Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 3

Cara Mendidik Siswa/i yang Kurang Berprestasi


(Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Muhamad Umar Chatab)

Frasa “Cara Mendidik Siswa/i yang Kurang Berprestasi” mungkin terdengar klise. Secara
definisi siswa/i yang berprestasi adalah mereka yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata
dan kemampuan belajar yang tinggi secara konsisten. Sedangkan mereka yang kurang
berprestasi dikategorikan sebagai siswa/i yang gagal dalam menjalankan kemampuan
belajarnya secara optimal. Lalu bagaimana dua frasa ini digunakan secara bersamaan untuk
mendeskripsikan satu individu? Tapi bagaimanapun juga fenomena siswa/i yang kurang
berprestasi itu ada dan jumlahnya lebih banyak dari perkiraan kita. Keadaan mereka cukup
kompleks baik dari segi kemampuan akademis dan tingkah lakunya yang merosot, serta
keadaan ini bisa berjalan dengan cepat maupun lambat. Jika tak ditanggulangi maka potensi
kemampuan akademis mereka akan semakin merosot. oleh karena itu masalah ini harus
ditanggulangi bersama sebisa mungkin untuk mencari penyebab hambatan belajar serta
solusinya.

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN KEKURANGAN PRESTASI ITU?

Mendefenisikan makna kurang berprestasi itu tidak gampang, khususnya diantara siswa/i
yang berbakat. Salah satu problemanya terletak pada definisi berbakat. Setiap rayon sekolah
mempunyai definisi tersendiri, walaupun kebanyakan penggunaan definisi ini tergantung dari
hasil tes IQ dan hasil rekomendasi dari pengamatan para guru terhadap siswa/i tersebut.
Ukuran-ukuran ini tidak selalu dapat diandalkan dikarenakan secara mental beberapa siswa/i
berbakat tersebut unggul di semua bidang pelajaran dan tugas-tugas sekolahnya. Berikut ini
mari kita lihat definisi dari makna kurang berbakat. Rimm (1997) mendefinisikan kurang
berbakat sebagai ketidaksesuaian antara kemampuan belajar siswa/i di sekolah dengan indeks
hasil prestasi kemampuan pembelajarannya. Kemampuan hasil prestasi belajar seorang siswa
diukur dari tingkatan kelasnya dan evaluasi dari guru yang bersangkutan, sementara hasil dari
kemampuan siswa/i tersebut diukur dari penilaian kemampuan intelektualnya dan hasil tes
prestasi skor yang baku. Sebagai bahan pertimbangan atas fenomena ini, bahwa
ketidaksesuaian antara hasil yang diharapkan dengan kemampuan penilaian hasil
akademisnya tidak didiagnosa sebagai ketidakmampuan dalam pembelajaran. Siswa/i yang
berprestasi namun memiliki ketidakmampuan dalam belajar yang optimal, bisa dianggap
sebagai murid-murid yang luar biasa, pembahasan ini akan didiskusikan secara penuh di Bab
4.

BEBERAPA SEBAB KURANGNYA PRESTASI

Faktor-faktor ini bisa berasal dari rumah maupun di sekolah yang bisa menyebabkan prestasi
merosot. faktor-faktor ini bahkan terlihat umum dan merata (McCoach & Siegle, 2003).

 Citra Dirinya Dalam Bidang Akademis. Siswa/i yang percaya diri terhadap
kemampuannya akan lebih terampil dan terlatih untuk melibatkan dirinya dalam
2

berbagai kegiatan. Citra/persepsi dirinya akan mempengaruhi dalam berbagai


kegiatan di sekolah, seberapa banyak tantangan yang mereka hadapi dalam kegiatan-
kegiatan tersebut, dan ketekunan yang mereka jalankan ketika mereka terlibat dalam
kegiatan-kegiatan tersebut. Citra dirinya dalam bidang akademis dipengaruhi oleh
perbandingan yang berasal dari faktor internal dan eksternal. Pada umumnya para
siswa/i akan membandingkan kemampuan yang mereka miliki dengan kemampuan
teman-teman sekelasnya (perbandingan eksternal), sebagaimana mereka juga
membandingkan dirinya dengan orang lain yang mereka jadikan patokan
(perbandingan internal).

1/3 keberhasilan atas suatu prestasi seorang siswa, bisa dihitung/diukur oleh
citra dan konsep dirinya sendiri dalam bidang akademis tersebut. Citra dirinya bisa
memenuhi target yang ingin ia kejar. Jika siswa melihat dirinya sebagai seorang yang
gagal, maka pada akhirnya kemungkinan sekali ia akan terbebani oleh konsep
negatifnya itu. Sehingga nilai yang bagus bisa dipersepsikan sebagai sebuah kebetulan
atau keberuntungan, tetapi nilai yang jelek akan semakin memperkuat keyakinan
negatifnya. Siswa/i yang bersikap seperti ini sering menyerah dengan keadaan karena
mereka mengasumsikan bahwa kegagalan itu tidak bisa dihindarkan. Hasilnya adalah
pola pikir dan konsep terhadap dirinya yang rendah, serta kurangnya
dorongan/semangat untuk berubah.

 Sikap Terhadap Sekolah. Tidak mengejutkan bahwa banyak penelitian dalam bidang
pendidikan menemukan bahwa sikap para siswa terhadap sekolah mempunyai
dampak pada prestasi mereka. Semakin positif sikap tersebut, semakin tinggi prestasi
yang mereka raih, khususnya pada murid-murid perempuan. Murid-murid yang
kurang berprestasi menunjukkan lebih banyak sikap serta perilaku yang negatif
ketimbang murid-murid yang rata-rata berprestasi atau pintar.

 Sikap Terhadap Para Guru dan di Kelas. Banyak murid yang kurang berprestasi
mempunyai kesulitan berinteraksi secara komunikatif dengan pihak otoritas sekolah,
termasuk dengan para guru dan pegawai sekolah. Alhasil sikap mereka terhadap guru
dan di kelas malahan berdampak negatif pada prestasi akademik mereka. Mengajar
dengan cara memberikan instruksi secara merata kepada semua siswa tidak akan
cocok dengan gaya belajar siswa-siswi yang pintar. Gaya mengajar seperti instruksi
akan menurunkan kapabilitas siswa/i dalam proses pembelajaran, bahkan peraturan di
kelas yang ketat dan pembatasan ruang gerak mereka untuk tidak keluar kelas selama
jam pelajaran, akan menurunkan semangat belajar mereka di kelas. Suasana kelas
yang terlalu kompetitif (berdaya saing tinggi) maupun tidak kompetitif malahan akan
memunculkan berbagai masalah dalam prestasi siswa-siswinya.

 Motivasi dan Kedisiplinan Diri. Kedisiplinan diri adalah cara mengatur untuk
mendisiplinkan pemikiran, emosi/perasaan dan tindakan dari siswa/i yang
bersangkutan secara konsisten untuk mencapai tujuan. Kedisplinan diri adalah sebuah
cara yang signifikan untuk memperoleh prestasi belajar, dan berguna untuk
menginternalisasi strategi yang dimiliki siswa/i tersebut demi memperoleh prestasi di
3

sekolahnya. Tapi bagaimanapun juga, siswa harus selalu termotivasi untuk


menjalankan strategi-strategi yang mereka miliki dengan usaha yang tekun. Biasanya
siswa/i yang kurang berprestasi mempunyai motivasi yang lemah, kemampuan dan
kedisplinan yang kurang, atau bahkan ketiga-tiganya.

 Tujuan Penilaian. Bagaimana cara para siswa menilai prestasinya jika sepasang
komponen yang sangat fundamental yang harus mereka lakukan adalah memotivasi
dirinya untuk berprestasi dan kedisiplinan dalam menjalankan itu semua. Apabila
yang murid-murid pikirkan di benaknya adalah pencapaian nilai di sekolahnya, maka
mereka lebih mengusahakan dirinya untuk mengejar sebatas nilai akademik, dan
menghabiskan masa waktunya demi berusaha keras menyelesaikan tugas-tugas
sekolah, serta lebih berusaha keras lagi secara akademis. Para siswa akan menarik diri
dari lingkungan sekolah jika mereka merasakan ada suatu konflik nilai antara sekolah
dengan kebudayaan tempat mereka berasal. Sebagai contoh, beberapa siswa yang
kurang berprestasi dikarenakan mereka tidak mau dicemooh oleh teman-temannya
sebagai si kutu buku.

Penyesuaian Untuk Siswa/i yang Berbakat

Beberapa siswa yang berbakat, khususnya remaja yang berumur 11 s/d 15 tahun,
mungkin mengalami prestasi yang tidak membanggakan dikarenakan mereka mempunyai
masalah yang serius dalam menyesuaikan bakat yang mereka punya. Sikap ingin segala
sesuatunya sempurna (perfeksionisme), pengharapan yang tidak realistis akan bakat yang
mereka punya, penolakan dari teman-teman sebaya, sikap dan perilaku yang terlalu
kompetitif, serta kebingungan yang diakibatkan oleh banyaknya pesan-pesan yang masuk ke
kupingnya, bahwa bakat/talenta yang mereka miliki bisa mengikis prestasinya di sekolah,
ternyata bisa membuat kebingungan tersendiri bagi mereka.

Rintangan-Rintangan Yang Akan Dihadapi Dalam Proses Penyesuaian: Para peneliti


membuat beberapa catatan dibawah ini sebagai halangan/rintangan yang bisa mengganggu
remaja berbakat dalam masa-masa penyesuaian (pancaroba) (Buescher & Higham, 1990;
Peters, Grager-Loidl, & Supplee, 2000).

 Kepemilikan Talenta. Adalah hal yang tak biasa bagi beberapa remaja yang
bertalenta untuk menyangkal bakat yang mereka miliki, hal ini bisa disebabkan karena
tekanan teman-teman sebayanya untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri, serta
perasaan dari sang remaja tersebut yang dapat diduga. Remaja-remaja ini berkarakter
rendah diri dan ragu akan keobjektivitasan/rasa penghargaan yang para guru dan
orang tuanya berikan kepada mereka.

 Berikan Kepercayaan Kepada Mereka. Dikarenakan mereka telah mendapatkan


bakat tersebut dalam kelimpahan dan dengan mudahnya, maka para remaja yang
mempunyai talenta tersebut kadang merasa mereka harus memberikan segala hal yang
terbaik yang mereka punya bahkan kemampuannya kepada guru, orang tua dan
masyarakat.
4

 Ketidakrukunan/Disonansi. Remaja-remaja yang berbakat cenderung belajar harus


diatas standar orang-orang normal, selalu berharap lebih dan lebih, dan menjadi yang
terbaik dari batas kemampuan yang mereka miliki. Dengan tekad yang mereka miliki
ini, mereka berharap akan adanya kesempurnaan, pengalaman para siswa ini
mengambarkan ketidakrukunan yang nyata antara bagaimana mereka berharap untuk
menyelesaikan sesuatu dengan baik dan bagaimana hal tersebut bisa terselesaikan
dengan baik pula. Disonansi ini bisa jauh lebih dahsyat dampaknya, jauh dari
perkiraan para guru maupun orang tua siswa.

 Kurang Mau Menanggung Resiko. Remaja-remaja yang berbakat biasanya kurang


mau menanggung resiko pada usia-usia muda, karena mereka sadar akan konsekuensi
yang diakibatkan oleh perilaku mereka. Oleh karena itu, mereka cenderung lebih hati-
hati dalam mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari kemungkinan pilihan-
pilihan yang mereka buat, serta mencari jalan alternative lainnya. Bahkan mereka
menolak untuk mengambil resiko, seperti mendaftar di kursus lanjutan, bersikap
kompetitif, atau presentasi umum di depan kelas.

 Ekspektasi Berkompetisi. Harapan dari orang-orang sekitar (orang tua, para guru,
teman-teman sebaya, saudara kandung, dan teman-teman lainnya) akan menimbulkan
rasa persaingan terhadap remaja-remaja berbakat baik dari segi rencana dan
tujuannya. Pada efeknya, ekspektasi yang dimiliki para remaja harus dihadapi dengan
cepat, terburu-buru, apalagi tuntutan dari pihak lain. Semakin bagus bakat yang
dimiliki, maka semakin besar ekspektasi dari orang lain dan pihak luar untuk campur
tangan. Ekspektasi yang terlalu banyak ini bisa menguras energi dan mematikan
semangat sang remaja untuk sukses.

 Ketidaksabaran. Murid-murid yang berbakat bahkan para remaja lainnya bisa sama
tidak sabarnya ketika mencari solusi dari permasalahan yang berat atau mencoba
untuk mengembangkan hubungan sosialnya. Keadaan yang impulsif ini membuat
mereka tidak toleran akan ketidakpastian dalam memecahkan suatu persoalan. Mereka
akan cepat marah jika solusi praktis yang dibuatnya gagal, apalagi jika murid-murid
yang kurang cakap, bangga dan merasa puas bisa melewati kegagalan ini. Rangkaian
kegagalan ini akan mendorong murid-murid berkarakter tersebut untuk menarik diri
dari lingkungan.

 Identitas yang Prematur. Bagi remaja-remaja yang berprestasi, beratnya persaingan,


rendahnya toleransi atas ketidakpastian, dan tekanan akan pilihan-pilihan yang
banyak, semua itu memberikan kontribusi kepada upaya yang terlalu dini demi
memperoleh prestasi layaknya seperti orang dewasa. Bahkan ini bisa terjadi pada usia
remaja pertengahan. Dalam upaya menyempurnakan identitas ini, mereka berani
memilih karir yang tidak layak untuk seusia mereka, tentunya hal ini bisa
mengganggu proses kematangan identitas kepribadian mereka.

Mengembangkan Rasa Indentitas: banyak murid-murid yang berbakat memperjuangkan


bakatnya karena mereka mempunyai waktu yang tidak cukup untuk mengembangkan rasa
5

identitasnya. Para guru dan konselor pendidikan yang terlatih bisa membantu siswa/i jenis ini.
Sayangnya sangat sedikit sekali para praktisi mempunyai waktu untuk membantu
pengembangan identitas dan konseling bagi orang-orang yang berbakat. Andrew Mahoney
(2008), seorang penasihat/praktisi yang membantu para individu untuk berjuang dengan
bakat yang mereka miliki, telah berhasil mengembangkan dan membuat sebuah matriks yang
disebut dengan Model Formasi Identitas Bagi Orang-Orang Berbakat, yang dalam Bahasa
Inggrisnya disebut dengan The Gifted Identity Formation Model. Model matriks ini terdiri
atas skala identitas dan variabel formasi yang krusial dalam tahapan proses konseling, dan
menggunakan skala dasar untuk intervensi. Model jenis ini bisa membantu membuat
penilaian dan menolong konselor dalam menciptakan intervensi sehingga bisa menjelajahi
dan memperkuat formasi susunan identitas untuk orang-orang yang berbakat. Model ini
dikonstruksikan dalam empat tahapan penilaian:

 Validasi. Ini adalah sebuah pengakuan/identifikasi bahwa satu penilaian untuk satu
orang yang berbakat bisa dikonfirmasi/diverifikasikan oleh orang lain atau bahkan
pada dirinya. Bakat/talenta bisa divalidasikan melalui identifikasi penilaian program
bakat akademik itu sendiri. Pengakuan akan adanya bakat ini sangat signifikan bagi
yang lain, atau dengan suatu realisasi pencapaian yang bersifat khusus.

 Afirmasi. Konstruksi ini membutuhkan penilaian akan murid-murid yang berbakat


dari berbagai dukungan atau melalui serangkaian proses. Dibutuhkan penguatan
secara bekersinambungan dari individu berbakat tersebut dengan cara pembelajaran,
pengalaman, lingkungan, orang tua, para guru, dan pengayaan. Cara ini harus
dilakukan dengan berkesinambungan sehingga menghasilkan proses interaktif antara
dirinya sebagai orang yang berbakat dengan dunia secara luas. Proses ini menguatkan
pendapat dirinya secara sugestif bahwa “Saya orang yang berbakat.”

 Afiliasi. Konstruksi ini merepresentasikan sebuah asosiasi yang mempunyai


kesamaan dirinya dengan orang-orang lain dalam hal kehebatan, keinginan, kemauan,
dan kemampuan. Ini artinya ia diterima dalam suatu wadah perkumpulan/organisasi
kemasyarakatan dalam suatu grup tanpa kehilangan identitas atau jati dirinya. Afiliasi
menyediakan sebuah wadah bagi mereka yang mempunyai kesamaan-kesamaan
seperti yang sudah saya sebutkan diatas, dan juga sebagai jalan penghubung antara
dirinya dengan komunitas lain. Komunitas orang-orang berbakat adalah sebuah forum
yang dimana setiap anggota diterima dan dihargai akan keunikannya.

 Afinitas. Konstruksi keempat ini adalah sebuah daya tarik untuk memelihara dan
menyerupai kesatuan antara roh, jiwa dan pandangan hidup. Afinitas menghubungkan
dirinya dengan sebuah dunia dan misteri kehidupan. Sering kali afinitas dibutuhkan
sebagai seperangkat filosofi kehidupan ketika proses identifikasi diri belum sempurna.
Ketiadaan afinitas pada diri seseorang, cenderung membuatnya sedih, serta membuat
hidup dalam ketidakmenentuan. Individu-individu yang merasa bahwa mereka tidak
bisa melaksanakan pekerjaannya, maka mereka tidak akan pernah mempunyai rasa
pemenuhan atas jiwanya yang kosong, bahkan keadaan ini semakin mendekatkannya
pada kecemasan.
6

Pada bentuk model matriks Mahoney, empat konstruksi ini merepresentasikan bangunan
dasar yang penting dalam pengembangan diri. Di gambar 3.1, mereka akan berinteraksi
dengan 12 sistem yang membantu dalam hal pembentukan dan susunan pengaruh identitas
bagi mereka yang berbakat: Dirinya, keluarga, asal usul keluarga, kebudayaan,
profesi/pekerjaan, lingkungan, pendidikan, sosial, psikologis, politis, fisiologis-organik, dan
pengembangan. Hal-hal di atas menurut Mahoney, merepresentasikan kekuatan-kekuatan
internal dan eksternal yang bisa berdampak pada susunan identitas orang berbakat tersebut.

Model ini berguna sebagai panduan untuk memahami seluk-beluk kompleksitas dan
perbedaan kecil yang terdapat pada siswa/i berbakat. Model ini juga berguna dalam
menyediakan struktur/kerangka konseling yang dapat membantu orang-orang berbakat
sehingga mereka jadi sadar dan tahu akan kebakatan yang mereka punya dalam susunan tes
identitas tersebut. Jadi, mereka lebih baik lagi dalam memahami diri mereka sebagai orang-
orang yang mempunyai bakat khusus. Hal-hal yang saling mempengaruhi ini, berdasarkan
Mahoney penggunaannya bukan dimaksudkan sebagai sebuah skala kriteria tes kesehatan
mental atau untuk membandingkan perkembangan antara individu dengan individu lainnya.
Lebih jauh lagi skala ini ditujukan untuk kebutuhan konseling yang mempunyai tiga fungsi
utama: sebagai alat penilaian, membantu dalam pengembangan konseling lanjutan, dan
berfungsi sebagai panduan dalam proses konseling itu sendiri. Disamping itu, model tes ini
memposisikan orang-orang berbakat pada konteks yang positif dalam pengembangan
kemanusiaan, ketimbang disalahpahami sebagai orang yang berkarakter tidak normal ataupun
mengidap penyakit yang bersifat patologis.

Keempat konstruksi pada model ini mendapatkan dukungan dari penelitian terkini di
bidang pengetahuan sosial kognitif ilmu syaraf. Ini adalah ilmu pengetahuan baru yang
berupaya untuk memahami dinamika dan kompleksitas hubungan antara otak dengan
interaksi sosial (Ochsner, 2007). Dengan menggunakan teknologi penggambaran otak (brain
imaging), para peneliti telah menemukan bahwa sistem syaraf yang memproses stimulus
sosial, seperti membentuk hubungan relasi atau membandingkan satu dengan lainnya, pada
kenyataannya berbeda dari proses stimulus non-sosial. Studi terbaru mempublikasikan bahwa
pengembangan sosial adalah elemen penting dari bagian pengembangan studi tentang
manusia itu sendiri. Hal penting ini tersinyali dari aktivitas otak pada bagian yang spesifik
yang memastikan orang untuk memahami dirinya sebagai makhluk sosial, dugaan niatnya
kepada orang lain, dan memutuskan respon perilaku yang tepat ketika ia menempatkan
posisinya di berbagai situasi sosial (Sousa, 2009).

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Model Formasi Identitas Bagi Orang-Orang yang
Berbakat, silahkan kunjungi situs ini: www.counselingthegifted.com

Sistem-Sistem yang Mempengaruhi Formasi Identitas Orang-Orang Berbakat

Sistem-sistem ↓ Konstruksi → Validasi Afirmasi Afiliasi Afinitas

Dirinya

Keluarga
7

Asal Usul Keluarga

Kebudayaan

Profesi/Pekerjaan

Lingkungan

Pendidikan

Sosial

Psikologis

Politis

Fisiologis-organik

Pengembangan

Gambar 3.1 Matriks ini berdasarkan Model Formasi Identitas Bagi Orang-Orang yang
Berbakat, menggambarkan interaksi antara empat konstruksi dan 12 sistem yang melibatkan
susunan identitas satu orang.

Sumber: Mahoney, 2008. Dicetak ulang dengan izin.

MENGENALI ORANG-ORANG BERBAKAT YANG KURANG BERPRESTASI

Masalah yang sering ditemui dalam mengenali/mengidentifikasi orang-orang berbakat/cerdas


tapi kurang berprestasi telah mencuatkan ke permukaan dari bukti-bukti yang ditemukan
akhir-akhir tahun belakang ini. Untuk mengidentifikasinya, gunakan cara-cara ini, antara lain:

 Gunakan dimensi pengukuran tes prestasi dan IQ dengan cara yang kompetitif dan
bervariasi.

 Cobalah untuk merujuk kepada sejumlah guru-guru yang cakap dalam memberikan
pendidikan yang spesial terhadap sejumlah murid yang mengalami kesulitan belajar.

 Berikan laporan kepada para orang tua murid di luar jam pelajaran sekolah mengenai
perilaku, sikap, serta minat dan kemampuannya anak-anaknya yang tinggi.

Karakteristik Siswa/i Berbakat yang Kurang Berprestasi

(Tidak semua karakteristik ini muncul pada orang yang sama)

 Nilai IQ yang tinggi.

 Malas berusaha.

 Kemampuan yang kurang, setidaknya pada satu bidang pelajaran.


8

 Sering kali tidak mengerjakan tugas pekerjaan sekolah sampai tuntas.

 Ketidakacuhan terhadap tugas-tugas sekolah.

 Kepercayaan diri yang kurang.

 Kebiasaan pola belajar yang buruk.

 Hanya tertarik pada satu kegiatan.

 Ketidakmampuan dalam berkonsentrasi.

 Apabila diberikan motivasi tidak ada respon.

Gambar 3.2 (Sumber: Reis & McCoach, 2000).

Karakteristik Umum

Beberapa karakteristik umum yang sering ditemui dan pola-pola khasnya yang bisa
dideteksi pada murid-murid berbakat tapi kurang berprestasi, bisa dilihat pada gambar 3.2
(Reis & McCoach, 2000) di atas. Dikarenakan murid-murid berbakat namun kurang
berprestasi gagal dalam beberapa kegiatan, mereka cenderung memperlihatkan tiga gejala
perilaku yang umum: agresif, menarik diri dari lingkungan sekitar, dan tidak mau menuruti
peraturan. Tingkah laku siswa/i yang agresif mempunyai karakter yang keras kepala dengan
menolak menaati peraturan dengan berbagai alasan, mengganggu teman-temannya yang lain,
menolak ikut serta dalam berbagai aktivitas rutin, menjauhkan diri dari teman-teman
sebayanya, dan kehilangan orientasi berpikir dalam menentukan sesuatu. Pada kenyataannya,
tingkah lakunya yang menarik diri lingkungan, menyebabkan ia kurang nyaman dalam
berkomunikasi, lebih nyaman belajar/bekerja sendirian, usahanya lemah dalam
mendisiplinkan perilakunya, dan kurang berpartisipasi aktif di kelasnya. Mereka yang tidak
mau menaati peraturan akan menyesuaikan diri dan menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh
forum di kelas, tapi dengan tanpa menunjukkan kemampuannya yang tinggi/maksimal di
kelas. Tingkah laku yang saya kategorikan di atas merefleksikan suatu keyakinan akan
ketidakmampuan mereka dalam belajar dan berinteraksi sosial di sekolah, konsep jati diri
yang rendah serta tidak realistis, dan perilaku negatif yang pada umumnya ditemui di
sekolah. Mereka juga cenderung mudah disesatkan, sangat sensitif, dan mudah diasingkan
secara sosial (Grobman, 2006).

Lima Tipe Siswa/i Berbakat yang Kurang Berprestasi

1. Nilai rendah, tes skor tinggi

2. Tes skor rendah, nilai tinggi

3. Kemampuan rendah di semua bidang mata pelajaran

4. Kemampuan rendah di bidang tertentu

5. Tidak diketahui/tidak diperhatikan


9

Keterangan 3.3 ↑

Hasil studi mengklasifikasikan siswa/i berbakat namun kurang berprestasi ke dalam


lima tipe di atas pada (keterangan 3.3). Tipe pertama mempunyai nilai rendah secara umum
tapi mempunyai tes skor yang tinggi (akan tetapi sering ditemui dikedua kriteria akan rujukan
standar tes). Berbeda dengan tipe kedua yang menunjukkan tes skor yang rendah namun
mempunyai nilai yang tinggi. Pada tipe ketiga menunjukkan hasil kemampuan yang rendah di
semua bidang mata pelajaran, dan pada tipe keempat siswa/i tersebut hanya berhasil di
beberapa bidang mata pelajaran. Sedangkan murid-murid yang yang kurang berprestasi di
sekolah dan tidak bisa diketahui apa penyebabnya mencakup di tipe kelima. Keberadaan dari
tipe ini yang kebanyakan tidak bisa bekerjasama di sekolah untuk memperbaiki prestasinya
dikarenakan siswa/i ini hanya masuk sekolah untuk menjalani pendidikan yang memberikan
kepada mereka kemungkinan kesempatan meraih potensi sebenarnya yang mereka cari
selama ini.

Siswa/i yang Siswa/i yang Dominan Kemampuan Dalam

Ketergantungan Serta Mampu Menyesuaikan Diri Menyesuaian Diri

tapi Mampu

Beradaptasi Siswa/i Berprestasi

Siswa/i yang Siswa/i yang Dominan Tapi Ketidakmampuan

Ketergantungan dan Tidak Mampu Menyesuaikan diri Dalam

Tidak Mampu Menyesuaikan Diri

Beradaptasi

↑ ↑

Ketergantungan Dominansi

Gambar 3.4 Kuadran ini merepresentasikan tipe-tipe yang berbeda dari anak-anak yang
kurang berprestasi.

Sumber: Diadaptasikan dari Rimm, 2008.

Ketergantungan dan Dominansi

Siswa-siswi yang kurang berbakat sering memproteksi dirinya dengan


mengembangkan mekanisme pertahanan. Adaptasi-adaptasi jenis ini bersifat sementara,
menggunakan sifat ketergantungan, dan pola-pola pertahanan. Sylvia Rimm (2008) adalah
10

seorang psikolog pediatri1 yang menyarankan bagi anak-anak yang kurang berprestasi untuk
mengadopsi pola-pola tingkah laku yang merosot pada satu spektrum yang bisa
mengungkapkan ketergantungan ataupun dominansi mereka kepada spektrum lainnya yang
merepresentasikan tingkat kesesuaian. Pengaruh timbal balik dari keempat elemen ini bisa
diliihat pada bagan kuadran di atas (lihat Gambar 3.4).

Berdasarkan bagan yang Rimm buat (Gambar bagan sebelah kiri), anak-anak yang
ketergantungan telah belajar untuk memanipulasi orang tuanya/orang-orang dewasa, dan
mendapatkan banyak pertolongan dari mereka, sehingga mengakibatkan mereka kehilangan
rasa percaya diri. Tidak hanya itu, bahkan para orang tua dan guru juga kehilangan harapan
terhadap mereka. Alhasil, anak-anak ini bisa menjadi sangat sensitif, cemas, dan bahkan
depresi. Sehingga mereka sering tidak diperhatikan.

Pada kasus yang lain, anak-anak yang dominan (gambar bagan sebelah kanan) hanya
memilih kegiatan yang mereka bisa kuasai. Mereka bisa meyakinkan orang tuanya/orang-
orang dewasa dengan menjebaknya secara argumentatif. Rimm menjelaskan bahwa jika anak-
anak ini kehilangan argumentasinya, mereka akan mengembangkan sikap berseteru kepada
orang tuanya, dan menggunakan itu sebagai dalih/alasan untuk tidak mencampuri
urusan/pekerjaan mereka atau menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya. Ketika orang
tua/dewasa merespon secara negatif terhadap manipulasi yang dibuat oleh anaknya, maka
anak-anak ini akan mengeluh kepada oarng tuanya bahwa mereka tidak menyukainya bahkan
tidak mau memahami keinginan mereka yang sebenarnya.

Bagian paling kanan pada gambar 3.4 (kemampuan dalam menyesuaikan diri s/d
ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri) menunjukkan permasalahan serius dari anak-
anak tersebut. Bagian yang termasuk kolom pertama dan dibaris pertama menunjukkan
permasalah dan hasil yang kecil. Jika mereka tidak termasuk dalam bagian itu, maka mereka
akan masuk di kuadran paling rendah dan problema mereka menjadi tambah rumit.
Kebanyakan anak-anak yang ketergantungan akan berubah ke arah dominansi oleh anak-anak
remaja, walaupun tetap mempertahankan sikap campuran ketergantungan-dominansi, hasil
responnya bervariasi dan bergantung pada situasi. Rimm meyakini bahwa banyak para orang
tua dan guru sering merasa frustasi oleh sikap dari murid-murid kurang berbakat ini dan
diluar kehendak mereka seraya mencoba menguatkan lagi motivasi mereka agar sikap
perilaku yang tidak dinginkan dari anak-anak bisa berubah. Walaupun anak-anak harus
dimotivasi untuk bisa mandiri dan kreatif, mereka juga tidak boleh terlalu dibantu sehingga
mengakibatkan peran orang tua sebagai pembimbing menjadi tidak efektif. Murid-murid
yang kurang berprestasi bisa diubah melalui cara Rimm, itu berarti memakai beberapa
macam strategi/cara untuk membuat anak-anak yang kurang berprestasi menjadi berprestasi
(di posisi lingkaran tengah pada gambar 3.4), dan bagi anak-anak yang tidak
mandiri/ketergantungan serta mempunyai mekanisme pertahanan untuk bisa kembali lagi
menjadi percaya diri. Oleh karena itu keyakinan seorang individu bahwa
keberhasilan/kegagalan yang dialaminya adalah merupakan tanggung jawab pribadi dan
merupakan hasil dari usahanya sendiri.

1
Psikolog yang mendalami ilmu kedokteran tentang kesehatan dan perkembangan anak-anak.
11

Ruang/Spasial Bagi Siswa/i Berprestasi

Beberapa individu berkemampuan tinggi biasanya mempunyai ruang yang tidak biasa.
Tentunya hal ini melibatkan manipulasi visual tentang objek-objek yang kompleks, baik
berupa materi-materi visual, dan kemampuan untuk memahami hubungan-hubungan
perubahan beberapa pola. Sementara beberapa individu yang mempunyai kemampuan
verbal/lisan yang kuat bisa mengekspresikan diri mereka secara mudah melalui kata-kata.
Bagi mereka yang mempunyai kemampuan ruang yang baik, bisa mahir menggunakan media
gambar untuk mengekspresikan pemikirannya dalam memecahkan masalah.

Dengan menggunakan teknologi pemetaan gambar otak (brain imaging/mapping),


para ahli syaraf telah menemukan bahwa kemampuan verbal dan spasial memproses
kebutuhan akan perbedaan dan pemisahan jaringan kerja yang merupakan bagian kerja dari
memori otak. Anda bisa mengatakan bahwa memori otak bekerja dengan melibatkan
manipulasi sementara dan menyediakan tempat penyimpanan informasi. Gambar 3.5 dibawah
ini menggambarkan bagan/model yang merepresentasikan sistem ini (Baddeley, 2003). Pusat
kinerja syaraf otak mengatur dua mekanisme kerja: lingkaran fonologis yang mengatur
gambaran material, sedangkan landasan sketsa visuospasial bertanggung jawab dalam
memproses gambaran dan materi spasial/ruang. Satu hal yang cukup mengejutkan dari
beberapa studi mengenai syaraf otak bahwa kekuatan dari hubungan antara landasan sketsa
visuospasial dan Pusat kinerja syaraf otak mengindikasikan adanya penilaian mekanisme
ruang kerja yang baik serta berhubungan dengan kecerdasan secara umum ketimbang tes
kemampuan wicara (Brunyé & Taylor, 2008; Miyaki dkk., 2001).

Pusat Kinerja Syaraf Otak

Landasan Sketsa Visuospasial (Tempat Memori Bekerja) Lingkaran


Fonologis

Working Memory

Karena kemampuan berbahasa bersifat menetap dan kebanyakan digunakan sebagai


standar dalam mengukur orang-orang yang berbakat secara akademis, maka siswa/i yang
cerdas dalam ruang spasial/berkemampuan tinggi untuk itu, tapi lemah di kemampuan
wicara, sering dikategorikan sebagai siswa/i yang kurang berprestasi. Konsekuensinya, jika
mereka lemah di kemampuan bahasa, maka para guru lebih suka fokus untuk
mengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaian problema anak ini, serta mengabaikan
tanda-tanda bakat/talenta lain yang ada pada anak-anak berbakat tersebut. Sebuah penelitian
utama dari Universitas Illinois di Urbana-Champaign, Amerika Serikat, menemukan bahwa,
jika dibandingkan dengan murid-murid berbakat lainnya, murid-murid yang berbakat dalam
kemampuan spasial menunjukkan kapabilitas dibawah rata-rata. Lebih jauh, murid-murid tipe
ini mempunyai ketertarikan yang kurang dalam pelajaran, sehingga mereka kurang cocok
belajar di sekolah tradisional dan parahnya lagi mereka kurang mendapatkan bimbingan
konseling dari konselor di sekolahnya. Murid/siswa ini juga kurang termotivasi belajar di
sekolahnya dan umumnya tidak berhasrat belajar, berprestasi, dan nilai akademis
12

pelajarannya yang rendah serta kurang mempunyai impian untuk berkarir jika dewasa kelak.
(Gohm, Humphreys, & Yao, 1998).

Berbagai studi menunjukkan bahwa penilaian tugas-tugas berbentuk spasial lebih banyak
dekat dan berhubungan dengan kecerdasan ketimbang tes-tes kemampuan verbal/wicara.

Kemampuan spasial berhubungan erat dengan berpikir secara visual, tetapi hal ini
bukanlah entitas tunggal. Kemampuan spasial berkoordinasi dengan beberapa bagian di otak,
tepatnya di belahan otak kanan. Tiada sepasang karakteristik atas semua individu yang
mendeskripsikan kemampuan spasial/ruang, sebagaimana adanya pertimbangan yang varian
dari satu orang ke orang yang lain. Tabel 3.1 menunjukkan beberapa kemungkinan kekuatan
dan kelemahan berdasarkan studi-studi yang ditunjukkan antara keumuman diantara individu-
individu berkemampuan bakat pada bidang spasial/ruang (Mann, 2005).

Studi ilmiah sepanjang 20 tahun telah membeberkan bahwa banyak siswa/i


berkemampuan spasial yang tinggi namun tidak teridentifikasi oleh latihan tugas-tugas
sekolah terkini, sehingga identifikasi terhadap siswa/i berbakat susah teridentifikasi. Murid-
murid mendapatkan skor yang tinggi pada tes kemampuan spasial tapi mendapatkan skor
yang minimum pada tes verbal atau matematika ketika mereka mengikuti ujian/tes program
pencarian anak-anak berbakat dan bertalenta. Para peneliti menaruh perhatian pada masalah
ini, bahwa andaikata mereka menemukan di sekolah-sekolah daerah terpilih, setidaknya ada
tiga persen murid-murid yang berkemampuan tinggi pada verbal dan matematika, maka
hasilnya akan mengecewakan ketimbang setengah murid-murid satu persen saja yang
berkemampuan spasial (Shea, Lubinski, Benbow, 2001). Jelasnya, dengan hanya
menyandarkan penilaian pada kemampuan verbal dan kuantitatif belaka, tidak cukup untuk
mengetahui seberapa cerdas kemampuan intelektual siswa/i berbakat tersebut. Lihat bagian
aplikasi terakhir dari bab ini tentang strategi-strategi mengajar yang efektif untuk siswa/i
berbakat pada bidang spasial.

Tabel 3.1 Kekuatan dan Kelemahan Pada Individu Berbakat Secara Spasial

Kekuatan Kelemahan

Individu: Individu:

 Bisa memanipulasi gambaran visual  Lambat dalam komunikasi verbal

 Mampu menunjukkan imajinasi yang jelas  Kesulitan dalam menulis cerita

 Sering merenung dalam berfikir  Sering melamun, bengong/mimpi di siang bolong

 Terlihat sibuk berfikir dengan berbagai ide  Lemah dalam pergaulan sosial

 Memorinya sempurna dalam memberikan informasi  Tidak mampu mengingat materi pelajaran dengan
yang detil sistem hafalan tanpa pemahaman lebih dalam

 Mampu menunjukkan talenta yang kreatif  Berusaha keras dalam mengikuti aturan-aturan
tradisional akademik sekolah

 Sering berbicara dengan bahasa kiasan secara efektif  Jarang menggunakan bahasa singkat dalam
13

mendeskripsikan sesuatu

 Mampu dengan mudahnya mempelajari konten  Mempunyai problema ketika mempelajari konten
pelajaran rumit bertingkat tinggi pelajaran yang mudah/dasar

 Memahami hubungan antara sistem-sistem  Ketidakmampuan dalam memisahkan permasalahan


detil

 Kemampuan yang tinggi dalam memahami konsep  Lemah dalam hitung-hitungan matematika
matematika

Sumber: Diadaptasikan oleh Mann, 2005.

Walaupun dewasa ini kesadaran akan perhatian kepada siswa/i berbakat namun
kurang berprestasi menaik intensitasnya, namun para pendidik harus berusaha lebih keras lagi
untuk memastikan murid-murid ini bisa teridentifikasi semudah mungkin untuk beberapa
alasan. Yang paling nyata adalah hilangnya potensi dan kontribusi mereka terhadap
masyarakat. Yang kedua walaupun kurang begitu nampak adalah bahwa murid-murid yang
kurang berprestasi ini rentan bermasalah secara sosial dan kesehatan mental. Walau hal ini
tidak umum bagi mereka yang kurang berprestasi memiliki masalah serius secara tingkah
laku di sekolah dan di rumahnya. Namun Tindakan kelakuan buruk ini berasal dari konflik
antara kebutuhan psikologis personal dari anak tersebut dan kurangnya kesempatan
mendapatkan pelajaran yang sesuai di sekolah. Sebagai tambahan, dengan mempunyai
kesempatan yang lebih baik dengan cara mengubah pola-pola pendidikan dan pembelajaran
bagi siswa/i ini, adalah sebuah cara lain untuk mengetahui lebih awal supaya mereka lebih
tertangani sejak dini dengan baik.

GRAFIK PRESTASI YANG KURANG DIANTARA SEKIAN BANYAK SISWA/I MINORITAS

Persentase Siswa/i Yang Mendaftar Pada Program Kelas khusus


Untuk Siswa/i Berbakat Pada Tahun 2004

Ket: Persentase Angka.

Gambar 3.6 Persentase pendaftaran pada program K-12 bagi siswa/i berbakat di tahun
2004 berdasarkan ras/etnis. Sumber: USDE, 2007.

Walaupun kebanyakan Negara-negara bagian telah mengambil kebijakan untuk mengakui


adanya siswa/i berbakat, termasuk minoritas yang tidak terwakili, namun isu masalah ini
14

tetap menjadi prioritas bagi Negara-negara bagian tersebut. Banyak data yang masuk di
Kementerian Pendidikan Amerika Serikat (Pada gambar 3.6) menunjukkan adanya kaum
minoritas yang mendaftar pada program nasional berbakat di tahun 2004. Jumlah persentase
murid-murid kulit hitam dan Amerika Latin yang mendaftar kurang dari setengah dari jumlah
persentase murid-murid berkulit putih (USDE, 2007). Murid-murid berdarah campuran
Indian-Amerika/Alaska yang mendaftar sekitar ¾-nya, sementara murid-murid Asia yang
mendaftar dua kali lebih banyak dari murid-murid kulit putih yang mendaftar.

Sebagaimana usaha terus-menerus dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah


siswa/i minoritas yang berbakat, perhatian harus difokuskan juga terhadap mereka yang
kurang berprestasi diantara sekian banyak populasi siswa/i minoritas. Khususnya perbedaan
dalam kebudayaan dan kebahasaan siswa/i tersebut. Jumlah estimasi angka pada mereka yang
berbakat namun kurang berprestasi cukup bervariasi dan data yang tersedia tidak realibel s/d
sekarang.

Mengapa siswa/i Dari Kaum Minoritas Kurang Berprestasi

Beberapa faktor yang menyebabkan mengapa siswa/i dari kaum minoritas menjadi
kurang berprestasi perlu ditelusuri lebih lanjut. Faktor-faktor ini bisa diringkas menjadi tiga
kategori utama, yaitu: sosiopsikologis, faktor keluarga, dan sekolah (Ford dkk., 2002).

 Faktor Sosiopsikologis. Rendahnya konsep dan kemampuan akademik, serta


kurang percaya diri adalah penyebab utama prestasi mereka yang kurang.
Identitas rasial juga bisa dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab
lainnya. Sebagai contoh, bagaimana para siswa mengidentifikasikan dirinya
secara rasial/suku dari etnis keturunan diri mereka sendiri? Apakah mereka
mempunyai kebanggaan yang kuat karena berasal dari suku/ras tertentu? Jika
tidak, mereka akan rentan mendapatkan komentar negatif oleh kawan-kawan
sebayanya, seperi ucapan hinaan sebagai berikut “berlagak seperti orang kulit
Putih” atau “pengkhianat,” yang bisa mengakibatkan proses belajar dan
prestasinya menurun. Khususnya bagi para remaja, bagi yang belajar di kelas
lanjutan, serta mereka yang bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang bagus,
dan bagi yang belajar/bekerja dengan seorang guru dalam privat khusus. Inilah
contoh-contoh perilaku berprestasi yang kemungkinan mengalami konflik dengan
kebudayaan lingkungannya. Banyak siswa/i ini harus memilih antara kebutuhan
akan prestasi dengan kebutuhan akan hubungan sosial dengan kawan-kawan
sebayanya. Akan tetapi yang sering terjadi adalah kebutuhan akan sosialisasi
dengan kawan-kawan sebayanya yang selalu mendapatkan porsi utama. (Ford,
Grantham, & Whiting, 2008; Niehart, 2006).

Adanya problema siswa/i minoritas ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor dari luar,
seperti diskriminasi, maka oleh karena itu usaha yang muncul dalam diri mereka kurang,
ketimbang siswa/i yang mengalami masalah pada kemampuan dan usahanya. Siswa/i yang
mengubah keyakinan belajarnya pada kerja keras dengan keyakinan lain seperti tertekan
15

dengan adanya diskriminasi dan ketidakadilan sosial, maka mungkin sekali tidak berminat
untuk meraih potensi di sekolahnya.

 Faktor Keluarga. Banyak studi dan penelitian tentang program sekolah berbakat
yang menemukan bahwa hubungan variabel keluarga bisa mempengaruhi
kesuksesan siswa/i berbakat disekolahnya. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa siswa/i berkulit hitam (negro) mengetahui kalau orang
tuanya:

o Mengekspresikan perasaan ketidakberdayaan dan keputusasaan di depan anak-


anaknya,

o Kurang perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya,

o Ekspektasi yang tidak jelas dan tidak realistis terhadap anak-anaknya, dan,

o Merasa kurang percaya diri dalam mengasuh anak-anaknya.

 Faktor Sekolah. Faktor-faktor yang berasal dari sekolah bisa mempengaruhi


prestasi murid-murid minoritas yang berprestasi. Terutama murid-murid Kulit
Hitam (negro) yang sering mengalaminya

o Hubungan yang kurang positif antara guru dan murid,

o Waktu yang sedikit untuk memahami materi-materi pelajaran,

o Iklim kelas yang kurang mendukung, dan

o Tidak tertarik dan tak termotivasi dalam belajar di sekolah.

Ekspektasi guru memainkan peranan yang besar dalam pemerolehan prestasi para
siswanya. Guru yang mempunyai kekurangan objektivitas dalam mendidik murid-murid
berbakat di sekolah yang multikultural, akan mempunyai pandangan yang berbeda akan
makna berbakat dan kurang berprestasi itu sendiri. Disamping itu, mereka juga kurang fokus
dalam mendidik para siswa di program kelas khusus/berbakat. Beberapa guru malahan
berekspektasi rendah akan prestasi siswa/i dari kalangan minoritas ini dan jumlah siswa yang
sedikit daripada murid-murid kebanyakan dari kalangan mayoritas. Akibatnya, siswa/i
minoritas ini tidak terdeteksi sebagai siswa/i berprestasi. Pada kenyataannya, siswa/i ini
mengalami frustasi, tidak adanya minat belajar, dan tidak merasa tertantang dalam belajar di
sekolah (Miller, 2005).

Beberapa studi/penelitian telah berhasil mengidentifikasi gaya belajar siswa/i


minoritas. Contohnya antara lain sebagai berikut: murid-murid dari golongan kulit hitam
cenderung belajar tak mandiri, konkrit, dan belajar secara visual, akan tetapi banyak sekolah
yang mengutamakan pendekatan pembelajaran secara abstrak dan kemampuan wicara.
Ketidaksesuaian antara gaya pembelajaran dan pengajaran ini bisa menghasilkan
16

kebingungan, frustasi, dan prestasi yang merosot terhadap murid-murid minoritas ini. (Hale,
2001).

Pada kenyataannya siswa/i minoritas harus memilih, apakah yang mereka kejar adalah
prestasi atau hubungan sosial yang erat dengan kawan-kawan sebayanya? Tapi sering yang
mereka pilih adalah pilihan yang kedua.

Orientasi yang Kurang: beberapa peneliti yakin bahwa perbandingan refensi dari siswa/i
minoritas yang kurang berprestasi di program kelas berbakat disebabkan oleh orientasi yang
kurang secara merata keseluruhan di sekolah-sekolah. Mereka menyatakan bahwa kurangnya
berfikir bisa menyebabkan para pendidik salah menginterpretasikan karakteristik budaya dari
kelompok-kelompok minoritas. Sebagai contoh, beberapa siswa/i minoritas mempunyai
kecenderungan psikomotorik yang kuat dan butuh dilibatkan dalam aktivitas bergerak selama
belajar. Sayangnya, para guru bisa salah mengartikan perilaku ini dan memandang murid-
murid jenis ini sebagai anak yang hiperaktif, tidak memberikannya perhatian dengan
seksama, dan dicap sebagi murid yang tak dewasa. Bahkan di beberapa kebudayaan, anak-
anak mudah mengekspresikan diri mereka dengan emosi dan perasaan yang diorientasikan.
Dengan sifat-sifat ini, siswa dipersepsikan terlalu emosional dan tidak dewasa, bahkan
dianggap lemah dalam kemampuan kognitif (berpikir) (Ford dkk., 2002).

Sebagai guru seharusnya sadar dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan ini,


probabilitas tersebut memungkinkan semakin banyaknya jumlah siswa/i berkemampuan
tinggi dari kalangan minoritas untuk bisa masuk ke program-program kelas berbakat.
Langkah selanjutnya adalah memastikan program tersebut terdiferensiasi secara memadai
sehingga siswa/i ini cukup tertantang dalam belajar menggapai kesuksesan. Lebih jauh lagi,
kita harus mengusahakan untuk mengubah pola-pola yang salah dalam pengajaran, sehingga
menyebabkan prestasi yang merosot pada semua siswa/i.

Mengenali/mengidentifikasi Siswa/i Minoritas yang Berbakat: Banyak sekolah di daerah-


daerah menjadi sadar akan kebutuhan untuk merevisi berbagai kebijakan yang berkenaan
dalam mengenali siswa/i berbakat dan bertalenta dalam rangka membahas masalah-masalah
minoritas yang belum terwakilkan ini. Callahan (2005) menawarkan sembilan solusi untuk
mengenali siswa/i jenis ini:

Solusi Pertama: Mengembangkan Konsepsi Kecerdasan dan Berbakat. Langkah


pertama adalah mengembangkan pemahaman kita tentang bakat dan kecerdasan, seperti yang
digagas oleh Howard Garner dan Robert Stenberg (lihat Bab 1). Yang perlu dipentingkan
adalah kemampuannya, kita harus harus melihat anak-anak yang berbakat ini sebagai sesuatu
yang beda ketimbang anak yang berperilaku cepat dewasa atau anak-anak jenius yang
memperlihatkan kemampuan luar biasanya di depan para guru dan teman-teman sekolahnya.
Murid-murid yang berbakat tidak berarti mereka bisa menunjukkan kemampuan luar
biasanya di setiap bidang studi. Justru siswa/i yang umpamanya berbakat dan mempunyai
talenta yang bagus di satu bidang saja bisa disebut berbakat/cerdas.
17

Solusi Kedua: Menyediakan Ruang/Wadah Bagi Anak-Anak Berbakat Untuk


Mempertunjukkan Talentanya dan Menggunakan Proses Identifikasi Untuk
Meningkatkan Pemahaman. Para guru bisa bertindak sebagai juri pada nominasi,
menyaring, dan mengidentifikasi siswa/i berbakat dari sekian banyak populasi yang belum
ditampilkan kepada khalayak. Oleh karena itu, sangat penting mereka diberikan kesempatan
dalam penampilan talenta yang beragam yang mereka punyai diluar indikator-indikator
umum seperti kemampuan membaca dan menulis. Sekolah-sekolah di daerah harus mendata
populasi murid-murid berbakat ini, serta menampilkan mereka di kelas dan
menghubungkannya dengan segala aspek talenta, walau bidang yang mereka mumpuni tidak
umum dan bersifat seperti kegiatan ekskul, contohnya bukan kemampuan wicara/verbal. Dari
sekian banyak contoh ini bisa berupa tulisan atau dipresentasikan sebagai video klip. Para
guru juga dituntut untuk terlibat dalam mendeskripsikan apa yang murid-murid berbakat ini
sajikan dalam bentuk grup lintas budaya. Partisipan dari murid-murid ini memberikan
kewenangan kepada para guru mengenai citra baru mereka, mengembangkan pemahaman
mereka, dan menciptakan tambahan pendukung bagi murid-murid ini yang akan
menyebarluaskan tentang eksistensi dan talenta mereka pada populasi yang sering diabaikan
ini.

Solusi Ketiga: Mengembangkan Sebuah Program Untuk Pengembangan Talenta.


Sekolah-sekolah di daerah harus membangun pusat-pusat pembinaan dan pengembangan
bakat maupun talenta untuk siswa/i berbakatnya berdasarkan ketertarikan mereka, disertai
dengan kegiatan yang cukup dan motivasi yang tinggi, tentunya juga dengan kemampuan
berpikir dan penggunaan level yang tinggi. Berbagai aktivitas di program ini harus dirancang
dan dibangun untuk kepentingan yang nyata dan sesuai dengan kehidupan anak-anak
tersebut.

Solusi Keempat: Mengenali Lebih Awal dan Sering Meneliti. Penelitian literatur
menunjukkan bahwa kesenjangan pada kesiapan untuk belajar dan tingkat prestasi pada
tingkat lebih awal pada kelompok etnis minoritas dibandingkan dengan populasi murid-murid
kulit putih meningkat secara dramatis dari waktu ke waktu (Donovan & Cross, 2002).
Dengan bertindak cepat pada usia-usia dini mereka untuk dapat mengenali tanda-tanda
kemampuannya yang luar biasa, dan mendidiknya secara tepat, kita akan mempunyai
kesempatan yang besar untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan bakat yang mereka
punya. Disamping itu juga, kita harus mengembang strategi yang berkesinambungan, usaha
pencarian bakat yang gigih secara berkesinambungan juga, dan jeli dalam mencari
bakat/talenta yang disinyalir masih banyak yang belum diketahui secara terang-terangan.

Solusi Kelima: Gunakan Alat-Alat Penilaian Yang Handal dan Dapat Dipercaya.
Alat-alat penilaian berguna untuk menilai talenta yang dimiliki setiap murid secara handal
dan dapat dipercaya. Yang dimaksud dengan dapat dipercaya/reabilitas adalah mampu
menghitung hasil peringkat skala pada skor yang sama jika dinilai secara sempurna oleh dua
orang guru, maka bisakah diduga anak ini rata-rata mempunyai skor yang bagus? Akankah
dua orang guru yang sama bakal memberikan nilai kepada anak yang dalam dua hari yang
berbeda? Yang dimaksud dengan penilaian handal/validitas adalah apakah skor/nilai dari
instrumen ini benar-benar merefleksikan definisi anak-anak yang berbakat yang sedang kita
18

gunakan saat ini? Apakah hasil skor pada instrument ini bisa membuat prediksi bahwa anak
ini akan sukses pada bidang studi kurikulum berbeda yang akan diajukannya nanti?

Solusi Keenam: Gunakan Penilaian Yang Otentik. Alat-alat penilaian harus


mengutamakan kemampuan pekerjaan/tugas yang asli serta cocok dengan dunia siswa/i
tersebut. Jenis-jenis alat ini mempunya keabsahan yang kuat bagi siswa/i yang lemah dalam
kemampuan intelegensia menulis, keterampilan, atau tes-tes lain yang tidak berkaitan dengan
kegiatan mereka sehari-hari. Sebagai contoh, alat-alat penilaian otentik bisa menilai
kemampuan kreatif dalam memecahkan suatu permasalahan, termasuk berbagai
permasalahan yang mungkin ditemui di sekolah, seperti bolos sekolah, pulang ke rumah, dan
kesulitan mengasuh serta menjaga adiknya. Dengan menggunakan penilaian yang otentik
serta pengumpulan data dari waktu ke waktu, para pendidik bisa mengamati cara siswa/i
merespon secara terbuka, jujur, realitas, menantang, dan dalam tugas/pekerjaan yang
kompleks.

Solusi Ketujuh: Mengumpulkan Data Secara Kumulatif dan Disimpan Dalam


Map-Map. Para guru sebagai pembimbing dalam mengembangkan bakat/talenta anak
didiknya harus menyaksikan bagaimana siswa/i-nya merespon tantangan pada tingkat tinggi,
sehingga dibutuhkan kreativitas, berfikir dan menganalisa secara kritis, serta menyelidiki
secara mendalam. Dengan mendokumentasikan pengembangan ini dalam sebuah map yang
didalamnya juga terdapat tugas/pekerjaan murid-murid bersangkutan, maka dokumentasi ini
bias menyediakan informasi indikatif yang valid tentang segala potensi siswa/i yang
bersangkutan untuk melanjutkan tugas/pekerjaan yang lebih tinggi.

Solusi Kedelapan: Menghapus Berbagai Kebijakan atau Latihan-Latihan yang


Bisa Membatasi Ruang Gerak Terhadap Siswa/i Pada Program Berbakat. Satu dari
faktor besar yang menghambat dalam mengembangkan pelayanan terhadap siswa/i minoritas
adalah sebuah keyakinan bahwa terdapat angka-angka ajaib yang terdapat pada siswa/i
berbakat nan bertalenta ini yang bisa disalurkan pada program kelas berbakat. Jumlah angka
dari siswa/i berbakat tidak tentu pada setiap komunitas. Bagaimanapun juga, kompetisi untuk
celah-celah yang alamiah telah membuat konflik antara murid-murid yang bisa teridentifikasi
secara umum dan murid-murid yang mungkin muncul melalui prosedur-prosedur alternatif.
Ketika kelanjutan model pelayanan ini diimplementasikan, maka semua siswa/i yang
berbakat bisa dilayani dan dikembangkan dengan baik.

Solusi Kesembilan: Menuliskan Ulang Prosedur-Prosedur Untuk Nominasi,


Menyaring, dan Mengidentifikasi Kepada Refleksi Yang Bersifat Inklusif, dan
Mengembangkan Definisi Berbakat. Proses kebijakan-kebijakan dalam mengidentifikasi
dan memposisikan siswa/i harus melibatkan sekian banyak cara dan metode dalam proses
identifikasi terhadap siswa/i berbakat tersebut.

Dalam sebuah studi mengenai 25 program yang didisain untuk mengidentifikasi


secara kebudayaan, bahasa, dan keanekaragaman etnis pada siswa/i berbakat dan bertalenta.
Briggs dan koleganya menemukan bahwa lima kategori telah berkontribusi dengan sukses
pada program-program ini (Briggs, Reis, & Sullivan, 2008). Kategori-kategori ini adalah
sebagai berikut:
19

Kategori Pertama: Mengubah Prosedur-Prosedur Identifikasi. Prosedur-prosedur


ini mempunyai tiga kategori strategi dalam mengidentifikasi: (a) menggunakan cara alternatif
untuk program identifikasi; (b) identifikasi dini, biasanya pada tingkat kelas awal; dan (c)
pencakupan informasi mengenai pandangan yang lebih luas terhadap kemampuan siswa. Cara
alternatif untuk mengidentifikasi termasuk dengan menggunakan alat-alat penilaian yang
berbeda dan penghapusan prosedur indentifikasi formal, serta digabungkan dengan
penggunaan perhatian yang spesial. Dalam beberapa kasus perhatian yang spesial, para siswa
yang tidak perlu aktif dalam kegiatan yang umum, tapi mampu menunjukkan potensi kerja
pada level tinggi bisa diberikan pengembangan bakat kemampuannya untuk dilatih
talentanya. Sedangkan untuk identifikasi dini yang disusul dengan persiapan para siswa untuk
berpartisipasi dalam program setelahnya. Persiapan para siswa difokuskan kepada kegiatan
lanjutan yang lebih tinggi dan memperkaya pengalaman belajarnya bagi para siswa yang
tidak mendapatkan akses pada pengalaman yang serupa di rumah, di kelas regular/umum dan
di komunitas mereka. Penilaian kemampuan para siswa bisa dengan cara mengamati kegiatan
mereka selama pelajaran berlangsung untuk melihat tanda-tanda kebakatan yang mereka
miliki, serta para siswa dituntut untuk mengerjakan beberapa portofolio untuk mengetahui
sejauhmana kekuatan, bakat dan talenta mereka, serta masa percobaan pada kelas berbakat
untuk menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk mendemonstrasikan kemampuannya.

Kategori Kedua: Front-Loading (Presentasi di Depan). Presentasi di depan adalah


sebuah proses dalam menyiapkan para siswa untuk berpikiran kritis dan maju, serta kreatif
sebagai sebuah proses identifikasi formal atau sebagai persiapan sebelum menginjak
pelatihan tingkat mahir yang ditawarkan. Front-loading adalah jembatan menuju kesiapan
beberapa siswa, melatih kemampuannya, dan persiapan mereka menuju kesuksesan pada
level program yang lebih tinggi.

Kategori Ketiga: Penggantian Kurikulum. Kurikulum yang digunakan pada


program kelas khusus (berbakat) dalam studi ini menjadi tiga bagian kategori: (a)
implementasi pelayanan secara berkelanjutan, (b) mengadopsi kerangka acuan kurikulum
yang spesifik, dan (c) mengakomodir kebutuhan siswa/i yang beraneka ragam secara
langsung. Pelayanan yang berkelanjutan termasuk instruksi perorang, menggunakan materi
konten pada tingkat mahir, melatih kemampuan untuk meneliti, dan pengembangan
kemampuan berfikir secara kreatif dan kritis. Program ini juga menekankan adanya
diferensiasi, mempertanyakan strategi, proyek/kegiatan yang berdasarkan minat/ketertarikan,
pengalaman praktikum, penyelesaian masalah, dan memperluas kesempatan. Tiga kerangka
yang berkaitan dengan kurikulum spesifik digunakan dalam program-program sebagai
berikut. Pertama, kerangka kurikulum digunakan untuk membimbing pengajaran, termasuk
bidang pelajaran yang menggunakan metode bilingual/dua bahasa, pengetahuan bidang yang
spesifik dan kemampuan yang dimilikinya, serta bimbingan dalam belajar. Kedua, beberapa
program menggunakan model kurikulum nasional yang spesifik, seperti Model Schoolwide
Enrichment (Renzulli & Reis, 1985). Ketiga, dua program dibuat sebagai sebuah kerangka
spesifik untuk memenuhi kebutuhan individual mereka.

Secara spesifik, latihan kurikulum ini diadopasi untuk mempertemukan berbagai


kebutuhan yang unik dari siswa/i tersebut termasuk dengan menghadirkan
20

mentor/pembimbing ataupun professor-profesor yang sedang menjalankan riset dari latar


belakang kebudayaan yang berbeda, diundang untuk mengadakan presentasi-presentasi
risetnya di hadapan para siswa. Bentuk latihan-latihan lain bisa memberikan akses dini
kepada para siswa untuk memperkaya pengalamannya, yang cukup penting adalah
kesempatan belajar sebelumnya untuk mengidentifikasi para siswa yang ikut dalam program
berbakat ini. Beberapa program mengadakan kelas bilingual yang dimana siswa/i bilingual
bisa belajar bahasa Inggris dan bahasa pertamanya. Pada program lainnya, kesempatan yang
ada untuk menyatukan tradisi kebudayaan kepada proses belajar yang bisa dijalankan.

Kategori Keempat: Hubungan Dengan Orang Tua Dirumah. Strategi yang


digunakan untuk meningkatkan komunikasi dan interaksi di rumah tentunya melibatkan
orang tua sebagai pembimbing utama. Maka, apabila dilakukan secara konsisten akan
menyebarkan program informasi kepada orang tua serta penghuni rumah, dan membuat
hubungan keluarga dan kebudayaan terkoneksi. Pada mayoritasnya, program ini melibatkan
orang tua sebagai sukarelawan, guru pembimbing dirumah, donator tetap, penjaga anak-anak
dan sebagai penyedia utama dalam pangan dan pelayanan lainnya. Untuk memastikan
penyebaran informasi ini kepada orang tua berjalan secara efektif, maka perlu diadakan
pertemuan antara orang tua dan grup-grup pendukung, selebaran, brosur tentang program
tersebut, konferensi/pertemuan antara orang tua dengan guru, dan akses informasi di situs-
situs internet. Dalam program/kegiatan laporan keluarga dengan hubungannya terhadap
kebudayaan, para pendidik menggunakan jasa penerjemah dalam pertemuan dan mencetak
materi-materi yang diseminarkan bersama, serta memberikan tugas pekerjaan rumah kepada
siswa yang membutuhkan partisipasi keluarga, dan komunikasi yang intens antara murid
(anak) dan orang tua dalam memilih mata pelajaran yang cocok dengan minat dan bakatnya.

Kategori Kelima: Evaluasi Program. Evaluasi program tentunya melibatkan


pemegang modal dalam program ini, termasuk kepuasan hasil evaluasinya. Disamping itu,
laporan prestasi siswa/i, meningkatnya jumlah pendaftar pada program/kelas berbakat ini, dan
retensi para murid dalam pelayanan di program tersebut. Informasi program yang memuaskan
dihimpun melalui survey yang melibatkan orang tua, murid dan guru. Kebanyakan mayoritas
koordinator program melaporkan usaha yang tidak sukses untuk mengukur tingkat
pertumbuhan prestasi siswanya, dikarenakan hasil tes data yang terkumpul dari suatu wilayah
tidak mewakili kemampuan maksimal sebenarnya dari siswa/i yang berbakat tersebut
berdasarkan penilaian dari berbagai Negara bagian di Amerika Serikat. Lemahnya akses
terhadap informasi ini adalah salah satu masalahnya, hal ini berdasarkan pengamatan di kelas
tentang kemajuan yang dialami para murid. Penelitian kualitatif terhadap masalah ini
bertujuan agar para siswanya bisa menjadi terlatih dalam memecahkan permasalahan, lebih
mampu untuk mengimplementasikan kemampuan berpikir yang tinggi, dan lebih bisa
mengembangkan fasilitas yang menantang beserta isinya.

Ada sebuah dokumen yang representatif, menjelaskan adanya peningkatan jumlah


siswa/i di program berbakat dan dibandingkan dengan jumlah siswa/i masa kini kepada
jumlah murid sebelumnya, atau dibandingkan dengan sekolah-sekolah daerah lain.
Sebagaimana retensi yang terdapat pada siswa/i program berbakat. Ada sebuah laporan yang
mengatakan bahwa siswa/i yang keluar dari program ini, tetap bisa melanjutkan sekolahnya
21

pada tingkat SMP, SMU, bahkan mendaftar kuliah di perguruan tinggi. Mereka tetap sukses
di bidang akademik, masih berbakat dan bertalenta.

Gifted English Learners (EL)/Siswa/i Pembelajar Bahasa Inggris yang Berbakat: Antara
tahun 1979 dan 2006, jumlah anak-anak sekolah (umur 9 s/d 17) dari kalangan penutur suatu
bahasa selain bahasa Inggris di rumah meningkat dari 3,8 s/d 10,8 juta jiwa, atau meningkat
dari 9 s/d 20 % dari jumlah populasi siswa pada kisaran umur tersebut. Selama periode satu
dasawarsa lalu (tahun 2000 s/d 2006), telah meningkat dari 18 hingga 20 % (USDC, 2007).
Walaupun populasi ini meningkat, jumlah populasi yang kurang representatif dari siswa/i
berbakat berbahasa Inggris (EL) pada program/kelas berbakat tetap jumlah presentasenya dan
menjadi isu yang diperhatikan serta telah dicatat dalam laporan penelitian selama bertahun-
tahun. Dikarenakan adanya kendala berbahasa dari awalnya. Siswa/i pembelajar bahasa
Inggris mempunyai kesempatan yang lebih kecil dibandingkan teman-teman sebaya mereka
yang pada asalnya sudah aktif berbahasa Inggris sejak masih dalam buaian dan sudah
terdeteksi oleh para gurunya bagi mereka yang berperilaku baik dan mempunyai nilai
akademis yang bagus sebagai anak berbakat dan bertalenta (Aguirre, 2003). Bakat dan talenta
yang potensial pada siswa/i pembelajar bahasa Inggris tertanam dengan baik secara
kebudayaan, linguistik (kebahasaan), dan latar belakang etnisnya. Beberapa prosedur
identifikasi bagi siswa/i pembelajar bahasa Inggris sangat diperlukan, oleh karena itu
dibutuhkan perhatian khusus pada ide yang lebih luas bagi mereka, termasuk kebijakan yang
bersifat khusus dengan mempertimbangkan keanekaragaman budaya yang berbeda satu sama
lain.

Dua rintangan utama yang sering muncul dan mempengaruhi penilaian siswa/i
pembelajar bahasa Inggris yang berbakat adalah. Pertama, guru dan murid-murid pada
program ini jarang berkomunikasi. Kurangnya komunikasi ini mengurangi sebuah
kesempatan untuk melihat perkembangan siswa/i tersebut belajar dengan baik. Kedua,
walaupun beberapa kemajuan pada bidang ini bertambah, akan tetapi kurangnya kebijakan
yang nyata berkenaan dengan identifikasi siswa/i berbakat dari kelompok-kelompok yang
tidak terwakili/diperhatikan. Rintangan lainnya adalah kurangnya perhatian terhadap siswa/i
pembelajar bahasa Inggris, reaksi yang negatif/ketidaksukaan dari beberapa guru terhadap
siswa/i yang tidak bisa berbahasa Inggris, dan kegagalan komunikasi antara murid dengan
orang tuanya yang buta bahasa dan aksara bahasa Inggris (Harris, Rapp, Martinez, & Plucker,
2007).

Mengidentifikasi Siswa/i Pembelajar Bahasa Inggris yang Berbakat: Sebagai mana yang
telah kita ketahui bahwa populasi mereka terus tumbuh, para pendidik harus menguji mereka
dengan latihan-latihan soal untuk mengidentifikasi dan menyeleksi siswa/i ini untuk
ditempatkan pada program/kelas berbakat. Tiga langkah proses ini bias mengidentifikasi
siswa/i berbakat pembelajar bahasa Inggris yang dikemukakan oleh Coleman (2003) dan
disesuaikan oleh Harris dkk. (2007). Bahkan para pembaca bisa mencatat beberapa kesamaan
saran yang dibuat lebih awal oleh Callahan (2005).

Langkah Pertama. Pencarian Secara Umum. Fase ini menentukan sebuah sekolah
di suatu daerah yang luas untuk melaksanakan sistem pencarian terhadap semua murid,
22

termasuk populasi siswa/i pembelajar bahasa Inggris. Metode pencarian mengandalkan pada
data yang tersedia pada semua populasi murid-murid yang dimaksud, seperti penilaian
standar skor pada sebuah Negara bagian atau daerah, dan penilaian kognitif/akademis sebagai
sebuah bagian dari proses pencarian siswa/i berbakat. Penilaian harus dikelola dengan baik
dan berstandar pada penilaian siswa/i yang berbahasa ibu dan mempunyai kemampuan yang
baik pula dalam bahasa Inggris. Sekolah-sekolah di daerah juga harus menggunakan kriteria
penilaian majemuk untuk menambah gambaran yang cukup komplit terhadap siswa/i yang
mahir berbahasa Inggris dan berpotensial tinggi. Penilaian-penilaian ini harus melibatkan dari
berbagai sumber informasi, seperti keluarga, para orang tua, murid-murid, dan orang-orang
lain yang secara signifikan mempunyai informasi serta pengetahuan yang cukup atas siswa/i
ini. Mereka juga harus mengumpulkan informasi dalam berbagai cara, seperti melalui
observasi/pengamatan, kemampuan dan hasil yang mereka tunjukkan, dalam bentuk tes
tertulis/portofolio, wawancara, dan dalam berbagai konteks yang berbeda, yaitu, kegiatan di
sekolah dan di luar sekolah.

Peringatan: Berhati-hatilah ketika memberikan tanggapan pada tes non-verbal.


Kelihatannya logis untuk berasumsi menggunakan tes non-verbal akan sangat berguna dalam
memberikan penilaian terhadap hasil kemampuan siswa/i pembelajar bahasa Inggris yang
mengalami kesulitan dalam berbicara dan menulis menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi
hal ini tidak perlu menjadi sebuah kasus tersendiri. Sebuah studi penelitian baru-baru ini
membandingkan bahwa hampir 1.200 anak-anak SD telah sukses mengikuti tiga tes non-
verbal untuk mengidentifikasi secara akademis yang mana anak-anak yang layak untuk ikut
pada program kelas siswa/i berbakat dalam bahasa Inggris. Dan kira-kira 40 % partisipan
adalah siswa/i berbahasa Inggris. Mereka semua telah dikelola dengan baik oleh sebuah
sistem yang bernama Raven Standard Progressive Matrices (Raven), Naglieri Nonverbal
Ability Test (NNAT)/Tes Kemampuan Nonverbal Naglieri, dan Form 6 of the Cognitive
Abilities Test (CogAT)/6 Tahapan Tes Kemampuan Kognitif. Hasilnya menunjukkan bahwa
siswa/i pembelajar Bahasa Inggris dalam studi ini mendapatkan skor 8 s/d 10 lebih rendah
jika dibandingkan dengan siswa/i yang bukan pembelajar bahasa Inggris pada tiga jenis tes
non-verbal. Disamping itu standar nasional yang muncul pada penilaian ini terjadi kekeliruan.
Ketika menggunakan standar nasional, baik standar Raven dan NNAT secara substansi
melebihi perkiraan jumlah anak-anak yang mempunyai skor tinggi. Tiada satupun tes non-
verbal yang bisa memprediksi prestasi yang baik bagi siswa/i pembelajar bahasa Inggris
(Lohman, Korb, & Lakin, 2008).

Sekolah-sekolah di daerah harus memberikan informasi tentang program berbakat ini


dan penyuluhan yang terkait tentang hal tersebut di wilayahnya masing-masing kepada para
orang tua/wali murid dalam bahasa asal yang mereka pergunakan sehari-hari. Informasi ini
harus berupa keterangan tentang karakteristik anak-anak berbakat yang mungkin saja anak-
anak mereka termasuk anak-anak yang berbakat, dan prosedur-prosedur dalam
memberitahukan kepada pihak sekolah/koordinator di wilayahnya masing-masing, jika anak-
anak yang berbakat bisa teramati. Pencarian anak-anak yang berbakat ini harus bersifat
dinamis dan berkesinambungan secara merata dari tahun pertama, sehingga siswa/i
pembelajar bahasa Inggris migran dan imigran yang datang di waktu yang berbeda pada
23

tahun pertama sekolah, berkesempatan untuk berpartisipasi pada penilaian proses identifikasi
dalam program ini.

Langkah Kedua. Peninjauan Ulang Atas Kelayakan Siswa/i Yang Mengikuti


Program Ini. Pada fase ini, data-data yang terkumpul dari siswa/i yang telah menunjukkan
potensinya berdasarkan proses penilaian dan penyaring, harus ditinjau kembali oleh sebuah
tim sekolah yang terdiri dari beberapa personil guru-guru pengajar bahasa Inggris, dan
pemerhati anak-anak berbakat. Orang tua dan guru-guru pada umumnya harus menjadi
bagian anggota yang aktif dari tim. Setelah meninjau ulang terhadap pengajaran pada murid-
murid, data-data yang terkumpul, maka tim memutuskan untuk mengambil data-data
tambahan/penunjang mengenai murid, atau secepatnya menempatkan siswa bersangkutan di
program/kelas anak-anak yang berbakat dan bertalenta. Adaptasi terhadap kurikulum akan di
perlukan, tentunya harus sesuai dengan bahasa ibu/asli anak-anak tersebut.

Langkah Ketiga. Menyesuaikan Pelayanan Terhadap Para Siswa. Para murid


pembelajar bahasa Inggris yang telah berhasil menunjukkan potensi yang tinggi, sekarang
layak mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai. Pelayanan pendidikan ini bisa secara
selang-seling, seperti sebuah kelas khusus untuk siswa/i berbakat, atau pelajaran tambahan,
seperti pelajaran tambahan setelah sekolah usai (biasanya setelah Dzuhur s/d sore hari).
Pelajaran tambahan ini harus diberikan perindividu kepada siswa pembelajar bahasa Inggris
yang mempunyai keunikan dan kelebihan tersendiri. Untuk meningkatkan representasi
siswa/i pembelajar bahasa Inggris pada program/kelas berbakat ini, sekolah-sekolah di daerah
perlu mengenali jumlah celah-celah yang ada pada siswa/i pembelajar bahasa Inggris secara
periodik, sehingga pelayanan pendidikan yang sesuai akan terus dipantau dan ditinjau ulang
untuk memastikan keadaan yang kondusif nan baik bagi para siswa.

Walaupun adalah hal yang penting dalam mengembangkan proses identifikasi yang
sesuai bagi siswa/i pembelajar bahasa Inggris, dewan guru dan pengurus sekolah, serta
kebijakan yang mereka buat juga harus mempromosikan dan mementingkan prosedur-
prosedur ini. Identifikasi yang sukses terhadap siswa/i pembelajar bahasa Inggris yang
berbakat nan bertalenta, membutuhkan inisiatif kerja yang proaktif dan kepemimpinan yang
visioner serta berwawasan untuk kemajuan di masa depan.

MENGUBAH POLA-POLA TERHADAP MURID-MURID YANG KURANG


BERPRESTASI

Pendekatan dalam mengubah pola-pola terhadap murid-murid yang kurang berprestasi telah
sukses jika pola-pola ini berdasarkan sebuah pandangan bahwa kemampuan murid-murid
yang lemah bisa dibentuk dengan berbagai usaha keras di sekolah, sehingga murid-murid
yang kurang berprestasi menjadi berprestasi. Hal ini pun bisa terlaksana jika sistem pola-pola
pengajaran yang keliru di sekolah juga dirubah. Upaya ini bisa dilakukan dengan
mengkomunikasikan pesan-pesan secara sosial oleh guru dan teman-teman murid yang
sebaya, dengan cara menyemangati mereka untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan sekolah
dan tidak mengecilkan hati mereka. Serta ditunjang dengan tingkat kurikulum dan
strategi/kiat pengajaran yang cocok dengan gaya belajar siswa/i yang kurang berprestasi.
Oleh karena itu, perhatian dan pantauan yang serius dalam menggapai kesuksesan ini akan
24

menciptakan kekuatan positif yang bisa membentuk sikap dan perilaku siswa berprestasi.
Pertanyaan-pertanyaan dibawah ini harus mampu menjawab persoalan yang dimaksud, antara
lain:

1. Apakah yang dimaksud dengan anak-anak yang berbakat dan masalah-masalah apa
yang berkaitan dengan maksud tersebut?

2. Saran-saran apa saja yang berguna dalam mengatasi kemunculan konflik yang tidak
bisa dihindari atas kesenjangan makna antara tingkat kemampuan dan kemampuan
kognitif?

3. Bagaimana cara seorang siswa mengembangkan pemikiran yang sehat dan konsep diri
yang realistis?

Walaupun para guru kadang frustasi dalam mendidik murid-murid yang berkemampuan
rendah, ada strategi/kiat-kiat yang paling efektif untuk bisa mengatasi persoalan ini.

 Strategi-Strategi yang Mendukung. Strategi ini berfokus dalam membiarkan


siswa untuk merasakan bahwa mereka adalah bagian dari suatu grup yang dimana
semua permasalahan bisa didiskusikan/dicurhatkan bersama-sama, dan setiap
kegiatan kurikulum pelajaran bisa dipilih berdasarkan kebutuhan dan minat siswa
yang bersangkutan. Para siswa diijinkan untuk meninggalkan tugas-tugas yang
dimana mereka sudah terbukti mampu menunjukkan kompetensi yang baik pada
tugas tersebut.

 Strategi-Strategi Internal. Dengan kita menerima gagasan bahwa para siswa


berkeinginan untuk meraih prestasi secara akademik, sebenarnya semangat positif
ini berhubungan dengan konsep diri mereka sebagai pembelajar yang giat, maka
dari itu hendaknya para guru menggunakan strategi/kiat ini untuk menyemangati
usaha mereka, tidak hanya sekedar kesuksesan yang kita harapkan, akan tetapi
para guru juga mengajak para siswa untuk bertanggung jawab dalam mengatur
jalannya pelajaran di kelas secara kondusif dan seksama. Para siswa juga
diberikan kewenangan untuk mengevaluasi hasil pembelajaran mereka sebelum
diberikan kepada guru yang bersangkutan.

 Perbaikan Strategi. Prestasi yang tidak memuaskan sebenarnya bisa dirubah


ketika para guru mengetahui siswa/i-nya membuat banyak kesalahan, akan tetapi
hal ini bisa dibilang lumrah. Oleh karena itu, hendaknya setiap siswa mengetahui
mana saja kelebihan dan kelemahannya dalam hal intelektual, sosial, dan
kebutuhan emosinya. Maka dari itu, perbaikan strategi didisain supaya para siswa
unggul pada bidang/mata pelajaran yang mereka kuasai dan minati. Pada saat
yang bersamaan, hendaknya para guru memberikan banyak kesempatan kepada
murid-muridnya untuk memperbaiki kekurangan mereka dalam pembelajaran di
bidang yang spesifik. Iklim kelas yang kurang kondusif adalah salah satu
kegagalan dalam proses belajar-mengajar antara murid dengan guru.
25

Lihat keterangan tambahan pada akhir bab ini mengenai tiga saran/strategi dalam
pengajaran dan pembelajaran di kelas.

Mengubah Siswa/I Minoritas Yang Tidak Berprestasi Menjadi Berprestasi

Diperlukan suatu usaha untuk mengubah siswa/i yang kurang berprestasi untuk bisa
menjadi lebih baik, atau yang sudah berprestasi untuk tetap bisa mempertahankan prestasinya
(pada siswa/i minoritas tapi berbakat). Menurut (Ford dkk., 2008) usaha-usaha ini antara lain:

 Gunakan pengukuran yang valid dan realibel dalam menentukan populasi siswa/i
minoritas yang kurang berprestasi;

 Membentuk kemampuan siswa/i dalam berorganisasi, belajar, manajemen waktu, dan


mengikuti tes/ujian;

 Membentuk kepercayaan diri, konsep diri yang baik secara sosial dan akademis, serta
identitas rasial;

 Melibatkan anggota keluarga sebagai mitra dalam proses belajar; dan

 Menyediakan para staf sekolah yang mumpuni terlatih dalam pendidikan


multikultural bagi siswa/i berbakat, termasuk kiat-kiat dalam menciptakan iklim kelas
yang kondusif dan sesuai dengan harapan para guru.

Bernal (2002) mengungkapkan bahwa cara yang efektif untuk meningkatkan prestasi
siswa/i berbakat namun berbeda secara kultural dan penggunaan bahasa (red: biasa disingkat
(CLD) Gifted Culturally and Linguistically Different Students/siswa/i CLD) adalah dengan
mengubah pola pendidikan tradisional pada kelas/program berbakat, sehingga siswa/i ini
mendapatkan kelayakan pada pola baru yang lebih maju dan inovatif. Bernal memberikan
beberapa keterangan cara untuk mengatasi masalah tersebut:

 Evaluasi: Sekolah-sekolah di daerah yang pernah sukses dalam mendidik siswa/i


CLD perlu mengevaluasi program dan membagi data-data yang mereka miliki kepada
departemen pendidikan pusat. Evaluasi ini harus berfokus dalam beberapa pertanyaan
di bawah ini, antara lain:

o Siapa nama-nama siswa yang baru-baru ini diterima di program tersebut?

o Siapa nama-nama siswa yang sukses mau pun yang gagal dalam program ini?

o Perubahan-perubahan apa saja yang pernah dibuat pada program/kelas berbakat


ini untuk menampung siswa/i tersebut. Dan apa saja hasilnya?

 Kurikulum Multikultural: Bagi siswa/i CLD untuk bisa sukses pada program/kelas
berbakat, kurikulum yang digunakan harus bersifat multikultural. Sekolah-sekolah di
daerah perlu melatih para guru mengenai metodologi pengajaran multikultural.
Pelatihan ini mengajarkan kepada para guru bagaimana
26

o Menggunakan contoh-contoh dari berbagai kebudayaan yang berbeda untuk


membuat suasana belajar lebih menarik terhadap para murid;

o Menunjukkan kepada para murid bagaimana sebuah pengetahuan yang baru itu
dipengaruhi oleh etnisitas, sejarah, dan pandangan orang-orang;

o Membuat beberapa kelompok belajar yang kooperatif untuk menciptakan


interaksi yang positif diantara para siswa yang beranekaragam latar belakangnya;
serta

o Menciptakan iklim kelas yang membuat siswa/i CLD merasa betah belajar
didalamnya.

 Mengadakan Rekrutmen Para Calon Staf Pengajar Baru: Sekolah perlu merekrut para
calon staf pengajar yang layak/representatif untuk mengajar siswa/i minoritas pada
program/kelas bagi anak-anak berbakat. Staf-staf pengajar ini harus mempunyai
intelektualitas yang mumpuni dan pengetahuan akan nilai-nilai tradisi kebudayaan
yang beranekaragam, demi memberikan pengajaran yang menguntungkan bagi para
siswa/i berbakat tersebut.

Kita telah mencatat sejak awal bahwa para peneliti telah mempublikasikan bagaimana
menggunakan pendekatan penilaian yang beranekaragam untuk meningkatkan
pengidentifikasian terhadap murid-murid minoritas berbakat. Beberapa pendekatan berupaya
mengidentifikasi siswa/i minoritas berbakat dengan menggunakan sumber-sumber informasi
yang bermacam-macam termasuk, skala penilaian, daftar isian pemeriksaan, berbagai
referensi, dan penilaian dari perspektif teman-teman sebaya/peer nomination. Penilaian dari
perspektif teman-teman sebaya/peer nomination sangat berguna, karena para murid bisa
sering mengidentifikasi teman-teman sebayanya yang baik, dan kemungkinan adanya bias
akan kurang terhadap pelbagai perbedaan kebudayaan ketimbang guru-guru mereka (Brown
dkk., 2005).

Instrument penilaian dari perspektif teman-teman sebaya sering mendapatkan kritikan


dikarenakan reabilitas dan validitasnya yang kurang. Walaupun demikian, sebuah studi
penelitian yang melibatkan 670 siswa/i di tingkat 4 s/d 6 menunjukkan bahwa bentuk
penilaian dari perspektif teman-teman sebaya didisain untuk mengidentifikasi murid-murid
berdarah Amerika Latin (Hispanic) yang memadai secara reabilitas dan validitas
(Cunningham, Callahan, Plucker, Robertson, & Rapkin, 1998). Para peneliti
merekomendasikan bahwa instrumen penelitian tersebut digunakan untuk meneliti kelompok-
kelompok minoritas, umpamanya., anak-anak warga keturunan Afrika-Amerika, warga asli
Amerika, dan keturunan Asia-Amerika. Selembar salinan formulir yang digunakan pada studi
penelitian ini bisa dilihat pada halaman terakhir di bab ini.

Tidak ada jawaban yang sederhana untuk bisa menjawab masalah kekurangan prestasi
atas murid-murid berbakat ini. Beberapa murid-murid berbakat mempunyai prestasi yang
tinggi dan lingkungan baik nan kondusif dalam mendidiknya. Tetapi, mereka yang kurang
berprestasi, mempunyai kepercayaan diri yang rendah dan tidak mampu fokus pada aktivitas
27

pembelajaran yang dipilih, ketidakmampuan menentukan prioritas, dan menyusun tujuan


jangka panjang. Oleh karena itu para guru dan orang tua/wali murid harus mengingat bahwa
daya motivasi belajar dan pretasi anak-anak muridnya bisa diajarkan serta dilatih. Dengan
melakukannya, maka mereka bisa membangun kompetensi dan kepercayaan diri, sehingga
para murid mampu tumbuh dengan optimal, dan kedewasaan berfikir serta berperilaku akan
berkembang dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai