Anda di halaman 1dari 45

ajajaj

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Fraktur Maksila

Fraktur pada sentral wajah seringkali terjadi akibat

kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan akibat

trauma benda tumpul lainnya. Pada anak-anak, prevalensi

fraktur tulang wajah secara keseluruhan jauh lebih rendah

dibandingkan pada dewasa (Suardi dkk, 2011).

1. Klasifikasi Fraktur Maksila

Menurut Budihardja dan Rahmat (2010), berdasarkan

eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, pola fraktur

maksila terbagi menjadi 3, yaitu:

a. Le Fort I (Fraktur Guerin)

Garis fraktur berjalan dari apertura piriformis di bagian atas

spina nasalis, kemudian berjalan ke dinding sinus maksilaris,

krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung

kaudal prosesus pterigoideus, dinding posterior sinus

maksilaris, hingga kembali ke apertura piriformis.

b. Le Fort II

Maksila terpisah dari wajah bagian tengah dengan bentuk

menyerupai piramida. Garis fraktur berjalan dari sutura

frontonasalis atau sutura frontomaksilaris ke bagian

anteromedial dan dinding inferior orbita terus ke bagian

tengah cincin infraorbital, dinding fasial sinus maksilaris,

krista zigomatikoalveolaris, bagian posterior sinus

maksilaris, prosesus pteriqoideus, fisura orbitalis inferior,


hingga sampai ke garis fraktur pada bagian orbita. Terjadi

juga fraktur di vomer dan lamina perpendikularis.


c. Le Fort III

Fraktur memisahkan viserokranium dan neurokranium.

Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura

frontomaksilaris lewat os. Lacrimale, dinding medial orbita,

foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan terus ke

sutura zigomatikofrontalis. Terjadi juga fraktur arkus

zigomatikus.

Gambar 1. Garis Fraktur Tipe Le Fort I – III.

2. Tanda dan Gejala

Tanda-tanda klinis fraktur yang pasti adalah displacement,

pergerakan rahang yang abnormal, dan krepitasi. Terasa juga

diastase tulang setelah dipalpasi pada bagian vestibulum

maksila khususnya di apertura piriformis dan krista

zigomatikoalveolaris. Sementara itu, tanda-tanda fraktur yang

tidak pasti antara lain: bengkak, hematoma, perdarahan,

protusio bulbi, gangguan sensibilitas pada daerah persarafan

infraorbitalis, gangguan penglihatan, rhinoliquorrho, dan suara

‘nyaring’ pada saat gigi diketuk.


a. Le Fort I

Pada trauma yang masih baru dijumpai sedikit

pembengkakan pada bibir atas. Terjadi floating jaw atau

maksila yang terasa bergerak bebas setelah dilakukan

perabaan pada ketinggian di daerah apertura piriformis

(Budihardja dan Rahmat, 2010). Pada tipe ini juga mungkin

terjadi kerusakan pada tonjol-tonjol gigi, biasanya pada

daerah gigi premolar (Banks, 1992).

Meskipun dalam banyak kasus kedua fraktur ini dapat

dibedakan secara klinis, namun tanda dan gejala antara

fraktur Le Fort II dan Le Fort III kebanyakan sangat mirip,

seperti yang disebutkan di bawah ini (Banks, 1992;

Budihardja dan Rahmat, 2010).

- Pasien dengan fraktur ini memiliki penampakan moon face

yang khas diakibatkan oleh edema jaringan lunak yang

menutupi sepertiga tengah skeleton fasial.

- Wajah bagian tengah terasa goyang atau lepas dan

terpisah dari daerah zigoma dan orbita

- Deformitas hidung yang nyata (hematom dan dislokasi


septum hidung)

- Retroposisi maksila sehingga gigi geligi tidak saling bertemu

- Kesulitan membuka mulut.

b. Le Fort II

Tanda dan gejala khasnya berupa:

- Seluruh bagian hidung dan maksila akan terasa bergerak

- Deformitas step pada tepi orbital


- Anestesia atau parestesia pipi
- Diplopia

- Tidak ada kelunakan atau disorganisasi dan mobilitas

tulang zigomatik dan lengkung zigomatik.

c. Le Fort III (Banks, 1992; Budihardja dan

Rahmat, 2010) Tanda dan gejala khasnya

berupa:

- Terasa adanya pemisahan bagian kranio-fasial atau

seluruh bagian sepertiga tengah tulang muka

- Sutura frontozigomatik melunak dan terpisah

- Deformitas lengkung zigomatik

- Pemanjangan wajah

- Penurunan permukaan mata

- Enoftalmos

- Hooding mata

- Pemanjangan dan kadang-kadang disorganisasi hidung yang


ekstrim

- Bidang oklusi miring

- Garis tengah maksila berpindah ke lateral.

3. Pemeriksaan Fraktur Maksila (Budihardja dan Rahmat,

2010; Suardi, 2011)

a. Anamnesis

Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan

dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera

primer. Waktu di antara cedera atau penemuan korban

dengan inisiasi treatment merupakan informasi yang sangat

berharga dan dapat mempengaruhi resusitasi pasien.


b. Inspeksi

Perhatikan keberadaan epitaksis, ekimosis (periorbital,

konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma subkutan

mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan

belakang yang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur

pada gigi posterior. Perhatikan pula adanya deformitas atau

asimetri muka dan laserasi jaringan lunak. Penderita dengan

wajah bengkak, edema kelopak mata, sirkum orbital

ekimosis, dan subkonjungtival ekimosis merupakan tanda-

tanda adanya fraktur Le Fort II/III. Perbedaan kontur atau

asimetri wajah dapat lebih jelas diteliti dengan berdiri

dibelakang penderita dan memandang kepala dari atas ke

bawah. Hal ini sangat membantu dalam mendeteksi adanya

fraktur zigomatikus.

c. Palpasi

Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada

sutura zigomatikomaksilari, mengindikasikan fraktur pada

rima orbital inferior. Pemeriksaan palpasi secara bimanual

pada daerah kompleks zigomatikus, pinggir orbita, kompleks

nasalis dan bagian muka lain yang dicurigai terjadi fraktur.

Diperiksa apakah ada gerakan abnormal atau nyeri tekan.

Juga diperiksa apakah ada anesthesia atau paresthesia

daerah infraorbital.

d. Mobilitas Maksila

Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang

dengan kuat bagian anterior maksila di antara ibu jari


dengan keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang

satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak.


Jika saat maksila digerakkan terdengar suara krepitasi,

artinya terdapat fraktur.

e. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea

Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa

kranial tengah atau anterior yang dapat dilihat pada kanal

hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah

atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang parah.

f. Maloklusi Gigi

Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan

dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Penegakan diagnosis

dapat dibantu dengan informasi mengenai kondisi gigi

terutama pola oklusal gigi sebelumnya.

g. Radiografis

Pemeriksaan standar menggunakan radiograf Waters dan

radiograf lateral. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada

beberapa penampakan yang mungkin terlihat, diantaranya:

hematosinus, displacement tulang, opasitas pada sinus

maksila, pemisahan pada rimaorbita inferior, sutura

zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Jika diduga ada

fraktur sagital maksila, perlu dilakukan pengambilan foto

oklusal rahang atas. Untuk mendapatkan gambaran yang

lebih jelas dan detail perlu dilakukan pengambilan CT Scan

dengan rekonstruksi 3D. Diantara pemeriksaan CT scan, foto

yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari

potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat


digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup

baik. Pada keadaan yang khusus dapat pula dilakukan MRI.


4. Terapi (Budihardja dan Rahmat, 2010; Pedersen, 1996)

Prinsip terapi adalah mengembalikan oklusi ke keadaan

normal, mengembalikan posisi tulang wajah terutama pilar

utama wajah ke posisi normal, kemudian memfiksasi tulang

yang telah direposisi tersebut.

a. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort I adalah:

1) Terapi Konservatif

Diindikasikan pada fraktur tanpa displacement atau

fraktur dengan displacement yang minimal sekali tanpa

ada gangguan oklusi, gangguan

penglihatan, dan gangguan pada mata. Pada terapi ini

pasien diinstruksikan untuk diet makanan lunak selama

3-4 minggu dan menghindari aktivitas fisik yang berat,

termasuk olahraga. Pasien juga dianjurkan untuk kontrol

secara berkala.

2) Terapi Kombinasi Konservatif-Operatif

Pertama dilakukan reposisi fraktur dan oklusi dengan

menggunakan arch bar dan MMF dengan kawat.

Kemudian dilakukan suspensi dengan menggunakan

kawat.

3) Terapi Operatif

Terapi ini menggunakan miniplat dan mikroplat yang saat

ini dianggap sebagai state of the art dalam

penatalaksanaan fraktur wajah. Setelah melakukan

reposisi fraktur menggunakan reduksi terbuka yaitu

dengan jalan mendorong mandibula ke arah superior


(tekanan balik akan terjadi di daerah dahi), kemudian

dilakukan fiksasi menggunakan miniplat atau mikroplat.

Apabila tidak berhasil mendapatkan suspensi pada

fraktur Le
Fort I, maka bisa terjadi hilangnya free way space atau

cacat kosmetik yaitu wajah panjang atau keduanya.

Seringkali perlu dilakukan pemasangan MMF selama

proses reposisi dan fiksasi agar didapatkan oklusi yang

baik. Apabila fraktur wajah ini terjadi dengan kombinasi

fraktur rahang bawah dan fraktur kondilus, MMF dapat

dibiarkan selama beberapa hari sesuai indikasi yang

diperlukan.

Akses operasi harus dipilih sedemikian rupa sehingga

walaupun diperlukan pemasangan miniplat dalam jumlah

yang cukup banyak, namun nantinya bekas akses operasi

itu tidak mengganggu estetik pasien. Umumnya insisi

dapat dilakukan dari intraoral secara paramarginal

ataupun marginal, lateroorbital, infraorbital, subsiliar,

maupun bikoronal.

b. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort II adalah:

Perawatan fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I,

namun dibedakan dengan perlunya perawatan pada fraktur

nasal dan dasar orbita. Fraktur nasal biasanya direduksi

dengan teknik tertutup menggunakan molding digital dan

splinting.

c. Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort III adalah:

Indikasi untuk terapi dengan operasi pada fraktur Le Fort III

sama dengan indikasi terapi pada fraktur Le Fort I dan Le

Fort II. Pada fraktur Le Fort III dengan displacement yang

minimal, akses untuk reduksi terbuka bisa didapatkan dari


insisi lateroorbital bilateral dan insisi pada daerah kulit

lokal. Sedangkan pada fraktur yang parah dengan derajat

displacement yang parah, perlu dilakukan pembukaan akses

dari bikoronal. Keuntungan dari akses ini


adalah jaringan parut pasca-operasi berada pada daerah

yang tidak begitu mengganggu secara estetik. Setelah

dilakukan reposisi, fiksasi fragmen tulang dapat dilakukan

dengan menggunakan miniplat dan mikroplat. Terapi yang

dilakukan tentu saja harus memperhatikan aspek oklusi

pasien.

Jika diduga ada kerusakan dan trauma dari n. optikus, maka

ada 2 alternatif perawatan yang dapat dilakukan. Pertama

adalah terapi konservatif dengan memberikan obat-obatan

antiinflamasi (misalnya metilprednisolon, dosis awal 30

mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg berat

badan setiap jam berikutnya selama 48 jam). Jika terdapat

hematoma retroorbital dan jika terlihat adanya fragmen

tulang yang menyebabkan trauma pada n. optikus, perlu

dilakukan revisi dengan intervensi bedah yaitu dekompresi

dari n. optikus. Terapi ini semua harus dilakukan secepat

mungkin dalam kurun waktu 12 jam.

Jangka waktu untuk imobilisasi fraktur Le Fort bervariasi 4-8

minggu, tergantung sifat fraktur dan kondisi pasien.

Rontgen pasca reduksi dan pasca imobilisasi diperlukan

untuk semua fraktur wajah bagian tengah seperti halnya

pada fraktur mandibula.

B. Fraktur Mandibula

1. Klasifikasi Fraktur Mandibula (Malik, 2008)


Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan fraktur
mandibula, yaitu:

a. Klasifikasi umum Kruger


1) Simpel atau tertutup: garis fraktur tidak berhubungan

dengan lingkungan eksternal dan internal. Fraktur

tersebut tidak menyebabkan luka terbuka terhadap

lingkungan ekternal, baik melalui kulit, mukosa, atau

ligamen periodontal. Contohnya pada fraktur kondilus

dan prosessus koronoid.

2) Compound atau terbuka: fraktur ini berhubungan dengan

lingkungan luar melalui kulit atau dengan lingkungan

internal melalui mukosa atau ligamen periodontal.

3) Comminuted: kondisi di mana tulang yang fraktur pecah

atau hancur menjadi serpihan-serpihan. Tipe fraktur

seperti ini biasanya disebabkan oleh derajat kekerasan

yang lebih tinggi ataupun tingginya kecepatan benturan.

Contohnya adalah fraktur akibat luka tembak.

4) Kompleks: fraktur yang melibatkan kerusakan pada

struktur vital di sekelilingnya sehingga menyebabkan

komplikasi dalam perawatan maupun prognosisnya.

5) Impaksi: jarang terlihat pada fraktur mandibula dan lebih

sering terlihat pada fraktur maksila. Fraktur ini berupa

salah satu fragmen tertanam atau masuk ke dalam

fragmen lainnya dan pergerakan klinis tidak cukup.

6) Greenstick: fraktur yang mana salah satu korteks pada

tulang tersebut patah sedangkan korteks yang lain

menjadi bengkok. Fraktur inkomplit seperti ini sering

terjadi pada anak-anak.


7) Patologis: fraktur spontan yang terjadi akibat cedera

ringan atau akibat kontraksi otot yang masih dalam

rentang normal. Hal tersebut terjadi karena kondisi

tulang yang sebelumnya sudah rapuh.


Gambar 2. (1) Fraktur simpel; (2) fraktur
greenstick (garis lurus menunjukkan fraktur
korteks, garis putus-putus menujukkan korteks
yang bengkok); (3) fraktur compound comminuted;
(4) fraktur compound; dan (5) fraktur comminuted
simpel (Malik, 2008).

b. Lokasi anatomis

1) Klasifikasi Rowe dan Killey

a) Fraktur tidak melibatkan tulang basal (fraktur


dentoalveolar).

b) Fraktur melibatkan tulang basal mandibula. Dibagi

menjadi subdivisi: unilateral tunggal, unilateral ganda,

bilateral, dan multipel.

2) Klasifikasi Dingman dan Natvig berdasarkan regio


anatomis

a) Fraktur simfisis (fraktur garis tengah).

b) Fraktur regio kaninus.

c) Korpus mandibula di antara kaninus dan angulus


mandibula.

d) Regio angulus mandibula.

e) Regio ramus mandibula.

f) Regio koronoid.

g) Fraktur kondilus.

h) Regio dentoalveolar.
Gambar 3. Klasifikasi fraktur Dingman dan Natvig
berdasarkan regio anatomis (1) prosessus
koronoid; (2) kondilus; (3) regio ramus; (4) regio
angulus mandibula; (5) regio corpus mandibula; (6)
prosessus alveolaris; dan
(7) regio simfisis (Malik, 2008).

c. Hubungan fraktur tehadap lokasi cedera: fraktur direk dan


fraktur indirek.

d. Ketebalan fraktur: fraktur sempurna dan tidak sempurna.

e. Tergantung mekanisme: fraktur avulsi, fraktur membengkok,

burst fracture, countercoup fracture, dan fraktur torsional.

f. Jumlah fragmen: tunggal, multipel, comminuted

g. Keterlibatan lapisan/ jaringan tubuh: fraktur tertutup atau

terbuka, tingkat keparahan I-V.

h. Bentuk atau area fraktur: melintang, miring/ serong, kupu-

kupu, permukaan miring.

i. Berdasarkan arah fraktur dan kemungkinannya untuk


dilakukan perawatan

1) Fraktur horizontal favourable.

2) Fraktur horizontal unfavourable.

3) Fraktur vertikal favourable.


4) Fraktur vertikal unfavourable.

j. Berdasarkan ada tidaknya gigi dalam relasinya terhadap garis


fraktur

Ada tidaknya gigi pada lokasi fraktur mandibula, status

jaringan periodontal, serta ukuran gigi menjadi sangat

penting dalam menentukan rencana perawatan berupa

fiksasi. Gigi-geligi dapat menjadi pedoman dalam melakukan

prosedur reduksi dan dapat digunakan untuk fiksasi dan

imobilisasi.

Klasifikasi Kazanjian dan Converse:

1) Kelas I: yaitu ketika terdapat gigi-geligi pada kedua sisi

dari garis fraktur.

2) Kelas II: yaitu ketika gigi-geligi hanya terdapat pada

salah satu sisi dari garis fraktur.

3) Kelas III: yaitu ketika kedua sisi dari garis fraktur tidak
mempunyai gigi

(edentulous).

2. Klasifikasi Fraktur Kondilus Mandibula (Malik, 2008;


Balaji, 2007)

a. Fraktur kondilus unilateral atau bilateral

b. Klasifikasi Rowe dan Killey

1) Fraktur kondilus simpel

2) Fraktur kondilus compound

3) Fraktur kondilus comminuted terkait dengan zigomatikus

c. Klasifikasi Rowe dan Killey (1968)

1) Fraktur intrakapsular (kondilus bagian atas)

2) Fraktur ektrakapsular (kondilus bagian bawah/


subkondilus)
3) Fraktur yang terkait dengan cedera pada kapsul,

ligamen, dan meniskus sendi.

4) Fraktur yang melibatkan tulang-tulang di sekitarnya

(contoh: fraktur tympanic plate)

d. Klasifikasi MacLennan (1952)

1) Tanpa pergeseran (displacement)

2) Terjadi deviasi

3) Terjadi displacement

4) Terjadi dislokasi

e. Klasifikasi Wassmund

1) Tipe I: fraktur leher kondilus dengan sedikit

displacement dari kepala kondilus. Sudut yang terbentuk

antara caput dan axis ramus berkisar antara 10-45o. Tipe

fratur ini biasanya akan tereduksi secara spontan.

2) Tipe II: sudut yang terbentuk antara kepala dan ramus


adalah 45-90o.

3) Tipe III: fragmen tidak berkontak, kepala kondilus

bergeser lebih ke medial dan ke depan.

4) Tipe IV: fraktur kepala kondilus berartikulasi dengan

eminensia artikularis atau di depannya.

5) Tipe V: fraktur vertikal atau oblique melalui kepala

kondilus (jarang terjadi)

f. Klasifikasi Lindhal, dibagi lagi berdasarkan:

1) Level fraktur

a) Fraktur kepala kondilus


b) Leher kondilus

c) Subkondilus

2) Relasi fragmen kondilus terhadap mandibula

a) Undisplaced

b) Terdeviasi

c) Lateral displacement

d) Medial displacement

e) Anteroposterior displacement

f) Tidak ada kontak antara kedua fragmen

3) Relasi kepala kondilus terhadap fossa

a) Non-displacement

b) Displacement

c) Dislokasi
Gambar 4. Klasifikasi Lidhal berdasarkan: (A) level
fraktur; (B) relasi fragmen kondilus terhadap
mandibula; dan (C) relasi kepala kondilus terhadap
fossa glenoidalis (Balaji, 2007)

3. Tanda dan Gejala Klasik Fraktur Rahang (Malik, 2008)

a. Riwayat cedera pada area rahang.

b. Nyeri

Fraktur dapat dicurigai jika pasien mengeluh adanya nyeri

pada sisi terjadinya cedera atau sisi kebalikan ketika

bergerak.

c. Mobilitas abnormal

Mobilitas atau pergerakan yang abnormal pada lengkung

rahang atau tulang rahang dapat dideteksi secara manual

atau dapat dilakukan dengan memerhatikan adanya keluhan

pasien mengenai pergerakan yang abrnomal pada sisi

tertentu ketika pasien menggerakkan rahangnya.


d. Perdarahan

Fraktur dapat menyebabkan adanya perdarahan aktif

maupun adanya hematoma atau ekimosis yang menyertai

proses fraktur. Pemeriksaan area perdarahan dapat

diperiksa secara langsung oleh klinisi (operator) ketika

cedera baru saja terjadi. Klinisi perlu menanyakan adanya

riwayat perdarahan melalui rongga mulut, hidung

(epistaksis), dan telinga pada pasien.

e. Krepitus

Suara berderak dapat terdeteksi saat dilakukan palpasi pada

luka karena terjadi gesekan antar tulang-tulang yang patah.

f. Deformitas

Deformitas wajah akan jelas terlihat tergantung pada derajat

dan arah terjadinya benturan. Hal tersebut juga tergantung

pada arah garis fraktur dan otot-otot yang terlibat.

g. Ekimosis dan edema (pembengkakan)

Tanda-tanda tersebut akan terlihat selang beberapa jam

setelah terjadi trauma. Hal tersebut dapat dilihat baik secara

ekstra oral, maupun intra oral, tergantung pada lokasi

fraktur dan benturan.

h. Kehilangan fungsi atau adanya gangguan terhadap fungsi

Kemampuan mengunyah makanan akan terganggu.

Keterbatasan membuka mulut juga akan terlihat pada kasus

fraktur kondilus. Gangguan berbicara, kesulitan menelan

juga dapat terjadi.


i. Bukti radiografis

Seluruh kasus yang dicurigai mengalami fraktur harus

dilakukan pemeriksaan radiograf. Hal tersebut membantu

dalam menegakkan diagnosis serta menyediakan konfirmasi

tambahan. Hal ini juga penting dalam keperluan

medikolegal untuk dijadikan barang bukti.

4. Pemeriksaan Fraktur Mandibula (Balaji, 2007)

Pemeriksaan klinis yang menyeluruh dilakukan setelah

pasien diyakini tidak mengalami ancaman pada hidupnya,

seperti asfiksia, hemoragi, syok, atau hal lainnya yang terkait

dengan kondisi kepala, leher, cedera internal dan eksternal. Hal

yang pertama harus dilakukan adalah membersihkan secara

perlahan wajah pasien dengan air hangat atau mengusapnya

untuk menghilangkan bercak darah yang menggumpal dan

kotoran yang didapat dari lokasi kecelakaan. Kondisi rongga

mulut diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui adanya

gigi atau gigi tiruan yang goyang atau patah. Selama

membersihkan wajah pasien dengan perlahan, kranium dan

tulang belakang diperiksa secara hati-hati, kemudian dipalpasi

untuk mengetahui adanya tanda-tanda cedera. Fraktur

mandibula kemudian diperiksa secara mendetail.

a. Pemeriksaan ekstraoral

1) Pembengkakan, eritema, memar, laserasi, pedarahan,

dan ekimosis mengindikasikan lokasi terjadinya cedera

atau benturan.
2) Terdapat kemungkinan deformitas yang jelas pada kontur

tulang mandibula dan jika telah terjadi displacement,

pasien tidak dapat


merapatkan gigi depannya bersamaan dan mulut tampak

terbuka (gigitan terbuka).

3) Pasien yang dalam kondisi sadar dapat terlihat menopang

rahang bawahnya dengan tangan.

4) Bercak saliva yang bercampur dengan darah dapat

diamati pada sudut mulut/ bibir pada sebagian besar

fraktur mandibula, terutama jika fraktur baru saja

terjadi.

5) Palpasi harus dilakukan pada regio kondilus secara

bilateral kemudian turun ke bawah menuju batas bawah

mandibula. Palpasi dapat mengetahui adanya bunyi

krepitus pada fragmen tulang yang fraktur dan maupun

untuk mengetahui adanya deformitas.

6) Fraktur korpus mandibula biasanya terkait dengan

cedera saraf sehingga biasanya menyebabkan timbulnya

parestesi pada satu atau kedua sisi bibir bawah.

b. Pemeriksaan intraoral

1) Permukaan bukal dan lingual diperiksa untuk mengetahui

adanya ekimosis atau jendalan darah.

2) Ekstravasasi darah submukosa biasanya mengindikasikan

fraktur pada jarigan di bawahnya, terutama pada sisi

lingual. Hematom sublingual (tanda Coleman)

menunjukkan adanya fraktur pada regio tersebut.

3) Adanya defek pada oklusi atau alveolus diperiksa pada

sepanjang laserasi yang terlihat jelas pada mukosa yang

menutupinya.
4) Pemeriksaan gigi-geligi individual dilakukan untuk

mengetahui adanya fraktur, avulsi, luksasi atau

subluksasi, atau hilangnya mahkota, GTC

serta tumpatan.

Perubahan oklusi merupakan salah satu tanda signifikan

yang mengindikasikan fraktur mandibula. Perubahan oklusi

dapat terjadi karena adanya fraktur gigi, fraktur prosessus

alveolaris, fraktur mandibula atau akibat adanya trauma

pada TMJ.

1) Kemungkinan lokasi fraktur diperiksa secara perlahan

untuk mengetahui mobilitas dengan cara meletakkan jari

dan ibu jari pada masing-masing sisi dan menggunakan

tekanan untuk mengetahui adanya mobilitas yang

abnormal.

2) Adanya nyeri, sensitivitas terhadap nyeri ataupun

keterbatasan selama pergerakan mandibula harus

dicatat.

c. Pemeriksaan radiograf

Berikut merupakan tipe radiograf yang dapat mebantu

mendiagnosis fraktur mandibula.

1) Radiograf panoramik.

2) Radiograf lateral oblique.

3) Radiograf posteroanterior.

4) Radiograf oklusal.

5) Radiograf periapikal.

6) CT scan.
5. Penatalaksanaan Fraktur Mandibula (Malik, 2008)

a. Reduksi tertutup

Sebagian besar fraktur mandibula dapat dirawat dengan

cara reduksi tertutup. Hal ini sering dianjurkan karena

relatif mudah, hemat biaya, dan perawatannya yang non-

invasif. Derajat displacement yang signifikan tidak

menghalangi penggunaan reduksi tertutup untuk merawat

fraktur mandibula. Adanya gigi-geligi menyediakan patokan

yang akurat dalam proses reduksi. Adapun indikasi dari

reduksi tertutup adalah sebagai berikut.

1) Fraktur favourable tanpa displacement.

2) Fraktur comminuted.

3) Mandibula edentulous yang telah atropi parah.

4) Kurangnya jaringan lunak yang menutupi lokasi fraktur.

5) Fraktur pada anak-anak dengan benih gigi yang masih


berkembang.

6) Fraktur prosessus koronoid.

Pada prinsipnya, reduksi tertutup dapat menggunakan 3


metode, yaitu:

1) Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur

dental, splint dental, arch bar)

2) Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi

(edentulous), dapat dicekatkan dengan skrup

osteosintesis ke tulang atau dengan circumferential

wiring.

3) Yang bertumpu pada struktur tulang ekstraoral (head-

chin splint dan gips pada fraktur hidung).


b. Reduksi terbuka

Keuntungan reduksi terbuka dan fiksasi langsung:

1) Reduksi dan fiksasi dilakukan melalui penglihatan


langsung.

2) Fiksasi yang stabil dapat dicapai karena pendekatan

yang lebih baik terhadap fragmen fraktur.

Indikasi tindakan reduksi terbuka:

1) Fraktur unfavourable disertai displacement.

2) Fraktur multipel.

3) Fraktur yang terkait dengan separuh wajah.

4) Fraktur yang terkait dengan kondilus.

5) Ketika IMF (inter maxillary fixation) kontraindikasi atau

tidak mungkin dilakukan.

6) Untuk menghindari ketidaknyamanan akibat IMF.

7) Untuk memfasilitasi pasien supaya dapat kembali bekerja


lebih cepat
Kontraindikasi tindakan reduksi terbuka:

1) Prosedur yang lebih lama tidak dianjurkan.

2) Terjadi kominusi (pecah tulang) yang parah disertai

hilangnya jaringan lunak.

3) Infeksi yang parah pada lokasi fraktur.

4) Pasien menolak untuk dilakukan reduksi terbuka.


DAFTAR PUSTAKA

Balaji, S. M., 2007, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery,


Elsevier, New Delhi, h. 545-558.

Banks, P., 1992, Fraktur Sepertiga Tengah Skeleton Fasial


Menurut Killey, GMU Press, Yogyakarta.

Budihardja, A.S., dan Rahmat, M., 2010, Trauma Oral &


Maksilofasial, EGC, Jakarta.
Malik, N. A., 2008, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery,
2nd edition, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi,
h. 378-388.

Pedersen, G. W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC,


Jakarta.

Suardi, N. P., Jaya, A. A., Maliawan, S., dan Kawiyana, S., 2011,
Fraktur pada Tulang Maksila, Bagian Ilmu Bedah RSUP
Sanglah FK Udayana.

Anda mungkin juga menyukai