BAB 3
Frasa “Cara Mendidik Siswa/i yang Kurang Berprestasi” mungkin terdengar klise. Secara
definisi siswa/i yang berprestasi adalah mereka yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata
dan kemampuan belajar yang tinggi secara konsisten. Sedangkan mereka yang kurang
berprestasi dikategorikan sebagai siswa/i yang gagal dalam menjalankan kemampuan
belajarnya secara optimal. Lalu bagaimana dua frasa ini digunakan secara bersamaan untuk
mendeskripsikan satu individu? Tapi bagaimanapun juga fenomena siswa/i yang kurang
berprestasi itu ada dan jumlahnya lebih banyak dari perkiraan kita. Keadaan mereka cukup
kompleks baik dari segi kemampuan akademis dan tingkah lakunya yang merosot, serta
keadaan ini bisa berjalan dengan cepat maupun lambat. Jika tak ditanggulangi maka potensi
kemampuan akademis mereka akan semakin merosot. oleh karena itu masalah ini harus
ditanggulangi bersama sebisa mungkin untuk mencari penyebab hambatan belajar serta
solusinya.
Mendefenisikan makna kurang berprestasi itu tidak gampang, khususnya diantara siswa/i
yang berbakat. Salah satu problemanya terletak pada definisi berbakat. Setiap rayon sekolah
mempunyai definisi tersendiri, walaupun kebanyakan penggunaan definisi ini tergantung dari
hasil tes IQ dan hasil rekomendasi dari pengamatan para guru terhadap siswa/i tersebut.
Ukuran-ukuran ini tidak selalu dapat diandalkan dikarenakan secara mental beberapa siswa/i
berbakat tersebut unggul di semua bidang pelajaran dan tugas-tugas sekolahnya. Berikut ini
mari kita lihat definisi dari makna kurang berbakat. Rimm (1997) mendefinisikan kurang
berbakat sebagai ketidaksesuaian antara kemampuan belajar siswa/i di sekolah dengan indeks
hasil prestasi kemampuan pembelajarannya. Kemampuan hasil prestasi belajar seorang siswa
diukur dari tingkatan kelasnya dan evaluasi dari guru yang bersangkutan, sementara hasil dari
kemampuan siswa/i tersebut diukur dari penilaian kemampuan intelektualnya dan hasil tes
prestasi skor yang baku. Sebagai bahan pertimbangan atas fenomena ini, bahwa
ketidaksesuaian antara hasil yang diharapkan dengan kemampuan penilaian hasil
akademisnya tidak didiagnosa sebagai ketidakmampuan dalam pembelajaran. Siswa/i yang
berprestasi namun memiliki ketidakmampuan dalam belajar yang optimal, bisa dianggap
sebagai murid-murid yang luar biasa, pembahasan ini akan didiskusikan secara penuh di Bab
4.
Faktor-faktor ini bisa berasal dari rumah maupun di sekolah yang bisa menyebabkan prestasi
merosot. faktor-faktor ini bahkan terlihat umum dan merata (McCoach & Siegle, 2003).
Citra Dirinya Dalam Bidang Akademis. Siswa/i yang percaya diri terhadap
kemampuannya akan lebih terampil dan terlatih untuk melibatkan dirinya dalam
2
1/3 keberhasilan atas suatu prestasi seorang siswa, bisa dihitung/diukur oleh
citra dan konsep dirinya sendiri dalam bidang akademis tersebut. Citra dirinya bisa
memenuhi target yang ingin ia kejar. Jika siswa melihat dirinya sebagai seorang yang
gagal, maka pada akhirnya kemungkinan sekali ia akan terbebani oleh konsep
negatifnya itu. Sehingga nilai yang bagus bisa dipersepsikan sebagai sebuah kebetulan
atau keberuntungan, tetapi nilai yang jelek akan semakin memperkuat keyakinan
negatifnya. Siswa/i yang bersikap seperti ini sering menyerah dengan keadaan karena
mereka mengasumsikan bahwa kegagalan itu tidak bisa dihindarkan. Hasilnya adalah
pola pikir dan konsep terhadap dirinya yang rendah, serta kurangnya
dorongan/semangat untuk berubah.
Sikap Terhadap Sekolah. Tidak mengejutkan bahwa banyak penelitian dalam bidang
pendidikan menemukan bahwa sikap para siswa terhadap sekolah mempunyai
dampak pada prestasi mereka. Semakin positif sikap tersebut, semakin tinggi prestasi
yang mereka raih, khususnya pada murid-murid perempuan. Murid-murid yang
kurang berprestasi menunjukkan lebih banyak sikap serta perilaku yang negatif
ketimbang murid-murid yang rata-rata berprestasi atau pintar.
Sikap Terhadap Para Guru dan di Kelas. Banyak murid yang kurang berprestasi
mempunyai kesulitan berinteraksi secara komunikatif dengan pihak otoritas sekolah,
termasuk dengan para guru dan pegawai sekolah. Alhasil sikap mereka terhadap guru
dan di kelas malahan berdampak negatif pada prestasi akademik mereka. Mengajar
dengan cara memberikan instruksi secara merata kepada semua siswa tidak akan
cocok dengan gaya belajar siswa-siswi yang pintar. Gaya mengajar seperti instruksi
akan menurunkan kapabilitas siswa/i dalam proses pembelajaran, bahkan peraturan di
kelas yang ketat dan pembatasan ruang gerak mereka untuk tidak keluar kelas selama
jam pelajaran, akan menurunkan semangat belajar mereka di kelas. Suasana kelas
yang terlalu kompetitif (berdaya saing tinggi) maupun tidak kompetitif malahan akan
memunculkan berbagai masalah dalam prestasi siswa-siswinya.
Motivasi dan Kedisiplinan Diri. Kedisiplinan diri adalah cara mengatur untuk
mendisiplinkan pemikiran, emosi/perasaan dan tindakan dari siswa/i yang
bersangkutan secara konsisten untuk mencapai tujuan. Kedisplinan diri adalah sebuah
cara yang signifikan untuk memperoleh prestasi belajar, dan berguna untuk
menginternalisasi strategi yang dimiliki siswa/i tersebut demi memperoleh prestasi di
3
Tujuan Penilaian. Bagaimana cara para siswa menilai prestasinya jika sepasang
komponen yang sangat fundamental yang harus mereka lakukan adalah memotivasi
dirinya untuk berprestasi dan kedisiplinan dalam menjalankan itu semua. Apabila
yang murid-murid pikirkan di benaknya adalah pencapaian nilai di sekolahnya, maka
mereka lebih mengusahakan dirinya untuk mengejar sebatas nilai akademik, dan
menghabiskan masa waktunya demi berusaha keras menyelesaikan tugas-tugas
sekolah, serta lebih berusaha keras lagi secara akademis. Para siswa akan menarik diri
dari lingkungan sekolah jika mereka merasakan ada suatu konflik nilai antara sekolah
dengan kebudayaan tempat mereka berasal. Sebagai contoh, beberapa siswa yang
kurang berprestasi dikarenakan mereka tidak mau dicemooh oleh teman-temannya
sebagai si kutu buku.
Beberapa siswa yang berbakat, khususnya remaja yang berumur 11 s/d 15 tahun,
mungkin mengalami prestasi yang tidak membanggakan dikarenakan mereka mempunyai
masalah yang serius dalam menyesuaikan bakat yang mereka punya. Sikap ingin segala
sesuatunya sempurna (perfeksionisme), pengharapan yang tidak realistis akan bakat yang
mereka punya, penolakan dari teman-teman sebaya, sikap dan perilaku yang terlalu
kompetitif, serta kebingungan yang diakibatkan oleh banyaknya pesan-pesan yang masuk ke
kupingnya, bahwa bakat/talenta yang mereka miliki bisa mengikis prestasinya di sekolah,
ternyata bisa membuat kebingungan tersendiri bagi mereka.
Kepemilikan Talenta. Adalah hal yang tak biasa bagi beberapa remaja yang
bertalenta untuk menyangkal bakat yang mereka miliki, hal ini bisa disebabkan karena
tekanan teman-teman sebayanya untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri, serta
perasaan dari sang remaja tersebut yang dapat diduga. Remaja-remaja ini berkarakter
rendah diri dan ragu akan keobjektivitasan/rasa penghargaan yang para guru dan
orang tuanya berikan kepada mereka.
Ekspektasi Berkompetisi. Harapan dari orang-orang sekitar (orang tua, para guru,
teman-teman sebaya, saudara kandung, dan teman-teman lainnya) akan menimbulkan
rasa persaingan terhadap remaja-remaja berbakat baik dari segi rencana dan
tujuannya. Pada efeknya, ekspektasi yang dimiliki para remaja harus dihadapi dengan
cepat, terburu-buru, apalagi tuntutan dari pihak lain. Semakin bagus bakat yang
dimiliki, maka semakin besar ekspektasi dari orang lain dan pihak luar untuk campur
tangan. Ekspektasi yang terlalu banyak ini bisa menguras energi dan mematikan
semangat sang remaja untuk sukses.
Ketidaksabaran. Murid-murid yang berbakat bahkan para remaja lainnya bisa sama
tidak sabarnya ketika mencari solusi dari permasalahan yang berat atau mencoba
untuk mengembangkan hubungan sosialnya. Keadaan yang impulsif ini membuat
mereka tidak toleran akan ketidakpastian dalam memecahkan suatu persoalan. Mereka
akan cepat marah jika solusi praktis yang dibuatnya gagal, apalagi jika murid-murid
yang kurang cakap, bangga dan merasa puas bisa melewati kegagalan ini. Rangkaian
kegagalan ini akan mendorong murid-murid berkarakter tersebut untuk menarik diri
dari lingkungan.
identitasnya. Para guru dan konselor pendidikan yang terlatih bisa membantu siswa/i jenis ini.
Sayangnya sangat sedikit sekali para praktisi mempunyai waktu untuk membantu
pengembangan identitas dan konseling bagi orang-orang yang berbakat. Andrew Mahoney
(2008), seorang penasihat/praktisi yang membantu para individu untuk berjuang dengan
bakat yang mereka miliki, telah berhasil mengembangkan dan membuat sebuah matriks yang
disebut dengan Model Formasi Identitas Bagi Orang-Orang Berbakat, yang dalam Bahasa
Inggrisnya disebut dengan The Gifted Identity Formation Model. Model matriks ini terdiri
atas skala identitas dan variabel formasi yang krusial dalam tahapan proses konseling, dan
menggunakan skala dasar untuk intervensi. Model jenis ini bisa membantu membuat
penilaian dan menolong konselor dalam menciptakan intervensi sehingga bisa menjelajahi
dan memperkuat formasi susunan identitas untuk orang-orang yang berbakat. Model ini
dikonstruksikan dalam empat tahapan penilaian:
Validasi. Ini adalah sebuah pengakuan/identifikasi bahwa satu penilaian untuk satu
orang yang berbakat bisa dikonfirmasi/diverifikasikan oleh orang lain atau bahkan
pada dirinya. Bakat/talenta bisa divalidasikan melalui identifikasi penilaian program
bakat akademik itu sendiri. Pengakuan akan adanya bakat ini sangat signifikan bagi
yang lain, atau dengan suatu realisasi pencapaian yang bersifat khusus.
Afinitas. Konstruksi keempat ini adalah sebuah daya tarik untuk memelihara dan
menyerupai kesatuan antara roh, jiwa dan pandangan hidup. Afinitas menghubungkan
dirinya dengan sebuah dunia dan misteri kehidupan. Sering kali afinitas dibutuhkan
sebagai seperangkat filosofi kehidupan ketika proses identifikasi diri belum sempurna.
Ketiadaan afinitas pada diri seseorang, cenderung membuatnya sedih, serta membuat
hidup dalam ketidakmenentuan. Individu-individu yang merasa bahwa mereka tidak
bisa melaksanakan pekerjaannya, maka mereka tidak akan pernah mempunyai rasa
pemenuhan atas jiwanya yang kosong, bahkan keadaan ini semakin mendekatkannya
pada kecemasan.
6
Pada bentuk model matriks Mahoney, empat konstruksi ini merepresentasikan bangunan
dasar yang penting dalam pengembangan diri. Di gambar 3.1, mereka akan berinteraksi
dengan 12 sistem yang membantu dalam hal pembentukan dan susunan pengaruh identitas
bagi mereka yang berbakat: Dirinya, keluarga, asal usul keluarga, kebudayaan,
profesi/pekerjaan, lingkungan, pendidikan, sosial, psikologis, politis, fisiologis-organik, dan
pengembangan. Hal-hal di atas menurut Mahoney, merepresentasikan kekuatan-kekuatan
internal dan eksternal yang bisa berdampak pada susunan identitas orang berbakat tersebut.
Model ini berguna sebagai panduan untuk memahami seluk-beluk kompleksitas dan
perbedaan kecil yang terdapat pada siswa/i berbakat. Model ini juga berguna dalam
menyediakan struktur/kerangka konseling yang dapat membantu orang-orang berbakat
sehingga mereka jadi sadar dan tahu akan kebakatan yang mereka punya dalam susunan tes
identitas tersebut. Jadi, mereka lebih baik lagi dalam memahami diri mereka sebagai orang-
orang yang mempunyai bakat khusus. Hal-hal yang saling mempengaruhi ini, berdasarkan
Mahoney penggunaannya bukan dimaksudkan sebagai sebuah skala kriteria tes kesehatan
mental atau untuk membandingkan perkembangan antara individu dengan individu lainnya.
Lebih jauh lagi skala ini ditujukan untuk kebutuhan konseling yang mempunyai tiga fungsi
utama: sebagai alat penilaian, membantu dalam pengembangan konseling lanjutan, dan
berfungsi sebagai panduan dalam proses konseling itu sendiri. Disamping itu, model tes ini
memposisikan orang-orang berbakat pada konteks yang positif dalam pengembangan
kemanusiaan, ketimbang disalahpahami sebagai orang yang berkarakter tidak normal ataupun
mengidap penyakit yang bersifat patologis.
Keempat konstruksi pada model ini mendapatkan dukungan dari penelitian terkini di
bidang pengetahuan sosial kognitif ilmu syaraf. Ini adalah ilmu pengetahuan baru yang
berupaya untuk memahami dinamika dan kompleksitas hubungan antara otak dengan
interaksi sosial (Ochsner, 2007). Dengan menggunakan teknologi penggambaran otak (brain
imaging), para peneliti telah menemukan bahwa sistem syaraf yang memproses stimulus
sosial, seperti membentuk hubungan relasi atau membandingkan satu dengan lainnya, pada
kenyataannya berbeda dari proses stimulus non-sosial. Studi terbaru mempublikasikan bahwa
pengembangan sosial adalah elemen penting dari bagian pengembangan studi tentang
manusia itu sendiri. Hal penting ini tersinyali dari aktivitas otak pada bagian yang spesifik
yang memastikan orang untuk memahami dirinya sebagai makhluk sosial, dugaan niatnya
kepada orang lain, dan memutuskan respon perilaku yang tepat ketika ia menempatkan
posisinya di berbagai situasi sosial (Sousa, 2009).
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Model Formasi Identitas Bagi Orang-Orang yang
Berbakat, silahkan kunjungi situs ini: www.counselingthegifted.com
Dirinya
Keluarga
7
Kebudayaan
Profesi/Pekerjaan
Lingkungan
Pendidikan
Sosial
Psikologis
Politis
Fisiologis-organik
Pengembangan
Gambar 3.1 Matriks ini berdasarkan Model Formasi Identitas Bagi Orang-Orang yang
Berbakat, menggambarkan interaksi antara empat konstruksi dan 12 sistem yang melibatkan
susunan identitas satu orang.
Gunakan dimensi pengukuran tes prestasi dan IQ dengan cara yang kompetitif dan
bervariasi.
Cobalah untuk merujuk kepada sejumlah guru-guru yang cakap dalam memberikan
pendidikan yang spesial terhadap sejumlah murid yang mengalami kesulitan belajar.
Berikan laporan kepada para orang tua murid di luar jam pelajaran sekolah mengenai
perilaku, sikap, serta minat dan kemampuannya anak-anaknya yang tinggi.
Malas berusaha.
Karakteristik Umum
Beberapa karakteristik umum yang sering ditemui dan pola-pola khasnya yang bisa
dideteksi pada murid-murid berbakat tapi kurang berprestasi, bisa dilihat pada gambar 3.2
(Reis & McCoach, 2000) di atas. Dikarenakan murid-murid berbakat namun kurang
berprestasi gagal dalam beberapa kegiatan, mereka cenderung memperlihatkan tiga gejala
perilaku yang umum: agresif, menarik diri dari lingkungan sekitar, dan tidak mau menuruti
peraturan. Tingkah laku siswa/i yang agresif mempunyai karakter yang keras kepala dengan
menolak menaati peraturan dengan berbagai alasan, mengganggu teman-temannya yang lain,
menolak ikut serta dalam berbagai aktivitas rutin, menjauhkan diri dari teman-teman
sebayanya, dan kehilangan orientasi berpikir dalam menentukan sesuatu. Pada kenyataannya,
tingkah lakunya yang menarik diri lingkungan, menyebabkan ia kurang nyaman dalam
berkomunikasi, lebih nyaman belajar/bekerja sendirian, usahanya lemah dalam
mendisiplinkan perilakunya, dan kurang berpartisipasi aktif di kelasnya. Mereka yang tidak
mau menaati peraturan akan menyesuaikan diri dan menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh
forum di kelas, tapi dengan tanpa menunjukkan kemampuannya yang tinggi/maksimal di
kelas. Tingkah laku yang saya kategorikan di atas merefleksikan suatu keyakinan akan
ketidakmampuan mereka dalam belajar dan berinteraksi sosial di sekolah, konsep jati diri
yang rendah serta tidak realistis, dan perilaku negatif yang pada umumnya ditemui di
sekolah. Mereka juga cenderung mudah disesatkan, sangat sensitif, dan mudah diasingkan
secara sosial (Grobman, 2006).
Keterangan 3.3 ↑
tapi Mampu
Beradaptasi
↑ ↑
Ketergantungan Dominansi
Gambar 3.4 Kuadran ini merepresentasikan tipe-tipe yang berbeda dari anak-anak yang
kurang berprestasi.
seorang psikolog pediatri1 yang menyarankan bagi anak-anak yang kurang berprestasi untuk
mengadopsi pola-pola tingkah laku yang merosot pada satu spektrum yang bisa
mengungkapkan ketergantungan ataupun dominansi mereka kepada spektrum lainnya yang
merepresentasikan tingkat kesesuaian. Pengaruh timbal balik dari keempat elemen ini bisa
diliihat pada bagan kuadran di atas (lihat Gambar 3.4).
Berdasarkan bagan yang Rimm buat (Gambar bagan sebelah kiri), anak-anak yang
ketergantungan telah belajar untuk memanipulasi orang tuanya/orang-orang dewasa, dan
mendapatkan banyak pertolongan dari mereka, sehingga mengakibatkan mereka kehilangan
rasa percaya diri. Tidak hanya itu, bahkan para orang tua dan guru juga kehilangan harapan
terhadap mereka. Alhasil, anak-anak ini bisa menjadi sangat sensitif, cemas, dan bahkan
depresi. Sehingga mereka sering tidak diperhatikan.
Pada kasus yang lain, anak-anak yang dominan (gambar bagan sebelah kanan) hanya
memilih kegiatan yang mereka bisa kuasai. Mereka bisa meyakinkan orang tuanya/orang-
orang dewasa dengan menjebaknya secara argumentatif. Rimm menjelaskan bahwa jika anak-
anak ini kehilangan argumentasinya, mereka akan mengembangkan sikap berseteru kepada
orang tuanya, dan menggunakan itu sebagai dalih/alasan untuk tidak mencampuri
urusan/pekerjaan mereka atau menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya. Ketika orang
tua/dewasa merespon secara negatif terhadap manipulasi yang dibuat oleh anaknya, maka
anak-anak ini akan mengeluh kepada oarng tuanya bahwa mereka tidak menyukainya bahkan
tidak mau memahami keinginan mereka yang sebenarnya.
Bagian paling kanan pada gambar 3.4 (kemampuan dalam menyesuaikan diri s/d
ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri) menunjukkan permasalahan serius dari anak-
anak tersebut. Bagian yang termasuk kolom pertama dan dibaris pertama menunjukkan
permasalah dan hasil yang kecil. Jika mereka tidak termasuk dalam bagian itu, maka mereka
akan masuk di kuadran paling rendah dan problema mereka menjadi tambah rumit.
Kebanyakan anak-anak yang ketergantungan akan berubah ke arah dominansi oleh anak-anak
remaja, walaupun tetap mempertahankan sikap campuran ketergantungan-dominansi, hasil
responnya bervariasi dan bergantung pada situasi. Rimm meyakini bahwa banyak para orang
tua dan guru sering merasa frustasi oleh sikap dari murid-murid kurang berbakat ini dan
diluar kehendak mereka seraya mencoba menguatkan lagi motivasi mereka agar sikap
perilaku yang tidak dinginkan dari anak-anak bisa berubah. Walaupun anak-anak harus
dimotivasi untuk bisa mandiri dan kreatif, mereka juga tidak boleh terlalu dibantu sehingga
mengakibatkan peran orang tua sebagai pembimbing menjadi tidak efektif. Murid-murid
yang kurang berprestasi bisa diubah melalui cara Rimm, itu berarti memakai beberapa
macam strategi/cara untuk membuat anak-anak yang kurang berprestasi menjadi berprestasi
(di posisi lingkaran tengah pada gambar 3.4), dan bagi anak-anak yang tidak
mandiri/ketergantungan serta mempunyai mekanisme pertahanan untuk bisa kembali lagi
menjadi percaya diri. Oleh karena itu keyakinan seorang individu bahwa
keberhasilan/kegagalan yang dialaminya adalah merupakan tanggung jawab pribadi dan
merupakan hasil dari usahanya sendiri.
1
Psikolog yang mendalami ilmu kedokteran tentang kesehatan dan perkembangan anak-anak.
11
Beberapa individu berkemampuan tinggi biasanya mempunyai ruang yang tidak biasa.
Tentunya hal ini melibatkan manipulasi visual tentang objek-objek yang kompleks, baik
berupa materi-materi visual, dan kemampuan untuk memahami hubungan-hubungan
perubahan beberapa pola. Sementara beberapa individu yang mempunyai kemampuan
verbal/lisan yang kuat bisa mengekspresikan diri mereka secara mudah melalui kata-kata.
Bagi mereka yang mempunyai kemampuan ruang yang baik, bisa mahir menggunakan media
gambar untuk mengekspresikan pemikirannya dalam memecahkan masalah.
Working Memory
pelajarannya yang rendah serta kurang mempunyai impian untuk berkarir jika dewasa kelak.
(Gohm, Humphreys, & Yao, 1998).
Berbagai studi menunjukkan bahwa penilaian tugas-tugas berbentuk spasial lebih banyak
dekat dan berhubungan dengan kecerdasan ketimbang tes-tes kemampuan verbal/wicara.
Kemampuan spasial berhubungan erat dengan berpikir secara visual, tetapi hal ini
bukanlah entitas tunggal. Kemampuan spasial berkoordinasi dengan beberapa bagian di otak,
tepatnya di belahan otak kanan. Tiada sepasang karakteristik atas semua individu yang
mendeskripsikan kemampuan spasial/ruang, sebagaimana adanya pertimbangan yang varian
dari satu orang ke orang yang lain. Tabel 3.1 menunjukkan beberapa kemungkinan kekuatan
dan kelemahan berdasarkan studi-studi yang ditunjukkan antara keumuman diantara individu-
individu berkemampuan bakat pada bidang spasial/ruang (Mann, 2005).
Tabel 3.1 Kekuatan dan Kelemahan Pada Individu Berbakat Secara Spasial
Kekuatan Kelemahan
Individu: Individu:
Terlihat sibuk berfikir dengan berbagai ide Lemah dalam pergaulan sosial
Memorinya sempurna dalam memberikan informasi Tidak mampu mengingat materi pelajaran dengan
yang detil sistem hafalan tanpa pemahaman lebih dalam
Mampu menunjukkan talenta yang kreatif Berusaha keras dalam mengikuti aturan-aturan
tradisional akademik sekolah
Sering berbicara dengan bahasa kiasan secara efektif Jarang menggunakan bahasa singkat dalam
13
mendeskripsikan sesuatu
Mampu dengan mudahnya mempelajari konten Mempunyai problema ketika mempelajari konten
pelajaran rumit bertingkat tinggi pelajaran yang mudah/dasar
Kemampuan yang tinggi dalam memahami konsep Lemah dalam hitung-hitungan matematika
matematika
Walaupun dewasa ini kesadaran akan perhatian kepada siswa/i berbakat namun
kurang berprestasi menaik intensitasnya, namun para pendidik harus berusaha lebih keras lagi
untuk memastikan murid-murid ini bisa teridentifikasi semudah mungkin untuk beberapa
alasan. Yang paling nyata adalah hilangnya potensi dan kontribusi mereka terhadap
masyarakat. Yang kedua walaupun kurang begitu nampak adalah bahwa murid-murid yang
kurang berprestasi ini rentan bermasalah secara sosial dan kesehatan mental. Walau hal ini
tidak umum bagi mereka yang kurang berprestasi memiliki masalah serius secara tingkah
laku di sekolah dan di rumahnya. Namun Tindakan kelakuan buruk ini berasal dari konflik
antara kebutuhan psikologis personal dari anak tersebut dan kurangnya kesempatan
mendapatkan pelajaran yang sesuai di sekolah. Sebagai tambahan, dengan mempunyai
kesempatan yang lebih baik dengan cara mengubah pola-pola pendidikan dan pembelajaran
bagi siswa/i ini, adalah sebuah cara lain untuk mengetahui lebih awal supaya mereka lebih
tertangani sejak dini dengan baik.
Gambar 3.6 Persentase pendaftaran pada program K-12 bagi siswa/i berbakat di tahun
2004 berdasarkan ras/etnis. Sumber: USDE, 2007.
tetap menjadi prioritas bagi Negara-negara bagian tersebut. Banyak data yang masuk di
Kementerian Pendidikan Amerika Serikat (Pada gambar 3.6) menunjukkan adanya kaum
minoritas yang mendaftar pada program nasional berbakat di tahun 2004. Jumlah persentase
murid-murid kulit hitam dan Amerika Latin yang mendaftar kurang dari setengah dari jumlah
persentase murid-murid berkulit putih (USDE, 2007). Murid-murid berdarah campuran
Indian-Amerika/Alaska yang mendaftar sekitar ¾-nya, sementara murid-murid Asia yang
mendaftar dua kali lebih banyak dari murid-murid kulit putih yang mendaftar.
Beberapa faktor yang menyebabkan mengapa siswa/i dari kaum minoritas menjadi
kurang berprestasi perlu ditelusuri lebih lanjut. Faktor-faktor ini bisa diringkas menjadi tiga
kategori utama, yaitu: sosiopsikologis, faktor keluarga, dan sekolah (Ford dkk., 2002).
Adanya problema siswa/i minoritas ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor dari luar,
seperti diskriminasi, maka oleh karena itu usaha yang muncul dalam diri mereka kurang,
ketimbang siswa/i yang mengalami masalah pada kemampuan dan usahanya. Siswa/i yang
mengubah keyakinan belajarnya pada kerja keras dengan keyakinan lain seperti tertekan
15
dengan adanya diskriminasi dan ketidakadilan sosial, maka mungkin sekali tidak berminat
untuk meraih potensi di sekolahnya.
Faktor Keluarga. Banyak studi dan penelitian tentang program sekolah berbakat
yang menemukan bahwa hubungan variabel keluarga bisa mempengaruhi
kesuksesan siswa/i berbakat disekolahnya. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa siswa/i berkulit hitam (negro) mengetahui kalau orang
tuanya:
o Ekspektasi yang tidak jelas dan tidak realistis terhadap anak-anaknya, dan,
Ekspektasi guru memainkan peranan yang besar dalam pemerolehan prestasi para
siswanya. Guru yang mempunyai kekurangan objektivitas dalam mendidik murid-murid
berbakat di sekolah yang multikultural, akan mempunyai pandangan yang berbeda akan
makna berbakat dan kurang berprestasi itu sendiri. Disamping itu, mereka juga kurang fokus
dalam mendidik para siswa di program kelas khusus/berbakat. Beberapa guru malahan
berekspektasi rendah akan prestasi siswa/i dari kalangan minoritas ini dan jumlah siswa yang
sedikit daripada murid-murid kebanyakan dari kalangan mayoritas. Akibatnya, siswa/i
minoritas ini tidak terdeteksi sebagai siswa/i berprestasi. Pada kenyataannya, siswa/i ini
mengalami frustasi, tidak adanya minat belajar, dan tidak merasa tertantang dalam belajar di
sekolah (Miller, 2005).
kebingungan, frustasi, dan prestasi yang merosot terhadap murid-murid minoritas ini. (Hale,
2001).
Pada kenyataannya siswa/i minoritas harus memilih, apakah yang mereka kejar adalah
prestasi atau hubungan sosial yang erat dengan kawan-kawan sebayanya? Tapi sering yang
mereka pilih adalah pilihan yang kedua.
Orientasi yang Kurang: beberapa peneliti yakin bahwa perbandingan refensi dari siswa/i
minoritas yang kurang berprestasi di program kelas berbakat disebabkan oleh orientasi yang
kurang secara merata keseluruhan di sekolah-sekolah. Mereka menyatakan bahwa kurangnya
berfikir bisa menyebabkan para pendidik salah menginterpretasikan karakteristik budaya dari
kelompok-kelompok minoritas. Sebagai contoh, beberapa siswa/i minoritas mempunyai
kecenderungan psikomotorik yang kuat dan butuh dilibatkan dalam aktivitas bergerak selama
belajar. Sayangnya, para guru bisa salah mengartikan perilaku ini dan memandang murid-
murid jenis ini sebagai anak yang hiperaktif, tidak memberikannya perhatian dengan
seksama, dan dicap sebagi murid yang tak dewasa. Bahkan di beberapa kebudayaan, anak-
anak mudah mengekspresikan diri mereka dengan emosi dan perasaan yang diorientasikan.
Dengan sifat-sifat ini, siswa dipersepsikan terlalu emosional dan tidak dewasa, bahkan
dianggap lemah dalam kemampuan kognitif (berpikir) (Ford dkk., 2002).
Solusi Keempat: Mengenali Lebih Awal dan Sering Meneliti. Penelitian literatur
menunjukkan bahwa kesenjangan pada kesiapan untuk belajar dan tingkat prestasi pada
tingkat lebih awal pada kelompok etnis minoritas dibandingkan dengan populasi murid-murid
kulit putih meningkat secara dramatis dari waktu ke waktu (Donovan & Cross, 2002).
Dengan bertindak cepat pada usia-usia dini mereka untuk dapat mengenali tanda-tanda
kemampuannya yang luar biasa, dan mendidiknya secara tepat, kita akan mempunyai
kesempatan yang besar untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan bakat yang mereka
punya. Disamping itu juga, kita harus mengembang strategi yang berkesinambungan, usaha
pencarian bakat yang gigih secara berkesinambungan juga, dan jeli dalam mencari
bakat/talenta yang disinyalir masih banyak yang belum diketahui secara terang-terangan.
Solusi Kelima: Gunakan Alat-Alat Penilaian Yang Handal dan Dapat Dipercaya.
Alat-alat penilaian berguna untuk menilai talenta yang dimiliki setiap murid secara handal
dan dapat dipercaya. Yang dimaksud dengan dapat dipercaya/reabilitas adalah mampu
menghitung hasil peringkat skala pada skor yang sama jika dinilai secara sempurna oleh dua
orang guru, maka bisakah diduga anak ini rata-rata mempunyai skor yang bagus? Akankah
dua orang guru yang sama bakal memberikan nilai kepada anak yang dalam dua hari yang
berbeda? Yang dimaksud dengan penilaian handal/validitas adalah apakah skor/nilai dari
instrumen ini benar-benar merefleksikan definisi anak-anak yang berbakat yang sedang kita
18
gunakan saat ini? Apakah hasil skor pada instrument ini bisa membuat prediksi bahwa anak
ini akan sukses pada bidang studi kurikulum berbeda yang akan diajukannya nanti?
pada tingkat SMP, SMU, bahkan mendaftar kuliah di perguruan tinggi. Mereka tetap sukses
di bidang akademik, masih berbakat dan bertalenta.
Gifted English Learners (EL)/Siswa/i Pembelajar Bahasa Inggris yang Berbakat: Antara
tahun 1979 dan 2006, jumlah anak-anak sekolah (umur 9 s/d 17) dari kalangan penutur suatu
bahasa selain bahasa Inggris di rumah meningkat dari 3,8 s/d 10,8 juta jiwa, atau meningkat
dari 9 s/d 20 % dari jumlah populasi siswa pada kisaran umur tersebut. Selama periode satu
dasawarsa lalu (tahun 2000 s/d 2006), telah meningkat dari 18 hingga 20 % (USDC, 2007).
Walaupun populasi ini meningkat, jumlah populasi yang kurang representatif dari siswa/i
berbakat berbahasa Inggris (EL) pada program/kelas berbakat tetap jumlah presentasenya dan
menjadi isu yang diperhatikan serta telah dicatat dalam laporan penelitian selama bertahun-
tahun. Dikarenakan adanya kendala berbahasa dari awalnya. Siswa/i pembelajar bahasa
Inggris mempunyai kesempatan yang lebih kecil dibandingkan teman-teman sebaya mereka
yang pada asalnya sudah aktif berbahasa Inggris sejak masih dalam buaian dan sudah
terdeteksi oleh para gurunya bagi mereka yang berperilaku baik dan mempunyai nilai
akademis yang bagus sebagai anak berbakat dan bertalenta (Aguirre, 2003). Bakat dan talenta
yang potensial pada siswa/i pembelajar bahasa Inggris tertanam dengan baik secara
kebudayaan, linguistik (kebahasaan), dan latar belakang etnisnya. Beberapa prosedur
identifikasi bagi siswa/i pembelajar bahasa Inggris sangat diperlukan, oleh karena itu
dibutuhkan perhatian khusus pada ide yang lebih luas bagi mereka, termasuk kebijakan yang
bersifat khusus dengan mempertimbangkan keanekaragaman budaya yang berbeda satu sama
lain.
Dua rintangan utama yang sering muncul dan mempengaruhi penilaian siswa/i
pembelajar bahasa Inggris yang berbakat adalah. Pertama, guru dan murid-murid pada
program ini jarang berkomunikasi. Kurangnya komunikasi ini mengurangi sebuah
kesempatan untuk melihat perkembangan siswa/i tersebut belajar dengan baik. Kedua,
walaupun beberapa kemajuan pada bidang ini bertambah, akan tetapi kurangnya kebijakan
yang nyata berkenaan dengan identifikasi siswa/i berbakat dari kelompok-kelompok yang
tidak terwakili/diperhatikan. Rintangan lainnya adalah kurangnya perhatian terhadap siswa/i
pembelajar bahasa Inggris, reaksi yang negatif/ketidaksukaan dari beberapa guru terhadap
siswa/i yang tidak bisa berbahasa Inggris, dan kegagalan komunikasi antara murid dengan
orang tuanya yang buta bahasa dan aksara bahasa Inggris (Harris, Rapp, Martinez, & Plucker,
2007).
Mengidentifikasi Siswa/i Pembelajar Bahasa Inggris yang Berbakat: Sebagai mana yang
telah kita ketahui bahwa populasi mereka terus tumbuh, para pendidik harus menguji mereka
dengan latihan-latihan soal untuk mengidentifikasi dan menyeleksi siswa/i ini untuk
ditempatkan pada program/kelas berbakat. Tiga langkah proses ini bias mengidentifikasi
siswa/i berbakat pembelajar bahasa Inggris yang dikemukakan oleh Coleman (2003) dan
disesuaikan oleh Harris dkk. (2007). Bahkan para pembaca bisa mencatat beberapa kesamaan
saran yang dibuat lebih awal oleh Callahan (2005).
Langkah Pertama. Pencarian Secara Umum. Fase ini menentukan sebuah sekolah
di suatu daerah yang luas untuk melaksanakan sistem pencarian terhadap semua murid,
22
termasuk populasi siswa/i pembelajar bahasa Inggris. Metode pencarian mengandalkan pada
data yang tersedia pada semua populasi murid-murid yang dimaksud, seperti penilaian
standar skor pada sebuah Negara bagian atau daerah, dan penilaian kognitif/akademis sebagai
sebuah bagian dari proses pencarian siswa/i berbakat. Penilaian harus dikelola dengan baik
dan berstandar pada penilaian siswa/i yang berbahasa ibu dan mempunyai kemampuan yang
baik pula dalam bahasa Inggris. Sekolah-sekolah di daerah juga harus menggunakan kriteria
penilaian majemuk untuk menambah gambaran yang cukup komplit terhadap siswa/i yang
mahir berbahasa Inggris dan berpotensial tinggi. Penilaian-penilaian ini harus melibatkan dari
berbagai sumber informasi, seperti keluarga, para orang tua, murid-murid, dan orang-orang
lain yang secara signifikan mempunyai informasi serta pengetahuan yang cukup atas siswa/i
ini. Mereka juga harus mengumpulkan informasi dalam berbagai cara, seperti melalui
observasi/pengamatan, kemampuan dan hasil yang mereka tunjukkan, dalam bentuk tes
tertulis/portofolio, wawancara, dan dalam berbagai konteks yang berbeda, yaitu, kegiatan di
sekolah dan di luar sekolah.
tahun pertama sekolah, berkesempatan untuk berpartisipasi pada penilaian proses identifikasi
dalam program ini.
Walaupun adalah hal yang penting dalam mengembangkan proses identifikasi yang
sesuai bagi siswa/i pembelajar bahasa Inggris, dewan guru dan pengurus sekolah, serta
kebijakan yang mereka buat juga harus mempromosikan dan mementingkan prosedur-
prosedur ini. Identifikasi yang sukses terhadap siswa/i pembelajar bahasa Inggris yang
berbakat nan bertalenta, membutuhkan inisiatif kerja yang proaktif dan kepemimpinan yang
visioner serta berwawasan untuk kemajuan di masa depan.
Pendekatan dalam mengubah pola-pola terhadap murid-murid yang kurang berprestasi telah
sukses jika pola-pola ini berdasarkan sebuah pandangan bahwa kemampuan murid-murid
yang lemah bisa dibentuk dengan berbagai usaha keras di sekolah, sehingga murid-murid
yang kurang berprestasi menjadi berprestasi. Hal ini pun bisa terlaksana jika sistem pola-pola
pengajaran yang keliru di sekolah juga dirubah. Upaya ini bisa dilakukan dengan
mengkomunikasikan pesan-pesan secara sosial oleh guru dan teman-teman murid yang
sebaya, dengan cara menyemangati mereka untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan sekolah
dan tidak mengecilkan hati mereka. Serta ditunjang dengan tingkat kurikulum dan
strategi/kiat pengajaran yang cocok dengan gaya belajar siswa/i yang kurang berprestasi.
Oleh karena itu, perhatian dan pantauan yang serius dalam menggapai kesuksesan ini akan
24
menciptakan kekuatan positif yang bisa membentuk sikap dan perilaku siswa berprestasi.
Pertanyaan-pertanyaan dibawah ini harus mampu menjawab persoalan yang dimaksud, antara
lain:
1. Apakah yang dimaksud dengan anak-anak yang berbakat dan masalah-masalah apa
yang berkaitan dengan maksud tersebut?
2. Saran-saran apa saja yang berguna dalam mengatasi kemunculan konflik yang tidak
bisa dihindari atas kesenjangan makna antara tingkat kemampuan dan kemampuan
kognitif?
3. Bagaimana cara seorang siswa mengembangkan pemikiran yang sehat dan konsep diri
yang realistis?
Walaupun para guru kadang frustasi dalam mendidik murid-murid yang berkemampuan
rendah, ada strategi/kiat-kiat yang paling efektif untuk bisa mengatasi persoalan ini.
Lihat keterangan tambahan pada akhir bab ini mengenai tiga saran/strategi dalam
pengajaran dan pembelajaran di kelas.
Diperlukan suatu usaha untuk mengubah siswa/i yang kurang berprestasi untuk bisa
menjadi lebih baik, atau yang sudah berprestasi untuk tetap bisa mempertahankan prestasinya
(pada siswa/i minoritas tapi berbakat). Menurut (Ford dkk., 2008) usaha-usaha ini antara lain:
Gunakan pengukuran yang valid dan realibel dalam menentukan populasi siswa/i
minoritas yang kurang berprestasi;
Membentuk kepercayaan diri, konsep diri yang baik secara sosial dan akademis, serta
identitas rasial;
Bernal (2002) mengungkapkan bahwa cara yang efektif untuk meningkatkan prestasi
siswa/i berbakat namun berbeda secara kultural dan penggunaan bahasa (red: biasa disingkat
(CLD) Gifted Culturally and Linguistically Different Students/siswa/i CLD) adalah dengan
mengubah pola pendidikan tradisional pada kelas/program berbakat, sehingga siswa/i ini
mendapatkan kelayakan pada pola baru yang lebih maju dan inovatif. Bernal memberikan
beberapa keterangan cara untuk mengatasi masalah tersebut:
o Siapa nama-nama siswa yang sukses mau pun yang gagal dalam program ini?
Kurikulum Multikultural: Bagi siswa/i CLD untuk bisa sukses pada program/kelas
berbakat, kurikulum yang digunakan harus bersifat multikultural. Sekolah-sekolah di
daerah perlu melatih para guru mengenai metodologi pengajaran multikultural.
Pelatihan ini mengajarkan kepada para guru bagaimana
26
o Menunjukkan kepada para murid bagaimana sebuah pengetahuan yang baru itu
dipengaruhi oleh etnisitas, sejarah, dan pandangan orang-orang;
o Menciptakan iklim kelas yang membuat siswa/i CLD merasa betah belajar
didalamnya.
Mengadakan Rekrutmen Para Calon Staf Pengajar Baru: Sekolah perlu merekrut para
calon staf pengajar yang layak/representatif untuk mengajar siswa/i minoritas pada
program/kelas bagi anak-anak berbakat. Staf-staf pengajar ini harus mempunyai
intelektualitas yang mumpuni dan pengetahuan akan nilai-nilai tradisi kebudayaan
yang beranekaragam, demi memberikan pengajaran yang menguntungkan bagi para
siswa/i berbakat tersebut.
Kita telah mencatat sejak awal bahwa para peneliti telah mempublikasikan bagaimana
menggunakan pendekatan penilaian yang beranekaragam untuk meningkatkan
pengidentifikasian terhadap murid-murid minoritas berbakat. Beberapa pendekatan berupaya
mengidentifikasi siswa/i minoritas berbakat dengan menggunakan sumber-sumber informasi
yang bermacam-macam termasuk, skala penilaian, daftar isian pemeriksaan, berbagai
referensi, dan penilaian dari perspektif teman-teman sebaya/peer nomination. Penilaian dari
perspektif teman-teman sebaya/peer nomination sangat berguna, karena para murid bisa
sering mengidentifikasi teman-teman sebayanya yang baik, dan kemungkinan adanya bias
akan kurang terhadap pelbagai perbedaan kebudayaan ketimbang guru-guru mereka (Brown
dkk., 2005).
Tidak ada jawaban yang sederhana untuk bisa menjawab masalah kekurangan prestasi
atas murid-murid berbakat ini. Beberapa murid-murid berbakat mempunyai prestasi yang
tinggi dan lingkungan baik nan kondusif dalam mendidiknya. Tetapi, mereka yang kurang
berprestasi, mempunyai kepercayaan diri yang rendah dan tidak mampu fokus pada aktivitas
27