Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325386268

ANALISIS MISKONSEPSI SISWA PADA RUANG DIMENSI TIGA DITINJAU DARI


KECERDASAN VISUAL-SPASIAL SISWA KELAS X SMA

Article · May 2018

CITATIONS READS

0 1,418

2 authors:

Wildah Romaito Napitupulu Edy Surya


State University of Medan State University of Medan
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    262 PUBLICATIONS   437 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Development of Learning Devices Oriented Problem Based Learning to Increase Student’s Combinatorial Thinking in Mathematical Problem Solving Ability View project

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK DI MTS AR RIDHA MEDAN View project

All content following this page was uploaded by Wildah Romaito Napitupulu on 02 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ANALISIS MISKONSEPSI SISWA PADA RUANG DIMENSI TIGA
DITINJAU DARI KECERDASAN VISUAL-SPASIAL
SISWA KELAS X SMA

1
Wildah Romaito Napitupulu, 2Edy Surya
1,2
PPs Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Medan, Indonesia
Email: wildah18npt@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis miskonsepsi dan
mengetahui penyebab miskonsepsi yang terjadi pada siswa dalam materi pokok
ruang dimensi tiga yang ditinjau dari kecerdasan visual-spasial dan perbedaan
gender siswa. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, dengan strategi penelitian yaitu deskriptif kualitatif. Subjek
penelitian menggunakan pemilihan sampel bertujuan (purposive sample), dipilih
5 subjek penelitian, 1 subjek dengan kecerdasan visual-spasial tinggi, 2 subjek
dengan kecerdasan visual spasial sedang dan 2 subjek dengan kecerdasan visual
spasial rendah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah 1) metode
observasi, 2) metode tes yang meliputi tes kecerdasan visual-spasial dan tes
diagnostok yang dilakukan kepada siswa, 3) metode wawancara dilakukan
kepada siswa yang mengalami miskonsepsi disesuaikan dengan kecerdasan
visual-spasial siswa tersebut Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) siswa yang
memiliki kecerdasan visual-spasial tinggi tidak mengalami miskonsepsi, 2) siswa
yang memiliki kecerdasan visual spasial sedang jenis miskonsepsi teoritikal, 3) siswa
yang memiliki kecerdasan visual spasial yang rendah bentuk miskonsepsinya adalah
toeritikal, klasifikasional, dan korelasional. Penyebabnya adalah siswa salah dalam
memahami definisi kedudukan dua bidang, siswa tidak bisa membayangkan gambar
pada soal dengan baik, dan siswa tidak memperhatikan penjelasan guru.

Kata kunci: Miskonsepsi, Jenis Miskonsepsi, Kecerdasan Visual-Spasial, Ruang


Dimensi Tiga
PENDAHULUAN
Pemahaman konsep merupakan tahap yang paling mendasar yang harus
dicapai siswa agar dapat lebih mudah untuk melanjutkan tingkat pemahaman
matematika ke tahap selanjutnya. Siswa dikatakan telah memahami suatu konsep
apabila telah memenuhi suatu kriteria. Adapun kriteria tersebut menurut P.
Sukisman (dalam ainiyah, 2015: 2) yaitu paham, salah konsep, dan tidak paham.
Kesalahan konsep bukanlah hal yang baru bagi dunia pendidikan. Banyak sekali
masalah dalam pembelajaran terkait dengan kesalahan konsep yang dialami siswa
terutama dalam mata pelajaran matematika. Kekeliruan atau kesalahan konsep ini
disebut miskonsepsi.
Menurut Paul Suparno (2013) miskonsepsi adalah suatu konsep yang
tidak sesuai dengan konsep yang diakui para ahli. Miskonsepsi dalam matematika
dapat menjadi masalah serius jika tidak segera diperbaiki, sebab kesalahan satu
konsep dasar saja dapat menuntun seorang siswa pada kesalahan yang terus
menerus. Karena konsep dasar matematika akan terus diaplikasikan ke materi
selanjutnya. Lebih lanjut ditegaskan oleh Pines (dalam Gradini, 2016:53)
miskonsepsi adalah hubungan antar konsep yang diperoleh bias jadi tidak tepat
dengan beberapa konteks. Dalam penelitian ini akan dianalisis jenis miskonsepsi
yang didasarkan pada jenis konsep yang didefinisikan oleh Moh. Amien (dalam
Ainiyah, 2015:4), yaitu:
1. Miskonsepsi klasifikasional, merupakan bentuk miskonsepsi yang
didasarkan atas kesalahan klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan
yang terorganisir.
2. Miskonsepsi korelasional, merupakan bentuk miskonsepsi yang
didasarkan atas kesalahan mengenai kejadian-kejadian khusus yang saling
berhubungan, atau observasi-observasi yang terdiri atas dugaan-dugaan
terutama berbentuk formulasi prinsip-prinsip umum.
3. Miskonsepsi teoritikal, merupakan bentuk miskonsepsi yang didasarkan
atas kesalahan dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian
dalam system yang terorganisir.
Miskonsepsi merupakan sebuah permasalahan yang pasti memiliki
penyebabnya. Penyebab siswa mengalami miskonsepsi pun bermacam-macam,
baik itu dari faktor internal maupun faktor eksternal.
Dalam matematika masalah biasanya berasal dari masalah matematika,
tetapi tidak semua masalah matematika dapat dijadikan sebagai masalah. (dalam
Putri, 2017:1) Berdasarkan hasil observasi dan wawancara sebelum mengukur
kecerdasan visual spasial siswa, ternyata banyak siswa menemukan kesulitan
dalam menyelesaikan masalah matematika yang berhubungan dengan geometri.
Hal ini dikarenakan siswa-siswa menemukan kesulitan untuk membayangkan
sebuah obyek dalam pikiran mereka. Kemampuan untuk melihat obyek dalam
pikiran mereka bersumber dari kemampuan spasial.
Dalam menafsirkan, memahami, dan menilai dunia kita ini tidak terlepas
dari peran geometri. Geometri merupakan salah satu cabang matematika yang
membahas tentang perlunya kemampuan visual spasial. Pentingnya kemampuan
spasial dikemukakan oleh Wai,dkk (dalam Davist, 2015:3) “ Extensive research
has shown that spatial ability and success in STEM (Sains, Technology,
Engeenering, and Mathematics) domains are strongly correlated.” Artinya
penelitian mendalam menunjukkan bahwa kemampuan spasial dan kesuksesan di
STEM ( Sains, teknologi, teknik, dan matematika) berkorelasi dengan kuat.
Kemampuan visual-spasial mempengaruhi siswa dalam proses pembelajaran.
diakui memang matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak. Oleh
karena itu, guru perlu berhati-hati dalam menanamkan konsep-konsep
matematika. Beberapa penemuan mengindikasikan bahwa geometri merupakan
cabang matematika yang paling sulit tidak hanya bagi peserta didik tetapi juga
guru.
Bangun ruang dimensi tiga merupakan ruang lingkup dari geometri.
Geometri merupakan kunci untuk memahami alam dengan segala bentuknya
yang ada di dunia. Menurut Usiskin (dalam Sulaiha, 2016: 1), terdapat 3 alasan
tentang pentingnya geometri: pertama, geometri merupakan satu-satunya ilmu
yang dapat mengaitkan matematika dengan bentuk fisik dunia nyata. Kedua,
geometri satu-satunya yang memungkinkan ide-ide dari bidang matematika yang
lain untuk digambar. Ketiga, geometri dapat memberi contoh yang tak tunggal
tentang sistem matematika. Namun, masih banyak siswa yang berasumsi bahwa
matematika adalah pelajaran yang sulit.
Pada dasarnya geometri memiliki peluang lebih besar untuk dipahami
oleh siswa, karena siswa belajar bentuk-bentuk geometri dimulai sejak Sekolah
Dasar bahkan sebelum sekolahpun sudah mengenalinya dengan benda-benda
yang ada di sekitar. Namun, meskipun sudah diajarkan pada kenyataannya di
lapangan bahwa materi geometri kurang dikuasai oleh sebagian siswa, masih
banyak yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri.
Menurut Sunsuma (dalam T.R, Fabiyi, 2017:84) “Geometry appears
naturally in the structure of the solar system, a geological formation, rocks and
crystals, plants and flowers, and even in animals. It is also a major part of the
synthetic world such as art, architecture, cars, machines, and virtually everything
humans create. In the same vein, studies revealed that geometry is applicable and
relevant to employment in everyday live, other subjects in the curriculum such as
science, arts, and technology. Also, geometry is used to develop students’
spatialawareness, intuition, visualizations and to solve practical problems and so
on.” Artinya geometri muncul secara alamiah dalam bentuk system tata surya,
permukaan muka bumi, tebing, kristal, tanaman, bunga-bunga, dan bahkan pada
hewan. Hal ini juga yang menjadi bagian utama buatan manusia seperti, seni,
arsitektur, mobil-mobil, permesinan, dan segala sesuatu ciptaan manusia yang
bersifat maya. Dalam kasus yang sama, geometri diterapkan dan bersumber
dalam kehidupan sehari-hari, pelajaran lain dalam kurikulum seperti Ipa, seni,
dan teknologi. Juga, geometri digunakan untuk mengembangkan kemampuan
spasial siswa, perasaan, penglihatan, penyelesaian masalah praktis, dan yang
lainnya. Dari pernyataan itu ternyata matematika memiliki kajian yang konteks
dengan kehidupan kita bahkan dapat bersumber dari hasil kebudayaan kita sendiri
termasuk geometri khususunya bangun ruang dimensi tiga. Bangun ruang
dimensi tiga telah kita kenal seperti, bak mandi, lemari, korek api, mangkuk, dan
yang lainnya.
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) 2015 menentukan
standar matematika sekolah, yaitu: bilangan dan operasinya, aljabar, geometri,
pengukuran, peluang dan analisis data, pemecahan masalah, penalaran, dan
pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi. Salah satu yang dinyatakan
oleh NCTM dalam standar isi pembelajaran matematika adalah geometri yang di
didalamnya terdapat unsur penggunaan visualisasi, penalaran spasial, dan
pemodelan geometri untuk menyelesaikan masalah. Menurut gunhan (dalam
setyawan,2017: 126) melihat pentingnya pembelajaran geometri termasuk di
dalamnya bangun ruang dimensi tiga geometri merupakan cara penting untuk
memahami dunia nyata. Karena, kita melihat konsep-konsep geometri di mana-
mana. Namun, banyak penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak
menemukan banyak kesulitan untuk memahami objek atau gambar bangun
geometri.
Matematika disadari sangat penting peranannya ,oleh karena itu pelajaran
matematika perlu diberikan kepada peserta didik mulai dari pendidikan dasar
hingga keperguruan tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Hasratuddin (2015)
bahwa “matematika adalah suatu sarana atau cara untuk menemukan jawaban
terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi,
menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan
penegtahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan
dalam diri manusia itu sendiri untuk melihat dan menggunakan hubungan-
hubungan.” Keseluruhan dari standar proses pembelajaran matematika adalah
kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Hal ini dikarenakan dalam
matematika semua materi yang disajikan adalah masalah yang ahrus diselesaikan
oleh siswa dengan bekal kemampuan matematika terdiri dari penalaran,
pemahaman konsep, komunikasi, representasi, koneksi,dan berpikir kreatif.
Sehingga, untuk membentuk seluruh kemampuan itu diperlukan penguasaan
materi pembelajaran guru dengan tujuan menghindari kesalahan konsep pada
pelajaran matematika, termasuk bangun ruang dimensi tiga.
Menurut Gagner (dalam Syahputra,2017:113) One of the importance of spatial
abilities conveyed by Barke et al (200 spatial ability is a major intelligence factor
that is not only important for math and science but also necessary for success in
many professions. reveals that spatial intelligence is the ability to perceive the
world and spatial accurately. This intelligence includes sensitivity to the colors,
lines, shapes and relationships between them. Syahputra (2011) mentions that"in
the context of cross-science relations, spatial ability is very necessary. It does not
only enable students to solve problem briefly and accurately but also to see and
observe the sign of natures. Dengan demikian pentingnya kecerdasan visual-
spasial akan membawa banyak kesuksesan tidak hanya dalam proses belajar
tetapi dalam profesi.
Hal ini dapat dilihat dari hasil karya manusia seperti pada seni, khususnya
batik dan seni rupa. Untuk itu diperlukan kemampuan visual-spasial yang baik.
Selanjutnya, Zhukovzky (2008: 9) mengatakan bahwa informasi yang didapat
seseorang tidak dapat disampaikan oleh orang lain secara langsung tanpa
mempresentasikan informasi ke dalam bentuk struktur dengan jelas. Visual
Thinking adalah pikiran abstrak ke dalam pikiran ilmiah dan merupakan jembatan
kognitif antara pikiran verbal dan aktivitas praktis antara kata dan aktivitas. yang
digunakan dalam pembelajaran matematika dapat menjadi alat yang ampuh untuk
mengeksplorasi masalah matematika dan memberi makna pada konsep
matematika dan hubungannya (Roska & Rolka, 2006). Banyak penelitian telah
menyoroti manfaat visualisasi yang berkaitan dengan pemecahan masalah
matematika (Presmeg, 1986a;Presmeg 1986b; Kent 2000; Mariotti, 2000; Slovin,
2000; Thornton, 2001; Yin, 2011).
Pada kenyataannya di lapangan 5 orang siswa yang diobservasi dan diberi
tes diagnostic ternyata mereka mengalami kesulitan dalam mengerjakan masalah
matematika yang berkaitan dengan bangun ruang dimensi tiga. Hal ini dapat
dilihat dari proses jawaban siswa yang ditemukan peneliti, yaitu:
Dari penggalan jawaban di atas, siswa menjawab salah karena menuliskan ∠ABC
sebagai sudut yang terbentuk antara bidang ACF dan BCGF. Kemungkinan siswa
tidak memahami garis perpotongan dua bidang dan konsep dalam mencari sudut
pada ruang dimensi tiga. Dari proses jawaban siswa tersebut siswa mengalami
miskonsepsi terhadap masalah yang diberikan. Hal ini dapat menjadi indikasi
bahwa penguasaan konsep geometri yang diberikan oleh guru belum menyentuh
ke dalam pengetahuan siswa.
Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya oleh Putri (2017) dari hasil
penelitiannya menunjukkan ada hubungan yang positif kemampuan spasial dan
kemampuan matematika dalam pemecahan masalah geometri oleh siswa yang
memiliki level kemampuan spasial yang tinggi, sehingga penguasaan konsep
pada materi geometri haruslah kuat. Hayati (2017) menyimpulkan bahwa siswa
masih bingung dalam memahami materi dimensi tiga dilihat dari kecerdasan
visual-spasial berada pada kategori cukup dengan jenis miskonsepsi
clasificational. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Özerem (2012) yang
menyimpulkan bahwa penguasaan siswa terhadap geometri masih rendah. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya kesalahan
(miskonsepsi) yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal geometri.
Kesalahan disebabkan oleh rendahnya penguasaan konsep geometri dan
rendahnya analisis terhadap unsur-unsur geometri yang berkaitan dengan
penyelesaian masalah. Sejalan dengan hal tersebut, Candraningrum (2010) dalam
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa penguasaan siswa pada geometri masih
rendah dengan masih ditemukan kesalahan yang dilakukan siswa dalam
menyelesaikan soal geometri. Penguasaan siswa yang rendah pada materi
geometri terutama pada penguasaan konsep pada kedudukan titik, garis, dan
bidang dalam ruang. Rendahnya penguasaan siswa terhadap pemahaman konsep
geometri menyebabkan kesalahan menjawab soal tes.
Dalam pembelajaran matematika geometri khususnya konsep dasar
bidang datar lingkaran, siswa masih kurang menguasai dasarnya. Sehingga untuk
memahami konsep selanjutnya pada materi bangun ruang sisi dimensi tiga
dibutuhkan suatu kemampuan dalam memahami bentuk gambar atau ruang,
sedangkan kemampuan visual-spasial siswa memiliki daya tangkap yang
berbeda-beda. Untuk itu peneliti mencoba mendeskripsikan jenis-jenis
miskonsepsi terhadap materi bangun ruang dimensi tiga yang ditinjau dari
kecerdasan visual-spasial.

METODE
Penelitian ini dilakukan dengan subjek penelitian siswa kelas X SMA sebanyak 5
orang. 1 subjek dengan kecerdasan visual-spasial tinggi, 2 subjek dengan
kecerdasan visual spasial sedang dan 2 subjek dengan kecerdasan visual spasial
rendah. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah tes dan wawancara. Penentuan subjek
penelitian ini menggunakan sampel bertujuan. Tes yang diberikan pada penelitian
ini adalah tes diagnostik. Selanjutnya, Peneliti melakukan wawancara untuk
memastikan kesalahan atau memperdalam miskonsepsi yang dimiliki siswa pada
materi bangun ruang dimensi tiga dan memverifikasi hasil data tes. Wawancara
dilakukan pada beberapa subjek yang dipilih berdasarkan miskonsepsi yang
paling banyak terjadi pada siswa. Teknik analisis data dalam dilakukan dalam
tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Pemeriksaan keabsahan data dengan triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini
adalah triangulasi metode, yaitu dengan membandingkan data hasil tes yang
diverifikasi dengan wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tes konsepsi mengenai materi pokok ruang dimensi tiga dikerjakan oleh
10 siswa kelas X SMA. Dari hasil tes tersebut, didapatkan data yaitu berupa
jawaban tes yang telah dikerjakan siswa yang terdiri dari 6 siswa yang
mengalami miskonsepsi, sedangkan 3 siswa yang lain adalah siswa yang telah
memahami konsep dan 1 tidak memahami konsep. Data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah jawaban siswa dari tes tersebut yang mengandung
miskonsepsi. Adapun hasil data tes diagnostik sebanyak satu siswa dengan kategori
tinggi teridentifikasi miskonsepsi. Selanjutnya 2 siswa dengan pada kategori sedang
dan 2 siswa dengan kategori rendah lebih banyak teridentifikasi miskonsepsi.
Sehingga kelima siswa tersebut dijadikan subjek penelitian.
Berikut ini akan disajikan analasis miskonsepsi dari subjek penelitian
dalam mengerjakan soal pada materi ruang dimensi tiga kelas X disertai
kemungkinan penyebab miskonsepsinya.

A. Proses Jawaban Siswa

Subjek Penelitian 1

1) Soal nomor 3
Penggalan jawaban siswa :

Dari penggalan jawaban di atas, siswa menjawab benar bahwa besar sudut
antara FH dengan BG yaitu 60o, tetapi alasan yang diberikan tidak tepat.
Siswa menyebutkan bahwa ∆AFH adalah segitiga siku-siku di F. Sehingga
besar sudut antara FH dengan BG adalah 60o. Diduga siswa mengalami
miskonsepsi tentang jenis segitiga yang terbentuk. Kemungkinan penyebab
miskonsepsi tersebut adalah siswa salah dalam membayangkan jenis segitiga
yang terbentuk.
Subjek Penelitian 2
1) Pada soal nomor 1c
Penggalan jawaban siswa :

Dari penggalan jawaban siswa di atas siswa menjawab benar bahwa


kedudukan bidang ABL dengan GHK adalah sejajar. Namun alasan yang
diberikan siswa kurang tepat, siswa mengatakan bahwa titik- titik di ∆GHK
merupakan proyeksi titik-titik di ∆ABL. Belum diketahui dengan pasti definisi
proyeksi yang dimaksid siswa seperti apa. Diduga siswa mengalami miskonsepsi
tentang proyeksi dan kesejajaran dua bidang. Kemungkinan penyebab
miskonsepsi tersebut adalah siswa salah dalam memaknai suatu pernyataan dan
kurangnya penekanan guru dalam pemahaman konsep proyeksi.

2) Pada soal nomor 2b


Penggalan jawaban siswa :
Dari penggalan jawaban di atas, siswa menjawab salah. Siswa salah
dalam memahami konsep jarak dan menjawab jarak bidang PQCD. Mungkin
siswa menganggap tidak perlu menuliskan prosesnya. Kemungkinan penyebab
miskonsepsi tersebut adalah aspek praktis yang sering digunakan untuk
menyelesaikan soal-soal yang sering muncul serta siswa salah dalam
memaknai kata atau pernyataan.

B) Analisis Data Wawancara

Pada penelitian ini, wawancara dilakukan pada 5 subjek penelitian.


Metode wawancara merupakan metode pokok dalam pengumpulan data. Melalui
metode wawancara ini dapat diketahui apakah siswa yang dalam tes diduga
mengalami miskonsepsi memang benar-benar mengalami miskonsepsi atau
tidak. Melalui metode ini pula dapat ditarik kesimpulan tentang jenis- jenis
miskonsepsi siswa serta penyebab miskonsepsi siswa tersebut.
Subjek Penelitian 1
1) Soal nomor 3a
P: “Lanjut nomor tiga ya dik, nomor terakhir, coba dibaca lagi soalnya, ini
yang ditanyakan apa?”
S: “(membaca soal) yang a disuruh menentukan sudut antara segmen garis
FH dan segmen garis BG”
P: “Itu langkah pengerjaannya bagaimana?”
S: “(menunjuk gambar pada soal) ini BG bisa dipindah jadi AH jadi nanti
dibikin segitiga buk”
P: “Dipindah bagaimana nak ?”
S: “Itu mbak, diproyeksikan gitu lho, BG diproyeksikan ke bidang ADHE
jadinya AH”
P: “Kok bisa dapat AH nak?”
S: “Ya soalnya kan proyeksi harus tegak lurus buk, kalau garis BG ditaris
tegak lurus ke bidang ADHE kan dapetnya AH”
Dari petikan wawancara di atas, siswa sudah mengetahui konsep tentang
proyeksi garis ke bidang.

Subjek Penelitian 2
1) Soal nomor 1c

P: “Oke sekarang yang c dik, itu soalnya disuruh apa?”

S: “Kedudukan bidang ABL dengan bidang GHK”


P: “Oke sekarang mencarinya bagaimana nak? “ S: “Itu
sejajar buk”
P: “Alasannya?”
S: “Itu titik L diproyeksikan ke HKG ketemu titik L’ pada
segitiga HKG”

P: “Proyeksi bagaimana nak?”


S: “Diproyeksi buk, ditarik garis tegak lurus gitu”

Dari petikan wawancara di atas, siswa telah memahami konsep proyeksi,


yaitu menarik garis yang tegak lurus.

P: ”Terus selanjutnya?”
S: “Itu tadi K di proyeksikan tegak lurus ke bidang ABL ketemu titik K’
pada segitiga ABL, lha ini jarakya sama mbak antara titik L ke L’
dengan jarak K ke K’, jadi sejajar”
P: “Kok tau kalau sama darimana dik?”
S: “Ya itu mbak, dari gambarnya, soalnya kan sejajar (tertawa)”
P: “Loh, kita kan mau membuktikan kalau bidang nya sejajar dik
(tertawa)”
S: “Bagaimana ya mbak, ya pokoknya itu jaraknya sama, dilihat dari
gambar gitu, makanya sejajar”
P: “Kalau jaraknya sama jadinya sejajar dik?”
S: “Iya mbak, karena jaraknya sama jadinya sejajar”
Dari petikan wawancara di atas, siswa menjawab benar kedudukan dua
bidang adalah sejajar, tetapi alasan yang diberikan kurang tepat. Siswa telah
memproyeksikan titik ke bidang dan menyatakan bahwa jaraknya sama. Siswa
tidak bisa memberi alasan kenapa jaraknya sama sehingga menyatakan bahwa
dua bidang tersebut sejajar.

1) Soal nomor 2b
P: “Oke sekarang lanjut yang nomor 2 b itu yang ditanyakan apa?” S:
”Ini disuruh menghitung jarak bidang PQCD dan bidang ABVW”
P: “Sebelum menghitung jarak, itu kedudukan dua bidangnya bagaimana nak
?”
S: “Sejajar buk” P: “Alasanya?”
S: “Misal titik B diproyeksi ke bidang PQCD dapat titik B’ trus titik C
diproyeksikan ke bidang ABVW dapat titik C’. Jarak BB’ dengan CC’
sama mbak (tertawa)”
P: “Alasan jaraknya sama?”
S: “Karenaaaa dilihat dari gambarnya, dia bidang itu sejajar, jadinya sama”
Dari petikan wawancara di atas, siswa menjawab benar kedudukan dua
bidang adalah sejajar, tetapi alasan yang diberikan kurang tepat. Siswa telah
memproyeksikan titik ke bidang dan menyatakan bahwa jaraknya sama. Siswa
tidak bisa memberi alasan kenapa jaraknya sama sehingga menyatakan bahwa
dua bidang tersebut sejajar.

P: “Hehe, Terus terus jaraknya ini bagaimana?”


S: “Ini kalau dilihat dari samping kan dapat persegi QRVB, terus BV
dihubungkan dan QC dihubungkan, lalu jaraknya inikan sepertiga UR”
P: “Terus?”
S: “Ini mbak kan UR samadengan PW jadi langsung dihitung bisa”
P: “Oke sekarang aku tanya dong, ini jaraknya kenapa sepertiga UR,
kalau menghitung jarak tadi syaratnya apa?”
S: “Tegak lurus buk”
P: “Jadi ini UR ini tegak lurus sama bidangnya ?”
S: “Iya buk”

P: “Menghitungnya tidak pakai BB’ atau CC’ to dik?’


S: “Pakai itu juga bisa sih buk, tapi kan susah menghitungnya, lebih enak
pakai cara cepat ini”
P: “Ooh, ini cara cepat buat mencari jarak to nak?”
S: “Iya buk, di soal-soal sering muncul kok“
P: “Coba dong sekarang cari yang tidak pakai cara cepat (tersenyum)”
S: “Aku lupa buk caranya, bingung, soalnya sudah sering pakai cara cepat ini
(tersenyum)”
Dari petikan di atas, siswa mengerti bahwa dalam menghitung jarak
harus ditarik garis yang tegak lurus, tetapi siswa mengalami miskonsepsi
dalam mengaitkan sudut yang terbentuk. Siswa salah dalam menduga bahwa
UR BV dan UR QC. Kesalahan konsep terjadi karena aspek praktis yang
sering digunakan. Kebanyakan soal yang keluar adalah mencari panjang
sepertiga diagonal, padahal sepertiga diagonal bukan jarak yang dimaksud.
Tetapi siswa menganggapnya sama saja.
Berdasarkan hasil analisis data, siswa mengalami berbagai miskonsepsi
mengerjakan soal materi ruang dimensi tiga. Dari beberapa indikasi miskonsepsi
yang ada, dapat diketahui tipe miskonsepsi siswa ditinjau dari kecerdasan visual-
spasial yang siswa miliki. Hal-hal yang menjadi indikator miskonsepsi ditinjau
dari kecerdasan visual-spasial siswa adalah miskonsepsi teoritikal, miskonsepsi
klasifikasional dan miskonsepsi kolerasional.

PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi
dalam aspek melasanakan rencana pemecahan masalah yaitu
mengimplementasikan rumus yang tidak tepat dan pemahaman geometri meliputi
garis terhadap bidang dan segitiga yang terbentuk tidak tepat. Miskonsepsi pada
aspek ini disebabkan oleh reasoning (penalaran) tidak lengkap atau salah dan
pemikiran humanistic siswa. Dari ketiga kategori kecerdasan visual-spasial siswa,
siswa dengan kecerdasan visual-spasial tinggi tidak mengalami miskonsepsi,
tetapi siswa dengan kecerdasan visual-spasial sedang dan rendah mengalami
miskonsepsi teoritikal.
Dari ketiga kategori kecerdasan visual-spasial siswa, siswa dengan
kecerdasan visual-spasial tinggi dan sedang tidak mengalami miskonsepsi, tetapi
siswa dengan kecerdasan visual-spasial rendah mengalami miskonsepsi
klasifikasional dengan penyebab siswa tidak bisa membayangkan gambar pada
soal dengan baik.
Dari ketiga kategori kecerdasan visual-spasial siswa, siswa dengan
kecerdasan visual-spasial tinggi tidak mengalami miskonsepsi, tetapi siswa
dengan kecerdasan visual-spasial sedang dan rendah dengan penyebab siswa
kurang aktif bertanya dan kurang memperhatikan penjelasan guru serta karena
aspek praktis yang sering keluar pada soal.

DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, dkk. 2015. Profil Kemampuan Spasial Dalam Menyelesaikan


Masalah Geometri Siswa Yang Memiliki Kecerdasan Logis Matematis
Tinggi Ditinjau Dari Perbedaan Gender. Jurnal Daya Matematis;Vol 3
Nomor 1 Maret 2015

Argun, Ziya.2017. Secondary School Students’ Representations For Solving


Geometric Word Problems In Different Clinical Interviews, International
Journal Of Education In Mathematics, Science And Technology; ISSN:
2147-611X published by www.ijemst.com

Arini, L, Surya, E, (2017), Mathematic Approch Effectiveness To Improve


Students’ Visual Thinking Ability, Journal Ijariie, Vol 3-Issue 2, 2017
Gürsoy, K., Güler, M., Bülbül, B. Ö., & Güven, B. (2015). 9. Sınıf öğrencilerinin
sözel problemlerdeki eksik-fazla bilgiye ilişkin farkındalıkları [Awareness
of 9th graders regarding word problems with missing and extra
information]. Alan Eğitimi Araştırmaları Dergisi, 1(1), 13-22.

Herutomo, Rezky Agung. (2014).Analisis Kesalahan dan Miskonsepsi Siswa


Kelas VII pada Materi Aljabar. Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan
Pengajaran 1(2): 173-183

Möhring, W., Newcombe, N. S. & Frick, A. (2015). The relation between spatial
thinking and proportional reasoning in preschoolers. Journal of
Experimental Child Psychology, 132, 213-220. doi:
https://doi.org/10.1016/j.jecp.2015.01.005

Murad, dkk. 2017. The Effect Of Realistic Mathematic Education (RME) In


Improving Primary School Students’ Spatial Ability In SubtopicTwo
Dimension Shape. Journal of Education and Practice; Vol.8, No.34, 2017,
ISSN 2222-1735 (Paper) ISSN 2222-288X (Online) published by
www.iiste.org

Ozerem, Aysen. (2012). Misconception in Geometry and Suggested Solutions foe


Seventh Grade student.International Journal of New Trends in Art, Sport &
Science Education. 1(4):23-35
Schools. Proceeding of Library of Congress Cataloging in Publication
Data, ISBN: 978-0-415-85691-1 (pbk) ISBN: 978-1-315-26759-3 (ebk)

Sulaiha. 2016. Profil Berpikir Geometri Siswa MTs pada Materi Bangun
Segiempat Ditinjau dari Gaya Kognitif. Tesis tidak dipublikasikan.
Surabaya: Program Pascasarjana (PPs) Universitas Negeri Surabaya.

Suparno, Paul. (2013). Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Dalam Pendidikan


Fisika. Jakarta: PT Grasindo.
Surya, E, et,al Improving Of Junior High School Visual Thinking Representation
Ability In Mathematical Problem Solving By Ctl, Indoms Jme Vol 4 Januari
2014 Pp113-126
Surya, E. 2014, Memicu Visualisasi Dan Kreativitas Dalam Pembelajaran
Matematika Membentuk Karakter Positif Siswa, Jurnal Tematik, Vol 4. No.
2. 130-144.

Surya, E. Visual Thinking, Mathematical Problem Solving And Self-Regulated


Learning With Contextual Teaching And Learning Approach ,State
University Of Medan

Syahputra, E. 2013 Peningkatan Kemampuan Spasial Siswa Melalui Penerapan


Pembelajaran Matematika Realistik, Cakrawala Pendidikan, vol. 32 No 3
hal 353-364

T.R, Fabiyi. 2017. Geometry Concepts in Mathematics Perceived Difficult To


Learn By Senior Secondary School Students in Ekiti State, Nigeria; Vol 7,
Issue 1 Ver. I (Jan. - Feb. 2017), PP 83-90, e-ISSN: 2320–7388,p-ISSN:
2320–737X published by www.iosrjournals.org

Weiss,Michael,dkk. 2017. The Learning And Teaching Of Geometry In


Secondary

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai