Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PRESENTASI

MK : PENGELOLAHAN TANAH
JUDUL
SEMUA TANAH RAWAH SAWAH PASANG SURUT

KELOMPOK 13
1. SAMSILIYANTO NAPU : 613 415 009
2. ANISA MAMONTO : 613 415 010
3. GUSVENTI : 613 415 011
4. ABDUL KADIR LASIKI : 613 415 012
5. SURYANINGSIH ULOLI : 613 416 011

Pembahasan : Tanah sub ordo aqudot (tanah black) humus, rendah dan sulfat masam.

Sub Ordo tanah dibedakan berdasarkan perbedaan genatik tanha misalnya : ada tindnya
sifat – sifat tanah yang berhubungan dengan pengaruh : 1. Air, 2. Regim kelembaban, 3. Bahan
induk utama, dan 4. Vegetasi. Sedangkan pembeda sub ordo untuk tanah ordo histosal (tanah
organic) adalah tingkat pelapukan dari bahan organic pembentuknya: Fibris, hemis, dan safris.
Contoh tata nama tanah kategori sub ordo : Uldult.

ORDO > SUBORDO

1. ALFISOL :
 Aqualfs
 Crystals
 Ustalfs
 Xerafls
 Udalfs
2. ANDISOLS :
 Aquands
 Gelands
 Crysands
 Torrands
 Xerands
 Vitrands
 Ustands
 Udands
3. ARDISOLS :
 Cryids
 Salidsa
 Gypsids
 Argids
 Calcids
 Cambids
4. ENTISOLS :
 Aquents
 Psamments
 Orthonts
5. GELISOLS :
 Histels
 Turbels
 Orthels
6. HISTOSOLS :
 Folists
 Wassists
 Fibrists
 Saprists
 Hemists

 Tanah Entisol
Jenis tanha entisol pada umunya belum jelas membentuk deferensiasi horizon meskipun
horizon pada tanah Entisol tua, horizon mulai membentuk horizon Al lemah yang berwarnah
kelabu mengandung bahan yang belum mengalami kelapukan.tekstur tanah biasanya kasar,
struktur kersai atau remah, dengan konsistensi gembur sampai remah, dengan konsistensi
lepas sampai gembur dengan pH 6 -7. Semakin tua umur tanah, struktur dan konsistenya
semakin padat bahkan seringkali membentuk pads dengan drainase dan porositas yang
terhambat. Umunya tanah ini belum membentuk agregat sehingga peka terhadap erosi.
Umunya cukup mengandung P dan K yang masih segar dan belum siap untuk diserap oleh
tanaman tapi kekurangan unsure N (Darmawijaya, 1992).
Tanah Entisol merupaka tanah yang relative kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman, sehingga perlu upaya untuk menigkatkan produktifiasnya dengan jalan pemupukan.
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal perswahan baik sawah teknis
maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah (Kurnia, 2006).

Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap
erosi dan kandungan hara tersediakan rendah.Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini
kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas
bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik (Anonim, 2010).
Entisol (‘ent’ berasal dari kata recent) adalah tanah mineral yang tidak memiliki
horison-horison pedogenik yang mencirikan. Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang
belum membentuk horison diagnostik yang nyata karena pelapukan baru diawali atau bahan
induk yang sukar larut seperti pasir kuarsa, atau terbentuk batuan keras yang larutnya lambat
seperti batu gamping, atau topografi sangat miring sehingga kecepatan erosi melebihi
pembentukan horison pedogenik. Entisol dibagi menjadi 5 sub ordo, yaitu Aquents, Arents,
Fluvents, Orthents dan Psamments. Sub ordo Aquents mewakili kondisi akuik dan bahan
sulfidik di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu jenuh air dan matrik
tereduksi pada semua horison di bawah kedalaman 25 cm dari permukaan tanah mineral.
Entisol lain yang mempunyai satu lapisan atau lebih di antara kedalaman 25 dan 100 cm
dibawah permukaan tanah mineral, memiliki fragmen horison penciri sebesar 3 persen atau
lebih yang tidak tersusun secara jelas termasuk sub ordo Arents. Psamments merupakan
Entisol yang mempunyai fragmen batuan dan tekstur pasir halus berliat atau lebih kasar
sebesar kurang dari 35 persen, pada seluruh lapisan di dalam penampang kontrol kelas besar
butirnya. Entisol yang tidak mempunyai kontak densik, litik, atau paralitik di dalam 25 cm
dari permukaan tanah mineral dan mempunyai lereng kurang dari 25 persen, karbon organik
0,2 persen atau lebih pada kedalaman 125 cm di bawah permukaan tanah mineral dan rejim
suhu lebih panas dari cryik termasuk dalam sub ordo Fluvents, dan Ortents merupakan Entisol
yang lain (Soil Survey Staff, 1998).
Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan
pemupukan. Sistem pertanian konvensional selama ini menggunakan pupuk kimia dan
pestisida yang makin tinggi takarannya. Peningkatan takaran ini menyebabkan
terakumulasinya hara yang berasal dari pupuk/pestisida di perairan maupun air tanah,
sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Tanah sendiri juga akan
mengalami kejenuhan dan kerusakan akibat masukan teknologi tinggi. Atas latar belakang
tersebut dikembangkan sistem pertanian organik yang dilakukan oleh nenek moyang kita.
Beberapa petani di Sleman dan Magelang telah melakukannya, sementara yang lain belum
tertarik karena belum mengetahui manfaatnya terutama terhadap perbaikan sifat tanah
(Pradopo, 2000).
Entisol banyak terdapat di sekitar gunung aktif dan terutama di daerah-daerah saluran
lahar vulkan. Penyebarannya hampir terdapat di seluruh kepulauan Indonesia terutama Jawa,
Sumatera dan Nusa tenggara, luasnya lebih kurang 3 juta hektar atau sekitar 2,1 % dari
keseluruhan luas lahan di Indonesia sehingga peluang untuk ekstensifikasi masih terbuka luas.
Entisol mempunyai sifat fisik dan kimia yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tanah
ini umumnya bertekstur pasir sehingga struktur lepas, porositas aerasi besar dan permeabilitas
cepat. Selain itu kadar lempung dan bahan organik rendah, menyebabkan kapasitas menahan
air dan unsur hara rendah, agregasi lemah, kemantapan agregat rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa tanah ini mudah mengalami dispersi apabila mengalami tumbukan air hujan, dan
mengakibatkan tanah ini mudah tererosi dan agregat yang hancur menjadi partikel-partikel
yang sangat halus dapat menutupi pori-pori tanah sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi
tanah. Oleh sebab itu perlu dilakukan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi Entisol dengan
penambahan bahan organik dan penyediaan air yang cukup sehingga tanah ini dapat
digunakan untuk usaha-usaha pertanian (Sujadi, 1984).
Fluvent dan Aquent (tanah alluvial/entisol) terdapat di dataran-dataran banjir pada
lembah-lembah sungai dan di dataran pantai, yang menerima endapan baru dari lembah-
lembah sungai dan di dataran pantai, yang menerima endapan baru dari tanah alluvial secara
berkala. Jenis tanah Fluvent penting di dataran banjir di tepi sungai atau danau di Kalimantan.
Tanah-tanah ini umumnya terdapat di sungai-sungai yang mengangkut endapan yang rawan
terhadap banjir dan perubahan aliran sungai. Kandungan mineral dan kesuburan tanah
tropofluvents tergantung pada formasi geologi di daerah aliran sungai bagian hulu dan
topografi daerah sekitarnya. Dua lingkungan utama yang bertanah alluvial/entisol adalah
muara sungai dan rawa-rawa. Tanah-tanah entisol baru yang berasosiasi dengan air tawar
mendukung hutan-hutan rawa air tawar. Tanah entisol yang lebih baru ini umumnya lebih
subur daripada lereng-lereng sekitarnya, tetapi tidak sesubur tanah entisol laut atau abu
vulkanik. Tanan-tanh entisol di dataran tepi sungai adalah tanah-tanah yang paling subur dan
merupakan habitat yang mudah dikelola. Kebalikan dari tanah yang subur ini adalah tanah
psamments merupakan tanah muda yang mencolok, umumnya terdapat pada pantai-pantai
muda maupun pantai tua. Tanah Aquent jenuh air dalam suatu periode yang panjang dalam
satu tahun dengan ciri khas dalam, berwarna abu-abu dan warna lainnya, tingkat
kesuburannya tergantung pada kandungan mineral dan bahan organik endapan alluvial
aslinya. Tanah Hydraquent terdapat di rawa pasang surut, tanah ini muda, lunak. Berlumpur
dan belum berkembang. Tanah Sulfaquent umumnya terdapat bersama-sama Hydraquent.
Tanah-tanah ini sangat terbatas untuk tanah pertanian, karena mengandung pirit yang apabila
teroksidasi akan menimbulkan kondisi yang sangat masam dengan kadar besi dan alumunium
sulfat yang cukup tinggi sehingga bersifat beracun (Nordin, 2006).
Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak
hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses
pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Banyak tanah Entisol yang
digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah endapan sungai atau daerah rawa-rawa
pantai. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah Aluvial ini. Entisol dapat juga dibagi
berdasarkan great groupnya, beberapa diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent dan
Fluvaquents. Ketiga great group ini merupakann subordo Aquent yaitu Entisol yang
mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman ≤ 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu
jenuh air dan pada semua horizon dibawah 25 cm terdapat hue dominan netral atau biru dari
10 Y dan warna-warna yang berubah karena teroksidasi oleh udara. Jenuh air selama beberapa
waktu setiap tahun atau didrainase secara buatan. Tropaquent adalah great group dari ordo
tanah Entisol dengan sub ordo Aquent. Tanah ini dibedakan karena memiliki regim suhu
tanah iso (perbedaan suhu musim panas dan dingin kurang dari 50C). Tanah ini terbentuk
karena selalu basah atau basah pada musim tertentu. Jika dilakukan perbaikan drainase akan
berwarna kelabu kebiruan (gley) atau banyak ditemukan karatan (Hardjowigeno, 1993).
Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horison pedogenik
yang nyata, karena pelapukan baru diawali, atau hasil bahan induk yang sukar lapuk seperti
pasir kuarsa, atau terbentuk dari batuan keras yang larutnya lambat seperti batu gamping, atau
topografi sangat miring sehingga kecepatan erosi melebihi pembentukan horison pedogenik,
atau pencampuran horison oleh pengolahan tanah atau hewan. Entisol terpilah atas 5 sub ordo
berdasarkan sebabnya tidak terbentuk horison diagnostik. Pertama meliputi tanah di bawah
pengaruh aquik moisture regime, sehingga selalu basah. Kedua meliputi tanah yang tidak
basah terdiri atas alluvium baru membentuk lapisan-lapisan. Ketiga mencakup tanah lereng
yang tererosi. Keempat terdiri atas tanah pasir baik lama maupun baru. Sub ordo kelima
Entisol terdiri atas tanah dengan horison yang tercampur oleh pengolahan tanah yang dalam
(Darmawijaya, 1992).
Tanah Entisol adalah tanah yang belum mengalami perkembangan penampang tanah.
Tanah ini umumnya terbentuk dari pengendapan baru atau tanah-tanah yang mengalami
proses erosi secara kontinyu sehingga seolah-olah terjadi pemudaan kembali. Pada tanah ini
terdapat epipedon orchik, histik atau sulfurik. Tanah Entisol adalah tanah endapan sungai atau
rawa-rawa pantai. Tanah Entisol yang berasal dari bahan alluvium umumnya merupakan
tanah yang subur. Perbaikan deainase di daerah rawa-rawa menyebabkan munculnya cat clay
yang sangat masam akibat oksidasi sulfide dan sulfat (Baras, 2009).
Proses pembentukan tanah entisols dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti iklim yang
sangat kering, erosi yang sangak kuat, pengendapan yang terus-menerus menyebabkan
pembentukan horison lebih lambat dari pengendapan, imobilisasi plasma tanah menjadi
bahan-bahan inert, perubahan yang dratis dari vegetasi. Kalau pohon-pohon cemara yang
mempengaruhi tanah podsol diganti dengan tumbuhan berdaun lebar, maka profil tanah
podsol dapat berubah menjadi tanah entisols dalam waktu kurang dari satu abad (Hole, 1976).
Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman (Utami dan Handayani, 2003). Entisol merupakan tanah-tanah yang cenderung
menjadi tanah asal yang baru. Mereka dicirikan oleh kenempakan kurang mudaan dan tanpa
horizon genetic alamiah. Pengertian entisol adalah tanah-tanah dengan regolith dalam atau
bumi tidak dengan horizon, kecuali mungkin lapis bajak. Emtisol mempunyai kandungan
bahan organik yang rendah dan umumnya responsive terhadap pemupukan nitrogen. Beberapa
dari mereka bereaksi netral atau berkapur pada permukaannya (Foth, 1991).Di Indonesia
tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah
hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat
agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah.Potensi tanah
yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan
dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik
(Tan, 1986).
Tanah Entisol adalah: tanah yang belum mengalami perkembangan penampang tanah.
Tanah ini umumnya terbentuk dari pengendapan baru atau tanah-tanah yang mengalami
proses erosi secara kontinyu sehingga seolah-olah terjadi pemudaan kembali. Pada tanah ini
terdapat epipedon orchik, histik atau sulfurik. Tanah Entisol adalah tanah endapan sungai
atau rawa-rawa pantai. Tanah Entisol yang berasal dari bahan alluvium umumnya merupakan
tanah yang subur. Perbaikan deainase di daerah rawa-rawa menyebabkan munculnya cat clay
yang sangat masam akibat oksidasi sulfide dan sulfat (Anonim, 2009).
Ciri-ciri tanah entisol adalah :

1. Tanah yang baru berkembang


2. Belum ada perkembangan horison tanah
3. Meliputi tanah-tanah yang berada di atas batuan induk
4. Termasuk tanah yang berkembang dari bahan baru

Mencakup kelompok tanah alluvial, regosol dan litosol dalam klasifikasi dudal-
supratohardjo. Tipe ini di sepanjang aliran besar merupakan campuran mengandung banyak
hara tanaman sehingga dianggap subur. Tanah Entisol di Indonesia umumnya memberi hasil
produksi padi. Entisol yang berasal dari abu-volkanik hasil erupsi yang dikeluarkan gunung-
gunung berapi berupa debu, pasir, kerikil, batu bom dan lapili, selain itu berasal dari gunduk
pasir yang terjadi di sepanjang pantai (Arief, 2008).

 Tanah Humus

Kata tanah humus seringkali kita dengar di telinga kita. Humus merupakan tanah yang
dikenal sebagai tanah yang paling subur. Tanah humus ini adalah tanah yang dikenal sebagai
tanah yang gembur dan paling banyak digunakan dalam bidang pertanian. Tanah humus
merupakan tanah yang paling subur untuk tumbuh karena memiliki komposisi yang mirip
dengan pupuk kompos. Hal ini karena tanah humus merupakan tanah yang berbentuk dari
pelapukan – pelapukan dedaunan dan juga batang pohon, serta ada percampuran dari kotoran
hewan. Humus juga dikenal sebagai sisa – sisa dari tumbuhan dan juga hewan – hewan yang
mengalami perombakan oleh organism yang ada di dalam lapisan tanah. Tanah humus ini bias
kita temukan di berbagai daerah khusunya daerah yang mempunyai banyak pepohonan,
seperti di hutan hujan tropis. Tanah humus ini bila kita lihat maka warnanya tampak gelap,
yakin coklat kehitaman dan juga mempunyai tekstur yang gembur. Secara kimiawi, humus
sendiri dapat diartikan sebagai satu kompleks organic makromolekur yang banyak
mengandung zat – zat seperti fenol, asam karbosilat, hidroksida serta alfatik. Pada partikel ini
kita akan berkenalan dengan tanah humus secara lebih lengkap dan detail.

1. Peroses Terbentuknya Tanah Humus


Sudah dijelaskan sebelumnya bahwasanya tanah humus ini merupakan tanah yang
terbentuk dari peruses pelapukan dedaunan atau ranting – ranting pohon yang berjatuhan di
tanah. Peruses terbentuknya tanah humus ini disebut dengan peruses humifikasi. Peruses
terbentuknya tanah humus atau humifikasi atau humifikasi ini dapat terjadi secara alamia atau
dengan sendirinya. Sekilas peruses ini merupakan peroses pengkomposan secara alam atau
yang dilakukan oleh alam.
Selain terjadi peroses alamia, proses humifikasi ini dapat juga dilakukan oleh manusia.
Misalnya apabila kita mencampurkan bagian – bagian tanaman yang busuk dengan tanah,
kemudian idcampur dengan kotoran hewan. Dari peroses ini kita akan mendapatkan satu
tanah olahan yang subur dan sangat baik bagi tanaman.

2. Ciri – Ciri Atau Karakteristik Tanah Humus


Untuk mengetahui suatu tanah termasu tanah humus bias kita lihat daribeberapa ciri atau
karakteristik tanah tersebut. Tanah humus mempunyai berbagai ciri – ciri khusus yang bias
dibedakan dengan ciri – ciri tanah humus yang lainnya. Cirri – cirri atau karakteristik dari
tanah humus adalah sebagai berikut :
Berwarnah gelap, yakni coklat maupun kegitaman – hitaman. Tanah humus ini memiliki
warna yang gelap antara coklat hingga kehitaman – hitaman . selain mempunyai warna gelap,
di tanah humus ini juga terdapat bintik – bintik yang berwarnah putih. Memiliki tekstur yang
gembur. Tanah humus memiliki tekstur yang sangat gembur dan tidak keras seperti tanah liat
ataupun tanah yang lainya. Biasanya terdapat pada lapisan bagian atas tanah, sehingga bersifat
tidak stabil. Sifat tidak stabil ini terutama terlihat ketika ada perubahan suhu,
tingkatkelembaban, ataupun aerasi. Tanah humus bersifat kolodial dan amorfous. Sifat
kolodial dan armofous ini artinya bersifat menyerupai tanah liat, namun sifat daya serapnya
lebih tinggi dari pada tanah liat.bersifat sangat subur. Tanah humus memiliki sifat yang sangat
subur karena terbentuknya dari pelapukan – pelapukan dedaunan dan juga bercampur dengan
kotoran hewan dan semacamnya. Mempunyai daya serap yang tinggi. Tanah humus ini
mempunyai kemampuan daya serap yang tinggi dalam hal menyerap air, dan hal ini
merupakan sifat yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Mempunyai kemampuan menambah
atau meningkatkan kandungan berbagai unsure hara (magnesium, kalsium, dan kalium).
Merupakan sumber energi bagi jasad mikro. Tanah humus pembentukanya dari berbagai
pelapukan dedaunan dan juga ranting – ranting pohon, sehingga merupakan sumber energy
bagi jasad- jasad renik. Banyak dijumpai di daerah tropis. Terutama diwilayah yang paling
sering didapati tanah humus adalah jenis hujan seperti hujan tropis.
 Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfat masam merupakan tanah yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak
terdapat di daerah rawa, baik pada pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme sangat
berperan dalam pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang senyawa tersebut
bersifat stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan memunculkan problem, bagi tanah,
kualitas kimia perairan dan biota-biota yang berada baik di dalam tanah itu sendiri maupun
yang berada di badan-badan air, dimana hasil oksidasi tersebut tercuci ke perairan
tersebut.Mensvoort dan Dent (1998) menyebutkan bahwa senyawa pirit tersebut merupakan
sumber masalah pada tanah tersebut.

Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan
lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat
dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Ciri
khas tanah sulfat masam adalah adanya bahan sulfidik yang banyak mengandung pirit. Pirit
ini mempunyai sifat yang unik dan bergantung pada keadaan air. Keberadaan pirit di lahan
sulfat masam menjadi kendala berat dalam pengembangan lahan rawa untuk budidaya padi
(Perdana,2007). Jika tanah ini dikeringkan atau teroksidasi, maka senyawa pirit akan
membentuk ferri hidroksida (Fe), sulfat ( ) dan ion hydrogen (H+) sehingga tanah menjadi
sangat masam. Akibatnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+,dan Mn2+bertambah di dalam tanah
dan dapat bersifat racun bagi tanaman. Ketersediaan fosfat menjadi berkurang karena diikat
oleh besi atau aluminium dalam bentuk besi fosfat atau aluminum fosfat. Biasanya bila tanah
masam kejenuhan basa menjadi rendah, akibatnya terjadi kekahatan unsur hara di dalam
tanah (Hasibuan, 2008).

Lahan sulfat masam tergolong lahan piasan, yaitu lahan yang mempunyai sifat-sifat
terbatas sehingga diperlukan tindakan upaya perbaikan untuk meningkatkan
produktivitasnya. Jenis tanah dari lahan ini digolongkan juga sebagai tanah bermasalah, yaitu
tanah yang mempunyai sifat baik fisika, kimia, maupun biologi lebih jelek dibandingkan
dengan tanah mineral umumnya sehingga produktivitas lahan jenis tanah ini tergolong
rendah, bahkan sangat rendah (Tim IPB, 1992).

1. Karakteristik Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfat masam mempunyai penciri utama, yaitu (1) bahan sulfidik atau pirit, (2)
lapisan (horison) sulfurik, (3) bercak jarosit, dan (4) bahan penetral berupa karbonat atau
basa-basa tertukar lainnya. Sifat tanah sulfat masam ditandai warna tanah yang kelabu,
bersifat mentah, dan kemasaman sedang sampai tinggi. beberapa pengalaman (sigi) dan
penelitian menunjukkan untuk mengenal dan mengidentifikasi tanah sulfat masam dapat
dilakukan secara cepat, mudah, dan sederhana, dan identifikasi yang dimaksud adalah
pengujian di lapangan (field laboratorium) (Noor, 2004).

Sifat atau ciri lain yang dapat membantu dalam mengidentifikasi lapisan pirit adalah (a)
adanya warna reduksi kelabu atau kelabu kehijaun, baik dengan maupun tanpa bercak hitam,
(b) adanya bahan organik terutama berupa akar serabut, atau berseling dengan lapisan
mineral berkonsistensi setengan matang, (c) adanya bau H2S pada tanah yang telah terfanggu
atau diolah. Tanah ini biasanya mempunyai tekstur halus, karena fraksi-fraksi kasar sudah
diendapkan di daerah aliran sebelah atas. Endapan-endapan marine (pengendapan sedimen
laut) dan sungai inilah yang merupakan bahan induk tanah sulfat masam yang terbentuk di
daerah tersebut (Hakim dkk, 1986).

2. Pengelolaan Tanah Sulfat Masam


Menurut Didi (2005) Pengelolaan tanah sulfat masam dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu :
1. Pengelolaan tanah dan air, Pengelolaan tanah dan air (soil and water management)
merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang
surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan
tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Dalam
tulisan ini tata air makro tidak dibahas karena merupakan kewenangan dari
Departemen Pekerjaan Umum.
2. pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air pada saluran
kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus
memperlancar pencucian bahan beracun.
3. Penataan lahan, penataan lahan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lahan agar
sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu
memperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya.
4. Ameliorasi dan pemupukan, produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena
pH tanah rendah, kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta ketersediaan unsur hara
terutama P dan K dan kejenuhan basa rendah (Dent, 1986). Oleh karena itu, diperlukan
bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanah sehingga
produktivitas lahan meningkat Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan
untuk meningkatkan pH dan rock phosphate (RP) untuk memenuhi kebutuhan hara P.
5. Penggunaan varietas yang adaptif, Tanaman yang dapat diusahakan di lahan sulfat
masam antara lain adalah padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang
hijau), sayuran (cabai, kacang panjang, kubis, tomat, dan terung), buah-buahan
(rambutan, nenas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka) dan tanaman perkebunan
kelapa dan lada. Tanaman tersebut tumbuh baik pada tanah sulfat masam potensial
dengan sistem tata air mikro seperti saluran drainase dan ameliorasi tanah.

3. PERMASALAHAN PADA TANAH SULFAT MASAM


Pertama kali tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal
kata katteklei (bahasa Belanda), yang diartikan sebagai lempung yang berwarna seperti
warna pada bulu kucing, yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak
kuning pucat ini merupakan senyawa hasil (produk) oksidasi pirit yang sering disebut dengan
jarosit. Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan
sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga
menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3). Tanah sulfat masam
merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki
lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik)
pada kedalaman 0-50 cm. Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan
sulfat masam aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila
tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula stabil dan
tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi berubah
menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase primer-
sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi
pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung
cepat maka akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning
jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).
Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi lain muncul
masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik.
Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya perkembangan akar tanaman pada
horison sulfurik karena tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran
drainase tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan
sangat terbatas dengan hasil rendah.
Proses kimia pada tanah sulfat masam:
Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian penting.
Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif, antara lain pembentukan pirit,
reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada
kondisi oksidatif, yang terpenting adalah oksidasi pirit.
- Proses reduksi
Pada kondisi aerob, sumber elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob,
oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi
bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron
yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat.
Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat.
Proses kimia penting yang terjadi adalah : Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah
mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan
marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air
laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron
(Van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi
umumnya 1-4% (Van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan
tertentu :
(1) Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang
sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi
bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat
masam sehingga menyebabkan lingkungan bertambah masam (Pons et al., 1982);
(2) Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang;
(3) Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat
diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron
bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang
terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh
bakteri;
(4) Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida
dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada
pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut;
(5) Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami
masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat,
memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit. Namun
demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk
pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Dent, 1986).
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, 2010, Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor.
Asdak, C., 2010, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Noor, M. 2004. Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam.
Raja Grafindo Persada. Jakarta dalam Tambunan, S.W.2013. Tanah Sulfat Masam. repository.
usu. ac. Id / bitstream / 123456789 / 37802 / 5 / Chapter%20I. pdf
Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri, Cetakan pertama.
Bandung: Yrama Widya. Hal 37-200.

Anda mungkin juga menyukai