Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asidosis tubulus renalis (ATR) adalah keadaan yang disebabkan oleh

ketidakmampuan ginjal untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan

lumen tubulus ginjal. Gangguan yang terjadi berupa gangguan reabsorbsi

bikarbonat pada tubulus ginjal, gangguan ekskresi H+, atau keduanya sehingga

mengakibatkan asidosis metabolik. Asidosis Tubulus Renalis ditandai adanya

asidosis metabolik hiperkloremik dengan senjang anion plasma dan laju filtrasi

glomerulus normal. Asidosis tubulus renalis sudah dikenal sejak 1941, namun

sampai sekarang diagnosis ATR masih sulit ditegakkan terutama karena gejala

klinis tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis atau terlambat dan tidak

mendapat pengobatan. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 1975–1995 ditemukan 12 kasus RTA

baru.1,2 Tanpa pengobatan dini, adekuat, dan berkesinambungan maka

berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan, nefrokalsinosis, nefrolitiasis,

osteomalasia, gagal ginjal, hipokalemia atau bahkan kematian. 3–5

RTA dapat dibedakan menjadi 4 tipe yaitu tipe I atau distal, tipe II atau

proksimal, tipe III atau hibrid, dan tipe IV atau RTA hiperkalemik. Tipe 1

merupakan tipe yang paling sering ditemukan, memiliki karateristik kegagalan

tubulus ginjal untuk mengekskresikan H dan tidak dapat mengabsorbsi K,

sehingga pH urin diatas 5.5 dan pasien mengalami hipokalemia. Pada tipe 2

atau tipe proksimal terjadi kegagalan tubulus proksimal untuk reabsorbsi

bikarbonat dari urine, sehingga menyebabkan menurunnya bikarbonat darah,

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 10


tetapi karena fungsi tubulus ginjal distal masih normal maka pH urin dapat

lebih rendah dari 5.5. Tipe 3 merupakan tipe gabungan dari tipe 1 dan tipe 2.

Sedangkan tipe 4 bukan merupakan gangguan fungsi dari tubulus ginjal,

kelainan pada tipe ini terletak pada resistensi tubulus terhadap aldosteron atau

pada defisiensi aldosteron.1,4,5

Beberapa penelitian telah membuktikan RTA tipe 1 terkait dengan

mutasi genetik. Mutasi genetik yang diturunan dapat berupa autosomal

dominan atau autosomal resesif. Pada RTA tipe 1 yang diturunkan secara

autosomal resesif seringkali menunjukkan gejala pada awal kehidupan atau

masa bayi. Sedangkan pada RTA tipe 1 yang autosomal dominan, gejala

terlihat setelah usia anak atau saat remaja. Gen yang mengalami mutasi adalah

gen yang mengkode carbonic anhydrase (CA) II, kidney anion excharger-1

(kAE1), dan subunit H+-ATPase.6 Pada mutasi autosomal resesif terkadang

terdapat hubungan dengan sensori neural hearing loss, yaitu terkait pada gen

B1 subunit gene ATP6V1B1 dan a4 subunit gene ATP6V0A4.7 Beberapa

kelainan genetik seperti sindrom Ehler-Danlos atau Wilson’s disease, juga

menunjukkan hubungan dengan renal tubular asidosis. Pada RTA tipe 1 yang

didapat (acquired) diakibatkan penyakit autoimun seperti lupus, sindrom

Sjogren, penyakit infeksi atau akibat dari obat-obatan seperti amphotericin B

dan keracunan toluene.6–8

Pada RTA tipe 1 terdapat jenis yang klasik dan jenis incomplete,

perbedaan kedua jenis tersebut terkait pada asidosis metabolik pada serum.

Pada RTA tipe 1 klasik (dRTA) didapatkan asidosis metabolik yang nyata,

sedangkan pada RTA tipe 1 incomplete (idRTA) tidak didapatkan asidosis

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 11


metabolik.6 Mutasi pada gen band 3 (AE1) diketahui memiliki hubungan

dengan RTA tipe 1 incomplete. Penegakan diagnosis RTA tipe 1 incomplete

berdasarkan ketidakmampuan untuk menurunkan pH urin dan hipokalemia.

RTA tipe 1 incomplete seringkali berhubungan dengan nefrokalsinosis,

nefrolithiasis, perawakan pendek dan patah tulang akibat osteomalasia. 9–11

Patah tulang merupakan salah satu komplikasi dari renal tubular

asidosis. Pada penelitian oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI -RSCM

pada tahun 1975 – 1995, didapatkan 2 pasien dengan keluhan patah tulang dari

12 kasus renal tubular asidosis.2 Patofisiologi patah tulang pada renal tubular

asidosis tipe 1 diakibatkan keadaan asidosis metabolik meningkatkan

osteoklastik dan menghambat osteoblastik. Peningkatan osteoklastik

diakibatkan karena menurunnya kalsium pada serum, sehingga terjadi

pemecahan kalsium dari tulang. Keadaan pH urin yang alkali juga

meningkatkan terjadinya ekskresi kalsium dan phosphat sehingga

mengakibatkan gangguan pembentukan tulang. Perubahan yang terjadi dalam

jangka lama mengakibatkan tulang menjadi osteomalasia atau osteoporosis

yang akan meningkatnya resiko patah tulang patologis.12,13

Gagal tumbuh pada RTA terjadi karena beberapa hal, yaitu

meningkatnya pengeluaran sulfat dalam urin menyebabkan defisiensi sulfat

sehingga terjadi gangguan pembentukan kondroitin sulfat dan mengakibatkan

gangguan pertumbuhan. (2) Pada asidosis metabolik akan terjadi gangguan

metabolisme kolagen yang akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan. (3)

Selain itu gangguan pertumbuhan dapat juga disebabkan gangguan

metabolisme vitamin D dan mineral, atau pengaruh hormonal.1,14

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 12


B. Deskripsi Kasus Singkat

1. Identitas pasien

Nama : An. AR Nama Ayah : Tn. AT


Umur : 9 thn Umur : 37 thn
Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : SLTA
Alamat : Dusun Kuncen, Pekerjaan : TNI
Yogyakarta Nama Ibu : Ny. SM
Umur : 35 thn
Mulai : Oktober 2012 Pendidikan : SLTA
terdiagnosis
No Cm : 1.49.xx.xx Pekerjaan :Ibu rumah tangga

2. Laporan Kasus Singkat

Pasien terdiagnosis renal tubular asidosis tipe 1, osteomalasia dengan patah

tulang patologis, atrial septal defect dan gizi buruk tipe marasmik sejak

Oktober 2012. Pasien mulai sering merasa lemas sejak usia 6 tahun,

pertumbuhan badan pasien lebih pendek dibandingkan anak- anak seusianya.

Pasien mengalami patah tulang pada paha kanan pada akhir tahun 2011 tanpa

sebab trauma yang jelas, dan menjalani operasi pertama. Pada tahun 2012,

pasien kembali mengalami patah tulang pada paha kiri dan keadaan pasien

semakin memburuk. Kemudian keluarga membawa pasien ke RS Magelang

dan dirujuk ke RS dr. Sardjito. Keluhan awal saat datang ke RS dr Sardjito

dengan patah tulang patologis pada bagian 1/3 tengah femur kanan, bagian 1/3

atas femur kiri dan pada bagian bawah cruris kanan. Tidak ada keluarga dari

pihak ibu atau bapak yang menderita penyakit serupa.

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 13


Gambar 1. Gambar kiri : tampak regio femur dekstra melengkung, tampak
deformitas pada proksimal femur kiri. Gambar kanan: tampak deformitas pada
cruris dekstra, tampak atrofi pada kedua kaki

Selama perawatan di RS Sardjito didapatkan kadar Kalium darah pasien

selalu rendah, dan pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan pH selalu basa.

Hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan pH: 7,5, pO2: 101,1 (80 -

95) mmHg, pCO2: 24,4 (35 – 45)mmHg, HCO3: 18,6 (22 – 26) meq/L, BE: -

2,2 (-2,5 – 2,5), AaDO2: 19 dengan kesimpulan alkalosis respiratorik

terkompensasi. Pada saat pengambilan hasil tanda vital pasien: nadi 96x/menit,

nafas: 28x/menit, temperatur: 370 C, tekanan darah 100/60 mmHg, dari

pemeriksaan paru dalam batas normal. Berdasarkan hal tersebut, alkalosis

repiratorik yang terjadi kemungkinan diakibatkan kompensasi dari asidosis

metabolik yang kronik. Hasil perhitungan anion gap pada darah : Na+K

(Cl+HCO3) =22,1 (meningkat) dengan anion gap pada urin Natrium: 40

mmol/l, kalium : 29,4 mmol/l, Chloride : 43,4 mmol/l, sehingga hasil

perhitungan anion gap urin: (Na +K ) – Cl = +26. Diagnosis RTA berdasarkan

hipokalemia, pH urin diatas 5,5, dan anion gap urin positif.

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 14


Tabel 1. Hasil pemeriksaan kalium, pH urin, dan analisis gas darah selama
dirawat di RS. Dr. sardjito

1/10/12 3/10/12 4/10/12 5/10/12 6/10/12 nilai normal


Kalium 1,7 1,6 3 3.4-5.4 mmol/l
Calcium 2,45 2,52 2,47 2.1-2.54mmol/l
Natrium 130 127 134 135-146 mmol/l
Chloride 91 85 95 95 - 108 mmol/l
Phosphat 1,9 1,9 3.1-5.1 mg/dl
pH 7.35-7.45
7,5 7,497
darah
PCO2 24,4 25,1 35-45 mmHg
HCO3 18,6 19 22 - 26 mmol/l
BE -2,2 -2,8 -2-2 meq/l
pH urin 6,5 7,5 7 4.5-8
80-290
Na urin 40
mmol/24jam
25-100
K urin 29,41
mmol/24jam
50-400
Ca Urin 0,12
mmol/24jam
110-225
Cl urin 43,4
mmol/24jam

Pemeriksaan echocardiography telah dilakukan dengan hasil didapatkan

atrial septal defect sekundum kecil dengan ukuran 3mm, pada pasien tidak

didapatkan tanda –tanda gagal jantung sehingga belum perlu dilakukan

pemberian terapi.

Pemeriksaan untuk fraktur tulang patologis, dilakukan foto polos pada

femur dan cruris. Pemeriksaan bone densitometri tidak dapat dilakukan karena

alat tidak tersedia.

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 15


Gambar 2. Patah tulang pada 1/3 distal femur kanan setelah operasi

Gambar 3. malunion pada 1/3 proksimal femur kiri

Sejak tanggal 2 Oktober 2012, pasien mendapat terapi rutin dengan

natrium bikarbonat per oral 4x 250 mg, KCL per oral 3x 1000 mg, dan kalsium

1x 200mg dan vitamin D 1x200 IU.

Pada pemeriksaan fisik pada 22 September 2013 menunjukkan

keadaan umum sadar, dan tampak kurus. Pada pemeriksaan tanda vital

didapatkan denyut nadi : 105x/menit isi dan tegangan cukup, laju nafas :

22x/menit, suhu aksila : 36,9 C. Pemeriksaan leher : tidak teraba pembesaran

limfonodi, tidak didapatkan pembesaran kelenjar tiroid. Pemeriksaan dada:

bentuk dada normal, tidak didapatkan ketinggalan gerak, tidak didapatkan

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 16


retraksi. Pada jantung menunjukkan konfigurasi dan suara jantung 1 dan 2

dalam batas normal, dan didapatkan bising jantung ejeksi sistolik pada SIC 2-3

LPS kiri. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara dasar vesikular dan tidak

didapatkan suara tambahan. Pemeriksaan abdomen : supel, bising usus normal,

tidak didapatkan organomegali. Pada ekstremitas dengan akral hangat, nadi

kaki teraba kuat. Imunisasi telah lengkap sesuai kartu menuju sehat (KMS) dan

anak mendapat imunisasi tambahan DT dan Campak di kelas 1 dan imunisasi

Td di kelas 2. Antropometri pada pasien, berat badan 13 kg, dengan BMI :

12,264 (BMI/U: -3,28, Z <-3SD), tinggi tubuh 103,05 cm (HAZ: -5,77, Z <-

3SD), dengan status gizi buruk tipe marasmik fase rehabilitasi dan sangat

pendek. Diagnosis pasien: renal tubular asidosis tipe 1, Osteomalasia, atrial

septal defek sekundum kecil, gizi buruk tipe marasmik fase rehabilitasi dan

sangat pendek. Saat ini pasien sudah dapat berjalan dengan bantuan tripod, dan

sudah mulai bersekolah.

C. Alasan Pemilihan Kasus

Pasien telah terdiagnosis renal tubular asidosis tipe 1, patah tulang

patologis, atrial septal defect dan gizi buruk tipe marasmik sejak bulan Oktober

2012 dan mendapat pengobatan rutin. Alasan pemilihan kasus adalah :

1. Kasus pasien renal tubular asidosis tipe 1 dengan komplikasi patah

tulang merupakan kasus yang jarang dan menarik.

2. Permasalahan pasien membutuhkan pengobatan rutin, pemantauan

berkala dan penanganan yang komprehensif.

3. Tempat tinggal pasien yang dekat sehingga memudahkan untuk

melakukan pemantauan.

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 17


D. Manfaat

1. Untuk pasien dan keluarga

a. Dengan penanganan secara komprehensif, pemantauan berkala

secara rutin dan baik diharapkan kualitas kesehatan anak

menjadi optimal

b. Keluarga dapat lebih memahami dan menerima kondisi penyakit

anak secara lebih baik dan ikut berperan dalam penanganan

pasien untuk mencapai harapan hidup yang baik.

c. Dengan penanganan yang menyeluruh dan berkesinambungan

diharapkan

dapat mengurangi dampak yang mungkin akan timbul,

memberikan terapi secara adekuat dan rehabilitasi sedini

mungkin.

d. Dengan pengamatan dan pemantauan secara berkala, diharapkan

terapi yang diberikan pada pasien lebih optimal serta gangguan

tumbuh kembang dan gangguan komorbid yang mungkin timbul

dapat dideteksi sehingga intervensi dini dapat segera dilakukan.

2. Residen

Dokter anak juga dituntut mampu untuk dapat melakukan deteksi

dini terhadap renal tubular asidosis dan memberikan tatalaksana yang

adekuat untuk penyakit tersebut dan penyakit penyerta. Dokter anak juga

diharapkan memberikan penjelasan tentang kondisi anak, pentingnya

kepatuhan pengobatan, serta kemungkinan gangguan komorbid yang dapat

dialami pasien. Dengan terus menerus berlatih, kemampuan

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 18


berkomunikasi dokter anak akan meningkat yang sangat diperlukan dalam

edukasi pasien dan orang tua.

3. Pasien Renal Tubular asidosis lainnya

Dapat memberi masukan dan berbagi pengalaman dalam usaha

memberikan perawatan yang terbaik pada pasien lainnya.

Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS 1 IKA FK UGM Yogyakarta 19

Anda mungkin juga menyukai