Anda di halaman 1dari 2

Masyarakat Desa Sodo Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunungkidul, setiap tahun sekali

menyelenggarakan Upacara Tradisi Babat Dalan. Hari “H” upacara tersebut jatuh pada hari Jum’at Kliwon
sebagai hari yang ditetapkan. Namun tentangjatuh bulannya tidak menentu, karena dikaitkan dengan
jatuhnya musim Labuh, yang bararti musim menabur benih polowijo. Persiapan upacara diawali dua hari
sebelum hari “H” Sedangkan pada puncak acara diselenggarakan acara pokok yaitu Pengajian. Pengajian
ini dilokasikan di Masjid didekat Makam Ki Ageng Giring yang didukung dengan keramaian yang
suasananya mirip dengan Pasar Malam.

Pada upacara tersebut kecuali dihadiri masyarakat setempat dan lingkungannya, dihadiri pula masyarakat
dari luar daerah, seperti dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, bahkan
dari luar Jawa pun ada yang hadir seperti dari Bali dan Sumatera.Maksud dari kedatangannya adalah
untuk melihat dari dekat tentang Upacara Tradisi Babat Dalan, juga sekaligus bermaksud untuk berziarah
ke makam Ki Ageng Giring. Upacara Babat Dalan itu sendiri oleh masyarakat setempat bertujuan
memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu diberikan keselamatan baik lahir maupun batin,
sekaligus untuk memperingati wafatnya Ki Ageng Giring.

Asal Usul Tradisi Babat Dalan

Mungkin masih ada sebagian masyarakat, bahkan masyarakat dari luar daerah dan khususnya para
generasi muda, yang dalam hatinya bertanya-tanya, bagaimana asal usulnya Tradisi Babat Dalan
tersebut. Melalui penulisan kali ini akan dipaparkan keterangan keterangan dari M. Ng Suharsosartoyo
juru Kunci makam Ki Ageng Giring.

Ada dua versi tentang asal usul Upacara Babat Dalan :

Konon pada waktu Ki Ageng Giring diperintah oleh Sunan Kalijogo untuk meraih Wahyu Kraton,
perjalanan sampai di desa Sodo, dengan menanti datangnya wahyu. Ki Ageng Giring menyempatkan
waktunya untuk mengadakan da’wah dalam usaha memasukkan keyakinan Agama Islam. Karena
keyakinan Agama Islam itu baru diberikan yang pertama kali bagi masyarakat setempet pada waktu itu,
maka dimulai dengan membaca Syahadad (kalimah Syahadad). Karena masyarakat baru menghafal
Syahadad maka ditempat tersebut disebut desa Sodo. Sebelum dinamai desa Sodo desa tersebut adalah
Desa Sumberan, sebab terdapat sumber air yang melimpah ruah. Karena Ki Ageng Giring dalam
memberikan keyakinan Agama Islam tadi masih sangat awal, dan baru dimulai mengucapkan Syahadad
maka disebut Babat Dalan.

Menurut Juru Kunci Makam tersebut, di Desa Sodo atau Giring jaman dahulu masyarakatnya diserang
wabah penyakit, atau disebut “Pageblug” yang kondisinya jika pagi sakit sore meninggal, dan sakit sore
pagi meninggal. Melihat kenyataan tersebut, masyarakat setempat sebagian pergi meninggalkan Desa
Sodo menuju ke Pandanaran Bayat Klaten. Sesampainya di Desa Bayat, Ki Ageng Pandanaran
memberikan petunjuk bahwa di desa Sodo dilokasi dekat Sendang/sumber itu ada makam. Dengan
memperhatikan petunjuk Ki Ageng Pandanaran, masyarakata dari desa Sodo tersebut lama kelamaan
kembali ke Desa Sodo dengan maksud untuk mencari makam yang ditunjuk tadi. Pada waktu masyarakat
mencari makam yang dimaksud, ditempuh dengan membabat semak semak dan ilalang, lama kelamaan
makam yang dicari ditemukan. Makam tersebut beridentitas makam Ki Ageng Giring yang wafatnya pada
hari Jum’at Kliwon.

Karena mencarinya makam tersebut dengan cara Babat Babat, maka ditarik kesimpulan, bahwa dua versi
tersebut saling mendukung terjadinya asal usul Upacara Tradisi Babat Dalan di desa Sodo. Karena versi
pertama Babat babat memasukkan keyakinan Agama Islam, dan versi kedua Babat Babat ilalang dan
semak belukar, sehingga menemukan Ki Ageng Giring yang wafatnya pada hari Jum’at Kliwon maka untuk
mengingat ingat Peristiwa tersebut, dibuatlah Upacara Tradisi Babat Dalan oleh masyarakat setempat
yang jatuh pada hari Jum’at Kliwon sampai sekarang ini.

Sumber : Siaran Pemerintah Prop. DIY, Edisi Khusus Tahun 1996/1997

Anda mungkin juga menyukai