Anda di halaman 1dari 50

Bab 16

Periodontitis Kronis

M. John Novak dan Karen F. Novak

Periodontitis kronis, dahulu dikenal sebagai adult periodontitis atau

chronic adult periodontitis, adalah bentuk periodontitis yang paling sering

ditemukan. Umumnya dipertimbangkan sebagai penyakit dengan perkembangan

lambat. Bagaimanapun, dengan kemunculan faktor sistemik atau lingkungan yang

dapat mengubah respon host terhadap akumulasi plak, seperti diabetes, merokok,

atau stres, perkembangan penyakit dapat menjadi lebih agresif. Meskipun

periodontitis kronis paling sering diamati pada dewasa, dapat terjadi pada anak-

anak dan remaja sebagai respon terhadap akumulasi plak dan kalkulus kronis.

Pengamatan ini yang mendasari perubahan nama terbaru dari “adult

“periodontitis, yang menggambarkan bahwa periodontitis kronis, yang diinduksi

plak adalah hanya diamati pada dewasa, untuk menjadi deksripsi yang lebih

umum berupa “chronic” periodontitis, yang terjadi pada tahap usia apapun (lihat

bab 4).

Periodontitis kronis telah dijelaskan sebagai ”penyakit infeksi yang

mengakibatkan inflamasi didalam jaringan pendukung gigi, kehilangan perlekatan

dan kehilangan tulang yang progresif. “Definisi ini menguraikan karakteristik

klinis dan etiologi utama dari penyakit: (1) pembentukan plak mikroba, (2)

1
inflamasi periodontal dan (3) kehilangan perlekatan dan tulang alveolar.

Pembentukan poket periodontal biasanya akibat dari proses penyakit tanpa resesi

gingiva yang disertai dengan kehilangan perlekatan, yang mana poket dapat masih

dangkal, bahkan dengan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang yang

berlanjut.

GAMBARAN KLINIS

Karakteristik Umum

Temuan karakteristik klinis dalam pasien dengan periodontitis kronis yang

tidak dirawat dapat termasuk akumulasi plak supragingival dan subgingival

(sering berhubungan dengan pembentukan kalkulus), inflamasi gingiva,

pembentukan poket, kehilangan perlekatan periodontal, kehilangan tulang

alveolar, dan kadang-kadang supurasi (Gambar 16-1). Pada pasien dengan

kebersihan rongga mulut yang buruk, gingiva khususnya dapat mengalami sedikit

pembengkakan hingga sedang dan memperlihatkan perubahan warna yang

berkisar dari merah pucat hingga magenta (merah keunguan). Kehilangan

stippling gingiva dan perubahan topografi permukaan dapat termasuk margin

gingiva yang tumpul atau menggulung dan papila yang rata atau berbentuk seperti

kawah.

2
Gambar 16-1 Gambaran klinis periodontitis kronis pada pasien berusia 45 tahun

dengan perawatan kebersihan mulut dirumah yang buruk dan tidak ada perawatan

gigi sebelumnya. Plak dan kalkulus yang banyak berhubungan dengan margin

gingiva yang kemerahan, membengkak, dan edema. Resesi gingiva diakibatkan

kehilangan perlekatan dan tulang alveolar. Perdarahan spontan muncul, dan

terdapat eksudat cairan krevikular gingiva. Gingival stippling telah hilang.

Pada sebagian besar pasien, khususnya yang melakukan tindakan

perawatan teratur dirumah, perubahan warna, kontur, dan konsistensi yang

berhubungan dengan inflamasi gingiva dapat tidak terlihat pada pemeriksaan, dan

inflamasi dapat dideteksi pada poket periodontal dengan probe periodontal (lihat

Gambar 16-2, A, dan 16-3, A). Perdarahan gingiva, apakah spontan atau sebagai

respon terhadap probing, adalah umum terjadi, dan inflamasi yang berhubungan

dengan eksudat dari cairan krevikular dan supurasi dari poket juga dapat

ditemukan. Pada beberapa kasus, kemungkinan sebagai hasil jangka panjang,

inflamasi derajat-rendah, jaringan marginal fibrotik yang tebal dapat mengaburkan

perubahan inflamasi yang mendasari. Kedalaman poket bervariasi, dan kehilangan

tulang horisontal dan vertikal dapat ditemukan. Kegoyangan gigi pada kasus

3
lanjut sering muncul pada kasus dengan kehilangan perlekatan dan kehilangan

tulang yang luas.

Gambar 16-2 Localized chronic periodontitis pada perempuan berusia 42 tahun.

A, Aspek klinis dari gigi anterior memperlihatkan plak dan inflamasi minimal. B,

Radiografi memperlihatkan kemunculan dari kehilangan tulang angular, vertikal,

terlokalisir pada sisi distal molar pertama kiri maksila. C, Pembukaan dengan

pembedahan dari kerusakan vertikal (angular) yang berhubungan dengan

akumulasi plak dan inflamasi kronis pada furkasi distobukal.

4
Gambar 16-3 Generalized chronic periodontitis pada perempuan berusia 38

tahun dengan riwayat merokok 20 tahun sekurang-kurangnya satu bungkus sigaret

setiap hari. A, aspek klinis memperlihatkan plak dan inflamasi minimal. Probing

menghasikan perdarahan yang dapat diabaikan, yang umum dengan perokok.

Pasien mengeluhkan pembentukan ruang antara insisivus kanan maksila, yang

berhubungan dengan kehilangan perlekatan dan tulang. B, radiografi

memperlihatkan pola kehilangan tulang parah, menyeluruh, dan horisontal. Molar

maksila dan mandibula telah hilang melalui penyakit yang berlanjut dan

keterlibatan furkasi.

Periodontitis kronis dapat secara klinis didiagnosa dengan deteksi pada

perubahan inflamasi kronis dalam marginal gigniva, kemunculan poket

5
periodontal, dan kehilangan perlekatan klinis, didiagnosa secara radiografi dengan

bukti kehilangan tulang. Temuan tersebut dapat menjadi sama dengan yang

terlihat pada penyakit agresif. Diagnosis banding berdasarkan pada usia pasien,

tingkat perkembangan penyakit sepanjang waktu, sifat familial dari penyakit

agresif, dan ketiadaan faktor lokal dalam penyakit agresif dibandingkan dengan

keberadaan plak dan kalkulus yang menumpuk dalam periodontitis kronis.

Distribusi Penyakit

Periodontitis kronis dipertimbangkan sebagai penyakit site-specific (lokasi

spesifik). Tanda klinis dari periodontitis kronis – inflamsi, pembentukan poket,

kehilangan perlekatan, dan kehilangan tulang – dipercaya disebabkan oleh efek

(site-specific) spesifik dan langsung dari akumulasi plak subgigniva. Sebagai

akibat dari efek lokal ini, pembentukan poket dan kehilangan perlekatan dan

tulang dapat terjadi pada salah satu permukaan dari gigi sementara permukaan

yang lain tetap level perlekatan normal. Sebagai contoh, permukaan proksimal

dengan akumulasi plak kronis mungkin memiliki kehilangan perlekatan, dimana

permukaan fasial yang bebas plak dari gigi yang sama dapat bebas dari penyakit.

Sebagai tambahan dengan lokasi spesifik, periodontitis kronis dapat

dijelaskan sebagai localized, ketika beberapa sisi memperlihatkan kehilangan

perlekatan dan tulang, atau generalized, ketika banyak sisi disekitar mulut terlibat,

sebagai berikut:

6
Localized periodontitis: Periodontitis dipetimbangkan sebagai localized ketika

kurang daripada 30% dari sisi yang dinilai dalam mulut memperlihatkan

kehilangan perlektan dan kehilangan tulang (Gambar 16-2).

Generalized periodontitis: Periodontitis dipertimbangkan generalized ketika 30%

atau lebih dari sisi yang dinilai dalam mulut memperlihatkan kehilangan

perlekatan dan kehilangan tulang (Gambar 16-3).

Pola kehilangan tulang diamati dalam periodontitis kronis dapat berupa

vertikal (angular) ketika kehilangan perlekatan dan tulang pada salah satu

permukaan lebih besar daripada permukaan yang berdekatan (lihat Gambar 16-2,

C) atau horisontal, ketika kehilangan perlekatan dan tulang berlanjut pada tingkat

seragam pada sebagian besar permukaan gigi (Lihat Gambar 16-3,B). Kehilangan

tulang vertikal berhubungan dengan pembentukan poket intraboni. Kehilangan

tulang vertikal biasanya berhubungan dengan poket supraboni.

Keparahan Penyakit

Keparahan kerusakan dalam peridontium yang terjadi sebagai akibat dari

periodontitis kronis adalah secara umum dipertimbangkan sebagai fungsi dari

waktu. Dengan peningkatan usia, kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang

menjadi lebih sering dan lebih parah karena akumulasi dari kerusakan. Keparahan

penyakit dapat dijelaskan sebagai slight (ringan), moderate (sedang), atau severe

(parah) (lihat bab 4). Istilah tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan

7
keparahan penyakit dari seluruh mulut atau bagian dari mulut (misalnya kuadran,

sekstan) atau status penyakit dari masing-masing gigi, sebagai berikut.

Slight (mild) periodontitis: Kerusakan periodontal secara umum dipertimbangkan

ringan ketika kehilangan perlekatan yang terjadi tidak lebih daripada 1 hingga 2

mm.

Moderate periodontitis: Kerusakan periodontal secara umum dipertimbangkan

sedang ketika 3 hingga 4 mm kehilangan perlekatan klinis terjadi.

Severe periodontitis: Kerusakan periodontal dipertimbangkan parah ketika 5 mm

atau lebih kehilangan perlekatan klinis telah terjadi.

Gejala

Pasien dapat menjadi yang pertama memperhatikan bahwa mereka

memiliki periodontitis kronis ketika mereka memperhatikan bahwa gusi mereka

berdarah ketika menyikat atau makan; bahwa ruang terjadi antara gigi mereka

sebagai akibat pergerakan gigi; atau gigi mereka menjadi longgar. Karena

periodontitis kronis biasanya tanpa rasa sakit, bagaimanapun, pasien dapat secara

total tidak menyadari bahwa mereka memiliki penyakit sehingga kurang mungkin

untuk mencari perawatan dan menerima rekomendasi perawatan. Sebagai

tambahan, respon negatif untuk pertanyaan seperti, “apakah kamu dalam rasa

sakit? “ tidak mencukupi untuk menghilangkan kecurigaan dari periodontitis.

Kadang-kadang, rasa sakit dapat muncul dengan ketiadaan karies yang disebabkan

oleh akar yang terbuka yang sensitif terhadap panas, dingin atau keduanya. Area

dari rasa sakit tumpul lokal, seringkali menyebar kedalam rahang, telah

8
berhubungan dengan periodontitis. Kemunculan area impaksi makanan dapat

menambah ketidaknyaman pasien. Rasa sakit gingiva atau “rasa gatal” juga dapat

ditemukan.

Perkembangan Penyakit

Pasien tampak untuk memiliki kerentanan yang sama terhadap

periodontitis kronis yang diinduksi plak pada keseluruhan hidup mereka. Tingkat

perkembangan penyakit biasanya lambat tetapi dipengaruhi oleh faktor sistemik

atau lingkungan dan tingkah laku. Awal mula periodontitis kronis dapat terjadi

pada waktu apapun, dan tanda pertama dapat dideteksi selama masa remaja dalam

kemunculan dari akumulasi kronis plak dan kalkulus. Karena tingkat

perkembangan lambat, bagaimanapun, periodontitis kronis biasanya secara klinis

menjadi signifikan dalam pertengahan tiga puluhan atau selanjutnya.

Periodontitis kronis tidak berkembang pada tingkat yang sama dalam

semua sisi yang terkena pada seluruh mulut. Beberapa area yang terlibat dapat

masih statis untuk periode yang lama, sementara yang lain dapat berkembang

lebih cepat. Lesi yang yang berkembang lebih cepat terjadi paling sering dalam

area interproksimal, dan juga berhubugan dengan area akumulasi plak yang lebih

besar dan ketidakmampuan akses untuk tindakan kontrol plak (misalnyaa, area

furkasi, margin restorasi overhanging, sisi dari gigi malposisi, atau area impaksi

makanan).

9
Beberapa model telah disusun untuk menjelaskan tingkat perkembangan

penyakit. Pada model tersebut, perkembangan diukur dengan menentukan jumlah

kehilangan perlekatan selama periode waktu yang ditentukan, sebagai berikut:

 Continous model menggambarkan bahwa progresi penyakit lambat dan

berlanjut, dengan sisi yang terkena memperlihatkan tingkat perkembangan

dari kerusakan secara konstan pada seluruh durasi penyakit.

 Random atau episodic-bars model, menyusun bahwa perkembangan

penyakit periodontal oleh ledakan singkat kerusakan diikuti dengan

periode tanpa kerusakan. Pola penyakit ini adalah acak sesuai dengan sisi

yang terkena dan kronologi dari proses penyakit.

 Asynchronous, multiple-burst model dari perkembangan penyakit

menggambarkan bahwa kerusakan periodontal terjadi disekitar gigi yang

terkena selama periode tertentu dari kehidupan dan bahwa ledakan dari

aktivitas tersebut adalah diselingi dengan periode dari ketidakaktifan atau

keringanan penyakit. Kronologi dari ledakan penyakit tersebut tidak

terjadi secara sama untuk gigi individual atau kelompok gigi.

Prevalensi

Periodontitis kronis meningkat dalam prevalensi dan keparahan seiring

dengan usia, umumnya mengenai kedua jenis kelamin secara sama. Periodontitis

adalah penyakit age-associated (penyakit yang berhubungan dengan usia), bukan

age-related (penyakit yang terikat dengan usia). Dilain kata, bukan merupakan

usia dari individu yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit, tetapi

10
sebaliknya panjang waktu jaringan periodontal menghadapi akumulasi plak

kronis.

FAKTOR RESIKO UNTUK PENYAKIT

Riwayat Penyakit Periodontal Sebelumnya

Meskipun bukan merupakan faktor resiko untuk penyakit tetapi sebaliknya

prediktor penyakit, riwayat sebelumnya dari penyakit periodontal menempatkan

pasien pada resiko yang lebih besar untuk perkembangan kehilangan perlekatan

dan tulang, dengan adanya tantangan akumulasi plak bakteri.

Hal ini berarti bahwa pasien yang memperlihatkan gingivitis atau

periodontitis persisten dengan poket, kehilangan perlekatan, dan kehilangan

tulang dapat berlanjut untuk kehilangan dukungan periodontal jika tidak secara

berhasil dirawat. Sebagai tambahan, pasien dengan periodontitis kronis yang telah

berhasil dirawat akan mengembangkan kelanjutan penyakit jika plak dibiarkan

untuk berakumulasi. Hal ini menekankan kebutuhan untuk pemantauan,

perawatan, dan pemeliharaan berkelanjutan dari pasien dengan gignivitis atau

periodontitis persisten untuk mencegah rekurensi penyakit. Faktor resiko yang

berperan terhadap kerentanan pasien didiskusikan dalam bagian berikut.

Faktor lokal

Akumulasi plak pada permukaan gigi dan gingiva pada pertautan

dentoalveolar dipertimbangkan sebagai agen utama yang mengawali etiologi

11
gingivitis dan periodontitis kronis. Kehilangan perlekatan dan tulang berhubungan

dengan peningkatan proporsi dari organisme gram negatif dalam biofilm plak

subgingival, dengan peningkatan spesifik organisme yang diketahui patogen dan

virulen. Porphyromonas gingivalis (dahulu Bacteroides gingivalis), Tannerella

forsythia (dahulu Bacteroides forsythus), dan Treponema denticola, dinyatakan

sebagai “red complex”, sering berhubungan dengan kehilangan perlekatan dan

tulang yang berlanjut dalam periodontitis kronis (lihat bab 23).

Periodontitis kronis secara umum mengalami perkembangan lambat,

dengan beberapa pasien memiliki peningkatan kerentanan terhadap kehilangan

perlekatan dan tulang dan pembentukan poket. Beberapa pasien yang memiliki

profil genetik yang menonjolkan produksi interleukin -1 (IL-1) dapat memiliki

peningkatan resiko kehilangan gigi, dan jika pasien tersebut juga perokok, resiko

mereka meningkat. Diabetes adalah faktor lain yang sering mengarah pada

kerusakan periodontal parah dan dekstruktif. Juga, kelompok spesifik dalam

mikroorganisme yang terlihat dalam biofilm subgignival pada pasien dengan

kehilangan tulang yang berlanjut berhubungan dengan periodontitis kronis,

termasuk Porphyromonas gingivalis, Tannarella fosythia, dan Treponema

denticola.

Identifikasi dan karakterisasi mikroorganisme tersebut dan patogen lain

dan asosiasinya dengan kehilangan perlekatan dan tulang telah mengarah terhadap

hipotesis plak spesifik untuk perkembangan periodontitis kronis. Hipotesis ini

menekankan bahwa meskipun peningkatan umum terjadi dalam proporsi dari

mikroorganisme Gram negatif dalam plak subgingiva dalam periodonttiis,

12
kemunculan dari peningkatan proporsi anggota red complex, dan mungkin

organisme lain, yang memicu kehilangan perlekatan dan tulang. Mekanisme ini

tidak secara jelas digambarkan, tetapi kriteria tersebut dapat memberi efek lokal

pada sel dari respon inflamasi dan sel dan jaringan host, menghasilkan proses

penyakit lokal, site-specific. Interaksi antara bakteri patogen dan host dan efek

potensial pada progresi penyakit didiskusikan secara detail dalam Bagian 4.

Karena akumulasi plak adalah agen pemicu utama dalam inflamasi dan

kerusakan periodontal, apapun yang memfasilitasi akumulasi bakteri atau

mencegah penghilangan plak dengan prosedur kebersihan mulut dapat

membahyakan pasien. Faktor retensi plak penting dalam perkembangan dan

progresi periodontitis kronis karena faktor tersebut menahan mikroorganisme plak

dalam kedekatan terhadap jaringan periodontal, menyediakan lingkungan ekologis

untuk pertumbuhan dan maturasi plak. Kalkulus dipertimbangkan faktor retensi

plak paling penting karena kemampuannya untuk menahan dan menyembunyikan

plak bakteri pada permukaannya yang kasar. Sebagai akibatnya, pembuangan

kalkulus penting untuk mempertahankan kesehatan periodontium. Faktor lain

yang diketahui untuk menahan plak atau mencegah penghilangan adalah margin

subgingiva dan overhanging dari restorasi; lesi karies yang meluas ke subgingiva;

furkasi yang terbuka oleh kehilangan tulang; gigi berjejal dan letak tidak teratur;

dan grooves dan kecekungan akar. Faktor resiko potensial untuk periodontitis

didiskusikan lebih lanjut dalam Bab 32, dan dampaknya pada prognosis

perawatan periodontal didiskuskan dalam bab 33.

13
Faktor sistemik

Tingkat perkembangan periodontitis kronis yang diinduksi plak secara

umum dipertimbangkan untuk menjadi lambat. Bagaimanapun, ketika

periodontitis kronis terjadi pada pasien yang juga memiliki penyakit sistemik yang

mempengaruhi keefektifan dari respon host, tingkat kerusakan periodontal dapat

secara signifikan meningkat.

Diabetes adalah kondisi sistemik yang dapat meningkatkan keparahan dan

perluasan penyakit periodontal yang mengenai pasien. Diabetes tipe 2, atau non-

insulin-dependent diabetes melitus (NIDDM), adalah bentuk paling sering dari

diabetes dan terhitung untuk 90% dari pasien diabetes.

Sebagai tambahan, diabetes tipe 2 paling mungkin untuk berkembang

dalam populasi dewasa pada waktu yang sama seperti periodontitis kronis. Efek

sinergis dari akumulasi plak dan modulasi respon host efektif melalui efek

diabetes dapat mengarah pada kerusakan peridontal yang parah dan meluas yang

dapat sulit untuk ditangani dengan teknik klinis standar tanpa mengontrol kondisi

sistemik. Peningkatan diabetes tipe 2 pada remaja dan dewasa mua telah diamati

dan dapat berhubngan dengan peningkatan dalam obesitas usia muda (juvenile

obesity).

Sebagai tambahan, diabetes tipe 1, atau insulin-dependent diabetes

mellitus (IDDM), diamati dalam anak-anak, remaja, dan dewasa muda dan dapat

mengarah terhadap peningkatan kerusakan periodontal ketika tidak terkontrol.

Kemungkinan bahwa periodontitis kronis, akan meningkat prevalensinya kedepan

dan akan memberikan tantangan teraupetik bagi klinisi.

14
Faktor lingkungan dan tingkah laku

Merokok telah memperlihatkan dapat meningkatkan keparahan dan

perluasan penyakit periodontal. Ketika dikombinasikan dengan periodonttiis

kronis yang diinduksi plak, peningkatan dalam tingkat kerusakan periodontal

dapat diamati pada pasien yang merokok dan mengalami periodontitis kronis.

Sebagai akibat, perokok dengan periodontitis kronis memiliki lebih banyak

kehilangan perlektan dan tulang, lebih banyak keterlibatan furkasi, dan poket yang

lebih dalam (lihat Gambar 16-3). Sebagai tambahan, perokok tampak untuk

membentuk lebih banyak kalkulus supragingival dan lebih sedikit kalkulus

subgingiva dan memperlihatkan perdarahan yang kurang pada saat probing

dibandingkan daripada bukan perokok. Bukti awal untuk menjelaskan efek

tersebut menggambarkan perubahan dalam mikroflora sunggiva dari merokok

dibandingkan dengan bukan perokok, sebagai tambahan terhadap efek merokok

pada respon host. Efek klinis, mikrobiologis, dan imunologi dari merokok juga

tampak untuk mempengaruhi respon terhadap terapi dan frekuensi kekambuhan

penyakit (lihat bab 26).

Stres emosional telah sebelumnya dihubungkan dengan necrotizing

ulcerative disease, kemungkinan karena efek stres pada fungsi imun. Peningkatan

bukti menggambarkan bahwa stres emosional juga dapat mempengaruhi perluasan

dan keparahan periodontitis kronis, kemungkinan melalui mekanisme yang sama.

15
Faktor genetik

Periodontitis dipertimbangkan untuk menjadi penyakit multifaktorial yang

mana keseimbangan normal antara plak mikroba dan respon host terganggu.

Gangguan ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya, dapat terjadi melalui

perubahan dalam komposisi plak, perubahan respon host, atau pengaruh

lingkungan dan tingkah laku pada respon plak dan respon host. Sebagai tambahan,

kerusakan periodontal sering terlihat diantara anggota keluarga dan melewati

generasi berbeda didalam keluarga, menggambarkan basis genetik untuk

kerentanan terhadap penyakit periodontal. Penelitian terbaru telah

memperlihatkan agregasi familial dari localized dan generalized aggressive

periodontitis. Sebagai tambahan, penelitian dari kembar monozigot

menggambarkan komponen genetik terhadap periodontitis kronis, tetapi pengaruh

transmisi bakteri diantara anggota keluarga dan efek lingkungan dapat sulit untuk

menginterpretasikan interkasi kompleks (lihat Bab 24 dan 27).

Meskipun tidak ada penentu genetik yang jelas telah dijelaskan untuk

pasien dengan periodontitis kronis, predisposisi genetik untuk kerusakan

periodontal yang lebih agresif dalam respon terhadap plak dan akumulasi kalkulus

dapat muncul. Penelitian mengindikasikan bahwa variasi genetik atau

polimorfisme dalam pengkodean gen IL-1a dan IL-1B berhubungan dengan

peningkatan kerentanan terhadap bentuk yang lebih agresif dari periodontitis

kronis dalam subjek Eropa utara, meskipun beberapa penelitian terbaru telah

membantah asosiasi ini. Sebagai tambahan, perokok memperlihakan composite

IL-1 genotype pada resiko lebih besar untuk penyakit parah. Salah satu penelitian

16
menggambarkan bahwa pasien dengan IL-1 genotype meningkatkan resiko untuk

kehilangan gigi 2,7 kali, yang merokok berat dan IL-1 genotype negative

meningkatkan resiko untuk kehilangan gigi 2,9 kali. Kombinasi efek dari IL-1

genotype dan merokok meningkatkan resiko kehilangan gigi 7,7 kali. Dengan

peningkatan karakterissasi dari genetic polymorphism yang dapat muncul dalam

gen target lain, genotip kompleks dapat diidentifikasi untuk banyak bentuk klinis

yang berbeda dari periodontitis. Bagaimanapun, dengan sifat multifaktorial dari

penyakit periodontal, pengaruh yang merancukan dari beberapa faktor lokal,

sistemik, dan kondisi lingkungan dan atau ketidakmampuan kita untuk secara

jelas menegaskan tipe berbeda dari periodontitis, tidak mungkin predisposisi

genetik yang jelas terhadap penyakit periodontal akan ditemukan.

TRANSFER ILMU

Pasien dengan periodontitis kronis paling sering memperlihatan kehilangan

perlekatan dan tulang dengan kecepatan lambat yang meluas selama beberapa

dekade. Kehilangan tulang ini dimulai oleh kelompok spesifik dari patogen

periodontal bakteri anaerobik Gram negatif dan lebih lanjut kontrol terhadap

biofilm plak subgingiva adalah bagian penting dari terapi. Beberapa pasien rentan

terhadap kehilangan tulang dan perlekatan yang lebih cepat termasuk yang dengan

riwayat merokok, diabetes, atau profil genetik yang meningkatkan produksi dari

interleukin-1, sitokin inflamasi potensial yang memainkan peranan penting dalam

kerusakan jaringan dan tulang.

17
Kehilangan perlekatan 2 mm atau lebih setiap tahun adalah indikator dari

perkembangan penyakit dan pasien tersebut harus dirawat dengan cepat untuk

mengubah keadaan tersebut dengan pengurangan kedalaman poket, dan

meningkatkan kebersihan rongga mulut setiap hari dengan mempertahankan

kunjungan pemanggilan kembali setiap 3 atau 4 bulan.

18
Bab 17

Necrotizing ulcerative periodontitis

Perry R. Klokkevold

Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP) dapat merupakan perluasan

dari necrotizing ulcerative gingivitis (NUG) kedalam struktur periodontal,

mengarah terhadap kehilangan perlektatan dan tulang. Dilain pihak, NUP dan

NUG dapat menjadi penyakit berbeda. Hingga sekarang, terdapat sedikit bukti

untuk mendukung perkembangan dari NUG hingga NUP atau untuk menegaskan

hubungan antara dua kondisi sebagai kesatuan penyakit tunggal. Bagaimanapun,

beberapa deskripsi klinis dan laporan kasus dari NUP secara jelas memperlihatkan

banyak kesamaan klinis antara dua kondisi. Artikel terbaru melaporkan temuan

klinis dan mikroskopis dari 45 pasien yang terlihat antara tahun 1965 dan 2000.

Pada artikel ini, penulis menggambarkan bahwa NUG dapat menjadi prekursor

untuk NUP, menyebutkan salah satu kasus dari laki-laki menderita malnutrisi

berusia 9 tahun yang datang dengan tiga lesi terpisah yang konsisten dengan

diagnosis NUG, NUP dan noma. Hingga pembedaan antara NUG dan NUP dapat

dibuktikan atau tidak dibuktikan, telah digambarkan bahwa NUG dan NUP

diklasifikasikan bersama dibawah kategori yang lebih luas dari necrotizing

periodontal diseases, meskipun dengan perbedaan level keparahan.

NUG telah diakui dan dijelaskan dalam literatur untuk beberapa abad,

gambaran NUG diperlihatkan dalam Bab 10 dan secara singkat ditinjau disana.

19
Secara klinis terdiri dari area ulserasi dan nekrosis pada papila interdental yang

ditutup dengan lapisan kuning keputih-putihan lunak, atau pseudomembran, dan

dikelilingi oleh lingkaran edematous. Lesi secara khusus sangat menyakitkan dan

mudah berdarah, sering tanpa pemicu. Pasien juga memperlihatkan bau mulut,

limfadenopati lokal, demam, dan malaise.

Secara mikroskopis, lesi NUG memperlihatkan inflamasi necrotizing

nonspesifik yang muncul dengan infiltrat polymorphonuclear leukocyte (PMN,

neutrofil) yang mendominasi dalam area yang terulserasi dan infiltrat kronis yang

melimpah dari limfosit dan sel plasma pada area perifer dan lebih dalam.

Flora bakteri yang berhubngan dengan NUG telah diketahui dengan baik.

Flora konstan yang dapat dikultur terdiri dari Prevotella intermedia dan spesies

Fusobacterium, dimana observasi mikroskopik konstan menyatakan kemunculan

spesies Treponema dan Selenomonas. Asosiasi bakteri tersebut dengan NUG

adalah kuat. Bagaimanapun, etiologi bakteri belum terbukti karena bakteri belum

memiliki kemampuan untuk menyalurkan penyakit antara hewan yang sehat

(yaitu, tidak mampu untuk memenuhi postulat Koch’s). Menariknya, isolat bakteri

telah mentransimisikan NUG dari hewan ke hewan dalam beagle dog dengan

imunosupresi yang diinduksi steroid. Kemampuan untuk mentrasimisikan NUG

dengan bakteri dalam hewan yang mengalami imunosupresi (tetapi bukan hewan

imunokompeten) menggambarkan bahwa respon host atau resistensi adalah faktor

penting dalam patogenesis NUG.

Lesi NUG terbatas pada gingiva tanpa kehilangan perlekatan periodontal

atau dukungan tulang alveolar, sifat yang menbedakan kondisi ini dari NUP.

20
Berlawanan terhadap pandangan ini, MacCarthy dan Claffey menggambarkan

bahwa kehilangan perlekatan periodontal adalah salah satu konsekuensi dari lesi

NUG. Pada evaluasi mereka dari 13 pasien dengan NUG, rerata level perlekatan

pada saat probing untuk sisi yang terkena NUG (2,2 ± 0,9 mm) adalah lebih besar

daripa sisi kontrol (0,8 ± 0,7 mm). Temuan ini mendukung konsep bahwa NUG

dan NUP adalah penyakit sama (atau identik), dengan perbedaan dalam respon

host atau resistensi daripada perbedaan dalam etiologi dan patogenesis bakteri.

NECROTIZING ULCERATIVE PERIODONTITIS

Istilah “necrotizing ulcerative periodontitis” pertama diadopsi pada tahun

1989 Wolrd Workshop in Clinical Periodontics. Diubah dari tahun 1986 istilah

“necrotizing ulcerative gingivoperiodontitis”, yang memperlihatkan kondisi dari

rekuren NUG yang mengalami perkembangan bentuk kronis dari periodontitis

dengan kehilangan perlekatan dan tulang. Tahun 1989 adopsi dari NUP sebagai

kesatuan penyakit terjadi ketika pengetahuan dan peningkatan dalam jumlah dari

kasus necrotizing periodontitis menjadi didiagnosa dan dijelaskan dalam literatur.

Secara spesifik, lebih banyak kasus NUP dijelaskan dalam pasien yang

mengalami gangguan sistem imun, khususnya yang dengan human

immunodeficieny virus (HIV) positif atau memiliki acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS). Pada tahun 1999 subklasifikasi NUG dan NUP dimasukkan

sebagai diagnosis terpisah dibawah klasifikai yang lebih luas dari “necrotizing

ulcerative periodontal diseases”. Lagi, pembedaan antara dua kondisi sebagai

21
penyakit yang terpisah belum diklarifikasi, tetapi penyakit tersebut dibedakan

dengan ada atau tidaknya kehilangan perlekatan dan tulang.

Gambaran Klinis

Sama terhadap NUG, kasus klinis NUP dijelaskan oleh nekrosis dan

ulserasi pada bagian korona dari papila interdental dan margin gingiva, dengan

marginal gingiva merah terang, terasa menyakitkan yang mudah berdarah.

Gambaran yang membedakan dari NUP adalah kerusakan progresif dari

penyakit yang termasuk kehilangan perlekatan dan tulang. Kawah tulang

interdental yang dalam adalah ciri khas lesi periodontal dari NUP (Gambar 17-1).

Bagaimanapun, poket periodontal “konvensional” dengan kedalaman probing

poket tidak ditemukan karena sifat ulseratif dan necrotizing dari lesi gingiva

merusak marginal epithelium dan jaringan konektif, menghasilkan resesi gingiva.

Poket periodontal terbentuk karena sel junctional epithelial masih hidup dan dapat

lebih lanjut bermigrasi keapikal untuk menutupi area dari kehilangan jaringan

konektif. Nekrosis junctional epithelium dalam NUG dan NUP menghasilkan

ulser yang mencegah migrasi epitel ini, dan poket tidak dapat terbentuk. Lesi

lanjut dari NUP mengarah terhadap kehilangan tulang parah, kegoyangan gigi,

dan pada akhirnya kehilangan gigi. Sebagai tambahan terhadap manifestasi ini,

seperti yang disebutkan sebelumnya, pasien NUP dapat datang dengan bau mulut,

demam, malaise, atau limfadenopati.

22
Gambar 17-1 Necrotizing ulcerative periodontitis pada pasien laki-laki berusia

45 tahun, HIV-negatif, kulit putih. A, aspek bukal pada area kaninus-premolar

maksila. B, aspek palatal pada area yang sama. C, aspek bukal pada anterior

mandibula. Perhatikan kawah dalam yang berhubungan dengan kehilangan tulang.

Temuan Mikroskopik

Pada penelitian menggunakan transmisi (TEM) dan scanning electron

microscopy (SEM) pada plak mikroba yang berada pada papila gingiva nekrotik,

Cobb et al memperlihatkan kesamaan histologis yang menyolok antara NUP pada

pasien HIV-positive dan penjelasan sebelumnya dari lesi NUG pada pasien bukan

HIV. Biopsi melibatkan papila posterior dari 10 laki-laki dan 6 perempuan pasien

HIV-positive dengan NUP dievaluasi. Pemeriksaan mikroskopis menyatakan

permukaan biofilm yang tersusun dari campuran flora mikroba dengan morfotipe

berbeda dan flora subpermukaan dengan agregasi tebal dari spirochetes (zona

bakterial). Dibawah lapisan bakterial adalah agregasi tebal PMN (zona kaya

23
netrofil) dan sel nekrotik (zona nekrotik). Teknik biopsi digunakan dalam

penelitian ini tidak memberikan observasi dari lapisan paling dalam dan sehingga

tidak mampu untuk mengidentifikasi zona infiltrasi spirochetal, yang secara

klasik dijelaskan dalam lesi NUG. Sebagai tambahan terhadap sifat mikroskopik

pada NUP yang menyerupai NUG dijelaskan dalam penelitian ini, level tinggi dari

ragi (yeast) dan virus menyerupai herpes diamati. Temuan yang terakhir adalah

kemungkinan paling indikatif dari kondisi diberikan terhadap mikroba

opportunistik dalam host dengan gangguan (pasien HIV-positif).

Pasien HIV/AIDS

Lesi gingival dan periodontal dengan sifat khusus sering ditemukan dalam

pasien dengan infeksi HIV dan AIDS. Banyak dari lesi tersebut adalah manifestasi

tidak normal dari penyakit periodontal inflamasi yang muncul dalam rangkaian

infeksi HIV dan pasien dengan gangguan sistem imun yang bersamaan. Linear

gingival erythema (LGE), NUG, dan NUP adalah kondisi periodontal yang

berhubungan HIV paling umum yang dilaporkan dalam literatur. Bab 19

memberikan deksripsi detail dari kondisi tersebut dan penyakit periodontal

atipikal lain yang terjadi dalam pasien yang terinfeksi HIV.

Lesi NUP ditemukan dalam pasien HIV-positif/AIDS dapat muncul

dengan gambaran yang sama terhadap yang dilihat pada pasien HIV-negative.

Dilain pihak, lesi NUP dalam pasien HIV-positif/AIDS dapat menjadi lebih

merusak dan sering mengakibatkan komplikasi yang sangat jarang dalam pasien

non-HIV/AIDS. Sebagai contoh, kehilangan perlekatan periodontal dan tulang

24
berhubungan dengan NUP- HIV positif dapat menjadi sangat cepat. Winkler et al

melaporkan kasus NUP pada pasien HIV-positive (sebelumnya disebut sebagai

HIV-P”) dengan gigi yang kehilangan lebih daripada 90% dari perlekatan

periodontal dan 10 mm tulang selama periode 3 hingga 6 bulan. Akhirnya, banyak

dari lesi tersebut mengakibatkan kehilangan gigi. Kompikasi lain yang dilaporkan

dalam populasi ini termasuk perkembangan lesi melibatkan area yang besar dari

nekrosis jaringan unak, dengan terbuknya tulang dan sequestrasi pecahan tulang.

Tipe ini dari lesi parah, progresif dengan perluasan kedalam area vestibular dan

palatal disebut sebagai necrotizing ulcerative stomatitis (lihat Gambar 19-31).

Prevalensi NUP yang dilaporkan pada pasien terinfeksi HIV bervariasi.

Riley et al melaporkan hanya dua kasus NUP dalam 200 pasien HIV-positif (1%),

sementara Glick et al menemukan prevalensi 6,3% untuk kasus NUP dalam

penelitian prospektif dari 700 pasien HIV-positif. Variasi dalam temuan yang

dilaporkan dapat berhubungan terhadap perbedaan dalam populasi (misalnya,

pengguna obat intravena dengan homoseksual dengan pasien hemofilia) dan

perbedaan dalam status imun dari subjek penelitian.

Bentuk necrotizing dari periodontitis lebih sering munculpada pasien

dengan imunosupresi yang lebih parah. Laporan kasus telah menggambarkan

NUP sebagai perluasan progresif dari HIV periodontitis (yaitu, progresi kronis

hingga nekrotik). Glick et al menemukan korelasi tinggi antara diagnosis NUP

dan imunosupresi dalam pasien HIV positif. Pasien tersebut memperlihatkan

dengan NUP yang 20,8 kali lebih mungkin untuk memiliki jumlah CD4+ dibawah

200 sel/mm3 dibandingkan dengan pasien HIV-positif tanpa NUP. Penulis

25
mempertimbangkan diagnosis NUP untuk menjadi penanda untuk gangguan imun

dan prediktor untuk diagnosis AIDS. Yang lain telah menggambarkan bahwa

NUP dapat digunakan sebagai indikator untuk infeksi HIV pada pasien yang tidak

terdiagnosa. Shangase et al melaporkan bahwa diagnosis NUG atau NUP pada

orang Afrika Selatan yang secara sistemik sehat, asimptomatik, secara kuat

berhubungan dengan infeksi HIV. Pada pasien yang memperlihatkan NUG atau

NUP, 39 dari 56 (69,6%) selanjutnya ditemukan untuk menjadi HIV positive

(lihat bab 19).

Etiologi Necrotizing Ulcerative Periodonttis

Etiologi NUP belum ditentukan, meskipun flora bakteri campuran

fusiform-spirochete memainkan peranan penting. Karena bakteri patogen adalah

tidak semata-mata bertanggung jawab untuk menyebabkan penyakit, beberapa

predisposisi faktor “host” dapat dibutuhkan. Beberapa faktor predisposisi telah

berperan terhadap NUG, termasuk kebersihan rongga mulut yang buruk, penyakit

periodontal yang telah muncul sebelumnya, merokok, infeksi virus, status

gangguan sistem imun, stress psikososial, dan malnutrisi.

NUP sering dihubungan dengan diagnosis AIDS atau status HIV positif.

Lebih lanjut klinisi harus memeriksa semua pasien yang memperlihatkan NUP

untuk memastikan status HIV mereka. NUP dapat berkembang cepat dan

mengarah pada eksfoliasi gigi, sehingga perawatan harus termasuk debridement

lokal, agen antiplak lokal, dan antibiotik sistemik. Diagnosis awal dan perawatan

NUP penting karena kerusakan tulang yang terjadi pada tahap terlambat dari

26
penyakit akan sangat menyulitkan untuk disembuhkan, bahkan dengan prosedur

bedah regeneratif yang ekstensif. Jika anak muncul dengan NUP, abnormalitas

sistemik parah, seperti malnutrisi lanjut, sering muncul.

Flora Mikroba. Penilaian flora mikroba dari lesi NUP hampir terbatas

terhadap penelitian yang melibatkan pasien HIV- positif dan AIDS, dengan

beberapa bukti yang bertentangan. Murray et al melaporkan bahwa kasus NUP

paa pasien HIV-positif memperlihatkan jumlah yang secara signifikan lebih besar

dari jamur candida albicans oportunistik dan prevalensi yang lebih tinggi dari

Actinobacillus (aggregatibacter) actinomycetemcomitans, Prevotella intermedia,

Porphyromonas gingivalis, Fusobaceterium nucleatum, dan spesies

Campylobacter dibandingkan dengan kontrol HIV-negatif. Lebih lanjut, mereka

melaporkan level yang rendah atau bervariasi dari spirocehetes, yang tidak

konsisten dengan flora yang berhubungan dengan NUG. Melihat perbedaan dalam

flora mikroba, mereka membantah gagasan bahwa lesi dekstruktif terlihat dalam

pasien HIV-positif berhubungan terhadap lesi NUG; mereka menggambarkan

bahwa flora dari lesi NUP dalam pasien HIV-positif dapat dibandingkan terhadap

lesi periodontitis kronis, sehingga mendukung konsep mereka bahwa necrotizing

periodontitis dalam pasien HIV-positif adalah manifestasi agresif dari

periodontitis kronis dalam host dengan gangguan sistem imun.

Berlawanan terhadap temuan tersebut, Cobb et al melaporkan bahwa

komposisi mikrobial dari lesi NUP dalam pasien HIV-positif sangat sama

terhadap lesi NUG, seperti yang didiskusikan sebelumnya. Menggunakan

mikroskop elektron, mereka menjelaskan campuran flora mikroba dengan

27
berbagai morfotipe dalam 81,3% spesimen. Flora mikroba subpermukaan yang

mengutamakan agregasi padat dari spirochetes dalam 87,5% spesimen. Mereka

juga melporkan ragi oportunistik dan virus menyerupai herpes dalam 65,6% dan

56,5% lesi NUP, secara berurutan. Perbedaan antara laporan tersebut dapat

dijelaskan oleh keterbatasan dalam mendapatkan kultur hidup dari spirocehetes

dibandingkan dengan observasi mikroskop elektron yang lebih definitif pada

spirochetes.

Pada tinjauan artikel terbaru, Feller dan Lemmer menggambarkan bahwa

spirocehetes, herpesvirus, candida, dan HIV memiliki peranan patogenik potensial

dalam lesi NUP dalam individu HIV-seropositive. Spirochetes memiliki

kemampuan untuk modulasi respon host bawaan dan respon imun adaptif dan

menstimulasi reaksi inflamasi host, yang dapat mengurangi kompetensi imun

lokal dan memfasilitasi perkembangan penyakit necrotizing. Herpesvirus aktif

memiliki kapasitas untuk membatasi regulasi sistem imun host, yang dapat

mengarah terhadap peningkatan dalam kolonisasi dan aktivitas mikroorganisme

patogenik lain. Candida albicans telah dilaporkan untuk menghasilkan

eicosanoids yang mengarah terhadap pelepasan mediator proinflamasi, yang dapat

memfasilitasi kolonisasi dan invasi spirochetes, meningkatkan perkembangan

penyakit necrotizing periodontal.

Status gangguan sistem imun. Secara jelas, lesi NUG dan NUP lebih

sering terjadi pada pasien dengan sistem imun terganggu atau tertekan. Beberapa

penelitian, terutama yang mengevaluasi pasien HIV-positif dan AIDS,

mendukung konsep bahwa respon host yang menurun muncul pada individu yang

28
didiagnosa dengan penyakit necrotizing ulcerative periodontal. Sementara sistem

imun terganggu (“immuno compromise”) dalam pasien yang terinfeksi HIV

diarahkan oleh gangguan fungsi sel T dan perubahan rasio sel T, bukti

mengindikasikan bahwa bentuk lain dari gangguan imunitas merupakan

predisposisi individu terhadap NUG dan NUP.

Cutler et al menjelaskan gangguan aktivitas bakterisidal PMN pada dua

anak-anak dengan NUP. Pada pemeriksaan perbandingan dari PMN terhadap

patogen periodontal, dua bersaudara (berusia 9 dan 14 tahun) memperlihatkan

depresi signfikan dari fagositosis PMN dan fungsi membunuh dibandingkan

dengan kontrol yang sesuai jenis kelamin dan usia. Lebih lanjut, batista et al

melaporkan temuan periodontal dan NUP dalam remaja dengan penyakit genetik

jarang (multifactorial congenital immunodeficieny [CVID]) yang menyebabkan

gangguan sekresi imunoglobulin; lesi oral menyembuh dengan pemberian

intravenous immunoglobulin (IVIG).

Stres psikologis. Sebagian besar penelitian klinis dan hewan

mengevaluasi peranan dari stres pada necrotizing periodontal disease telah

mengevaluasi subjek dengan NUG dan sehingga tidak secara spesifik

mengarahkan peranan stres pada NUP.

Pasien NUG telah ditemukan secara signifikan lebih cemas, nilai depresi

lebih tinggi, magnitude lebih besar dan kejadian menimbulkan stress terbaru, dan

lebih banyak stress secara keseluruhan dan penyesuaian yang berhubungan

terhadap kejadian tersebut, dan lebih banyak kejadian hidup negatif. Meskipun

peranan stres dalam perkembangan NUP belum dilaporkan secara spesifik, dalam

29
banyak kesamaan antara NUG dan NUP akan menggambarkan bahwa hubungan

yang sama terhadap stress dapat muncul.

Mekanisme dengan kecenderungan individu terhadap stres pada

necrotizing ulcerative periodontal disease belum ditentukan. Bagaimanapun,

diketahui dengan baik bahwa stress meningkatkan level kortikol sistemik, yang

tetap meningkatkan cortisone yang memiliki efek supresif pada respon imun.

Pada pemeriksan dari 474 personel militer, Shannon et al menemukan bahwa level

urin dari 17-hydroxycorticosteroid lebih tinggi pada subjek dengan NUG daripada

semua subjek lain yang didiagnosa dengan periodontal sehat, gingivitis atau

perioontitis. Secara eksperimen, lesi menyeriupai noma telah dihasilkan pada

tikus dengan memberikan cortisone dan menyebabkan luka mekanikal terhadap

gingiva dan pada hamster dengan iradiasi tubuh total. Sehingga, imunosupresi

yang diinduksi stres dapat menjadi salah satu mekanisme yang mengganggu

respon host dan mengarah terhadap necrotizing periodontal disease. Bukti ilmiah

yang mendukung peranan etiologi stress dalam periodontitis kronis belum jelas

(lihat bab 27).

Malnutrisi

Bukti langsung hubungan antara malnutrisi dan necrotizing periodontal

diseases terbatas terhadap deskripsi dari infeksi necrotizing pada anak-anak yang

mengalami malnutrisi parah. Lesi mewakili NUG tetapi dengan perkembangan

untuk menjadi gangrenous stomatitis, atau noma, telah dijelaskan pada anak-anak

dengan malnutrisi parah di negara yang kurang berkembang. Jimenez dan Baer

30
melaporkan kasus NUG pada anak-anak dan remaja berusia 2 hingga 14 tahun

dengan malnutrisi di Kolombia. Pada tahap lanjut, lesi NUG meluas dari gingiva

kearea lain dari kavitas oral, dan menjadi gangrenous stomatitis (noma) dan

menyebabkan paparan, nekrosis dan pembentukan sequester pada tulang alveolar.

Selanjutnya, Jimenez et al melaporkan bahwa 44 dari 45 kasus necrotizing

diseases (NUG = 29, NUP = 7, noma = 9) didokumentasikan pada tahun 1965

hingga 2000 adalah dari kelompok sosial ekonomi rendah dan malnutrisi

berhubungan dengan semua kondisi yang mendekati necrotizing (29/29 NUG, 6/7

NUP dan 9/9 kasus noma). Pada penelitian anak-anak Nigeria yang kurang secara

sosial ekonomi dengan NUG (153 kasus), Enwonwu et al menegaskan malnutrisi

dengan mengukur sirkulasi mikronutrien. Dibandingkan dengan rekan tetangga,

anak-anak dengan NUG dan defisiensi mikronutrien memperlihatkan disregulasi

produksi sitokin dengan peningkatan mediator proinflamasi dan antiinflamatori

kompleks yang salin mempengaruhi.

Penjelasan yang mungkin bahwa malnutrisi, terutama ketika ekstrim,

berperan terhadap penurunan resistensi host terhadap infeksi dan penyakit

necrotizing. Didokumentasikan dengan baik bahwa banyak pertahanan host,

termasuk fagositosis; imunitas yang dimediasi sel; dan komplemen, produksi dan

fungsi antibodi dan sitokin, terganggu pada individu yang mengalami malnutrisi.

Kehabisan nutrisi terhadap sel dan jaringan mengakibatkan imunosupresi dan

peningkatan kerentanan penyakit. Sehingga beralasan untuk menyimpulkan

bahwa malnutrisi dapat merupakan predisposisi individu terhadap infeksi

oportunistik atau meningkatkan keparahan infeksi oral yang muncul.

31
Simpulan

NUP dan NUG memberikan banyak klinisi gambaran klinis dan

mikrobiologi, tetapi NUP dibedakan oleh kondisi yang lebih parah dengan

kehilangan perlekatan periodontal dan tulang. Nyatanya, beberapa pasien dengan

NUP, khususnya yang dengan imunitas terganggu, dapat memiliki penyakit

progresif yang parah dan berkembang cepat. Tampak bahwa respon imun yang

terganggu dan resistensi host yang rendah terhadap infeksi adalah faktor

signifikan dalam awal mula dan progresi NUP. Contoh terbaik dari gangguan

sistem imun host dengan predisposisi untuk NUP adalah pasien HIV-

positif/AIDS. Sebagaimana komplikasi yang berhubungan dengan infeksi lain dari

HIV/AIDS, status gangguan sistem imun pasien tersebut menyebabkan mereka

rentan terhadap infeksi periodontal oportunistik, termasuk NUP. Beberapa faktor

lain telah diidentifikasi, khususnya pada kasus NUG, yang dapat memainkan

peranan dalan NUP, termasuk merokok, infeksi virus, stres psikososial, dan

malnutrisi. Meskipun tidak ada dari salah satu faktor diatas mencukupi untuk

menyebabkan penyakit necrotizing, dalam kombinasi dengan kondisi

immunosupresan lain, mereka tidak diragukan memiliki potensi untuk

memberikan pengaruh negatif terhadap respon host atau resistensi terhadap

infeksi.

TRANSFER ILMU

Necrotizing ulcerative gingivitis dan necrotizing ulcerative periodontitis

lebih sering terjadi dan lebih parah pada pasien yang mengalami HIV positif.

32
Pasien tersebut membutuhkan perawatan darurat karena lesi yang tidak dirawat

dapat berkembang cepat dan dalam beberapa hari, kehilangan tulang parah

disekitar gigi yang terkena dapat terlihat.

Merokok, malnutrisi, dan level plak tinggi semua meningkatkan resiko

necrotizing ulcerative gingivitis dan butuh untuk diubah sehingga perawatan yang

berhasil didapatkan.

Banyak lesi necrotizing ulcerative gingivitis merespon dengan baik terhadap

terapi awal dan jaringan gingiva dapat menyembuh dan kembali ke sehat. Pasien

butuh untuk secara keseluruhan dievaluasi kembali 4 hingga 6 minggu setelah

menangani tahap akut dari necrotizing ulcerative gingivitis untuk memastikan jika

perawatan bedah tambahan dibutuhkan untuk merawat kerusakan jaringan lunak

dan tulang yang tersisa.

33
Bab 18

Aggressive Periodontitis

Karen F. Novak dan M John Novak

Aggressive periodontitis secara umum mengenai individu yang sehat

secara sistemik yang berusia kurang daripada 30 tahun, meskipun pasien dapat

lebih tua. Aggressive periodontitis dapat secara universal dibedakan dari

periodontitis kronis dengan usia dari awal mula, tingkat pogresi penyakit yang

cepat, sifat dan komposisi mikroflora yang berhubungan, perubahan respon imun

host, dan agregasi familial dari individu yang mengalami penyakit. Sebagai

tambahan, pengaruh ras yang kuat diamati pada populasi United States (US);

penyakit lebih sering terjadi diantara Afrika Amerika.

Aggressive periodontitis menjelaskan tiga penyakit yang dahulu

diklasifikasikan sebagai “early-onset periodontitis.“ Penyakit tersebut adalah

localized aggressive periodontitis (LAP), yang dahulu dinamakan localized

juvenile periodontitis (LJP), dan generalized aggressive periodontitis (GAP)

meliputi penyakit yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai generalized juvenile

periodontitis (GJP) dan rapidly progressive periodontitis (RPP).

LOCALIZED AGGRESSIVE PERIODONTITIS

Latar Belakang Riwayat

34
Pada tahun 1923, Gotlieb melaporkan pasien dengan kasus fatal dari

epidemi influensa dan penyakit yang Gotlieb namakan “atrofi difus pada tulang

alveolar.” Penyakit ini ditandai dengan kehilangan serabut kolagen pada

ligamentum periodontal dan digantikan dengan jaringan konektif yang longgar

dan resorpsi tulang ekstensif, mengakibatkan ruang periodontal melebar. Gingiva

tampak tidak terlibat. Pada tahun 1928, Gotlieb mengaitkan kondisi ini terhadap

hambatan pembentukan sementum yang berlanjut, yang dia pertimbangkan

penting untuk mempertahankan serabut periodontal. Dia kemudian menamakan

penyakit “deep cementophatia” dan menghipotesiskan bahwa ini merupakan

“penyakit erupsi” dan bahwa sementum mengawali respon benda asing tubuh.

Sebagai akibatnya, dipostulasikan bahwa host berusaha untuk melepaskan gigi,

mengakibatkan dalam resorpsi tulang dan pembentukan poket yang diamati.

Pada tahun 1938, Wannenmacher menjelaskan keterlibatan insisivus-

molar pertama dan menamakan penyakit “parontitis marginalis progressiva.”

Beberapa penjelasan dikembangkan untuk etiologi dan patogenesis penyakit tipe

ini. Banyak penulis mempertimbangkan ini untuk menjadi proses degeneratif, non

inflamasi dan lebih lanjut memberikan nama “periodontitis”. Pemeriksa lain

menolak keberadaan tipe degeneratif dari penyakit periodontal dan mengaitkan

perubahan yang diamati terhadap trauma dari oklusi. Akhirnya, pada tahun 1966,

World Workshop in Periodontics menyimpulkan bahwa konsep “periodontitis”

sebagai kesatuan degeneratif adalah berdasar dan bahwa istilah harus dihilangkan

dari nomenklatur periodontal. Komite mengakui bahwa kesatan klinis berbeda

35
dari “adult periodontitis” mungkin dapat terjadi diantara remaja dan dewasa

muda.

Isitilah “juvenile periodontitis” diperkenalkan oleh Chaput dan rekan pada

tahun 1967 dan oleh Butler pada tahun 1969, Baer menjelaskan itu adalah

penyakit periodontium yang terjadi dalam remaja sehat yang ditandai dengan

kehilangan tulang alveolar yang cepat tetapi lebih daripada satu gigi pada gigi

permanen. Jumlah kerusakan dimanifestasi adalah tidak sepadan dengan jumlah

iritan lokal. Pada tahun 1989 Wolrd Workshop in Clinical periodontics

mengkategorikan penyakit ini sebagai LJP, bagian dari klasifikasi yang luas pada

early-onset periodontitis (EOP). Dibawah sistem klasifikasi ini, usia dari awal dan

distribusi lesi adalah kepentingan utama ketika membuat diagnosis LJP. Yang

lebih terbaru, penyakit dengan karakteristik LJP telah dinamakan kembali sebagai

localized aggressive periodontitis (LAP).

Karakteristik Klinis

LAP biasanya memiliki usia kemunculan pada sekitar pubertas. Secara

klinis, ditandai sebagai “ terlokalisir pada molar pertama/insisivus dengan

kehilangan perlekatan interproksimal pada sekurang-kurangnya dua gigi

permanen, salah satu yang adalah molar pertama, dan melibatkan tidak lebih

daripada dua gigi daripada molar pertama dan insisivus (Gambar 18-1). Distribusi

lesi lokal dalam LAP adalah khas tetapi sampai sekarang tidak dapat dijelaskan.

Berikut kemungkinan alasan untuk keterbatasan kerusakan periodontal yang telah

digambarkan:

36
1. Setelah kolonisasi pertama dari gigi permanen pertama untuk erupsi

(molar pertama dan insisivus), Aggregatibacter (dahulu Actinobacillus)

actinomycetemcomitans menyerang pertahanan host dengan mekanisme

berbeda, termasuk produksi PMN chemotaxis-inhibiting factor,

endotoksin, kolagenase, leukotoxin, dan faktor lain yang membiarkan

bakteri untuk berkolonisasi membentuk poket dan mengawali kerusakan

pada jaringan periodontal. Setelah serangan awal ini, pertahanan imun

yang memadai distimulasi untuk menghasilkan antibodi opsonic untuk

meningkatkan pembersihan dan fagositosis bakteri yang menginvasi dan

menetralkan aktivitias leukotoxic. Pada pola ini, kolonisasi dari sisi lain

dapat dicegah. Respon antibodi yang kuat terhadap agen yang menginfeksi

adalah salah satu karakteristik LAP.

2. Bakteri antagonistik terhadap A. Actinomycetemcomitans dapat

berkolonisasi pada jaringan periodontal dan menghambat

A.actinomycetemcomitans dari kolonisasi lebih lanjut pada sisi periodontal

dalam mulut. Hal ini dapat melokalisir infeksi A. Actinomycetemcomitans

dan kerusakan jaringan.

3. A.actinomycetemcomitans dapat kehilangan kemampuan menghasilkan

leukotoxin untuk alasan yang tidak diketahui. Jika hal ini terjadi, progresi

dari penyakit dapat menjadi tertunda atau terganggu, dan kolonisasi dari

sisi periodontal baru dapat dihindari.

4. Kerusakan dalam pembentukan sementum dapat bertanggung jawab untuk

lokalisasi lesi. Permukaan akar gigi yang diekstraksi dari pasien dengan

37
LAP telah ditemukan untuk memiliki hypoplastic atau aplastic cementum.

Hal ini benar tidak hanya pada permukaan akar yang terpapar terhadap

poket periodontal tetapi juga akar yang tetap dikelilingi oleh jaringan

periodontiumnya.

Gambar 18-1 Localized aggressive periodontitis pada pasien perempuan kulit

hitam berusia 15 tahun yang kembar dengan penyakit yang sama. A, aspek klinis

memperlihatkan plak dan inflamasi minimal kecuali untuk inflamasi lokal pada

sisi distal dari insisivus sentralis kiri dan insisivu sentralis kanan mandibula. B,

radiografi memperlihatkan kehilangan tulang angular, vertikal, lokal yang

berhubungan dengan molar pertama mandibula dan insisivus sentralis mandibula.

Insisivus maksila memperlihatkan tidak ada keterlibatan yang tampak. C,

38
Pembukaan dengan pembedahan dari kerusakan tulang angular, vertikal, lokal

yang mengenai insisivus mandibula.

Gambaran menonjol LAP adalah kurangnya inflamasi klinis meskipun

kemunculan dari poket periodontal yang dalam dan kehilangan tulang lanjut (lihat

Gambar 18-1). Lebih lanjut, pada banyak kasus jumlah plah pada gigi yang

terkena minimal, yang terlihat tidak konsisten dengan jumlah kerusakan

periodontal yang muncul. Plak sekarang membentuk biofilm tipis pada gigi dan

jarang termineralisasi membentuk kalkulus. Meskipun kuantitas plak dapat

terbatas, plak tersebut sering mengandung level A. Actinomycetemcomitans yang

meningkat, dan dalam beberapa pasien, Porphyromonas gingivalis. Signifikansi

potensial dari komposisi kualitatif flora mikroba dalam LAP didiskusikan

selanjutnya dalam bagian faktor resiko.

Seperti yang digambarkan nama, LAP berkembang dengan cepat. Bukti

menggambarkan bahwa tingkat kehilangan tulang adalah sekitar tiga hingga

empat kali lebih cepat daripada dalam periodontitis kronis. Gambaran klinis lain

dari LAP termasuk (1) migrasi distolabial insisivus maksila dengan pembentukan

diastema secara bersamaan, (2) peningkatan kegoyangan insisivus dan molar

pertama maksila dan mandibula, (3) sensitivitas dari permukaan akar yang terbuka

terhadap termal dan stimuli taktil, dan (4), rasa sakit tumpul, dalam, menyebar

selama mastikasi, kemungkinan disebabkan oleh iritasi struktur pendukung oleh

gigi yang goyang dan impaksi makanan. Abses periodontal dapat terbentuk pada

tahap ini, dan pembesaran nodus limfa regional dapat terjadi.

39
Tidak semua kasus LAP berkembang pada derajat yang baru saja

dijelaskan. Pada beberapa pasien perkembangan kehilangan perlekatan dan

kehilangan tulang dapat berhenti dengan sendirinya.

Temuan radiografi

Kehilangan tulang alveolar vertikal disekitar molar pertama dan insisivus,

mulai disekitar usia pubertas dalam remaja yang sehat, adalah tanda diagnostik

klasik LAP. Temuan radiografi dapat termasuk “kehilangan tulang alveolar

mengikuti bentuk rahang yang meluas dari permukaan distal dari premolar kedua

terhadap permukaan mesial dari molar kedua” (lihat gambar 18-1,B). Kerusakan

tulang biasanya lebih lebar daripada yang biasanya terlihat dengan periodontitis

kronis (liihat Gambar 18-1, C).

Prevalensi dan distribusi berdasarkan usia dan jenis kelamin

Prevalensi LAP secara geografis berbeda dalam populasi remaja diestimasi

kurang daripada 1%. Sebagian besar laporan menggambarkan prevalensi yang

rendah, sekitar 0,2%. Dua penelitian radiografis independen dari remaja 16-

tahun,satu di Finlandia dan satu lagi di Switzerland, mengikuti kriteria diagnostik

terbatas digambarkan oleh Baer dan melaporkan tingkat prevalensi 0,1%.

Penelitian klinis dan radiografis dari 7266 remaja Inggris berusia 15 hingga 19

tahun juga memperlihatkan tingkat prevalensi 0,1%. Di US, survei nasional dari

remaja yang berusia 14 hingga 17 dilaporkan bahwa 0,53% memiliki LAP. Kulit

hitam berada pada resiko lebih tinggi untuk LAP, dan remaja laki-laki kulit hitam

40
adalah 2,9 kali lebih mungkin untuk memiliki penyakit daripada remaja

perempuan kulit hitam. Sebaliknya, remaja perempuan kulit putih lebih mungkin

untuk memiliki LAP daripada remaja laki-laki kulit putih. Beberapa penelitian

telah menemukan prevalensi tertinggi LAP diantara laki-laki kulit hitam, diikuti

oleh perempuan kulit hitam, perempuan kulit putih dan ;laki-laki kulit putih.

LAP mengenai laki-laki dan perempuan dan terlihat paling sering dalam

periode antara pubertas 20 tahun usia. Beebrapa penelitian telah menggambarkan

predileksi untuk pasien perempuan, terutama dalam kelompok usia termuda,

sementara laporan lain tidak ada perbedaan laki-laki perempuan dalam insidensi

ketika penelitian didesain untuk memperbaiki bias (untuk data epidemiologi

tambahan mengenai LAP, lihat Bab 5).

GENERALIZED AGGRESSIVE PERIODONTITIS

Karakteristik klinis

GAP biasanya mengenai individu dibawah usia 30 tahun, tetapi pasien

lebih tua biasanya dapat terkena. Sebaliknya terhadap LAP, bukti

menggambarkan bahwa individu terkena dengan GAP menghasilkan respon

antibodi yang buruk terhadap patogen yang muncul. Secara klinis, GAP ditandai

dengan “kehilangan perlekatan interproksimal general yang mengenai sekurang-

kurangnya tiga gigi permanen selain daripada molar pertama dan insisius.

Kerusakan tampak muncul secara episodik, dengan periode kerusakan lanjut

diikuti dengan tahap diam dari panjang variabel (minggu hingga bulan atau

41
tahun). Radiografi sering mempelihatkan kehilangan tulang yang berkembang

sejak pemeriksaan radiografi.”

Seperti yang terlihat dalam LAP, pasien dengan GAP sering memiliki

jumlah bakteri plak yang kecil berhubungan dengan gigi yang terkena. Secara

kuantitatif, jumlah dari plak terlihat tidak konsisten dengan jumlah kerusakan

periodontal. Secara kualitatif, P. Gingivalis, A.actinomycetemcomitas, dan

Tannarella forsythia (dahulu Bacteroides forsythus) sering dideteksi dalam plak

yang muncul.

Dua respon jaringan gingiva dapat ditemukan dalam kasus GAP. Pada

kasus parah, jaringan terinflamasi akut, sering mengalami proliferasi, berulserasi,

dan merah menyala. Perdarahan dapat terjadi secara spontan atau dengan sedikit

stimulasi. Supurasi dapat menjadi gambaran penting. Respon jaringan ini

dipercaya untuk terjadi dalam tahap destruktif, yang mana perlekatan dan tulang

secara aktif hilang.

Pada lain kasus jaringan gingival dapat merah muda, bebas dari inflamasi,

dan kadang-kadang dengan beberapa derajat stippling, meskipun stippling dapat

tidak ada (Gambar 18-2, A). Bagaimanapun, meskipun tampaknya penampilan

klinis ringan, poket dalam dapat diperlihatkan dengan probing. Page dan

Schroeded percaya bahwa respon jaringan ini bertepatan dengan periode diam

yang mana level tulang masih tidak berubah.

42
Gambar 18-2 Severe generalized aggressive periodontitis pada pasien laki-laki

berusia 22 tahun dengan riwayat keluarga kehilangan gigi awal melalui penyakit

periodontal. A, aspek klinis memperlihatkan plak dan inflamasi minimal. A,

Provisional wire-and resin splint telah ditempatkan oleh dokter gigi umum untuk

menstabilkan gigi. B, radiografi memperlihatkan sifat penyakit yang parah,

general dengan semua gigi yang erupsi terkena.

Beberapa pasien dengan GAP memiliki manifestasi sistemik, seperti

kehilangan berat, depresi mental, dan general malaise. Pasien dengan dugaan

diagnosis GAP harus memperbaharui dan meninjau riawayat medis mereka.

Pasien tersebut harus menerima evaluasi medis untuk mengeluarkan kemungkinan

keterlibatan sistemik. Seperti yang terlihat dengan LAP, kasus GAP dapat

berhenti secaa spontan atau setelah terapi, sementara yang lain dapat berlanjut

43
untuk berkembang terhadap kehilangan gigi meskipun intervensi dengan

perawatan konvensional.

Temuan radiografis

Gambaran radiografis GAP dapat berkisar dari kehilangan tulang parah

yang berhubungan dengan jumlah minimal gigi, seperti yang dijelaskan

sebelumnya, hingga kehilangan tulang parah yang mengenai mayoritas gigi dalam

gigi geligi (lihat Gambaran 18-2,B). Perbandingan radiografi yang diambil pada

waktu berbeda mengilustrasikan sifat agresif dari penyakit ini. Page et al

menjelaskan sisi pada pasien dengan GAP yang memperlihatkan kerusakan tulang

dari 25% hingga 60% selama periode 9 minggu. Meskipun ini kehilangan ekstrim,

sisi lain dalam beberapa pasien memperlihatkan tidak ada kehilangan tulang.

Prevalensi dan distribusi berdasarkan usia dan jenis kelamin

Pada penelitian penyakit periodontal yang tidak dirawat yang dilakukan di

Sri Langka oleh Loe et al, 8% dari populasi mengalami progresi cepat penyakit

periodontalmditandai dengan kehilangan perlekatan setiap tahun dari 0,1 mm

hingga 1,0 mm. Survei nasional US pada remaja berusia 14 hingga 17 tahun

dilaporkan bahwa 0,13% memiliki GAP. Sebagai tambahan, kulit hitam berada

pada resiko yang lebih tinggi daripada kulit putih untuk semua bentuk agressive

periodontitis, dan remaja laki-laki lebih mungkin untuk memiliki GAP daripada

remaja perempuan (lihat bab 5).

44
FAKTOR RESIKO UNTUK AGGRESSIVE PERIODONTITIS

Faktor mikrobiologi

Meskipun beberapa mikroorganisme spesifik sering dideteksi dalam

pasien dengan LAP (A.actinomycetemcomitans, Capnocytophaga spp, Eikenella

corrdens, prevotella intermedia, dan Campylobacter rectus),

A.actinomycetemcomitans telah terlibat sebagai patogen utama yang berhubungan

dengan LAP. Seperti yang diringkaskan oleh Tonetti dan Mombelli, hubungan ini

berdasarkan pada bukti berikut:

1. A. Actinomycetemcomitans ditemukan dalam frekuensi tinggi (kurang

lebih 90%) dalam lesi yang ditandai dari LAP.

2. Sisi bukti dari progresi penyakit sering memperlihatkan level

A.actinomycetemcomitans.

3. Banyak pasien dengan manifestasi klinis LAP memiliki secara signifikan

peningkatan serum antibody terhadap A. Actinomycetemcomitans.

4. Penelitian klinis memperlihatkan korelasi antara pengurangan dalam

jumlah A.actinomycetemcomitans subgingival selama perawatan dan

keberhasilan respon klinis.

5. A. Actinomycetemcomitans menghasikan sejumlah faktor virulensi yang

dapat berperan terhadap proses penyakit.

45
Tidak semua laporan mendukung asosiasi A.actinomycetemcomitans dan

LAP. Pada beberapa penelitian, A. Actinomycetemcomitans dapat tidak dideteksi

pada pasien dengan bentuk penyakit ini atau tidak dapat dideteksi pada frekuensi

yang dilaporkan sebelumnya. Uji lain menemukan peningkatan level P.

Gingivalis, Prevotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, C.rectus dan

Treponema denticola pada pasien dengan localized atau generalized aggressive

disease, tetapi tidak secara signifikan berhubungan yang ditemukan antara

kemunculan penyakit aggressive dan A. Actinomycetemcomitans.

Sebagai tambahan, A. Actinomycetemcomitans sering dapat dideteksi

dalam subjek yang secara periodontal sehat, menggambarkan bahwa

mikroorganisme ini dapat menjadi bagian dari flora normal pada banyak individu.

Uji mikroskop elektron pada LAP telah menyatakan invasi bakteri dari

jaringan konektif yang mencapai permukaan tulang. Invasi flora telah dijelaskan

sebagai secara morfologi campuran tetapi tersusun terutama bakteri gram negatif,

termasuk cocci, rods, filament, dan spirochetes. Menggunakan metode yang

berbeda, termasuk imunositohistokimia, beberapa mikroorganisme yang

menginvasi jaringan telah diidentifikasi sebagai A.actinomycetemcomitans,

Capnocytophaga sputigena, spesies Mycoplasma, dan spirochetes.

Faktor imunologi

Beberapa kerusakan imun telah berimplikasi dalam patogenesis aggressive

periodontitis. Human leukocyte antigens (HLAa) yang mengatur respon imun,

telah dievaluasi sebagai kandidat penanda untuk aggressive periodontitis.

46
Meskipun temuan dengan banyak HLAs tidak konsisten, HLA A9 dan antigen

B15 adalah secara konsisiten berhubungan dengan aggressive periodontitis.

Beberapa pemeriksa telah memperlhatkan bahwa pasien dengan

aggressive periodontitis menampakkan kerusakan fungsional dari

polymorphonuclear (PMN), monosit atau keduanya. Kerusakan tersebut dapat

menggangu atraksi kemotaksis pMN terhadap sisi infeksi atau kemampuan

mereka untuk fagositosis atau membunuh organisme. Penelitian terbaru telah

memperlihatkan respon berlebihan monosit dari pasien LAP yang melibatkan

produksi prostaglandin E2 (PGE2) dalam respon terhadap lipopolisakarida (LPS).

Hiperresponsif fenotip ini dapat mengarah terhadap peningkatan jaringan konektif

atau kehilangan tulang yang disebabkan produksi berlebihan dari faktor katabolik

tersebut. Juga, bentuk kurang fungsional yang diturunkan dari monosit FcyRII,

reseptor untuk human immunoglobulin G2 (IgG2) antibodi, telah memperlihatkan

untuk menjadi tidak sebanding muncul dalam pasien dengan LAP. Kerusakan

PMN dan monosit tersebut dapat diinduksi oleh infeksi bakteri atau dapat genetik.

Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menggolongkan asal perubahan seluler

tersebut.

Autoimunitas memiliki peranan dalam GAP, berdasarkan terhadap

Anusaksahien dan Dolby, yang menemukan antibodi host terhadap kolagen,

deoxyribonucleaic acid (DNA), dan IgG. Mekanisme autoimun yang mungkin

termasuk peningkatan ekspresi dari kompleks histokompatibilitas utama /major

histocompatibility complex (MHC) class II molecul, HLA DR4, perubahan fungsi

47
atau penekanan sel T- helper atau, aktivasi polyclonal sel B oleh plak mikroba,

dan predisposisi genetik.

Faktor genetik

Hasil beberapa penelitian mendukung konsep bahwa semua individu tidak

secara sama rentan terhadap aggressive periodontitis. Khususnya, beberapa

penulis telah menjelaskan pola familial dari kehilangan tulang alveolar dan

memiliki faktor implikasi genentik dalam aggresive periodontitis. Pemisahan dan

analisis hubungan dari keluarga dengan predisposisi genetik untuk LAP

menggambarkan bahwa gen mayor atau susunan dari gen memainkan peranan

dalam LAP dan ditransimisikan melalui bentuk autosomal dominan yang

diturunkan dalam populasi US. Harus dicatat bahwa sebagian besar uji segregasi

(pemisahan) dilakukan dalam populasi Afrika-Amerika, lebih lanjut merupakan

bentuk lain keturunan dapat muncul dalam populasi berbeda.

Bukti menggambarkan bahwa beberapa kerusakan imunologi berhubungan

dengan aggressive periodontitis dapat diturunkan. Sebagai contoh, Van Dyke et al

melaporkan pengelompokan familial dari abnormalitas neutrofil yang terlihat

dalam LAP. Pengelompokan ini menggambarkan bahwa kerusakan dapat

diturunkan. Penelitian juga telah memperlihatkan bahwa respon antibodi terhadap

patogen periodontal, terutama A. Actinomycetemcomitans, dibawah kontrol

genetik dan kemampuan jumlah yang tinggi dari spesifik protektif antibody

(terutama IgG2) terhadap A.actinomycetemcomitans dapat bergantung ras.

48
Sebagai simpulan, data yang mendukung konsep bahwa gen atau gen-gen

dari efek mayor muncul untuk aggressive periodontitis. Data juga mendukung

basis genetik untuk beberapa kerusakan imunologi yang terlihat pada pasien

dengan aggressive periodontitis. Bagaimanapun, tidak mungkin bahwa semua

pasien yang terkena dengan aggressive periodontitis memiliki kerusakan genetik

yang sama. Seperti yang diringkaskan oleh Tonetti dan Mombelli, terlihat bahwa

gen spesifik dapat berbeda dalam berbagai populasi dan atau kelompok etnis dan

lebih lanjut heterogenitas sebenarnya dalam kerentanan penyakit dapat muncul.

Peranan dari gen spesifik masih untuk dijelaskan (lihat bab 24).

Faktor lingkungan

Jumlah dan durasi merokok adalah variabel penting yang dapat

mempengaruhi perluasan kerusakan yang terlihat pada dewasa muda. Pasien

dengan GAP yang merokok memiliki lebih banyak gigi yang terkena dan

kehilangan lebih banyak perlekatan klnis daripada pasien yang tidak merokok

dengan GAP. Bagaimanapun, merokok tidak memiliki dampak yang sama pada

level perlekatan dalam pasien muda dengan LAP.

Tranfer ilmu

Localized aggressive periodontitis (LAP) mengenai terutama gigi molar

pertama dan insisivus dalam remaja dengan poket dalam dan kehilangan tulang

lanjut. Terjadi kurang daripada 1% remaja. Etiologi pasti tidak diketahui, tetapi

terdapat hubungan antara penyakit dan kemunculan bakteri anaerobik gram-

49
negatif, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, pada biofilm plak subgingiva.

Tingkat kehilangan tulang dapat 3 hingga 4 kali lebih cepat daripada yang terlihat

dalam periodontitis kronis, meskipun pada banyak kasus tingkat kehilangan tulang

secara dramatis berkurang ketika pasien mencapai usia 20 tahun atau lebih tua.

Generalized aggressive periodontitis (GAP) biasanya terjadi pertama pada

dewasa muda dan dapat muncul dalam beberapa populasi hingga 8% dari populasi

dewasa. Merokok memainkan peranan karena perokok dengan GAP memiliki gigi

yang lebih banyak terlibat dan poket yang dalam daripada bukan perokok.

50

Anda mungkin juga menyukai