Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Nabi saw adalah teladan yang senantiasa dicontoh oleh para sahabat. Setiap

perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. menjadi referensi kehidupan sahabat.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau hampir setiap gerak-gerik Nabi saw

diketahui dan diriwayatkan oleh para sahabat. Dengan demikian, bagi mereka

Nabi saw adalah sumber ilmu pengetahuan. Dan pada proses selanjutnya, setiap

perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saw disebut dengan hadits. Sebagaimana

dalam pengertian hadits sebagai berikut; Hadis adalah segala sesuatu yang datang

dari Rasul saw, baik yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrir. 1Selain sebagai

sumber ilmu pengetahuan hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah

Al-Qur’an.

Pada saat Rasullah masih berada disisi para sahabat, setiap permasalahan

yang membutuhkan pemecahan senantiasa menjadi diskusi langsung antara para

sahabat bersama Rasulullah. Rasulullah merupakan referensi langsung bagi para

sahabat dalam segala urusan. Namun ketika Rasulullah telah wafat, ini adalah

masa yang demikian berat bagi sahabat. Keberlangsungan pengibaran panji-panji

Islam menjadi tanggung jawab para sahabat dan generasi setelahnya. Sebagai

orang yang pernah hidup semasa dan bertemu Rasulullah, para sahabat

mengemban amanah yang demikian berat untuk menjaga syari’at Islam. Dalam

hal ini yang menjadi titik tolaknya adalah keterpeliharaan Al-Qur’an dan Al-

1
Muhammad ‘Ajjâj Al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terjemahan oleh H.M Qodirun
Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hlm.7

1
Hadits. Eksistensi Al-Qur’an pada masa itu, mungkin tidak demikian menjadi

masalah karena telah dibukukan semasa hidup Rasulullah dan telah banyak

sahabat yang menghafalnya. Berbeda dengan hadits, yang belum dibukukan dan

masih dalam hafalan sahabat saja. Para sahabat tidak merasa urgen untuk

mencatat hadits, karena pada masa sahabat hadits menjadi bahasa komunikasi dan

para sahabat mempunyai catatan sendiri (yang tidak dikonsumsi umum).

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah pertumbuhan hadis pada masa sahabat

2.

1.3. TUJUAN

Dari rumusan masalah yang telah penyusun cantumkan di atas, tujuan dari

pembahasan makalah ini adalah diantaranya sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah pertumbuhan hadis pada masa sahabat

2.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Hadits

Selain Alquran sebagai sumber hukum Islam, sunnah Rasulullah Saw.

menempati urutan kedua dalam hukum Islam. Hal ini terlihat dalam firman Allah

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang

sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),

jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian

itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An-Nisaa: 59)

Sabda Rasulullah Saw. ketika menjelang wafat beliau;

“Aku meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kamu berpegang kepadanya,

kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-Nya.”2

Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul Saw. tersebut. Yang

dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Alquran

sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah yang terdapat

di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada sunnah Nabi Saw. berarti

mengikuti petunjuk Nabi Saw. dan memelihara kemurniannya.

Setelah Rasul saw wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh sahabat-

sahabatnya. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah menggantikan kedudukan Nabi

Muhammad saw sebagai pemimpin temporal (politik) umat Islam, sekaligus

mengurus perjuangan spritual menegakkan syari’at Islam. Pada awalnya dua hal

2
Malik bin Anas, al-Muwaththa’, (Istambul, Turki: Dar al-Sahnun, 1990), hlm.899 dikutib oleh
Muhammad ‘Ajjâj Al-Khathîb dalam bukunya Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits,72

3
ini adalah satu seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Setelah Abu

Bakar, estafet kepemimpinan dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin al-

Khat-tab, Usman bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam

pemerintahan khalifah ar-Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama

sahabat setelah Al-Qur’an.

Para sahabat telah memahami bahwasanya hadits berkedudukan sebagai

sumber hukum kedua setelah kitabullah Al-Qur’an. Sebagaimana perintah Allah

SWT. untuk mengikutinya dan tidak menyimpang darinya. Siapa yang

memutuskan setiap perkara tanpa berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah maka ia

adalah orang yang mendapat hukum haram, sedangkan bagi orang yang menjaga

setiap amalnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka ia merupakan orang yang

bersyukur dan berbahagia.3

2.2 Hadis Pada Masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat,

khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin

Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal

dengan masa sahabat besar (kibarus shahabah).4


Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-

Riwayah yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini

disebabkan karena para sahabat pada masa ini masih terfokus kepada penyebaran

dan pemeliharaan Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun belum begitu

berkembang. Bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan membatasi

dalam meriwayatkan hadits.


3
M. Muhammad Abû Zahw, Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun Aw ‘Inayah Al ‘Ummah Al-Islamiyah Bi Al-
Sunnah Al-Nabawiyah (Mesir: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, tt), hlm.48 .

4
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadist (Semarang:Rasail Media Group,2007), hlm.79

4
Hal itu disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan

kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-

Qur’an.5
1. Memelihara amanah rasul
Para sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar

bagi kelangsungan syariat islam, adalah menerima dan melaksanakan segala

amanah Rasulullah. Hal itu tertuang sebagaimana sabda beliau sebelum

wafat, yang berbunya :

"[2]"‫ صلى ا عليه وسلم‬,‫ كتاب ا وسنة نبيه‬:‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما‬

Artinya: “Aku meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kamu berpegang

kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-

Nya.”

Barang siapa yang selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis

niscaya ia tidak akan tersesat di dunia maupun akhirat. Sebaliknya, jika ia

tidak berpegang teguh pada keduanya atau hanya salah satunya, merupakan

penyimpangan dari salah satu amanah maka ia akan tersesat.

2. Upaya para ulama mengenai larangan penulisan hadis


Pada masa Rasulullah, hadis belum ditulis ataupun dibukukan secara

resmi. Hal ini dikarenakan adanya larangan menulis hadits dari Rasulullah

SAW lewat sabdanya

‫ل تكقبو اعننيّ سيئا غيرالقران فمن كتب عننيّ سيئا غير القران فليمح‬

“Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang

menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menhapusnya.” (HR. Muslim

dari Abu Sa’id Al-Khudry)

5
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadist (Ponorogo:STAIN PO Press,2010), hlm 71

5
Namun disamping itu, ada hadits yang membolehkan dalam penulisannya

yaitu :
‫اكتب عننيّ فو الذى نفس بيد ه ما خرج من فمن الالح‬

“Tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak

keluar dari mulutku kecuali yang hak.”


Dua hadits diatas bertentangan, sehingga para ulama

mengkompromikan sebagai berikut.


1. Larangan menulis hadits terjadi pada awal-awal islam. Hal itu bertujuan

agar hadits tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah

kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-

Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan

perintah yang membolehkannya


2. Larangan menulis hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya

bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga

terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan

salah
3. Larangan menulis hadits ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari

pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang

yang mempunyai keahlian menulis dan membaca.

2.3 Metode Hadits pada Masa Sahabat

2.3.1 Metode Pencarian Hadits

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan oleh para

sahabat, karena mereka khawatir akan terjadi kekeliruan, padahal mereka

menyadari bahwa hadits merupakan sumber hukum setelah Al-Qur’an yang

harus terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana Al-Qur’an. Oleh karena

itu, para sahabat khususnya khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman,

6
Ali) dan sahabat lainnya, seperti Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah

berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits (Al-Khatib,

1971: 92-93).

Metode hadits pada masa sahabat, dalam meriwayatkan hadits, ada

dua jalan, yaitu : Metode periwayatan seara lafzi dan Periwayatan secara

maknawi.

Periwayatan Hadits secara Lafzi, adalah periwayatan hadits yang

redaksinya atau matannya sama persis seperti apa yang dituturkan oleh

Rasul SAW.

Periwayatan Hadits secara maknawi, adalah periwayatan hadits yang

redaksinya tidak sama persis seperti yang dituturkan oleh Rasul SAW.

Konsekuensi periwayatan hadits dengan jalan maknawi,

mengakibatkan timbulnya hadits-hadits yang redaksinya berbeda-beda.

Namun, tujuan dan maksud hadits tersebut tetap sama.

2.3.2 Periwayatan Pada Masa Sahabat (Khulafaurasyidin)

1. Abu Bakar al-Shiddiq

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan

dengan sangat hati - hati. Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar

tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit yaitu dengan

membakar sekitar lima ratus catatan hadist yang dimilikinya. Tindakan

Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa

khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak

7
mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak

banyak.

Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga

factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan

hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai

khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan

(3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat

singkat.

2. Umar ibn al-Khathab

Umar terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam

meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat

apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.

Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu,

terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab

naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu

belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga

dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa

membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang,

karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan

mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang.

Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadits juga

8
banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut

tetap memegang prinsip kehati-hatian.

3. Utsman Ibn Affan

Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara

yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang

dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan

oleh Umar bin al-Khathab.

Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar

umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman

ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak

bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua

khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar

pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam

periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi

Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam

telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya

kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.

4. Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh

berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini

juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula

9
atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadits sebelum

yang meriwayatkannya itu disumpah.6 Hanya saja, kepada orang-orang

yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk

bersumpah.

Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.

Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam

bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar

tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang

ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash)

terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad

Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak

bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.

Seiring dengan perluasan wilayah pasca nabi wafat, Masa khalifah

usman bin affan dan ali bin abi thalib mulai banyak tuntutan untuk

penyebaran islas ke wilayah yang lebih luas . untuk itu usman dan ali

mulai memberikan kelonggaran tentang hadis. Akibatnya, banyak

sahabat yang menyampaikan hadisyang selama ini mereka miliki baik

dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Sehingga terjadilah peningkatan

kuantitas periwayatan hadis.

2.3.3 Sahabat yang Banyak Dalam Meriwayatan Hadits

Sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasul ada tujuh orang,

yaitu.

6
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadist (Semarang: Pustaka Rizki
Putra,1999), hlm.47

10
1. Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr Al-Dausi Al-Yamani. Lahir tahun

19 SH dan wafat tahun 59 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 5374.


2. Abdullah ibn Umar ibn Al-Khattab. Lahir tahun 10 SH dan wafat tahun

73 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 2635.


3. Anas ibn Malik. Lahir tahun 10 SH dan wafat tahun 93 H. Jumlah hadits

yang diriwayatkan 2286.


4. Aisyah ibn Abu bakar Ash-Shidiq Ummul Mu’minin. Lahir tahun 9 SH

dan wafat tahun 58 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 2210.


5. Abdullah ibn Abbas ibn Abu Muthalib. Lahir tahun 3 SH dan wafat tahun

68 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 1660.


6. Jabir ibn Abdullah Al-Anshari. Lahir tahun 6 SH dan wafat tahun 78 H.

Jumlah hadits yang diriwayatkan 1540.


7. Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’d ibn Malik Ibn Sinan Al-Anshari. Lahir tahun

12 SH dan wafat tahun 74 H. Jumlah hadits yang diriwayatkan 1170.

2.3.4 Nama-Nama Sahabat dalam Meriwayatkan Hadits

1. Madinah. Para sahabat yang mempunyai peranan penting dalam masalah

hadits ialah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn

Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit.


2. Makkah. Di sini ada Muadz bin Jabal, yang meriwayatkan hadits dari

sahabat ini sejumlah sahabat besar antara lain Abdullah bin Abbas.
3. Kufah. Di Kufah datang seorang sahabat Rasul pada masa kekhalifahan

Umar, tatkala Irak terbuka bagi kaum muslimin. Di Kufah ini ada tiga

ratus sahabat yang pernah berbaiat di bawah pohon, tujuh puluh ahli

badar, dan yang paling terkenal ialah Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi

Waqas, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Naufal, Abdullah bin Mas’ud, dan

lain-lain.
4. Bashrah. Para sahabat yang tinggal di kota ini aalah Anas bin Malik,

Imam dalam bidang hadits, Abu Musa Al-Asy’ari, Abullah bin Abbas,

11
Utbah bin Ghazwan, ‘Imran bin Husain Abu Bazrah Al-Aslamy, dan lain-

lain.
5. Syam (Syria). Diantara sahabat-sahabat yang tinggal di negeri-negeri

Syam adalah Abu ‘Ubaiah bin Al-Jarrah, Bilal bin Rabah, Syurahil bin

Hasanah, Khalid bin Walid, ‘Iyadh bin Ghanm, Al-Fadhl bin Al-Abbas

bin Abdul Muthalib, ‘Auf bin Malik Al-Asyja’iy, Al-Arbdh bin Sariyah,

dan lain-lain.
6. Mesir. Dikalangan sahabat yang tinggal di Mesir adalah ‘Uqbah bin Amir

Al-Juhaniy, Kharijah bin Huzaifah, Abdullah bin Sa’ bin Abi Sarah,

Mahmiyah bin Juz, dan lain-lain.

2.4 Perkembangan pada masa tabi’in

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan

yang dilakukan para sahabat. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak

berbeda yang dihadapi para sahabat. Karena, pada masa ini Al Qur’an sudah

dikumpulkan dalam satu mushaf. Sebab usah yang taelah dirintis oleh paara

sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman

para sahabat ahli hadiast menyebar keberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepeda

merekalah para tabi’in mempelajari hadits.7 pada masa ini periwayatan hadis msih

dalam tahap lewat mulut.

1. Pusat – pusat Pembinaan Hadits

Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai

tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota tersebut ialah

Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam,

Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat

pembina hadits pada kota - kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat
7
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.85

12
meriwayatkan hadist cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin

Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan

Abi Sa’id al-Khudzri.8

2. Tokoh – tokoh dalam Perkembangan Hadits Sahabat Kecil

Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan

hadits disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah:

a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits

b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits

c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits

d. Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits

e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits

f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits

g. Abu Sa’id al-Khudzri meriwayatkan 1170 hadits.

Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat

sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut,

diantaranya:

1) Madinah

a) Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam

b) Salim ibn Abdullah ibn Umar

c) Sulaiman ibn Yassar

2) Makkah
8
Mohammad Nor Ichwan, Ilmu Hadist, (Semarang:Rasail Media,2007), hlm.87

13
a) Ikrimah

b) Muhammad ibn Muslim

c) Abu Zubair

3) Kufah

a) Ibrahim an-Nakha’i

b) Alqamah

4) Basrah

a) Muhammad ibn Sirin

b) Qatadah

5) Syam

a) Umar ibn Abdul Aziz

6) Mesir

a) Yazid ibn Habib

7) Yaman

a) Thaus ibn Kaisan al-Yamani

2.5 Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits

Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang

Jamal dan perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib

akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat

islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan

mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).

Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan

pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung

yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits – hadits

14
palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing – masing

kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan – lawannya. Adapun pengaruh

yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong

diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya penyelamatan dari

pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

15
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Sahabat mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan

hukum Islam beserta sumber-sumber hukumnya, baik al-qur’an ataupun as-

sunnah. Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul Saw. tersebut. Yang

dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Alquran

sebagai way of life.

Selain sebagai seorang yang cinta kepada Nabi saw, para sahabat dan tabi’in

juga sebagai pecinta hadits-hadits Nabi saw. Untuk itulah mereka demikian

antusias dan merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan sumber

ilmu dan hukum Islam kedua tersebut. Diantaranya dengan cara : taqlil ar-

riwayah, tsubutu ar-riwayah dan Man’u Ar-Ruwat Min At-Tahdits Bima Ya’lu

‘Ala Fahm Al ‘Ammah (pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya

kesalahpahaman)

Kecintaan para sahabat terhadap hadits demikian menggebu, sehingga

dalam setiap kesempatan mereka manfaatkan untuk mempelajari hadits. Fakta

yang sangat jelas atas semangat ilmiah yang menggelora dikalangan sahabat

seperti, saling bertukar hadits, saling mendengar dan saling meriwayatkan,

meghafal setiap hadits yang diperoleh dan mendasari setiap amal dengan hukum-

hukumnya. Semua itu mereka tempuh dalam rangka mengetahui kebenaran dan

menjaga sunnah yang suci. Sehingga, tersebarlah hadits keseluruh penjuru/

kawasan Islam dengan jerih payah sahabat dan tabi’in utamanya yang berada di

Makkah dan Madinah sebagai perjuangan pertama.

16
DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai