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
c) Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
Mulai tahun 2012 terdapat kriteria diagnosis menurut SLICC atau Systemic Lupus
International Collaborating Clinics yang tertera pada tabel 9.
Tabel 9. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Berdasarkan SLICC 20124

1 Acute/subacute cutaneuous lupus rash

Lupus malar rash (do not count if malar discoid), bullous lupus, toxic
epidermal necrolysis variant of SLE, maculopapular lupus rash,
photosensitive lupus rash (in the absence of dermatomyositis).

Subacute cutaneus lupus (nonindurated psoriaform and/or annular


polycyclic lesions that resolve without scarring, occasionally with
post-inflammatory dyspigmentation or teleangiectasis)

2 Chronic cutaneous lupus


Classical discoid rash-localised (above the neck) or generalised
(above and below the neck), hypertophic (verrucous) lupus.

Lupus panniculitis (profundus). Mucosal lupus. Lupus erythematosus


tumidus, chillblains lupus, discoid lupus-lichen planus overlap

3 Oral ulcers

Palate, Buccal, Tongue or Nasal ulcers (in the absence of other


causes, such as vasculitis, Behcets, infection (herpes), IBD, reactive
arthritis, and acidic foods

4 Non-scarring alopecia

Diffuse thinning or hair fragility with visible broken hairs (in the
absence of other causes such as alopecia areata, drugs, iron
deficiency, and androgenic alopecia)

5 Synovitis involving ≥ 2 joints

Characterized by swelling or effusion or tenderness in 2 or more


joints and thirty minutes or more of morning stiffness

6 Serositis

Typical pleurisy for more than 1 day or pleural effusions or pleural


rub

Typical pericardial pain (pain with recumbency improved by sitting


forward) for more than 1 day or pericardial effusion

Or pericardial rub or pericarditis by ECG (in the absence of othr


causes, such as infection, uremia and Dressier’s pericarditis)

7 Renal manifestations

Urine protein/creatinine (or 24 hr urine protein) representing 500 mg


of protein in 24 hr or red blood cell cast

8 Neurological manifestations

Seizures, psychosis, mononeuritis multiplex (in the absence of other


known causes such as primary vasculitis), myelitis, peri[heral or
cranial neuropathy (in the absence of other known causes such as
primary vasculitis, infection and diabetes mellitus), acute confusional
state (in the absence of other known including toxic-metabolic,
uremia, drug)

9 Hemolytic anemia
10 Leucopenia/Lymphopenia

Leucopenia <4000 mm3 at least once (in the absence of other known
causes such as Felty’s, drugs, and portal hypertension)

Lymphopenia <1000 mm3 at least once (in the absence of other


known causes such as drugs, corticosteroids and infection)

11 Thrombocytopenia

< 100000 mm3 at least once (in the absence of other known causes
such as drugs, portal hypertension and TTP

IMMUNOLOGICAL CRITERIA

12 ANA

Above the reference range of the laboratory

13 anti-ds DNA

Above laboratory reference rangem except ELISA : twice above


laboratory reference range

14 anti-Sm

15 Anti-phospholipid antibodies (aPLs)

Lupus anticoagulant, False positive RPR, Medium or high titre


anticardiolipin (IgA, IgG, or IgM) and beta-2-glycoprotein I (IgA,
IgG, IgM)

16 Low complement

Low C3, C4 or CH50

17 Direct Coombs Test

In the absence of haemolytic anemia

Diagnosis untuk pasien SLE menurut SLICC adalah dengan memenuhi 4 kriteria
dengan syarat minimal terdapat 1 kelainan imunologi dan 1 kelainan klinis.5
Pada kasus ini, pasien tidak dilakukan skoring untuk diagnosis SLE. Total skor dari
kriteria diagnosis SLE menurut ACR adalah 6 dari 11 kriteria. Total skor dari kriteria
diagnosis SLE menurut SLICC adalah 5 dari 17 kriteria.
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut
obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:3
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf
pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang apabila ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang (lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50 x 106 / mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu
a. Jantung: endocarditis Libman-sacks, vasculitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b. Paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vasculitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferative dana tau membranous.
e. Kulit: vasculitis beratm ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polyneuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1000/mm3), trombositopenia
<20.000/mm3, purpura trombotik trombositepenia, thrombosis vena atau arteri.
Pada kasus tidak ditemukan tanda atau gejala yang mengancam nyawa dan terdapat
efusi pericardium tanpa tamponade jantung pasien belum dilakukan biopsy ginjal. Dari skor
SLEDAI aktivitas SLE dengan kriteria mild-moderate flare
Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi penyakit ini berguna sebagai
panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI,
MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MES-SLEDAI
atau MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari
tersedianya fasilitas laboratorium canggih.5
Pada pasien ini dilakukan penilaian aktivitas SLE berdasarkan penilaian aktivitas
SLEDAI-Selena Modification seperti sebagai berikut.

Bobot Deskripsi Keterangan


8 Seizure Tidak
8 Psychosis Tidak
8 Organic Brain Syndrome Tidak
8 Visual Disturbance Tidak
8 Cranial Nerve Disturbance Tidak
8 Lupus Headache Tidak
8 CVA Tidak
8 Vasculitis Tidak
4 Arthritis Ya
4 Myositis Tidak
4 Urinary Cast Tidak
4 Hematuria Tidak
4 Proteinuria Tidak
4 Pyuria Tidak
2 New Rash Ya
2 Alopesia Tidak
2 Mucosal Ulcers Ya
2 Pleurisy Ya
2 Pericarditis Ya
2 Low Complement Tidak
2 Increased DNA binding Ya
1 Fever Tidak
1 Trombocytopenia Tidak
1 Leukopenia Tidak
Jumlah skor: 12 (aktivitas mild-moderate flare)
Berdasarkan penilaian di atas, pasien ini termasuk lupus dengan aktivitas penyakit
dengan skor = 12 termasuk penyakit SLE aktivitas mild-moderate flare.
Bagan 1. Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE sesuai dengan
keparahan manifestasinya6
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan
atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya
pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan,
terutama ahli reumatologi. Pengobatan yang diberikan pada SLE ringan antara lain:
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inlamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri
dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian
dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari
(200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang- kurangnya
15 (SPF 15)
Pilar pengobatan SLE derajat sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosihtis yang refrakter: 20 mg /
hari prednison atau yang setara. 7
Pilar pengobatan pada SLE derajat berat atau mengancam nyawa sama seperti pada
SLE ringan kecuali pada penggunaan obat- obatannya sebagaimana tercantum di bawah ini. 1,5
- Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison
atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan
didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari
bertutut-turut.8
- Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada
SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada
keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.8

Pada kasus pasien diberikan obat metilprednisolon 125mg/12jam IV selama 3 hari


tappering off→62,5 mg/12jam dan Imuran 50 mg/24 jam PO . Metilprednisolon merupakan
kortikosteroid yang digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Dosis
Kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada
SLE yang relatif tenang. Imuran merupakan obat golongan imunosupresan untuk pengobatan
lupus.

SLE adalah kelainan autoimun multisistem heterogen yang ditandai dengan manifestasi
sistem organ yang bervariasi dari waktu ke waktu dan adanya autoantibodi pada tingkat
intraselular. Abnormalitas hematologi sering ditemukan pada SLE. Gangguan hematologi pada
satu penelitian terjadi pada 59% , atau berkisar antara 50 – 70 %. Semua elemen seluler darah
dan koagulasi terganggu pada pasien SLE. Manifestasi hematologi mayor SLE adalah anemia,
leukopenia, trombositopenia, dan antiphospholipid syndrome (APS).7

Pada pasien IN ini juga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan
diagnosis nefritis lupus karena berdasarkan pemeriksaan penunjang ditemukan adanya
kelainan pada ginjal. USG abdomen didapatkan adanya peningkatan ekogenitas korteks kedua
ginjal, cenderung proses kronis ginjal kanan,kiri. Peningkatan ureum 188mg/dL dan kreatinin
2.08 mg/dL. Pasien sudah dilakukan biopsi ginjal, namun hasil pemeriksaan belum jadi sampai
pasien dipulangkan. Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan SLE.
Lebih dari 70% pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya.
Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal
yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci darah.9
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontraindikasi, maka seyogyanya biopsi
ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi
kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat.
Klasifikasi kriteria World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah
diperbaharui oleh International Society of Nephrolog dan Renal
Pathology Society (ISN/RPS) tahun 2003. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi
dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasifikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
Anemia ditemukan pada 50% pasien SLE, berbagai mekanisme berperan dalam
terjadinya anemia, termasuk inflamasi, insufisiensi renal, kehilangan darah, intake yang
kurang, obat-obatan, hemolisis, infeksi, hipersplenisme, mielofibrosis, mielodisplasia, dan
adanya patogenesis autoimun pada anemia aplastik. Keterlibatan autoantibodi, kompleks imun,
sel T sitotoksik sebagai mekanisme efektor tertahannya progenitor pertumbuhan, inhibisi
diferensiasi, apotosis, atau disfungsi sel sum sum tulang stromal.Trombositopenia < 50.000
/mcL ditemukan pada 10% pasien. Hal ini sering disebabkan oleh destruksi trombosit mediasi
imun. Juga dapat akibat pemakaian trombosit pada anemia hemolitik mikroangiopatik atau
gangguan produksi trombosit akibat penggunaan obat obat sitotoksik, imunosupresif.9,10
Pada kasus diketahui berdasarkan pemeriksaan darah rutin tanggal 9 Februari 2019
Hb 10,8 gr/dl (L), Ht 32,5 % (L), Eritrosit 3,58 x 106/ ul (L), MCH 30,5 Pg, MCV 90,8 Fl,
reticulosit 4,6% (H). sehingga pasien didiagnosis anemia ringan normositik normokromik.
Penyebab anemia yang sering pada SLE adalah tertekannya eritropoesis akibat
inflamasi kronik,merupakan jenis yang paling sering (60 – 80%). Anemia ini bersifat
normositik normokrom dengan jumlah retikulosit yang relatif rendah. Walaupun kadar serum
iron dapat rendah namun penyimpanan besi di sumsum tulang cukup adekuat dan konsentrasi
feritin serum meningkat. Bila tidak terjadi gejala yang berhubungan dengan anemia ( mis: sesak
nafas saat beraktifitas, mudah lelah) atau insufisiensi renal, anemia penyakit kronik tidak
memerlukan pengobatan khusus.11
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) ditandai dengan peningkatan retikulosit, kadar
haptoglobin yang rendah, peningkatan bilirubin indirek, dan tes Coomb positif. Anemia ini
ditemukan pada 10% penderita SLE. AIHA respon terhadap pemberian steroid ( Prednison
1mg/kg/hari pada 75-96% pasien). 11,12
Pada pleuritic lupus, karakteristik cairan pleura umumnya adalah eksudat, dengan kadar
glukosa dan Ph normal, peningkatan LDH dalam < 600IU/l pada efusi pleura. Dalam penelitian
terbaru, tiga pasien (dua dengan pleuritis lupus aktif dan satu dengan efusi pleura transudatif
dari lupus nephritis) memiliki efusi pleura sebagai manifestasi pertama SLE, dan dua pasien
dengan lupus pleuritis adalah laki-laki. Namun, pasien-pasien ini juga menunjukkan kelainan
hematologi seperti leukopenia, anemia hemolitik dan trombositopenia. Lebih lanjut, kelainan
hematologi terjadi lebih sering diamati pada pasien SLE dengan efusi pleura dibandingkan
pada pasien non-SLE. Dengan demikian, SLE harus dicurigai ketika
kelainan hematologi terlihat pada pasien dengan efusi pleura penyebab tidak pasti.10
Hipoalbuminemia bukan suatu indikasi untuk pemberian albumin karena
hipoalbuminemia tidak berhubungan langsung dengan plasma dan volume cairan lainnya,
tetapi disebabkan kelebihan dan defisit cairan di intravaskular yang disebabkan dilusi, penyakit
dan faktor distribusi. 11
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak adekuat (malnutrisi,
luka bakar, infeksi dan pada bedah mayor), katabolisme yang berlebihan (luka bakar, bedah
mayor, dan pankreatitis), kehilangan albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang
berlebihan, redistribusi dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi).8,10,11
Pada kasus diketahui kadar albumin pasien 2,43 g/dl. Tidak diberikan pemberian
albumin melainkan hanya diet tinggi protein.
Albumin dalam aspek klinis digunakan dalam beberapa hal yaitu: hypovolemia,
hypoalbuminemia, luka bakar, adult respiratory distress syndrome, untuk mengikat dan
mengeluarkan bilirubin toksik pada neonatus dengan penyakit hemolitik, dsb.
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai 60
mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L) berada dalam cairan
intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang
mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat
(NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan
perubahan konsentrasi natrium.11
Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh keseimbangan
GibbsDonnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel
disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya
kalium ke dalam sel (pompa Na+ K + ).
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang
masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel
mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran
cerna atau keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144
mEq.12
Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya
turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal (135-145 mEq/L) dan
hipernatremia bila konsentrasi natrium plasma meningkat di atas normal. Hiponatremia
biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas dan hipernatremia berkaitan dengan
hiperosmolalitas. Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma.10
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari 10%.
Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas hampir
mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna
bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L.8,9
Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium
pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat akan
meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan
fisik dan demam.8
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan
untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan
volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65%
di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya
direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%).
Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi
natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas.9
Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipo osmotik seperti
pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat yang berkepanjangan, berhubungan dengan
penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan penggunaan diuretik
secara berlebihan. 6,8
Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan
gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, penyakit addison, serta retensi air yang
berlebihan (overhidrasi hipo-osmotik) akibat hormon antidiuretik. Kepustakaan lain
menyebutkan bahwa respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran
ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah).
Pseudohiponatremia dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma, yaitu pada kondisi
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia, hiperproteinemia dan hiperglikemia serta kelebihan
pemberian manitol dan glisin.8
Pada kasus, diketahui kadar natrium pasien adalah 132,9 mmol/L, termasuk
hyponatremia. Dilakukan koreksi hyponatremia dengan pemberian infus NaCL 0,9% 20 tpm.
Pada kasus ini juga terdapat kardiomegali. Kardiomegali merupakan pembesaran
jantung yang dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, RVH, atau oleh
efusi pericardium. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa iktus kordis teraba
di SIC V 2 cm lateral linea misclavicularis sinistra yang normalnya berada pada SIC V medial
linea midclavicularis sinistra, serta pada perkusi didapatkan batas jantung kiri bergeser ke
lateral yaitu pada SIC V 2 cm linea midclavicularis sinistra dimana normalnya berada pada SIC
V medial linea midclavicularis sinistra. Hal ini menandakan bahwa terdapat pembesaran
ventrikel kiri jantung. Hasil pemeriksaan fisik ini perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang echocardiography. Berdasarkan pemeriksaan echocardiography yang telah
dilakukan pada tanggal 8 Februari 2019 didapatkan hasil bahwa terdapat left ventricle
hypertrophy (LVH), Left Atrium Hyperthrophy (LAH) dan adanya efusi pericardium.9
Pada pasien ini juga ditemukan adanya bakteriuria. Berdasarkan pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji sensitivitas didapatkan infeksi bakteri proteus mirabillis dengan terapi
antibiotik ciprofloxaxin. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui jenis dari infeksi
saluran kemih.

ISK non komplikata


Yang dimaksud dengan ISK non komplikata adalah ISK yang terjadi pada orang
dewasa, termasuk episode sporadik, episode sporadik yang didapat dari komunitas, dalam hal
ini sistitis akut dan pielonefritis akut pada individu yang sehat. ISK ini banyak diderita oleh
wanita tanpa adanya kelainan struktural dan fungsional di dalam saluran kemih, maupun
penyakit ginjal atau faktor lain yang dapat memperberat penyakit.13
Sistitis Non Komplikata
1. Definisi
Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan sindroma klinis yang terdiri dari disuria,
frekuensi, urgensi dan kadang adanya nyeri pada suprapubik.13
2. Gejala dan Tanda
Gejala iritatif berupa disuria, frekuensi, urgensi, berkemih dengan jumlah urin yang sedikit,
dan kadang disertai nyeri supra pubis. Sistitis ditandai dengan adanya leukosituria, bakteriuria,
nitrit, atau leukosit esterase positif pada urinalisis. Bila dilakukan pemeriksaan kultur urin
positif.13
3. Faktor Risiko
Pada wanita usia muda dan premenopause faktor risikonya berupa hubungan seksual,
penggunaan spermatisida, partner seksual baru, ibu dengan riwayat ISK, riwayat ISK pada
masa kanak-kanak. Sedangkan pada wanita tua dan post menopause faktor risiko terjadinya
sistitis adalah riwayat ISK sebelum menopause, inkontinensiavaginitis atrofi karena defisiensi
estrogen, sistokel, peningkatan volume urin pasca berkemih, golongan darah, kateterisasi dan
status fungsional yang memburuk pada wanita tua di rumah jompo.13
4. Diagnosis
Diagnosis sistitis akut non komplikata dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala iritatif
seperti disuria, frekuensi dan urgensi; dan tidak adanya discharge atau iritasi vagina, pada
wanita yang tidak memiliki faktor risiko. Pada wanita tua gejala gangguan berkemih tidak
selalu berhubungan dengan ISK. Sedangkan pada pasien dengan diabetes yang
terkontrol,episode sistitis yang sporadik atau sistitis berulang dapat digolongkan non
komplikata. Namun pada pasien dengan diabetes yang lama tidak terkontrol kemungkinan akan
berkembang menjadi neuropati kandung kemih. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
ringan sampai sedang tanpa abnormalitas struktur dan fungsi dari traktus urinarius, dan sistitis
sporadik yang berulang dapat dianggap sebagai sistitis non komplikata.14
5. Pemeriksaan Laboratorium
Pengujian urin dengan dipstik adalah sebuah alternatif dari pemeriksaan urinalisis dengan
mikroskop untuk diagnosis sistitis akut non komplikata. Kultur urine direkomendasikan hanya
untuk mereka yang:
• Diduga menderita pielonefritis akut,
• Gejala yang tidak hilang atau terjadi kembali dalam 2-4 minggu setelah, penyelesaian terapi,
• Wanita yang menunjukkan gejala tidak khas,
• Wanita hamil, atau
• Pria yang diduga ISK.
Jumlah koloni bakteri uropatogen ≥103 /mL adalah diagnostik secara mikrobiologis pada
wanita yang menunjukkan gejala sistitits akut non komplikata.Wanita yang menunjukkan
gejala yang tidak spesifik dan gagal dalam terapi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
lainnya. Pada pria dengan ISK harus dilakukan evaluasi urologis termasuk pemeriksaan colok
dubur untuk menentukan antara lain apakah terdapat kelainan pada prostatitis.14
6. Penatalaksanaan
Pilihan antibiotik untuk terapi sebaiknya dengan panduan pola resistensi kuman dan uji
sensitivitas antibiotik di rumah sakit atau klinik setempat, tolerabilitas obat dan reaksi negatif,
efek ekologi negatif, biaya, dan ketersediaan obat. Lama pemberian antibiotik tergantung dari
obat yang digunakan dan berkisar dari 1-7 hari.14
7. Follow up
Urinalisis dan/atau kultur urin dilakukan bila pasca pengobatan masih terdapat gejala. Pada
mereka yang gejalanya berhenti tapi muncul kembali dalam 2 minggu, sebaiknya juga
dilakukan kultur urin dan uji sensitivitas antimikroba.13
Pielonefritis Akut Non Komplikata
1. Definisi
Pielonefritis akut non komplikata adalah infeksi akut pada parenkim dan pelvis ginjal dengan
sindroma klinis berupa demam, menggigil dan nyeri pinggang yang berhubungan dengan
bakteriuria dan piuria tanpa adanya faktor risiko. Faktor risiko yang dimaksud adalah kelainan
struktural dan fungsional saluran kemih atau penyakit yang mendasari yang meningkatkan
risiko infeksi atau kegagalan terapi antibiotika.14
2. Gejala dan Tanda
Pielonefritis akut ditandai oleh menggigil, demam (>38oC), nyeri pada daerah pinggang yang
diikuti dengan bakteriuria dan piuria yang merupakan kombinasi dari infeksi bakteri akut pada
ginjal.15
3. Diagnosis
Urinalisis (dapat menggunakan metode dipstik) termasuk penilaian sel darah merah dan putih,
dan nitrit, direkomendasikan untuk diagnosis rutin. Hitungan koloni uropatogen ≥104 /mL
dianggap sebagai petanda bakteriuria yang bermakna secara klinis. Pada pasien dengan cedera
korda spinalis dan pasien lanjut usia diagnosis akan lebih sulit ditegakkan karena tidak dapat
melokalisasi bagian tubuh yang sakit.
Pada wanita hamil perlu diberikan perhatian khusus karena akan memberikan dampak yang
lebih berat baik terhadap ibu maupun janin. Kebanyakan pria dengan ISK disertai demam ada
hubungannya dengan infeksi prostat yang dapat dilihat dari peningkatan PSA dan volume
prostat sehingga evaluasi urologi rutin harus dilakukan.15
4. Pemeriksaan radiologi
Evaluasi saluran kemih bagian atas dengan USG dan foto BNO untuk menyingkirkan
kemungkinan obstruksi atau batu saluran kemih. Pemeriksaan tambahan, seperti IVP/CT-scan,
seharusnya dipertimbangkan bila pasien masih tetap demam setelah 72 jam untuk
menyingkirkan faktor komplikasi yang lebih jauh seperti abses ginjal. Untuk diagnosis faktor
penyebab yang kompleks pada wanita hamil, USG atau magnetic resonance imaging (MRI)
dijadikan pilihan untuk menghindari risiko radiasi pada janin.13
5. Penatalaksanaan
Waktu pemberian antibiotika berkisar antara 10 – 14 hari, sementara pilihan antibiotika
disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemberian antibiotika juga harus memperhatikan pola
resistensi kuman dan uji sensitivitasnya. Apabila respon klinik buruk setelah 48-72 jam terapi,
perlu dilakukan re-evaluasi bagi adanya faktor pencetus komplikasi dan efektivitas obat, serta
dipertimbangkan perubahan obat atau cara pemberiannya.14
6. Follow up
Urinalisis (termasuk dengan dipstik) rutin dilakukan pasca pengobatan. Pada penderita
asimtomatis, kultur rutin pasca pengobatan tidak diindikasikan. Kultur urin ulang dilakukan
pada wanita hamil sedangkan pada pasien yang tidak membaik selama 3 hari dan pasien dengan
infeksi ulang setelah 2 minggu. Pemerksaan pencitraan seperti USG, CT dianjurkan.14

Infeksi saluran kemih komplikata


Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan dengan suatu
kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional saluran genitourinari atau adanya
penyakit dasar yang mengganggu dengan mekanisme pertahanan diri individu, yang
meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi. Infeksi saluran kemih
komplikata disebabkan oleh bakteria dengan spektrum yang lebih luas dibandingkan infeksi
saluran kemih non komplikata dan lebih sering resisten terhadap antimikroba. Berkenaan
dengan prognosis dan studi klinis, pasien ISK komplikata dikelompokkan menjadi dua.
1. Pasien dengan faktor komplikasi dapat dihilangkan oleh terapi, misal.,
ekstraksi batu, melepas kateter;
2. Pasien dimana faktor komplikasi tidak bisa atau tidak dapat dihilangkan dengan terapi,
misal., penggunaan kateter menetap, sisa batu setelah tindakan
atau neurogenic bladder.14

Faktor risiko terjadinya ISK komplikata antara lain


• Penggunaan kateter, splint, stent, atau kateterisasi kandung kemih berkala
• Residual urin >100ml
• Obstruksi saluran kemih atas maupun bawah
• Refluks vesikoureteral
• Diversi saluran kemih
• Kerusakan urotelium karena kimia ataupun radiasi
• ISK yang terjadi saat peri-/post- tindakan, contoh transplantasi ginjal
Gejala Klinis
Suatu ISK komplikata diikuti dengan gejala klinis seperti dysuria, urgensi, frekuensi, nyeri
kolik, nyeri sudut kostoverteba, nyeri suprapubik dan demam. Gejala saluran kemih bagian
bawah (LUTS) dapat disebabkan oleh ISK tapi juga oleh gangguan urologi lainnya, seperti
misalnya benign prostatic hyperplasia (BPH) atau transurethral resection of the prostate
(TURP). Kondisi medis seperti diabetes mellitus (10%) dan gagal ginjal seringkali ditemukan
dalam sebuah ISK komplikata.14
Diagnosis
Bakteriuria yang signifikan pada ISK komplikata didefinisikan sebagai perhitungan
uropathogen ≥105 cfu/mL dan ≥104 cfu/mL, pada urin porsi tengah baik pada wanita maupun
pria. Jika sampel urin diambil dari kateter, ≥104 cfu/mL bisa dianggap relevan. Piuria adalah
≥10 sel darah putih per high-power field (400 x) untuk sampel urin yang disentrifugasi.
Pemeriksaan dipstick dapat digunakan untuk pemeriksaan rutin, termasuk uji leukosit esterase,
hemoglobin dan reaksi nitrit. Pada ISK komplikata, selain ditemukan mikroba, harus
didapatkan kelainan anatomi atau fungsional saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar.
Mikroba penyebab tersering adalah E. Coli, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, Serratia, dan
Enterococci.14
Kondisi Khusus yang Berkaitan dengan ISK Komplikata
1. Batu saluran kemih
2. Penggunaan kateter
3. Adult Polycystic Kidney Diseases (APCKD)
4. Nefritis bakterial
5. Abses renal/perinefrik
6. Pielonefritis emfisematus
7. Xanthogranulomatous pielonefritis
8. Transplantasi ginjal
Tujuan terapi infeksi salurah kemih komplikata adalah tata laksana kelainan urologi, terapi anti
mikroba, dan terapi suportif.13.14

Anda mungkin juga menyukai