PEMBAHASAN
Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ulkus Mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Arthritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak, atau efusi.
a) Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b) Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
c) Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan manifestasi lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
Mulai tahun 2012 terdapat kriteria diagnosis menurut SLICC atau Systemic Lupus
International Collaborating Clinics yang tertera pada tabel 9.
Tabel 9. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Berdasarkan SLICC 20124
Lupus malar rash (do not count if malar discoid), bullous lupus, toxic
epidermal necrolysis variant of SLE, maculopapular lupus rash,
photosensitive lupus rash (in the absence of dermatomyositis).
3 Oral ulcers
4 Non-scarring alopecia
Diffuse thinning or hair fragility with visible broken hairs (in the
absence of other causes such as alopecia areata, drugs, iron
deficiency, and androgenic alopecia)
6 Serositis
7 Renal manifestations
8 Neurological manifestations
9 Hemolytic anemia
10 Leucopenia/Lymphopenia
Leucopenia <4000 mm3 at least once (in the absence of other known
causes such as Felty’s, drugs, and portal hypertension)
11 Thrombocytopenia
< 100000 mm3 at least once (in the absence of other known causes
such as drugs, portal hypertension and TTP
IMMUNOLOGICAL CRITERIA
12 ANA
13 anti-ds DNA
14 anti-Sm
16 Low complement
Diagnosis untuk pasien SLE menurut SLICC adalah dengan memenuhi 4 kriteria
dengan syarat minimal terdapat 1 kelainan imunologi dan 1 kelainan klinis.5
Pada kasus ini, pasien tidak dilakukan skoring untuk diagnosis SLE. Total skor dari
kriteria diagnosis SLE menurut ACR adalah 6 dari 11 kriteria. Total skor dari kriteria
diagnosis SLE menurut SLICC adalah 5 dari 17 kriteria.
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut
obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:3
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf
pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang apabila ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang (lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50 x 106 / mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu
a. Jantung: endocarditis Libman-sacks, vasculitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b. Paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vasculitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferative dana tau membranous.
e. Kulit: vasculitis beratm ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polyneuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1000/mm3), trombositopenia
<20.000/mm3, purpura trombotik trombositepenia, thrombosis vena atau arteri.
Pada kasus tidak ditemukan tanda atau gejala yang mengancam nyawa dan terdapat
efusi pericardium tanpa tamponade jantung pasien belum dilakukan biopsy ginjal. Dari skor
SLEDAI aktivitas SLE dengan kriteria mild-moderate flare
Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi penyakit ini berguna sebagai
panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI,
MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MES-SLEDAI
atau MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari
tersedianya fasilitas laboratorium canggih.5
Pada pasien ini dilakukan penilaian aktivitas SLE berdasarkan penilaian aktivitas
SLEDAI-Selena Modification seperti sebagai berikut.
SLE adalah kelainan autoimun multisistem heterogen yang ditandai dengan manifestasi
sistem organ yang bervariasi dari waktu ke waktu dan adanya autoantibodi pada tingkat
intraselular. Abnormalitas hematologi sering ditemukan pada SLE. Gangguan hematologi pada
satu penelitian terjadi pada 59% , atau berkisar antara 50 – 70 %. Semua elemen seluler darah
dan koagulasi terganggu pada pasien SLE. Manifestasi hematologi mayor SLE adalah anemia,
leukopenia, trombositopenia, dan antiphospholipid syndrome (APS).7
Pada pasien IN ini juga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan
diagnosis nefritis lupus karena berdasarkan pemeriksaan penunjang ditemukan adanya
kelainan pada ginjal. USG abdomen didapatkan adanya peningkatan ekogenitas korteks kedua
ginjal, cenderung proses kronis ginjal kanan,kiri. Peningkatan ureum 188mg/dL dan kreatinin
2.08 mg/dL. Pasien sudah dilakukan biopsi ginjal, namun hasil pemeriksaan belum jadi sampai
pasien dipulangkan. Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan SLE.
Lebih dari 70% pasien SLE mengalami keterlibatan ginjal sepanjang perjalanan penyakitnya.
Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal
yang akan berakhir dengan transplantasi atau cuci darah.9
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontraindikasi, maka seyogyanya biopsi
ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi
kelainan histopatologik ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat.
Klasifikasi kriteria World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah
diperbaharui oleh International Society of Nephrolog dan Renal
Pathology Society (ISN/RPS) tahun 2003. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi
dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasifikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
Anemia ditemukan pada 50% pasien SLE, berbagai mekanisme berperan dalam
terjadinya anemia, termasuk inflamasi, insufisiensi renal, kehilangan darah, intake yang
kurang, obat-obatan, hemolisis, infeksi, hipersplenisme, mielofibrosis, mielodisplasia, dan
adanya patogenesis autoimun pada anemia aplastik. Keterlibatan autoantibodi, kompleks imun,
sel T sitotoksik sebagai mekanisme efektor tertahannya progenitor pertumbuhan, inhibisi
diferensiasi, apotosis, atau disfungsi sel sum sum tulang stromal.Trombositopenia < 50.000
/mcL ditemukan pada 10% pasien. Hal ini sering disebabkan oleh destruksi trombosit mediasi
imun. Juga dapat akibat pemakaian trombosit pada anemia hemolitik mikroangiopatik atau
gangguan produksi trombosit akibat penggunaan obat obat sitotoksik, imunosupresif.9,10
Pada kasus diketahui berdasarkan pemeriksaan darah rutin tanggal 9 Februari 2019
Hb 10,8 gr/dl (L), Ht 32,5 % (L), Eritrosit 3,58 x 106/ ul (L), MCH 30,5 Pg, MCV 90,8 Fl,
reticulosit 4,6% (H). sehingga pasien didiagnosis anemia ringan normositik normokromik.
Penyebab anemia yang sering pada SLE adalah tertekannya eritropoesis akibat
inflamasi kronik,merupakan jenis yang paling sering (60 – 80%). Anemia ini bersifat
normositik normokrom dengan jumlah retikulosit yang relatif rendah. Walaupun kadar serum
iron dapat rendah namun penyimpanan besi di sumsum tulang cukup adekuat dan konsentrasi
feritin serum meningkat. Bila tidak terjadi gejala yang berhubungan dengan anemia ( mis: sesak
nafas saat beraktifitas, mudah lelah) atau insufisiensi renal, anemia penyakit kronik tidak
memerlukan pengobatan khusus.11
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) ditandai dengan peningkatan retikulosit, kadar
haptoglobin yang rendah, peningkatan bilirubin indirek, dan tes Coomb positif. Anemia ini
ditemukan pada 10% penderita SLE. AIHA respon terhadap pemberian steroid ( Prednison
1mg/kg/hari pada 75-96% pasien). 11,12
Pada pleuritic lupus, karakteristik cairan pleura umumnya adalah eksudat, dengan kadar
glukosa dan Ph normal, peningkatan LDH dalam < 600IU/l pada efusi pleura. Dalam penelitian
terbaru, tiga pasien (dua dengan pleuritis lupus aktif dan satu dengan efusi pleura transudatif
dari lupus nephritis) memiliki efusi pleura sebagai manifestasi pertama SLE, dan dua pasien
dengan lupus pleuritis adalah laki-laki. Namun, pasien-pasien ini juga menunjukkan kelainan
hematologi seperti leukopenia, anemia hemolitik dan trombositopenia. Lebih lanjut, kelainan
hematologi terjadi lebih sering diamati pada pasien SLE dengan efusi pleura dibandingkan
pada pasien non-SLE. Dengan demikian, SLE harus dicurigai ketika
kelainan hematologi terlihat pada pasien dengan efusi pleura penyebab tidak pasti.10
Hipoalbuminemia bukan suatu indikasi untuk pemberian albumin karena
hipoalbuminemia tidak berhubungan langsung dengan plasma dan volume cairan lainnya,
tetapi disebabkan kelebihan dan defisit cairan di intravaskular yang disebabkan dilusi, penyakit
dan faktor distribusi. 11
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak adekuat (malnutrisi,
luka bakar, infeksi dan pada bedah mayor), katabolisme yang berlebihan (luka bakar, bedah
mayor, dan pankreatitis), kehilangan albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang
berlebihan, redistribusi dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi).8,10,11
Pada kasus diketahui kadar albumin pasien 2,43 g/dl. Tidak diberikan pemberian
albumin melainkan hanya diet tinggi protein.
Albumin dalam aspek klinis digunakan dalam beberapa hal yaitu: hypovolemia,
hypoalbuminemia, luka bakar, adult respiratory distress syndrome, untuk mengikat dan
mengeluarkan bilirubin toksik pada neonatus dengan penyakit hemolitik, dsb.
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai 60
mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L) berada dalam cairan
intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang
mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat
(NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan
perubahan konsentrasi natrium.11
Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh keseimbangan
GibbsDonnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel
disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya
kalium ke dalam sel (pompa Na+ K + ).
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang
masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel
mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran
cerna atau keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144
mEq.12
Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya
turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal (135-145 mEq/L) dan
hipernatremia bila konsentrasi natrium plasma meningkat di atas normal. Hiponatremia
biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas dan hipernatremia berkaitan dengan
hiperosmolalitas. Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma.10
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari 10%.
Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas hampir
mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna
bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L.8,9
Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium
pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat akan
meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan
fisik dan demam.8
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan
untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan
volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65%
di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya
direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%).
Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi
natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas.9
Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipo osmotik seperti
pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat yang berkepanjangan, berhubungan dengan
penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan penggunaan diuretik
secara berlebihan. 6,8
Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan
gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, penyakit addison, serta retensi air yang
berlebihan (overhidrasi hipo-osmotik) akibat hormon antidiuretik. Kepustakaan lain
menyebutkan bahwa respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran
ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah).
Pseudohiponatremia dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma, yaitu pada kondisi
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia, hiperproteinemia dan hiperglikemia serta kelebihan
pemberian manitol dan glisin.8
Pada kasus, diketahui kadar natrium pasien adalah 132,9 mmol/L, termasuk
hyponatremia. Dilakukan koreksi hyponatremia dengan pemberian infus NaCL 0,9% 20 tpm.
Pada kasus ini juga terdapat kardiomegali. Kardiomegali merupakan pembesaran
jantung yang dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, RVH, atau oleh
efusi pericardium. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa iktus kordis teraba
di SIC V 2 cm lateral linea misclavicularis sinistra yang normalnya berada pada SIC V medial
linea midclavicularis sinistra, serta pada perkusi didapatkan batas jantung kiri bergeser ke
lateral yaitu pada SIC V 2 cm linea midclavicularis sinistra dimana normalnya berada pada SIC
V medial linea midclavicularis sinistra. Hal ini menandakan bahwa terdapat pembesaran
ventrikel kiri jantung. Hasil pemeriksaan fisik ini perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang echocardiography. Berdasarkan pemeriksaan echocardiography yang telah
dilakukan pada tanggal 8 Februari 2019 didapatkan hasil bahwa terdapat left ventricle
hypertrophy (LVH), Left Atrium Hyperthrophy (LAH) dan adanya efusi pericardium.9
Pada pasien ini juga ditemukan adanya bakteriuria. Berdasarkan pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji sensitivitas didapatkan infeksi bakteri proteus mirabillis dengan terapi
antibiotik ciprofloxaxin. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui jenis dari infeksi
saluran kemih.