Anda di halaman 1dari 37

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Tutor : dr. Dimyati Burhanuddin, M.Sc
Moderator : Khoirunnisah Humairoh
Sekretaris : Rada Nur Saleha
Notulis : Clarissa Lucia Valerina
Waktu : Senin, 17 November 2014
Selasa, 19 November 2014
Pukul. 08.00 – 10.30 wib.
Rule :
1) Menonaktifkan ponsel atau dalam keadaan diam.
2) Mengacungkan tangan saat akan mengajukan argumen
3) Izin saat akan keluar ruangan

2.2 Skenario Kasus


Ny. Fatimah , 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan keluhan utama kesemutan
dan nyeri pada keempat anggota greak, terutama anggota gerak bawah dialami sejak 6
bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini terutama dirasakan menjelang tidur sehingga
tidurnya sering terganggu. Keluhan ini baru pertama kali diderita. Ny. Fatimah akhir-
akhir ini kesulitan berdiri dari jongkok ketika BAB serta berdiri dari sujud untuk rakaat
selanjutnya ketika sholat. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar, dan sering BAK
pada malam hari sejak 6 tahun yang lalu. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat
kencing manis dalam keluarga juga tidak ada. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur
sejak 5 tahun yang lalu, minum obat tekanan darah tinggi tidak teratur. Riwayat minum
obat-obatan lain disangkal. Riwayat trauma disangkal , infeski saluran pernafasan dan
saluran cerna 1 bulan terakhir disangkal.

Pemeriksaan fisik

Kesadaran: Compos mentis


Tanda Vital: TD: 170/95 mmHg, Nadi: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, Suhu
37 ̊C, VAS (Visual Analog Scale): 4

Pemeriksaan khusus

1
Pemeriksaan Visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna dengan
kacamata.
Pemeriksaan neurologi didapat: Kekuatan 4 pada keempat anggota gerak,
Refleks fisiologi menurun pada kedua lengan dan negatif pada tungkai bawah,
Refleks patologis (-), gangguan sensibilitas berpola sarung tangan dan kaos
kaki.

Pemeriksaan laboratorium

Darah rutin: Hb 13 mg/dL, Leukosit 7000, Eritrosit 5.000.000, Trombosit


380.000, GDS: 440 mg/dL, HbA1C: 12,3%, Ureum: 35 mg/dL, Kreatinin: 1,2
mg/dL, SGOT 30 u/l, SGPT 23 u/l.

2.3 Seven Jumps Step


2.3.1 Klarifikasi Istilah
1. Kesemutan : sensasi abnormal akibat adanya gangguan pada saraf
sensorik seperti ada semut yang merayap
2. Nyeri : perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh
rangsangan pada ujung-ujung saraf tertentu
3. Kencing manis : air seni yang mengandung gula
4. Penglihatan kabur : pandangan tidak begitu jelas
5. Visual analog scale : alat ukur untuk mengukur intensitas nyeri
6. Pemeriksaan visus : pemeriksaan untuk mengetahui ketajaman penglihatan
7. SGOT : serum glutamit oxaloasetic transaminase
8. SGPT : serum glutamit piruvit transaminase
9. Gangguan sensibilitas : kepekaan rangsangan terhadap saraf-saraf sensorik
seperti merasakan sesuatu tetapi tidak ada

2.3.2 Identifikasi Masalah


1. Ny. Fatimah , 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan keluhan utama
kesemutan dan nyeri pada keempat anggota greak, terutama anggota gerak
bawah dialami sejak 6 bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini terutama
dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering terganggu. Keluhan ini
baru pertama kali diderita.
2. Ny. Fatimah akhir-akhir ini kesulitan berdiri dari jongkok ketika BAB serta
berdiri dari sujud untuk rakaat selanjutnya ketika sholat.
3. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar, dan sering BAK pada malam hari
sejak 6 tahun yang lalu.
4. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat kencing manis dalam keluarga
juga tidak ada.
5. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun yang lalu, minum
obat tekanan darah tinggi tidak teratur.

2
6. Riwayat minum obat-obatan lain disangkal. Riwayat trauma disangkal ,
infeski saluran pernafasan dan saluran cerna 1 bulan terakhir disangkal.
7. Pemeriksaan fisik
Kesadaran: Compos mentis
Tanda Vital: TD: 170/95 mmHg, Nadi: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, Suhu
37 ̊C, VAS (Visual Analog Scale): 4
8. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan Visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna dengan
kacamata.
Pemeriksaan neurologi didapat: Kekuatan 4 pada keempat anggota gerak,
Refleks fisiologi menurun pada kedua lengan dan negatif pada tungkai bawah,
Refleks patologis (-), gangguan sensibilitas berpola sarung tangan dan kaos
kaki.
9. Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin: Hb 13 mg/dL, Leukosit 7000, Eritrosit 5.000.000, Trombosit
380.000, GDS: 440 mg/dL, HbA1C: 12,3%, Ureum: 35 mg/dL, Kreatinin: 1,2
mg/dL, SGOT 30 u/l, SGPT 23 u/l.

2.3.3 Analisis Masalah

1. Ny. Fatimah , 53 tahun, berobat di poliklinik saraf dengan keluhan utama


kesemutan dan nyeri pada keempat anggota greak, terutama anggota gerak
bawah dialami sejak 6 bulan secara perlahan-lahan. Keluhan ini terutama
dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering terganggu. Keluhan ini
baru pertama kali diderita.
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari anggota gerak yang terlibat pada
kasus?
Anatomi dari anggota gerak yang terlibat adalah ekstremitas superior
dan inferior.

Extremitas superior:
1. Tulang-tulang gelang bahu
a. os. Claviculae
b. os. scapulae
2. Tulang anggota badan bebas
a. os. Humerus
b. os. Radius
c. os. Ulanae
d. ossa manus
d.1. ossa carpalia (8 tulang)
d.2. ossa metacarpalia (5 tulang)

3
d.3. ossa digitorum manus

Extremitas inferior:
1. ossa coxae
2. ossa Femur
3. ossa Tibia
4. ossa Fibula
5. ossa Patellae
6. Ossa Tarsalia
1. Talus
2. Calcaneus
3. Os naviculare
4. Os cuboideum
5. Os cuneiforme laterale
6. Os cuneiforme intermedium
7. Os cuneiforme mediale
8. Os. Metatarsalia
9. Phalanges

4
5
(Snell, 2006)

6
Fisiologi
Kontraksi adalah upaya dari otot untuk menghasilkan gaya/force
(muscle tension) melawan beban kontraksi otot memerlukan energi. Dalam
kondisi normal, otot berkontraksi secara sadar karena rangsangan listrik dan
saraf.
Kontraksi otot dicetuskan oleh rangsangan listrik dari syaraf, kemudian
rangsangan itu diteruskan ke otot melalui 2 tahap stimulasi yaitu:
1. Neuro-muscular junction (pertemuan syaraf-otot)
2. Excitation-contraktion coupling
Setelah sampai pada neuro-muscular junction, potensial aksi merangsang
pelepasan asetilkolin di ujung syaraf. Asetilkolin yang keluar merangsang
potensial aksi di otot. Potensial aksi memacu proses excitation-contraction
coupling.
Excitation-contraction coupling diawali dengan prubahan
permeabilitas dinding sel otot terhadap ion Na+ dan k+ karena asetilkolin.
Perubahan permeabilitas menimbulkan potensial aksi. Potensial aksi kemudian
berjalan ke seluruh dinding sel otot dan ada yang masuk ke tengah-tengah sel
otot melalui tubulus-T.
Potensial aksi memacu pelepasan ion Ca+ dari reticulum sarkoplasma.
Ion Ca+ yang keluar ini akan menempel di troponin. Troponin bersama ion
Ca+ akan menarik tropomiosin yang menempel pada myosin binding-site di
aktin. Aktin pun terbuka dan langsung di temple oleh kepala miosin untuk
berkontraksi. Kepala miosin menarik aktin ke pusat sarkomer sehingga terjadi
sliding/pergeseran aktin terhadap miosin (sliding filament).
Sliding filament theory merupakan pemendekan otot akibat pergeseran
aktin terhadap miosin (overlapping) karena kepala miosin menarik aktin ke
pusat sarkomer. Penarikan aktin terjadi berkali-kali seperti kumpulan orang
yang manarik tambang.
(Guyton dan Hall, 2007)

 Siklus kontraksi
Siklus kontraksi terjadi setelah fase excitation-contraction coupling, di
mana troponin yang ditempel ion Ca+ menarik tropomiosin dari aktin sehingga
miosin binding-site di aktin terbuka. Siklus kontraksi terbagi menjadi 6 fase.

7
1. Rigor state, kepala aktin masih menempel di aktin setelah selesai power
stroke.
2. ATP yang baru datang dan menempel pada kepala miosin, menyebabkan
lepasnya kepala miosin dari aktin.
3. ATP di kepala miosin mengalami hidrolis menjadi ADP dan Pi.
4. Miosin yang lepas dan ditempel ATP, untuk menempel pada molekul G-
aktin yang baru.
5. Power stroke, energi potensial yang tersimpan di Pi, lepas dan berubah
menjadi energy kinetic, menyebabkan kepala miosin berotasi mendorong
aktin mendekati pusat sarkomer.
6. ADP lepas, kepala miosin tetap melekat ke aktin, siap untuk siklus
berikutnya bila ada ATP yang baru.
(Guyton dan Hall, 2007)

b. Apa hubungan jenis kelamin dan umur dengan keluhan Ny. Fatimah?
Penuaan merupakan proses fisiologis yang dihubungkan dengan
perubahan anatomi dan fisiologis semua sistem dalam tubuh, di mana
perubahan itu umumnya dimulai pada umur pertengahan. Umur lanjut akan
menyebabkan kelainan pada saraf tepi karena terjadi penurunan aliran darah
pada pembuluh darah yang menuju ke saraf tepi dan berkurangnya secara
progresif serabut-serabut baik yang bermielin maupun tidak. Perubahan
pada serabut saraf besar karakteristik ditandai dengan hilangnya refleks
Achilles dan gangguan sensitivitas vibrasi pada kaki. Sedangkan serabut
saraf kecil terjadi penipisan akson yang dapat menjelaskan kerentaan umur
lanjut terhadap timbulnya neuropati. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan
berusia lebih dari 40 tahun memiliki kecenderungan untuk obesitas
dikarenakan asupan yang tidak imbang dibandingkan aktivitas (aktivitas
menurun saat usia lanjut) sehingga rentan mengalami hiperlipidemi yang
nantinya sangat berkaitan dengan diabetes melitus (Teguh Priyantono,
2005).

c. Bagaimana mekanisme kesemutan dan nyeri pada ke-4 anggota gerak?

DM yang tidak disadari → hiperglikemi → endothelium arteri rusak


→ arterosklerosis → thrombus beredar divaskular → O2 dan nutrisi

8
tubuh, semakin distal menyempit → suplai darah ke bagian distal saraf
perifer menurun → gangguan saraf sensorik → kesemutan
Pada saat seseorang mengalami hiperglikemia. Menyebabkan
penumpukan organ pengguna glukosa secara independen (retina, saraf,
ginjal). Konvensi glukosa yang tidak terpakai akan dirubah menjadi
sorbitol dan fruktosan melalui enzim aldose reductase dan sarbitol
dehidrogenase. Sarbitol ini nanti akan melekat pada cell myielin
sehingga akan menyebabkan saraf perifer terhimpit karena adanya
sarbitol pada sel myelin. Sedangkan kita ketahui sendiri bahwa sel
myielin melekat pada sel saraf. Akibat terjadi penyempitan saraf inilah
menyebakan hantaran saraf terhambat lalu terjadilah kesemutan (Price,
2005).

d. Apa makna keluhan ini dirasakan sejak 6 bulan yang lalu?

Penyakit telah berlangsung kronik dan perlahan-lahan tanpa disadari


oleh penderita, sehingga menyebabkan keluhan semakin bertambah parah.
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang
atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam
bulan (Sarafino, 2006).

e. Apa makna keluhan yang dirasakan menjelang tidur?


Keluhan dirasakan menjelang tidur merupakan manifestasi dari
penyakit yang diderita Ny. Fatimah. Pada malam hari aktivitas lebih sedikit
dibandingkan dengan pagi dan siang hari sehingga rasa nyeri lebih terasa.
Pada dasarnya nyeri pada siang dan malam hari sama. Nyeri juga
bertambah buruk akibat perubahan suhu karena nyeri dapat timbul jika
menyentuh derah yang peka atau karena perubahan suhu (Helmi, 2012).
Pasien dengan nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti
terbakar, perih, atau seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik
menderita akibat instabilitas Sistem Saraf Otonom (SSO). Dengan
demikian, nyeri sering bertambah parah oleh stress emosi atau fisik (dingin,
kelelahan) dan mereda oleh relaksasi; karena itu, pasien mungkin tidur
secara normal walaupun merasa nyeri. Oleh karena itu nyeri neuropatik
berupa kesemutan dan nyeri sering berlangsung pada saat menjelang tidur
(Price, 2005).

9
f. Apa makna keluhan ini baru pertama kali diderita?
Keluhan utama berupa kesemutan dan nyeri pada keempat anggota
gerak, terutama anggota gerak bawah yang dialami sejak 6 bulan secara
perlahan-lahan yang dirasakan menjelang tidur sehingga tidurnya sering
terganggu merupakan pertama kali diderita. Hal ini bermakna bahwa Ny.
Fatimah tidak menderita paralisis periodik karena paralisis periodik
merupakan kelumpuhan keempat anggot gerak yang bersifat LMN ( Lower
Moto Neuron) yang timbul berkala (Sidharta, 2010).

2. Ny. Fatimah akhir-akhir ini kesulitan berdiri dari jongkok ketika BAB serta
berdiri dari sujud untuk rakaat selanjutnya ketika sholat.
a. Mengapa Ny. Fatimah mengalami keluhan tersebut?
Keluhan kesulitan berdiri dari jongkok ketika BAB serta berdiri dari
sujud saat salat merupakan komplikasi dari penyakit kronis yang diderita
Ny. Fatimah. Pengendalian kadar gula darah yang buruk pada penderita
diabetes dapat menyebabkan kelainan fungsi yang berkesinambungan
pada beberapa saraf perifer di seluruh tubuh (polineuropati). Keadaan
yang paling sering ditemukan adalah neuropati diabetikum yang
merupakan polineuropati distalis, yang menyebabkan kesemutan atau rasa
terbakar di tangan dan kaki. Diabetes juga dapat menyebabkan
mononeuropati atau mononeuropati multiple yang berakhir dengan
kelemahan terutama pada otot paha (Helmi, 2012).

Hiperglikemia  penumpukan pada organ pengguna glukosa secara


independen (retina, saraf, dan ginjal)  konversi glukosa yang tidak
terpakai menjadi sorbitol dan fruktosa dengan menggunakan aldose
reduktase dan sorbitol dehidrogenase  akumulasi kedua enzim
pengkonversi menyebabkan penurunan myoinsitol, penurunan aktivitas
pompa membran plasma Na+/K ATP-ase yang dibutuhkan untuk fungsi
saraf  kerusakan saraf-saraf perifer yang bermanifestasi klinik hipestasi,
kram-kram  lemah pada ekstremitas (sulit berdiri dari jongkok dll)

Karena neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf,


khususnya saraf extremitas bagian bawah. Kelainan ini mengenai kedua
sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara progresif dapat
meluas ke arah proksimal. Gejala permulaanya adalah parastesia.

3. Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar, dan sering BAK pada malam hari
sejak 6 tahun yang lalu.
a. Apa makna Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar, dan sering BAK
pada malam hari sejak 6 tahun yang lalu?

10
Ny. Fatimah sering merasa kehausan, lapar, dan sering BAK bermakna
bahwa ia telah menderita diabetes melitus yang tidak terkontrol. Tidak
tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemia.
Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan
konsentrasi glukosa darah juga tergantung dari hidrasi dan masukan
karbohidrat oral. Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis
osmotik, dan mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang
vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan makanan terus
menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan
peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan
intravaskular menyebabkan keadaan hiperosmolar yang memicu sekresi
hormone anti diuretik. Keadaan ini juga akan memicu timbulnya rasa haus
(Soewondo, 2000).

b. Bagaimana hubungan keluhan 6 tahun yang lalu dengan keluhan saat ini?
Keluhan yang diderita Ny. Fatimah saat ini merupakan komplikasi
kronik dari penyakit yang ia derita. Diabetes melitus jika dibiarkan akan
menyebabkan berbagai komplikasi kronik. Adanya pertumbuhan sel dan
juga kematian sel yang tidak normal merupakan komplikasi kronik DM.
Perubahan dasar/ disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel
pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya
menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. Kelainan vaskular
terjadi akibat imbalans metabolik maupun humoral. Jaringan
kardiovaskular, demikian juga jaringan lain rentan terhadap terjadinya
komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah,
dan sel retina serta lensa). Oleh sebab itu, DM yang tidak terkontrol jika
terus dibiarkan akan menimbulkan keluhan seperti yang diderita Ny.
Fatimah saat ini akibat dari kerusakan jaringan saraf yang mengakibatkan
kelemahan tungkai (Djokomuljanto, 1986).
Sejak 6 tahun lalu, Ny. Fatimah telah menderita Diabetes Melitus
namun tidak disadari, ditandai dengan gejala poliuria, polidispia, dan
polifagia. Diabetes melitus yang diderita Ny. Fatimah berhubungan
dengan keluhan saat ini yaitu kesemutan dan nyeri pada keempat anggota
gerak, karena terjadi hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivasi jalur poliol, sintesis advance glycosilation
end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein
kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya
vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mionositol dalam sel terjadilah ND yang ditandai dengan
kesemutan dan nyeri (Djokomuljanto, 1986).

11
4. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat kencing manis dalam keluarga
juga tidak ada.
a. Apa makna riwayat kencing manis disangkal dan riwayat kencing manis
dalam keluarga tidak ada?
Makna riwayat kencing manis disangkal adalah Ny. Fatimah tidak
mengetahui akan penyakit yang ia derita atau dengan kata lain ia
menderita diabetes melitus yang tidak disadarinya. Riwayat kencing
manis dalam keluarga tidak ada membuktikan bahwa tidak adanya faktor
genetik yang menybabkan Ny. Fatimah menderita penyakit tersebut,
melainkan kemungkinan pola hidup yang menjadi faktor pencetusnya.

5. Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur sejak 5 tahun yang lalu, minum
obat tekanan darah tinggi tidak teratur.
a. Apa hubungan riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur dengan keluhan
saat ini?
Riwayat darah tinggi dan penglihatan kabur merupakan komplikasi
dari diabetes melitus yang tidak disadari. Jaringan kardiovaskular dan sel
retina serta lensa merupakan jaringan yang rentan teradap terjadinya
komplikasi kronik diabetes. Retinopati merupakan sebab kebutaan yang
paling mencolok pada penderita diabetes. Hal ini disebabkan oleh
penumpukan sorbitol di dalam lensa karena aktifnya jalur poliol, yaitu
alternatif metabolisme glukosa sebagai kompensasi dari hiperglikemia.
Selain itu, terjadinya plak aterosklerosis pada daerah subintimal pembuluh
darah yang kemudian berlanjut pada terbentuknya penyumbatan pembuluh
darah (Sudoyo, 2009).

6. Riwayat minum obat-obatan lain disangkal. Riwayat trauma disangkal ,


infeski saluran pernafasan dan saluran cerna 1 bulan terakhir disangkal.
a. Apa makna riwayat trauma disangkal?
Riwayat trauma disangkal berarti menyingkirkan keluhan akibat
trauma yang pada umunya menimbulkan neuropati yang bersifat terbatas
(Utama, 1989).

b. Apa makna infeksi saluran pernafasan dan saluran cerna disangkal?


Infeksi saluran pernafasan dan saluran cerna disangkal menyingkirkan
DD(diagnosis banding) sindroma Gullian Barre yang dapat menyebabkan
polineuropati akibat infeksi atau racun yang dihasilkan oleh beberapa
bakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi autoimun (Helmi, 2012).

c. Apa obat yang ada hubungan dengan keluhan pada kasus ini?

12
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah:

a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist


b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau Areceptor antagonist/blocker
(ARB)

d. Apa jenis-jenis trauma?


Adapun jenis-jenis trauma susunan saraf pusat adalah trauma kepala
tertutup, trauma kepala terbuka, dan trauma spinal. Trauma kepala
tertutup (TKT) yang merupakan porsi besar dari penyakit neurologik
dewasa ini, contoh dari TKT adalah komosio serebri, kontusio serebri,
edma serebri traumatik, hematoma epidural, hematoma subdural,
hmatoma intraserebral, higroma, dan fraktur. Trauma kepala terbuka
merupakan wewenang bagian bedah saraf, dan trauma spinal merupakan
trauma yang terjadi akibat fratur atau spondiostesis C1-C2-C3 (Bakay,
1980).

7. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: Compos mentis
Tanda Vital: TD: 170/95 mmHg, Nadi: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, Suhu
37 ̊C, VAS (Visual Analog Scale): 4
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan


Fisik

Kesadaran Compos Mentis Normal

Tanda Vital TD: 170/95 120/80 mmHg Abnormal


mmHg (Hipertensi)

Nadi: 84 x/menit 60 – 100 x/menit Normal

RR: 20 x/menit 18 – 24 x/menit Normal

Suhu 37°C 36,5°C – 37,5°C Normal

13
VAS (Visual < 4 : nyeri ringan Nyeri sedang
Analog Scale) : 4
4 – 7 : nyeri sedang

< 7 : nyeri hebat

(Sudoyo, 2009)

b. Bagaimana mekanisme pada hasil pemeriksaan abnormal?

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya


angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme
(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal)
akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-
paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah
yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui
dua aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik


(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar
pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan
tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya
akan meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks


adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan
penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan

14
multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah
fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi
mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber
vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah
dan stimulasi neural.

Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa


faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress
dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan
penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang-
kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode
asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi
hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta
dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien


umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian
menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan
perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50
tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia
40-60 tahun.

(Levanita, 2011)

c. Bagaimana pemeriksaan Visual Analog Scale?

Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan


derajat nyeri, salah satunya adalah Visual Analoque Scale (VAS).
Skala ini hanya mengukur intensitas nyeri seseorang. Visual Anoloque
scale yang merupakan garis lurus dengan ujung sebelah kiri diberi
tanda 0 = untuk tidak nyeri dan ujung sebelah kanan diberi tanda
dengan angka 10 untuk nyeri terberat yang terbayangkan. Cara
pemeriksaan Visual Analoque Scale adalah penderita diminta untuk
memproyeksikan rasa nyeri yang dirasakan dengan cara memberikan
tanda berupa titik pada garis lurus Visual Analoque Scale antara 0-10
sehingga penderita dapat mengetahui intensitas nyeri.

15
VAS dapat diukur secara kategorikal, nyeri ringan dinilai dengan VAS :0
<4,sedang nilai VAS : >4-7, berat dengan nilai VAS >7-10.

8. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Visus: 5/300 tidak dapat terkoreksi dengan sempurna dengan
kacamata.
Pemeriksaan neurologi didapat: Kekuatan 4 pada keempat anggota gerak,
Refleks fisiologi menurun pada kedua lengan dan negatif pada tungkai bawah,
Refleks patologis (-), gangguan sensibilitas berpola sarung tangan dan kaos
kaki.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan khusus?

Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan


Laboratorium

Darah rutin Hb: 13 mg/dl 12 – 16 mg/dl Normal

Leukosit: 7000 4000 – 10.000 Normal

Eritrosit: 5.000.000 3.000.000 – 5.000.000 Normal

Trombosit: 380.000 150.000 – 400.000 Normal

GDS: 440 mg/dl < 100 mg/ dl : Bukan DM Abnormal


(Diabetes
100 – 199 mg/dl : Belum
Mellitus)
pasti DM

>200 mg/dl : DM

HbA1C: 12,3 % 3,5 – 5,5 % : Normal Abnormal


(Kontrol glukosa
3,5 – 6 % : Kontrol
buruk)
glukosa baik

7 – 8 % : Kontrol glukosa

16
sedang

>8 % : Kontrol glukosa


buruk

Ureum: 35 mg/dl 14 – 40 mg/dl Normal

Kreatinin: 1,2 0,5 – 1 mg/dl Normal


mg/dl

SGOT 30 u/l < 31 u/l Normal

SGPT 23 u/l < 31 u/l Normal

(Sudoyo, 2009)

b. Bagaimana mekanisme pada hasil pemeriksaan abnormal?


Makna dari gangguan tersebut menunjukkan berkurangnya kepekaan
terhadap rangsangan karena terjadi lesi pada saraf perifer sehingga
seakan-akan memakai sarung tangan dan kaos kaki. Pada penderita
diabetes melitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat
kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya
banyak sel persarafan terutama bagian saraf perifer mengalami kerusakan
(England dan Asbury, 2004).

Hiperglikemi peningkatan jalur poliol  glukosa – sorbitol – fruktosa


(yg bersifat impermeable)  akumulasi pada sel schwan  peningkatan
tekanan osmotik  gangguan morfologi dan fungsional  terjadi
pembentukan mikroaneurisme (pembengakakan yang menyerupai balon
kecil karena pembesaran pada pembuluh darah kapiler), terjadi nya
penyumbatan PD  perfusi darah hilang iskemiklemah pada tungkai

c. Bagaimana cara pemeriksaan refleks patologis dan fisiologis?


Cara pemeriksaan refleks patologis dan fisiologis, yaitu:

a. Reflek Fisiologis
1. Penentuan lokasi pengetukan yaitu tendon periosteum dan kulit

2. Anggota gerak yang akan dites harus dalam keadaan santai.

17
3. Dibandingkan dengan sisi lainnya dalam posisi yang simetris

Refleks Fisiologis Ekstremitas Atas

1. Refleks Bisep
a. Pasien duduk di lantai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi,
lengan diletakkan di atas lengan pemeriksa

Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa pada tendon m.biceps


brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.

Respon : fleksi lengan pada sendi siku

Afferent : n.musculucutaneus (C 5-6); Efferent : idem

2. Refleks Trisep
a. Pasien duduk dengan rileks
b. Lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa
c. Pukullah tendo trisep melalui fosa olekrani
Stimulus : ketukan pada tendon otot triceps brachii, posisi lengan
fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi
Respon : ekstensi lengan bawah disendi siku.
Afferent : n.radialis (C6-7-8); Efferent : idem

3. Reflesk Brakhioradialis
a. Posisi Pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep
b. Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal dengan palu refleks
Respon: muncul terakan menyentak pada lengan

4. Refleks Periosteum radialis


a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan
sedikit dipronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
Respon: fleksi lengan bawah dan supinasi lengan

5. Refleks Periosteum ulnaris


a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan
antara supinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris
Respon: pronasi tangan

Refleks Fisiologis Ekstremitas Bawah


1. Refleks Patela
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang
tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien

18
d. Ketuk tendo patela dengan palu refleks menggunakan tangan
yang lain
Respon: pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep,
ekstensi tungkai bawah
Stimulus : ketukan pada tendon patella
Respon : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m.quadriceps
femoris
Afferent : n.femoralis (L 2-3-4)
Efferent: idem

2. Refleks Kremaster
a. Ujung tumpul palu refleks digoreskan pada paha bagian medial
Respon: elevasi testis ipsilateral

3. Reflesk Plantar
a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu refleks
Respon: plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki

4. Refleks Gluteal
a. Bokong pasien digores dengan ujung tumpul palu refleks
Respon: kontraksi otot gluteus ipsilateral

5. Refleks Anal Eksterna


a. Kulit perianal digores dengan ujung tumpul palu refleks
Respon: kontraksi otot sfingter ani eksterna

b. Reflek Patologis

1. Hoffmann tromer
Tangan pasein ditumpu oleh tangan pemeriksa. Kemudian ujung jari
tangan pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan
penderita. Reflek positif jika terjadi fleksi jari yang lain dan adduksi
ibu jari

2. Rasping
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari
dan telunjuk penderita. Maka timbul genggaman dari jari penderita,
menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderita dapat
membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak kecil.
Jika positif pada dewasa maka kemungkinan terdapat lesi di area
premotorik cortex

3. Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus
mentali ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi
UMN di atas inti saraf VII kontralateral

4. Reflek snouting
Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris maka akan
menimbulkan reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tongue spatel

19
akan timbul reflek menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada
dewasa akan menandakan lesi UMN bilateral

5. Mayer reflek
Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara halus
normal akan timbul adduksi dan aposisi dari ibu jari. Absennya respon
ini menandakan lesi di tractus pyramidalis

6. Reflek babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui
sisi lateral. Orang normal akan memberikan resopn fleksi jari-jari dan
penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol
kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau
membuka. Normal pada bayi masih ada.

7. Reflek oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke
bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah. Jika positif maka akan
timbul reflek seperti babinski.

8. Reflek gordon
Lakukan goresan/memencet otot gastrocnemius, jika positif maka akan
timbul reflek seperti babinski.

9. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul
refflek seperti babinski.

10. Reflek caddock


Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak
kaki, dari tumit ke depan. Jika positif maka akan timbul reflek seperti
babinski.

11. Reflek rossolimo


Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek
akan terjadi fleksi jari-jari kaki.

12. Reflek mendel-bacctrerew


Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi
jari-jari kaki.

(Helmi, 2012)

9. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb 13 mg/dL, Leukosit 7000, Eritrosit 5.000.000, Trombosit
380.000, GDS: 440 mg/dL, HbA1C: 12,3%, Ureum: 35 mg/dL, Kreatinin: 1,2
mg/dL, SGOT 30 u/l, SGPT 23 u/l
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?

20
Hasil Lab
Pemeriksaan Kadar normal Interpretasi
Ny. Fatimah

GDS 140 – 200 mg% 440 mg% + Diaebet

Ureum 15-40 mg/dl 35 mg/dl Normal

Creatinin 0,7-1,5 mg/dl 1.2 mg/dl Normal

HbA1c yang lebih dikenal dengan hemoglobin glikat adalah


salah satu fraksi hemoglobin didalam tubuh manusia yang berikatan
dengan glukosa secara enzimatik. Hal ini dapat dimengerti jika kadar
glukosa yang berlebih akan selalu terikat didalam hemoglobin, juga
dengan kadar yang tingggi. Akan tetapi kadar HbA1c yang terukur
sekarang atau sewaktu mencerminkan kadar glukosa pada waktu 3
bulan yang lampau (sesuai dengan umur sel darah merah manusia kira-
kira 100-120 hari), sehingga hal ini dapat memberikan informasi
seberapa tinggi kadar glukosa pada waktu 3 bulan yang lalu.
Sebenarnya pada manusia normal, terdapat juga keterikatan antara
hemoglobin dengan glukosa tetapi dalam jumlah yang normal yaitu
sekitar 4-6%, pada penderita DM yang diprediksi memiliki kerentanan
terhadap terjadinya komplikasi adalah 8-10%.

Nilai normal kreatinin serum:


Perempuan dewasa: 0,5-1,3 mg/dl
Laki-laki dewasa 0,7-1,5 mg/dl

Nilai normal ureum: 10-50 mg/dl

SGOT (serum glutamik oksaloasetik Transminase)

21
Laki-laki : 37 U/L
Wanita : 31 U/L

SGPT (serum glutamik pyruvik transaminase)


Laki-laki :s/d 42 U/L
Wanita : s/d 32 U/L

b. Bagaimana mekanisme dari hasil pemeriksaan abnormal?

Konsentrasi insulin yang tinggi → self regulation reseptor insulin


→ penurunan respon reseptor → resistensi insulin → peningkatan
produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa → kadar glukosa
darah meningkat → hiperglikemia → diabetes melitus → kadar glukosa
darah selalu di atas normal (Sudoyo, 2011).

10. Jika semua symptom dan sign dihubungkan, maka


a. Bagaimana cara mendiagnosis pada kasus ini ?
1. Anamnesis gejala dan tanda
Langkah awal dalam mendiagnosis neuropati perifer adalah
menentukan gejala dan tanda yang berhubungan dengan disfungsi
saraf perifer. Biasanya pasien mengalami munculan gejala yang
bermacam-macam. Pada pasien usia tua sering terjadi neuropati yang
berkaitan dengan mielopati spondilosis servikalis, dimana gejala
neuropati aksonal predominan sensorik baru muncul pada onset
lanjut. Sama halnya dengan radikulopati spondilosis, yang bisa
muncul dengan gejala neuropati entrapment pada anggota gerak atas,
patologi yang terlibat perlu digali secara cermat. Gejala neuropati
dapat dikelompokkan menjadi gejala negatif atau positif. Gejala
positif mencerminkan aktivitas spontan serabut saraf yang tidak
adekuat, sedangkan gejala negatif menunjukkan terjadinya penurunan
aktivitas serabut saraf. Gejala negatif meliputi kelemahan, fatigue,
dan wasting, sementara gejala positif mencakup kram, kedutan otot,
dan myokimia. Kelemahan biasanya belum bermanifestasi sampat 50-
80% serabut saraf mengalami kerusakan; gejala positif mungkin
muncul pada awal proses penyakit. Gejala negatif seperti hipestesia
dan abnormalitas melangkah. Gejala lain yang juga sering adalah

22
kesulitan membedakan rasa panas atau dingin dan keseimbangan yang
semakin memburuk terutama saat gelap dimana input visual tidak
cukup mengkompensasi gangguan propriopseptif. Gejala positif
mencakup rasa terbakar atau tertusuk, rasa geli/kesemutan. Gejala
yang mungkin melibatkan sistem saraf otonom mencakup rasa haus,
kembung, konstipasi, diarem impotensi, inkontinensia urin,
abnormalitas keringat, dan rasa melayang yang berkaitan dengan
orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor mungkin melaporkan
keempat anggota gerak terasa dingin sejalan dengan perubahan warna
kulit dan trofi otot.
2. Anamnesis riwayat sosial
Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan
(kemungkinan paparan toksik dari bahan kimia), riwayat seksual
(kemungkinan HIV atau hepatitis C), konsumsi alkohol, kebiasaan
makan, dan merokok. Sedangkan dari riwayat keluarga dan
pengobatan sebelumnya perlu difokuskan pada penyakit yang
berhubungan dengan neuropati, seperti endokrinopati (diabetes,
hipotiroid), insufisiensi renal, disfungsi hepar, penyakit jaringan
penyambung, dan keganasan. Pengobatan yang pernah dikonsumsi
pasien juga perlu dijelaskan untuk menentukan kemungkinan adanya
hubungan temporal antara obat dengan neuropati. Kemoterapi,
pengobatan HIV, dan antibiotik golongan kuinolon merupakan
beberapa contoh agen penyebab neuropati. Selain itu, konsumsi
vitamin B6 (Pyridoxine) melebihi dosis 50-100 mg per hari juga
dapat mencetuskan neuropati.
3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital ortostatik
dapat mengidentifikasi adanya disautonomia. Pemeriksaan terstruktur
dari sistem organ dapat menentukan kemungkinan adanya
endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-lain. Selanjutnya,
pemeriksaan saraf kranial mencakup penilaian adanya anosmia
(refsum disease, defisiensi vitamin B12), atrofi saraf optik, anisokoria
dan penurunan refleks cahaya (disautonomia parasimpatetik),
gangguan gerakan okuler (sindrom Miller Fisher), kelemahan otot

23
wajah (sindrom Guillain Barre), dan sensorik trigeminal (sindrom
Sjogren). Pemeriksaan motorik komprehensif mencakup penilaian
tonjolan otot, contohnya observasi atrofi otot intrinsik tangan dan
kaki. Selain itu dinilai hipereksitabilitas, tonus, dan kekuatan otot
dengan skala Medical Research Council. Dynamometri dapat dipakai
untuk penilaian kekuatan otot yang lebih tepat. Karena sebagian besar
neuropati mengakibatkan kelemahan distal, otot intrinsik kaki dapat
terkena lebih dulu, dengan manifestasi kaki bengkok dan ibu jari
seperti palu (hammer toes). Kelemahan saat fleksi dan ekstensi jari
kelingking dan kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul pada fase
awal. Sudut antara tibia dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang
lebih besar menunjukkan kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki.
Pada tangan, otot abduktor jari telunjuk dan kelingking yang terkena
lebih dulu. Selain itu, perlu diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada
pasien neuropati kronik, pasien mengalami kesulitan berjalan dengan
tumit dibanding berjalan dengan ujung jari.
4. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf
perifer dan pola penyakit. Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf
ukuran besar atau kecil. Penilaian serabut saraf besar mencakup
sensasi getar, posisi sendi, dan rasa raba ringan. Sedangkan penilaian
serabut kecil mencakup uji pin-prick dan sensasi suhu. Tes Romberg
juga bermanfaat menilai fungsi serabut besar. Dalam melakukan
pemeriksaan sensorik, perlu memikirkan jenis neuropati yang
dikeluhkan, mencakup mononeuropati, polineuropati (distal simetrik
atau multifokal), radikulopati, pleksopati. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi area yang mengalami kelainan dan dibandingkan
dengan area kontralateral yang simetris. Selain itu juga dibandingkan
dengan area lain yang normal, dan dikaitkan dengan dermatom saraf.
Penurunan refleks tendon sangat membantu dalam menentukan
lokalisasi kerusakan lower motor neuron. Hiporefleks atau arefleks
sering ditemukan pada neuropati serabut saraf yang besar, namun
pada neuropati serabut saraf kecil refleks tendon dalam seperti refleks
Achilles masih baik.

24
5. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis
cukup banyak, dan tergantung dari klinis pada pasien. American
Academy of Neurology (AAN) mengajukan parameter praktis
pemeriksaan laboratorium dan genetik pada polineuropati distal
simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula
darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati,
pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap
darah, uji fungsi tiroid, dan immunofixation electrophoresis serum
(IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya mencakup Myelin associated
glycoprotein (MAG), sulfatide, dan antibodi GD1B. Pada neuropati
demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan
pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal,
perlu dilakukan pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien
sindrom Guillain Barre, uji anti GQ1b, anti GM1, dan anti GD1a
dapat menunjang diagnosis. Pada pasien yang dicurigai menderita
vaskulitis dan connective tissue disorder (Sjogren syndrome, SLE,
rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive protein, antinuclear
antibody, double-stranded DNA, reumatoid factor, proteinase 3,
myeloperoxidase, complement, angiotensin converting enzyme, panel
hepatitis B dan C, serta cryoglobulin perlu dilakukan. Sedangkan
pada pasien predominan neuropati sensorik, perlu dilakukan uji anti
Hu antibody, dimana keadaan ini berkaitan dengan neuropati
paraneoplastik. Pemeriksaan urin dapat mengkonfirmasi
kemungkinan paparan bahan kimia logam berat, seperti uji kadar
arsenik dan tembaga dalam urin. Prosedur ini perlu dilakukan bila
terdapat riwayat paparan logam berat, setelah menjalani pembedahan
bariatric, atau intake Zinc berlebihan (Burns dan Mauermann, 2011).

b. Bagaimana diagnosis banding pada kasus ini ?

DD Aku Kronis dem LM Visu Tetrapa Hiper Nyeri Stocking Hipest


t am N s -ralese - malam -glove esi
glike

25
mi hari

Polineuropati -  -       
diabetik

Gullain -   -  -   
Barre
Syndrome

Polimiolitis -   -  -  - -

a. Polineuropati diabetika
Neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau
tanda dari disfungsi saraf perifer dari penderita diabetes
tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus setelah
dilakukan eksklusi penyebab lainnya. Polineuropati
diabetika menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi
dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi
gangguan sensorik, motorik maupun otonom.
Polineuropati adalah kelainan fungsi yang
berkesinambungan pada beberapa saraf perifer di seluruh
tubuh. Penyebab karena infeksi bisa menyebabkan
polineuropati, kadang karena racun yang dihasilkan oleh
beberapa bakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi
autoimun, bahan racun bisa melukai saraf perifer dan
menyebabkan polineuropati atau mononeuropati (lebih
jarang), kanker bisa menyebabkan polineuropati dengan
menyusup langsung ke dalam saraf atau menekan saraf atau
melepaskan bahan racun, kekurangn gizi dan kelainan
metabolik juga bisa menyebabkan polineuropati.
Kekurangan vitamin B bisa mengenai saraf perifer di
seluruh tubuh, penyakit yang bisa menyebabkan
polineuropati kronik (menahun) adalah diabetes, gagal

26
ginjal dan kekurangan gizi (malnutrisi) yang berat.
Polineuropati kronik cenderung berkembang secara lambat
(sampai beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai di
kaki (kadang di tangan) .
Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut
: tiga sampai empat hari pertama pembengkakan dan
menjadi irreguler dari selubung myelin. Hari ke lima terjadi
desintegrasi myelin dan pembengkakan aksis silinder. Pada
hari ke sembilan timbul limfosit, hari ke sebelas timbul
fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi Schwan sel.
Kesemutan, mati rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan
untuk merasakan getaran atau posisi lengan, tungkai dan
sendi merupakan gejala utama dari polineuropati kronik.
Nyeri seringkali bertambah buruk di malam hari dan bisa
timbul jika menyentuh daerah yang peka atau karena
perubahan suhu. Ketidakmampuan untuk merasakan posisi
sendi menyebabkan ketidakstabilan ketika berdiri dan
berjalan. Pada akhirnya akan terjadi kelemahan otot dan
atrofi (penyusutan otot). Kelumpuhan biasanya timbul
sesudah tidak ada panas, kelumpuhan otot biasanya bilateral
dan simetris dengan tipe "lower motor neuron dengan
penyebaran kelumpuhan yang bersifat ascending yaitu
mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar ke ekstrimitas
atas, tetapi bisa pula descending yaitu mulai dari ekstrimitas
atas yang turun ke ekstremitas bawah.

b. Sindrom Guillain Barre (SGB)


Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu
kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari

27
otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga bagian
wajah.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang
mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas
seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-
infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma
pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-
perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik
penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat
tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks
ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap
radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang
berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia
servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda
proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan
LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak,
kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul.
Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit
sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan
edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi
terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri
dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula,
makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit.
Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan
aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan
radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi
pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya
permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot
ekstremitas tipe lower motor neuron. Pada sebagian besar
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak

28
atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke
badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris
dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat
kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian
distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih
berat dari bagian proksimal (Sudoyo, 2009).

c. Apa pemeriksaan penunjang pada kasus ini ?


Pemeriksaan penunjang pada kasus ini adalah

1) Elektromiografi (EMG)
Ini merupakan investigasi penting yang membantu
melokalisasi, menggolongkan jenis dan keakutan neuropati
periferal.Bagian pertama EMG melibatkan perangsangan syaraf
periferal dan pencatatan sinyal listrik. Bagian kedua melibatkan
penyisipan jarum sangat tipis ke dalam anggota tubuh atau otot
punggung dan mencatat aktivitas motorik mereka.
2) Punksi Lumbal
Ini adalah prosedur di tempat tidur dimana sejumlah
kecil cairan serebrospinal (dari bagian punggung bawah)
diambil untuk analisa di bawah kondisi steril dan bius lokal.
3) Biopsi Kulit
Ini adalah prosedur sederhana di tempat tidur untuk
mengkonfirmasi neuropati yang mempengaruhi syaraf kecil
yang berakhir di kulit. Pelubangan biopsi kulit (berdiameter
sekitar 3mm) dilakukan di bawah bius lokal pada kaki dan
paha.
4) Tes Fungsi Otonom
Ini adalah tes non invasif yang mengevaluasi sistem
syaraf otonom.
5) Biopsi Syaraf
Ini terkadang dilakukan untuk konfirmasi keberadaan
peradangan syaraf misalnya neuropati vaskulitik.
(Sidharta, 2010)

29
d. Bagaimana working diagnosis pada kasus ini ?
Polineuropati diabetik

e. Apa etiologi pada kasus ini ?

Beberapa faktor yang memberikan kontribusi pada polineuritis, adalah


infeksi, toksin, kanker, kekurangan gizi, dan penyakit kronis. Dalam kasus
ini etiologi dari penyakit yang diderita Ny. Fatimah adalah penyakit
kronis, penyakit yang bisa menyebabkan polineuropati kronik (menahun)
adalah diabetes, gagal ginjal, dan kekurangan gizi (malnutrisi) yang berat.
Polineuropati kronik cenderung berkembang secara lambat (sampai
beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai di kaki. Keadaan yang
paling sering ditemukan adalah neuropati diabetikum, yang merupakan
polineuropati distalis, yang menyebabkan kesemutan atau rasa terbakar di
tangan dan kaki. Diabetes juga dapat menyebabkan mononeuropati atau
mononeuropati multiple yang berakhir dengan kelemahan, terutama pada
mata dan otot paha (Helmi, 2012).

f. Bagaimana tatalaksana pada kasus ini ?


Adapun tatalaksana pada kasus Ny. Fatimah kali ini, yaitu:

a) Penanganan terhadap diabetes mellitus


Langkah awal adalah memperbaiki metabolism penerita DM dan
biasanya dengan perbaikan metabolic dan pengendalian
hiperglikemia, maka keluhan neuropati dapat berkurang.
b) Penanganan neuropati diabetika berdasarkan etiopatofisiologi
Sebaiknya semua faktor risiko harus dihilangkan atau setidaknya
dikurangi, misalnya menghindari alcohol, diet cukup protein dan
pembatasan karbohidrat dan kalori. Pemberian vitamin B1 dosis
tinggi sering digunakan, namun demikian bukti ilmiah masih
dikontroversial.
c) Penanganan terhadap keluhan
Nyeri seringkali menjadi keluhan utama. Untuk ini dapat diberikan
analgesic, dan bila perlu dapat ditambahkan antidepresan dan /atau

30
karbamazepin. Untuk gastroparesis dan keluhan esophagus dapat
diberikan metoklopramida. Pada gustatory sweating dapat
diberikan obat antikolinergik.
(Clement, 1982)

Untuk pengelolaan neuropati diabetik dengan nyeri


a. NSAID(ibu profen 600 mg 4x/hari,sulindac 200 mg
2x/hari)
b. Anti konvulsan (gabapentin 900 mg 3x/hari, karbamazepin
200 mg 4x /hari)
c. Antiaritmia(mexiletin 150-450 mg /hari)
d. Topikal: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg
3x/hari
e. Duloxetine
Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri
neuropatik , walaupun mekanisme kerjanya dalam
mengurangi nyeri belum sepenuhnya dipahami. Hal ini
mungkin berhubungan dengan kemampuannya untuk
meningkatkan aktivitas norepinephrin dan 5-HT pada
sistem saraf pusat, duloxetine umumnya dapat ditoleransi
dengan baik, dosis yang dianjurkan yaitu duloxetine
diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun pada
dosis 120 mg/hari menunjukkan keamanan dan
keefektifannya, tapi tidak ada bukti yang nyata bahwa dosis
yang lebih dari 60 mg/hari memiliki keuntungan yang
signifikan, dan pada dosis yang lebih tinggi kurang dapat
ditoleransi dengan baik
f. Gabapentin
Gabapentine diindikasikan untuk penanganan PHN
pada orang dewasa, molekulnya secara struktural
berhubungan dengan neurotransmitter gamma-amino
butyric acid, namun gabapentin tidak berinteraksi secara
signifikan dengan neurotransmitter yang lainnya, walaupun

31
mekanisme kerja gabapentin dalam mengurangi nyeri pada
PHN belum dipahami dengan baik, namun salah satu
sumber menyebutkan bahwa gabapentin mengikat reseptor
α2δ subunit dari voltage-activated calsium channels,
pengikatan ini menyebabkan pengurangan influks ca2+ ke
dalam ujung saraf dan mengurangi pelepasan
neurotransmitter, termasuk glutamat dan norepinephrin.
Pada orang dewasa yang menderita PHN, terapi
gabapentin dimulai dengan dosis tunggal 300 mg pada hari
pertama, 600 mg pada hari kedua (dibagi dalam dua dosis),
dan 900 mg pada hari yang ketiga(dibagi dalam 3 dosis).
Dosis ini dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengurangi
nyeri sampai dosis maksimum 1800 hingga 3600 mg(dibagi
dalam 3 dosis). Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan
usia lanjut dosisnya dikurangi.
g. Pregabalin
Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri
neuropatik untuk DPN dan juga PHN. Mekanisme kerja
dari pregabalin sejauh ini belum dimengerti, namun
diyakini sama dengan gabapentin. Pregabalin mengikat
reseptor α2δ subunits dari voltage activated calsium
channels, memblok ca2+ masuk pada ujung saraf dan
mengurangi pelepasan neurotransmitter. Pada penderita
DPN yang nyeri, dosis maksimum yang direkomendasikan
dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari (300mg/hari).
Pada pasien dengan creatinin clearance ≥ 60 ml/min, dosis
seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali sehari (150mg/hari)
dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1 minggu
berdasarkan keampuhan dan daya toleransi dari penderita.
Dosis pregabalin sebaiknya diatur pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Pada penderita PHN, dosis yang
direkomendasikan dari pregabalin adalah 75 hingga 150 mg
2 kali sehari atau 50 hingga 100 mg 3 kali sehari (150-300
mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance ≥ 60

32
ml/min, dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50 mg 3
kali sehari (150 mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300
mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya
toleransi penderita, jika nyerinya tidak berkurang pada
dosis 300 mg/hari, pregabalin dapat ditingkatkan hingga
600 mg/hari.

Obat yang mencegah komplikasi lanjut penyakit Diabetes melitus


a. Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa
b. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs.
(Bril et al, 2011)

g. Bagaimana komplikasi pada kasus ini jika tidak ditangani secara


kompherensif ?

Adapun komplikasi pada kasus ini jika tidak ditangani secara


kompherensif adalah:
a) Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis Adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias, terutama diakibatkan
oleh defisiensi insulin absolut atau insulin relatif.
2) Hipoglikemi
Hipoglikemi adalah penurunan kadar glukosa dalam darah.
Biasanya disebabkan peningkatan kadar insulin yang
kurang tepat atau asupan karbohidrat kurang.
3) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah suatu
dekompensasi metabolik pada pasien diabetes tanpa
disertai adanya ketosis. Gejalanya pada dehidrasi berat,
tanpa hiperglikemia berat dan gangguan neurologis.

b) Komplikasi kronis

33
1. Mikroangiopati
Retinopati diabetikum disebabkan karena kerusakan
pembuluh darah retina. Faktor terjadinya retinopati diabetikum
: lamanya menderita diabetes, umur penderita, kontrol gula
darah, faktor sistematik (hipertensi, kehamilan).
Nefropati diabetikum yang ditandai dengan
ditemukannya kadar protein yang tinggi dalam urin yang
disebabkan adanya kerusakan pada glomerulus. Nefropati
diabetikum merupakan faktor resiko dari gagal ginjal kronik.
Neuropati diabetikum biasanya ditandai dengan
hilangnya refleks. Selain itu juga bisa terjadi poliradikulopati
diabetikum yang merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan gangguan pada satu atau lebih akar saraf dan dapat
disertai dengan kelemahan motorik, biasanya dalam waktu 6-12
bulan.
2. Makroangiopati
Penyakit jantung koroner dimana diawali dari berbagai
bentuk dislipidemia, hipertrigliseridemia dan penurunan
kadar HDL. Pada DM sendiri tidak meningkatkan kadar
LDL, namun sedikit kadar LDL pada DM tipe II sangat
bersifat atherogeni karena mudah mengalami glikalisasi dan
oksidasi.
Kaki Diabetik
Terdapat 4 faktor utama yang berperan pada kejadian
kaki diabetes melitus :
1. Kelainan vaskular : Angiopati, contoh : aterosklerosis
2. Kelainan saraf : Neuropati otonom dan perifer
3. Infeksi
4. Perubahan biomekanika kaki

(Sudoyo, 2009)

h. Bagaimana prognosis pada kasus ini ?

34
Tipe diabetic berpengaruh pada prognosis. Tipe NIDDM (non insulin
dependent DM) lebih baik dati IDDM. Lama dan beratnya DM dan lama
dan beratnya keluhan neuropati yang dialami, dan apakah sudah mengenai
saraf otonom, semuanya akan menentukan prognosis neuropati diabetika.
Pada kasus ini mengingat keluhan yang sudah berlangsung lama dan usia
Ny. Fatimah yang telah memasuki masa degeneratif maka prognosis pada
kasus adalah dubia at malam.

i. Bagaimana SKDU pada kasus ini ?


Untuk penyakit neuropati KDU nya 3A: Lulusan dokter mampu
membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan (SKDI
2012).

j. Bagaimana Pandangan Islam pada kasus ini ?

“Di waktu saya beserta Nabi Muhammad SAW., datanglah


beberapa orang badui, lalu mereka bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah
kami mesti berobat?”, Jawab beliau, “Ya, wahai hamba Allah, berobatlah
kamu, karena Allah tidak mengadakan penyakit melainkan Dia adakan
obatnya, kecuali satu penyakit”. Tanya mereka, “Penyakit apa itu?”.
Beliau menjawab, “Tua” (HR. Ahmad).
Dari hadist ini kita mengetahui bahwa penyakit degeneratif tidak
dapat diobati melainkan dapat dicegah sebelum terjadi. Oleh sebab itu,
jika penyakit yang diderita berhubungan dengan usia maka seseorang
harus bersabar dan berusaha untuk memperbaki pola hidupnya agar tidk
memperburuk keadaan.

2.4 Kesimpulan
Ny. Fatimah, 53 tahun, mengalami keluhan utama kesemutan dan nyeri pada ke-4
anggota gerak karena menderita polineuropati diabetik akibat diabetes melitus
yang tidak disadari.

35
2.5 Kerangka Konsep

Ny. Fatimah, 53
tahun

DM yang tidak
disadari

Hipertensi Gangguan
(nefropati) penglihatan

Gangguan saraf (retinopati)


motorik dan
sensorik
(Polineuropati)

36
DAFTAR PUSTAKA

Bakay, L., & Glasauer, F.E. 1980. Head Injuries. Philadelphia: Davis Co.

Burns TM, Mauermann ML. The evaluation of polyneuropathies. Neurology 2011;76:S6-S13


.
Clement,F., & Bell, M. 1982. Diabetic Neuropathy. London: Saunders Company.
Djokomuljanto, R. 1986. Neuropati Diabetik, Simposium Neuropati, Pertemuan Nasional
Dwiwarsa I IDASI Semarang.

Frida, M. 2012. Clinical Approach And Electrodiagnostic Studies Of Peripheral


Neuropathy In Elderly. Padang: Department of Neurology, Medical Faculty
of University of Andalas Dr. M. Djamil Hospital.

Guyton, AC dan Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Helmi, Zairin Noor, 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Isselbacher. Kurt J., Braunwald. Eugene.dkk. 2000. Harrison Prinsip-prinsipIlmu Penyakit


Dalam. Jakarta: EGC

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
kedokteran Indonesia.

Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:


Badan Penerbit FK UI.
Price, SA dan Wilson, LM. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Jakarta: EGC.

Shidarta. 2010. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC.

Soewondo, P. 2000. Ketoasidosis diabetik, Dalam: Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang


Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudoyo. Aru W., Setiyohadi. Bambang. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing.

Teguh Priyantono, 2005. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Timbulnya


Polineuropati pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Semarang. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Saraf FK UNDIP.

Utama, Y. 1989. Neuropati. Jakarta: Yayasan Pnerbit IDI.

37

Anda mungkin juga menyukai