Anda di halaman 1dari 6

“Melawan Kabut“

Hari masih pagi, saat matahari memperpendek bayangan di tanah. Di kiri-kanan dan di mana saja
Wira memandang, yang terlihat hanya gundukan-gundukan tanah kapur gersang. Rerumputan kurus
tumbuh di celah-celah batu. Ke mana pun memandang, dia tidak dapat melihat perkampungan
penduduk, karena wilayah ini merupakan perbukitan. Penduduknya amat miskin, mereka tidak
mempunyai harta dan barang-barang berharga. Bahkan, pada saat tertentu, daerah ini dikosongkan
penghuninya. Mereka meninggalkan desa dan pergi ke kota. Hal ini adalah hal yang ditentang Jaya.
Perhatian warga harus segera dialihkan agar mereka tetap mencintai desanya. Inilah tugas yang
diemban Jaya, yang kini sedang mengikuti Program Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan
(SP-3).

Jaya terus menyusuri jalan di tengah perbukitan. Sekarang Jaya menikung ke kanan, melintasi
belukar ilalang. Kemudian menuruni tanah landai. Selanjutnya melewati barisan tanah kapur dan
cadas. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika berpapasan dengan tiga orang lelaki pengikut
Sambada. Ketiganya bercelana komprang, berdiri sambil berkacak pinggang dan bajunya dibiarkan
terbuka hingga terlihat dada yang bidang dan kukuh.

Jaya berpendapat jika ia memperlihatkan sikapnya yang lemah, wibawanya akan hilang. Betapapun
keadaannya tidak mengenakkan, ia menunjukkan keteguhan pada dirinya sendiri. Kejantanan
diperlukan dalam suasana semacam itu. Salah seorang dari ketiga lelaki yang berdiri itu menatap
tajam kepadanya. Kemudian berkata “Harap berhenti sebentar.”

“Ya. Ada apa?”

“Masih perlukah Anda datang ke wilayah kami ini. Keberadaanmu di sini mengganggu kami.”

“Dalam suatu masyarakat diperlukan adanya suatu aturan. Apakah saya menyalahi aturan hidup
bermasyarakat di sini ?”

“Kalau damai dapat membuat hidup lebih baik, mengapa kita harus bermusuhan? Saya ingin
membantu masyarakat di sini untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Berpuluh kilometer
jauhnya saya datang kemari, padahal di kota hidup saya lebih enak. Untuk apa hal ini saya terima?”

“Apakah Anda telah memikirkan masak-masak bahwa hal itu berbahaya bagi diri Anda sendiri?”

“Saya tak suka berkelahi. Kalau kalian tetap memancing supaya kita berkelahi, kalian akan saya
hajar! Camkan kata-kata saya ini!”

Lelaki yang duduk lalu bangkit, Ketiganya dalam posisi mengepung. Mata tajam Jaya mengawasi
setiap gerakan dari penyerangnya. Ketiga lelaki itu mengeluarkan senjata tajam. Jaya hanya
menurunkan ransel dari bahu. Tiba-tiba salah seorang penyerang bergerak maju dengan cepat. Ia
menikamkan golok ke perut Jaya dengan mengerahkan segenap tenaga. Ia memiringkan badan ke
kiri, sedangkan kaki kanannya menendang perut lawan yang mencoba menikam. Tangan kanannya
menyabetkan ransel ke tangan dua lelaki yang berbarengan menyerangnya. Sabetan ransel itu
dilakukan dengan gerakan ringan, tetapi sebaliknya bagi lawan, kedua lelaki itu bertumbangan. Jaya
yang telah beralih posisi, melancarkan tendangan beruntun pada lelaki yang terdekat. Lalu ia
meloncat dan menghajar lelaki yang satu dengan tendangan kaki pula. Ketiga lelaki itu mulai merasa
nyeri. Muka yang membentur di bukit dan cadas, serta tangan yang tergores permukaan tanah,
akhirnya luka dan mengeluarkan darah.Jaya pun meninggalkan ketiga pengikut Sambada.

Jaya meneruskan perjalanan. Ia bersiul kecil mengusir rasa sepi di tengah luasnya perbukitan
gundul. Keringnya angin yang bertiup menyusuri punggung bukit terasa menampar tubuhnya. Angin
itu bertiup secara bergelombang dan mengacak-acak rambutnya. Sesampainya di pedesaan ia
merasa hari-hari seperti sekarang memang tidak seramai hari-hari pada musim jagung. Pada saat
musin bertanam jangung dan musim panen, kita bisa bertemu dengan mudah dengan orang yang
kita cari. Namun, pada musim seperti ini, susah untuk berjumpa orang yang dicari.

Kini Jaya memasuki Kelurahan, ia menemui lurah Wayan. Beberapa kali lurah Wayan
mengemukakan pertanyaan kepada Lurah Wayan tentang maksud Jaya mengadakan perubahan
peraturan. Apakah maksudnya hanya akrab membawa kesulitan dan tidak perlu diragukan.

“ Kalau setiap langkah kita bergantung pada senang tidaknya Sambada. Kita takkan memperoleh apa
apa. Memang hal ini sangat sulit, tapi harus kita lakukan demi kesejahteraan Desa Laraga.”

Jaya yakin bahwa hanya dengan merombak sikap hidup merekalah satu-satunya jalan untuk
menciptakan kemakmuran di desa ini. Sebelum Lurah wayan menjawab, tiba terdengar suara pintu
dipukuli dengan keras. Demikian keras dan bertubi-tubi menyebabkan lelaki setengah tua itu
menjadi gugup.

“Tenang, Pak,” pinta Jaya, “biar saya temui.”

“Jangan. Lebih baik Aku.”

Lurah Wayan bangkit dari duduknya , melangkah ke pintu keluar. Pintu dibuka.

“Hai, ternyata telingamu tidak tuli!” ujar Sambada dengan kasar, “Aku ingin bertemu pemuda itu.
Kudengar ia di sini.”

“Marilah kita berbicara baik-baik, Sambada.” Ujar Lurah Wayan ramah.

“Kamu tentu tahu pemuda itu melukai anak buahku. Ia menyinggung kedaulatanku. Suruh ia keluar.
Akan kuajak ia berkelahi di depan matamu.”

“Ia takkan menerima tantanganmu.”

“Suruh ia keluar!”

“Di rumah ini aku yang berkuasa. Kuharap kau mau tunduk pada peraturanku.”

“O, begitu?”

Keduanya berpandangan dalam keremangan cahaya lampu yang terpantul dari ruang dalam.

“Kau sekarang agaknya telah bergigi.”Ujar Sambada

“Aku tidak akan membenarkan bunuh-membunuh.”

“Ini urusanku dengan pemuda itu.”

“Atas nama pemuda itu, aku menolak menolak ajakanmu untuk berjelahi.

Sambada kaget dengan kata-kata Lurah Wayan seperti itu. Tak terpikir olehnya bahwa Lurah Wayan
berani menentang kehendaknya.
“Aku tidak berhenti sampai di sini,” pikir Sambada, “Aku mempunyai rencana lain. Rencanaku akan
berjalan satu demi satu.”

“Saya belum yakin akan berhasil, tetapi harapan tetap ada. Minggu depan saya akan ke kota untuk
mencari jalan keluar dari masalah ini. Saya selalu percaya pada kemampuan mereka. Masalahnya
sekarang, bagaimana mereka dapat memiliki lagi kepercayaan pada diri sendiri. Coba kita lihat.
Ternyata sebagian tanah yang dulu dipandang tak bisa digarap, kini menjadi petegalan.”

“Pokokknya tetap kita usahakan tertutupnya seluruh kesempatan untuk meninggalkan desa,
sebagaimana anjuran Nakmas.”

Anak gadis Lurah Wayan muncul dari pintu dapur. Ia menyuguhkan dua gelas kopi panas, berikut
ubi rebus. Dalam hati, Yatni sesungguhnya berharap agar Jaya tetap tinggal di kelurahan seperti
ketika pertama kali datang. Diam-diam ia menaruh hati pada pemuda yang tampan itu.

Jaya menuju ke halaman. Di tengah benderang cahaya bulan, Jaya menyusuri jalan desa menuju ke
rumah Pak Wardi. Bayangan daun-daun bertelau di jalan. Bebunyian malam dan suara suling di
kejauhan membuat hatinya merindukan sesuatu yang tak dapat ia ungkapkan.

Akhir-akhir ini Lurah Wayan banyak meninggalkan kelurahan. Kadang-kadang ia berada di desa
Lekong. Pagi hari orang-orang menjumpainya sedang melewati petegalan di daerah Ganda. Ia
berjalan begitu jauh tanpa merasakan lelah.

Keluasan tanah kapur dan cadas di Desa Laraga yang dahulu gundul, kini berpetegalan warna hijau
segar di tengah sengatan terik matahari. Lurah Wayan hampir tidak percaya dengan hal ini, betapa
mudah menemukan cara memperbaiki semangat hidup. Mengapa tidak sejak dahulu saran seperti
ini ditempuh? Mengapa membutuhkan waktu sampai datangnya seorang pemuda yang begitu
rendah hati dan berilmu tinggi?

Tatkala matahari terbenam, Lurah Wayan berada di gubuk penduduk desa. Ia bertanya pada
penghuninya.

“Apakah untuk masa yang akan datang, kau juga ingin mencari penghidupan di kota?

Yang ditanya tersenyum. “Tentu tidak, Pak Lurah. “ jawabnya.

“Dari pada bersusah payah di kota dan tidur di emperan toko , kan lebih enak di sini.”

“Begitukah pendapatmu?”

“Tentu, Pak Lurah. Sayang, mengapa baru kita kerjakan sekarang. Mengapa tidak dari dulu.”

“Aku juga tidak tahu.”

Dalam perjalanan pulang ke kelurahan, di pinggir jalan di tengah petegalan, Dua lelaki duduk sambil
bercakap-cakap.

“Ke mana Pak Lurah?”

“Jalan-jalan. Bagaimana petegalan kalian?”

“Sebentar lagi saya sudah panen kedelai.”

“Panen Kedelai?

“Ya, dan Salman panen lombok.”


“Sayang, baru sekarang kita bernasib seperti ini. Kalau Pak Lurah sudah sejak dulu memerintahkan
kami menggarap tanah, mungkin kita tidak perlu lama menderita.”

“Itulah jasa Nakmas Jaya yang kalian musuhi selama ini. Berkat dialah aku memiliki semangat untuk
membangun wilayah ini.”

“Semula kami kira ia pemuda yang suka bermabuk-mabukan, seperti yang kami temui di kota.”

“Dia membuat perincian perbaikan kelurahan Laraga. Dia menunjukkan kepada kita arah menuju
kemakmuran. Dia membuatku sadar pada arti bernegara, berpemerintahan, dan bertanah air. Yah,
dia memang sarjana. Jadi ilmunya lebih banyak daripada kita. Aku telah meminta dia untuk tetap di
sini. Bahkan kalau penduduk setuju, hendaknya semua menunjuk ia sebagia Lurah Laraga.”

“Itu sungguh tidak masuk akal. Kami menyukai Pak Lurah.

“Baiklah kalau berbicara terus tak ada habisnya. Aku pulang dulu.”

Lurah Wayan meninggalkan ketiga lelaki itu. Kegembiraan seperti yang dialami Lurah Laraga juga
dirasakan para petani yang akan menggarap petegalan mereka. Di mana-mana orang-orang
membicarakan kebijaksanaan Kelurahan Laraga. “Bagaimana mungkin tanah yang dahulu tak dapat
menghasilkan apa-apa, kini dapat menjanjikan kemakmuran.”

Akan tetapi kegairahan yang meluap-luap dimana-mana itu tiba-tiba buyar. Seminggu setelah
kedatangan Jaya dari kota, petegalan palawija yang demikian luas itu dirusak oleh babi hutan.
Selama tujuh malam berturut-turut babi hutan telah memusnahkan harapan seluruh penduduk
Kelurahan Laraga. Orang-orang termangu saat sampai di petegalan, menyaksikan petegalan yang
mereka garap penuh dengan cinta kini porak-poranda

Di sebelah utara Kelurahan Laraga terdaoat hutan yang lebat. Sekali waktu, penduduk mendekati
pinggiran hutan itu untuk mencari kayu. Tak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menguasai
hutan. Sekarang mereka merenungkan lagi sambil ke arah hutan, dengan pandang mata kecewa
sebagimana tiga musim jagung dulu, petegalan palawija lalu dimusnahkan oleh serombongan babi
hutan. Kekecewaan pun menjalar di hari Lurah Wayan dan Jaya. Pak Wardi menghibur hati Jaya agar
sabar. Merasa seolah-olah usahanya sia-sia Jaya berkeinginan menemukan lagi semangat hidupnya.
Ia merenung dan mencari jalan keluar. Semangat penduduk sudah membaik, tetapi sekarang
dipatahkan unsur lain.

Malam tak terasa begitu sepi. Jaya duduk di lincak di beranda rumah di temani Pak Wardi. Ia
mencoba membayangkan betapa kecewanya pada penduduk yang mengalami musibah ini. Jaya
teringat kata-kata Sukma yang pernah diucapkan kepadanya ketika bertemu di rumah ini.
“Kekecewaan demi kekecewaan yang akan kau alami. Kegagalan demi kegagalan yang kau alami,
tetapi kuharapkan kau tetap tabah. Apakah yang diperlukan untuk hidup di sini? Ketabahan.”

Sekarang pemuda itu tiba-tiba mengharapkan munculnya Sukma. Terasa sekali baginya kehadiran
Sukma dalam hidupnya. Kepada gadis itu dia dapat mengutarakan isi hatinya yang tetap tersembunyi
bagi orang lain. Dia tak pernah tahu, mengapa bila berhadapan dengan gadis itu, dia selalu ingin
berbuka hati. Tanpa rahasia. Tanpa canggung mengutarakan isi hati, kacuali pada satu malam ketika
Jaya mengetahui bahwa Sukma adalah anak Sambada. Malam itu, dia amat kaget mendengarnya.

Tak lama sosok bayangan hitam mendekatinya, dan ternyata Sukma yang datang dan berkata “Aku
tahu bahwa kau sedang memikirkanku, karena itu aku datang menemuimu.” Lalu gadis itu duduk di
sebelah Jaya. Satu hal yang sangat dijunjung tinggi oleh Sukma adalah sikap hormat Jaya
terhadapnya. Dalam kesempatan berdua tanpa orang lain, Jaya tak pernah menyentuhnya atau
mengganggu kehormatannya. Terkadang Sukma merasa ragu apakah Jaya menaruh hati padanya
ataukah tidak?

Jaya berkata dengan tenang “Sebaiknya Pak Lurah tak usah ikut. “

“Kamu anggap aku ini penakut?”

“Sambada ingin menemui saya, dan saya akan menghadapinya sendirian.”

Kemudian Jaya meninggalkan kelurahan. Beberapa anggota Hansip mengikutinya dari belakang
dengan membawa persenjataan lengkap. Sambada mengetahui kedatangan Jaya, tanpa banyak
berkata ia melancarkan serangan kepada Jaya. Sabetan golok Sambada menyerang ke perut Jaya,
tetapi dengan gesit Jaya menolak. Sambada yang menebas angin, terbanting dan jatuh ke tanah.
Orang-orang menyingkir, lalu membentuk lingkaran. Sebagian di antara orang yang membentuk
lingkaran terdiri dari para pengikut Sambada, dan sebagiannya lagi adalah para Hansip. Sambada
yang sudah bermata gelap hanya mempunyai satu keyakinan, yaitu membunuh Jaya. Setapak demi
setapak ia mendekati Jaya. Jaya bergerak waspada terhadap setiap serangan yang akan dilancarkan.
Sambada meloncat dan golok di tangan kirinya menikam lambung Jaya. Namun, Jaya telah
menggabungkan ilmu silat dengan karate dan yudo. Serangan Sambada tidak membahayakan. Jaya
cukup meloncat ke samping dan sekali lagi lelaki itu menikam angin.

Pertarungan sudah berlangsung satu jam. Sambada berpeluh keringat dengan napas terengah-
engah. Orang-orang yang melihat pertarungan itu menjadi heran. Mengapa Jaya tidak melakukan
serangan? Mengapa Jaya hanya bertahan? Banyak kesempatan terbuka bagi Jaya untuk melakukan
pukulan dan tendangan yang mematikan, tetapi tidak dilakukan olehnya. Mengapa? Lurah Wayan
juga tidak mengetahui apa yang diinginkan Jaya. Melihat bahwa kedudukan Jaya tidak
membahayakan, Lurah Wayan memerintahkan para anggota Hansip untuk menangkap Sambada.
Sambada sudah sangat lelah. Ia kian penasaran karena sedikitpun tidak berhasil melukai badan Jaya,
apalagi membunuhnya. Lelaki itu heran mengapa pemuda itu tidak mau menyerang dirinya.

Kepala Sambada mulai pening. Untuk berdiri saja, rasanya sudah tidak kuat. Tenaga yang digunakan
untuk menghabisi Jaya terbuang sia-sia. Ketika Sambada terkulai jatuh ke tanah dan tak berdaya,
Lurah Wayan memerintahkan para Hansip untuk menangkap sisa-sisa perusuh. Mereka memjadi
keheranan. Mereka telah terkepung. Bila mereka melakukan perlawanan, sama saja dengan bunuh
diri.

Sementara yang lain mengepung anak buah Sambada, sebagian Hansip yang lain mengikat kaki dan
tangan Sambada.

Pagi harinya, halaman rumah Pak Wardi penuh oleh penduduk yang ingin mengetahui tampang
para perusuh yang telah tertangkap. Setiap perusuh diikat pada sebatang pohon hingga pohon di
pekarangan rumah Pak Wardi tak mampu menampungnya. Sementara Sambada masih tergeletak di
tanah dengan kaki dan tangan yang diikat.

Jaya muncul dari dalam rumah, dan langsung berdiri di depan Sambada.

“Kau dan anak buahmu kami biarkab di sini untuk menunggu datangnya alat negara dari kecamatan.

“Engkau takut membunuh kami!” balas Sambada.

“Bicaralah sesukamu, tetapi aki ingin menunjukkan kepadamu bahwa meskipun kami selalu kau
jadikan korban kejahatan, kami masih bersikap pemaaf.”
Tak terdengar lagi satu patah kata pun dari orang-orang yang ada di sana. Sambil memandang pada
orang-orang di sekelilingnya, Jaya berkata pada Sambada, “Pancasila mengajarkan kepada kita untuk
menegakkan perikemanusiaan. Sebagai pengamalan Pancasila, kami sama sekali tak ingin menyakiti
kalian. Kami ingin menunjukkan pada kalian mana jalan yang baik dan mana jalan yang benar.
Engkau tentu belum mengerti arti Pancasila. Pancasila inilah yang menjadi dasar dakam menjalankan
kehidupan kita semua.”

Peristiwa kamis malam di halaman rumah Pak Wardi menjadi titik permulaan terciptanya
keamanan di wilayah Kelurahan Jatilaga. Rasa ragu pada keselamatan diri berangsur lenyap dari hati
penduduk. Para lelaki kembali ke petegalan untuk menggarap tanah yang habis dijarah oleh babi-
babi hutan. Mereka beramai-ramai mengolah bukit-bukit padas dan kapur yang belum pernah
digarap. Keluasan tanah ini ternyata merupakan tanah petegalan yang kelak menopang
kelangsungan hidup mereka.

Tanpa mereka sadari karena asyik bergulat dengan kehidupan di petegalan, orang-orang menjadi
lupa pada keinginan pergi ke kota untuk mengadu untung. Tinggal di wilayah mereka sendiri,
ternyata mmemberi satu kegembiraan. Pertemuan-pertemuan di kelurahan yang pada masa lalu
tidak pernah mereka acuhkan, sekarang memberi mereka rasa rindu pada untuk dapat hadir dalam
setiap pertemuan.

Pada pagi hari, orang-orang dapat melihat perempuan dan laki-laki menyiram tembakau. Mereka
dapat merasakan tangan-tangan kasih yang telah diulurkan Jaya dan Lurah Wayan. Sukma kini
merasa gembira karena kini tanda-tanda keberhasilan usaha Jaya telah nampak. Dia pun merasa
gembira karena ayahnya sama sekali tidak mau melukai dan menyakiti penduduk, meskipun alasan
Jaya berbuat demikian berbeda dari apa yang dibayangkan Sukma.

Ke mana saja Sukma berjalan, seolah-olah merasa sedang mengawasi penyemaian kasih
kekasihnya. Seorang pahlawan yang lahir di tengah kebodohan dan kekolotan adalah pahlawan yang
selalu bertanya tentang apa yang akan dilakukan bagi masa depan. Sukma senantiasa berlindung dan
berarti bagi pahlawan semacam itu.

Tak lama Jaya segera datang menghampiri Sukma dan menyatakan perasaannya.

“Dik Sukma, sesungguhnya aku sendiri tidak bisa membohongi perasaaanku. Kini kita berdua berada
di persimpangan antara tugas dan cinta. Tugas adalah pengabdianku pada lingkungan, tanpa
mengenal kata akhir. Aku yakin, tugasku akan sukses jika kau senantiasa berada di sampingku.”

“Mas, aku sangat kagum terhadap keteguhanmu dalam menunaikan tugas. Kau telah mampu
melawan kabut yang begitu tebal dan membahayakan.” Kata Sukma penuh arti.

Malam mulai larut, bintang di atas sana bersinar terang menembus awan yang bergerak dihembus
angin. Seolah menjadi saksi bagi penghuni Desa Laraga yang membangun, menuju hari esok yang
lebih cerah.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai