Anda di halaman 1dari 35

TINJAUAN PUSTAKA

STROKE INFARK

Oleh:

Hanan Afifah

H1A 012 019

Pembimbing:
dr. Wayan Subagiartha, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RSUD PROVINSI NTB

MATARAM

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini tepat pada waktunya.

Tinjauan pustaka yang berjudul “Stroke Infark” ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU
Provinsi NTB.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis.

1. dr. Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku Pembimbing


2. dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S, selaku Supervisor
3. dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed,Sp.S selaku Koordinator Pendidikan
SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB
4. dr. Ester Sampe, Sp.S, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tinjauan pustaka ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan tinjauan pustaka ini.

Semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat dan tambahan


pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, Oktober 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke
sekunder karena trauma maupun infeksi. Stroke merupakan penyebab
kecacatan nomor satu didunia dan penyebab kematian nomor ketiga di dunia.
Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia.1,2

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan


sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar
12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka
Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Di Nusa Tenggara Barat
sendiri, prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah
sebesar 4,5 per mil.3

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat


disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan
oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai
oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Oklusi dapat
berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia
sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak
tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau
perdarahan subrakhnoid. Duapertiga stroke terjadi di negara berkembang.
Pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke iskemik dan 20%
mengalami stroke hemoragik.1,2
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tinjauan pustaka ini antara lain:

1. Apakah definisi stroke ?


2. Bagaimana epidemiologi stroke ?
3. Bagaimana klasifikasi stroke ?
4. Apakah faktor risiko stroke infark ?
5. Bagaimana patofisiologi kelainan pada stroke infark ?
6. Apakah gejala yang muncul pada pasien dengan stroke infark ?
7. Bagaimana menegakkan diagnosis pasien stroke infark ?
8. Bagaimana terapi yang diberikan pada pasien dengan stroke infark ?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan tinjauan pustaka ini penting bagi dokter muda sebagai calon
dokter umum agar mampu mengenali, memahami, dan mendiagnosa suatu
penyakit dengan tepat dimulai dari definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor
resiko, patofisiologi, tanda dan gejala. Sehingga dapat menentukan prognosis,
tatalaksana awal, informasi, dan edukasi yang tepat kepada pasien.

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
referensi dalam mempelajari kasus stroke infark trombotik yang berlandaskan
teori guna memahami bagaimana cara mengenali, mengobati, dan mencegah
stroke, termasuk tindakan pada saat akut dan pada tingkat kronis, sehingga
dapat mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien
yang menderita stroke infark trombotik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari
24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun
infeksi. Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh
iskemia atau perdarahan otak.1

II. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di Negara maju, setelah
penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalah 2 per 1000 populasi. Mayoritas
stroke adalah infark serebral.2 Berdasarkan perkiraan WHO, pada tahun 2002, 5,5 juta
orang meninggal karena stroke dan sekitar 20% terjadi di negara Asia Selatan (India,
Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka).3 Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil. Prevalensi Stroke tertinggi di Sulawesi
Utara (10,8‰), diikuti di Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi penyakit stroke meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, tertinggi pada usia 75 tahun dan prevalensi antara laki-laki dan
perempuan sama. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah.4

III. Klasifikasi3,6

Berdasarkan patologi dan anatomi penyebabnya:

1) Stroke iskemik

Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah ke suatu bagian otak tiba – tiba
terhenti oleh karena adanya oklusi. Penyakit serebrovaskler iskemik disebabkan oleh
thrombosis, emboli dan hipoperfusi fokal, sehingga dapat menyebabkan penurunan
atau gangguan pada cerebral blood flow (CBF) yang mempengaruhi fungsi saraf
karena kurangnya glukosa dan oksigen ke otak. Sekitar 45% stroke iskemik
disebabkan oleh thrombus arteri kecil atau besar, 20% merupakan emboli dari tempat
asalnya dan peneybab lainnya yang tidak diketahui. Stroke iskemik fokal disebabkan
oleh gangguan aliran darah arteri ke daerah parenkim otak yang terdapat thrombus
atau emboli. Dengan kata lain, stroke iskemik didefinisikan sebagai onset akut (menit
atau jam) dari deficit neurologis fokal dengan lesi pembuluh darah yang persisten
selama lebih dari 24 jam. Stroke iskemik merupakan proses yang dinamis dimana
semakin lama oklusi arteri terjadi, semakin besar ukuran infark yang terjadi dan
semakin tinggi risiko post-perfusion hemorrahage.

Stroke iskemik merupakan kesatuan yang kompleks dengan etiologi yang


mulitpel dan manifestasi klinis yang variable. Dalam waktu 10 detik setelah aliran
darah otak berhenti, menyebabkan metabolisme jaringan otak gagal terjadi. Pada
EEG menunjukkan aktivitas elektrik yang lambat dan disfungsi otak menjadi nyata.
Apabila sirkulasi segara dikembalikan maka fungsi otak megalami perbaikan.

Stroke iskemik lebih sering terjadi pada laki – laki dibandingkan dengan
perempuan usia lanjut. Terdapat 3 patologi utama stroke iskemik, yaitu :

1. Trombosis

Thrombosis serebral menunjukan pembentukan thrombus (klot darah) di


dalam arteri seperti arteri karotis interna dan intracranial arteri vertebralis.
Atrosklerosis merupakan salah satu penyebab obstruksi vaskuler yang menyebabkan
stroke trombotik. Plak aterosklerosis dapat menyebabkan perubahan patologis seperti
thrombosis. Gangguan pada endotel menyebabkan perubahan patologi yang memulai
proses rumit yang mengaktifkan banyak enzim vasoaktif destruktif. Adhesi dan
agregasi platelet pada dinding vaskuler membentuk sarang kecil dari platelet dan
fibrin. Thrombosis dapat terbentuk di arteri ekstrakranial dan intracranial ketika
intima menjadi kasar dan plak terbentuk sepanjang pembuluh darah yang terluka,
dimana hal ini memungkinkan platelet mengalami adhesi dan agregasi, kemudian
mengaktivasi koagulasi dan thrombus berkembang pada lokasi plak. Ketika
mekanisme kompensasi dari sirkulasi kolateral gagal, maka perfusi menjadi buruk
sehingga menyebabkan kematian sel. Arteri ekstrakranial stenosis cenderung
menyebabkan destabilisasi dan rupture plak sehingga menyebabkan tromboemboli
serebral. Oklusi tromboemboli pada arteri yang besar atau beberapa arteri
intraserebral yang kecil menyebabkan kerusakan fokal pada aliran darah dan
pembentukan thrombus sekunder dalam mikrovaskuler serebral. Stroke trombotik
yang asimpomatis terjadi pada 80-90% pasien, 10-20% didahului oleh satu atau lebih
Transient Ischaemic attack (TIA).

2. Emboli

Emboli serebral umunya mengarah pada klot darah yang terbentuk dari lokasi
lain pada system sirkulasi, biasanya dari jantung dan arteri besar di atas toraks dan
servikal. Stroke emboli terjadi ketika klot darah pecah, terlepas dan terbawa oleh
aliran darah dan akan tersangkut pada arteri yang bercabang. Mikroemboli dapat
melepaskan diri dari plak sclerosis di arteri karotis atau yang bersumber dari jantung
seperti pada atrial fibrilasi atau hipokinetik ventrikel kiri. Emboli pada otak dapat
berasal dari arteri atau jantung. Umumnya sumber emboli yang berasal dari jantung
ditemukan pada fibrilasi atrium, kelainan sinoatrial, infark miokardium akit,
endokatditis bacterial subakt, tumor kardiak, dan kelainan valvular.

Sekitar sepertiga pasien stroke iskemik, emboli pada otak berasal dari jantung,
terutama pada fibrilasi atrium. Selain klot, fibrin dan potongan plak ateromatosa,
bahan lainnya yang dapat menyebabkan emboli pada sirkukasi sentral adalah lemak,
udara, tumor atau metastasis, kumpulan bakteri dan benda asing yang berkontribusi
terhadap mekanisme ini. Berdasarkan data stroke dari negara Barat, kardioemboli
merupakan penyebab paling umum dari stroke iskemik. Stroke emboli biasanya
menunjukkan deficit neurologis.
3. Hipotensif stroke atau iskemik global

Mekanisme ketiga dari stroke iskemik adalah sistemik hipoperfusi karena


hilangnya tekanan arterial. Beberapa proses dapat menyebabkan hipoperfusi sistemik,
yang paling banyak diakui dan dipelajari adalah cardiac arrest (henti jantung) karena
infark miokard dan atau aritmia atau hipotensi berat.

Iskemik global lebih buruk dibandingkan dengan hipoksia, hipoglikemi, dan


kejang karena selain menyebabkan kegagalan energi juga menyebabkan akumulasi
dari asam laktat dan metabolit toksik lainnya. Stroke yang fatal pada pasien lanjut
usia sering terjadi karena hipotensi akut yang disebabkan karena proses ekstrakranial
seperti gagal jantung, perdarahan atau emboli pulmoner multiple.

2) Stroke hemoragik, terdiri dari :



Stroke perdarahan intraserebral
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang mengenai parenkim
otak sendiri, terjadi 10-15% dari kejadian stroke. PIS dapat terjadi di semua parenkim
otak, tempat paling sering adalah korteks, ganglia basalis dan kapsula interna,
thalamus, batang otak dan cerebellar. Perdarahan biasanya berhenti cepat setelah
kejadian awalnya, tetapi sebagian kecil pasien hematom yang terjadi terus berlanjut,
biasanya dalam jam – jam pertama onset, ekspansi dalam 24 jam tidak biasanya
terjadi.
Faktor risiko PIS adalah hipertensi, perokok, minum minuman beralkohol dan
factor genetic. PIS juga bisa disebabkan karena adanya kelainan bentuk vaskuler
misalnya AVM (Arteriovenous Malformation), AVF (Arteriovenous Fistula), micro
AVM seperti cavernous angioma. Pada pasien tumor otak baik primer maupun
metastase, penggunaan obat –obatan simpatomimetik serta antikogulan yang lama,
begitu juga dengan tindakan revaskularisasi cerebral misalnya carotid
enadarterectomy dapat menimbulkan PIS.

Stroke perdarahan subaraknoid
Perdarahan Subaraknoid (PSA) adalah perdarahan yang terjadi di dalam
rongga subarachnoid yang menyelubungi otak. Sekitar 80% kasus PSA disebabkan
oleh perdarahan spontan (nontraumatik) akibat pecahnya aneurisma saccular
intracranial. Penyebab lainnya (20%) adalah akibat malformasi vaskuler, aneurisma
infeksi (mikotik) dan beberapa kondisi lain. Factor risiko PSA adalah hipertensi,
merokok, dan alcohol. Obat – obatan simpatomimetik seperti kokain dan
phenylpropanolamine juga merupakan factor risiko PSA. Adanya riwayat aneurisma
intracranial sebelumnya juga berisiko untuk terjadinya aneurisma ulang.

Berdasarkan Pertimbangan Waktu


1) Transient Ischemic Attack (TIA) adalah Suatu gangguan akut dari fungsi fokal
serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh
thrombus atau emboli.
2) Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) adalah gejala neurologik yang
timbul dan akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari
seminggu.
3) Stroke In Evolution (Progressing Stroke) adalah Gejala/tanda neurologist fokal
terus memburuk setelah 48 jam.
4) Complete Stroke Non-Hemmorhagic adalah Kelainan neurologis yang ada
sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi.

Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah


1) Sistem Karotis.
2) Sistem Vertebrobasiler.

IV. Faktor risiko


Faktor risiko stroke dapat dibagi menjadi yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.

Tabel 1. Faktor risiko stroke5


V. Patofisiologi5
Patofisiologi iskemi serebral fokal merupkan proses yang kompleks,
merupakan sebuah proses evolusi yang progresif, mempengaruhi otak secara
tidak serempak dan menyerang banyak tipe sel. Namun, beberapa mekanisme
yang mendasari telah diidenifikasi. Beberapa mekanisme memiliki dampak
yang besar pada awal dan lainnya memiliki dampak pada akhir dari perjalanan
stroke.

Mekanisme cedera

Kegagalan energi
Neuron bergantung pada metabolism oksidatif untuk menghasilkan
adenosine triphosphate (ATP). Penurunan aliran darah menyebabkan
terganggunya pengiriman dua substrat utama dalam proses oksigen dan
glukosa yang menyebabkan kadar ATP berkurang. Sel dapat berkompensasi
sampai batas tertentu dengan menghasilkan ATP melalui glikolisis namun
tanpa reperfusi yang cepat, sehingga menyebabkan gangguan fungsi dan
akhirnya menyebabkan kematian sel. Seperti pada mekanisme cedera iskemik
lainnya, kegagalan energy paling nyata pada daerah inti yang mengalami
iskemik dan kurang nyata pada daerah penumbra sekitarnya.

Gradien Ion

Penggunaan energi seluler yang utama adalah pemeliharaan gradien


ion transmembran. Apabila terjadi kegagalan pembentukan energi, maka
pemeliharaan gradien ion transmembran juga menghilang. Na/K-ATPase yang
berperan utama dalam menjaga tingginya konstentrasi K intraseluler gagal
melakukan tugasnya. Ion K bocor keluar sel dan terjadilah depolarisasi,
aktivasi pompa ion dan pelepasan neurotransmitter. Ion K ekstraseluler dan
neurotransmiter glutamat menstimulus cortical spreading depression, yang
kemudian dapat menyebabkan berlanjutnya depolarisasi pada neuron dan
artrosit. Rangkaian peristiwa ini memakai banyak energi dan diduga semakin
memperparah terjadinya infark.


Excitoxicity

Excitoxicity diartikan sebagai efek neurotoksik dari neurotransmitter


eksitatori, terutama glutamat. Iskemia memicu excitoxicity dengan cara
menstimulus pelepasan glutamat neural, menambah ambilan glutamat astrosit,
dan mengaktivasi kanal ion reseptor ganda glutamat. Terjadinya influks Ca
pada kanal ini menyebabkan terjadinya disregulasi Ca dan aktivasi sintesis
nitrit oksida (NO) neuronal, menghasilkan NO yang bersifat neurotoksik
poten.

Jejas Oksidatif dan Nitrosatif

Beberapa efek toksik yang muncul akibat iskemia dimediasi oleh


substansi-substansi oksidatif dan nitrosatif yang sangat reaktif termasuk
superokside dan NO. Efeknya antara lain inhibisi fungsi dan enzim
mitokondria, merusak DNA, aktivasi kanal ion, perubahan struktur protein
dan menstimulus kaskade kematian sel.


Kaskade kematian sel

Kematian sel iskemia terjadi paling cepat pada daerah inti infark yaitu
terjadi nekrosis, di mana sel dan organel sel membengkak, ruptur membran,
dan isi sel keluar menuju ruang ekstraseluler. Sedangkan proses kematian sel
yang lebih lambat (apoptosis) lebih dominan terjadi pada daerah penumbra
dan daerah reperfusi.


Inflamasi

Iskemia serebral memicu respon inflamasi baik dari mekanisame


spesifik maupun humoral. Mediator molekuler inflamasi yang diinduksi
iskemia di antaranya adalah adesi molekul, sitokin, kemokin, dan protease.
Walaupun respon awal inflamasi pada iskemia menyebabkan injuri/ jejas,
namun beberapa substansi yang ikut terlibat juga berperan sebagai
neuroprotektif untuk proses perbaikan.

Mekanisme Pertahanan dan Perbaikan

o Sirkulasi kolateral

Pertahanan pertama dari adanya iskemia adalah sirkulasi kolateral, di


mana jika adekuat, bahkan dapat menyelamatkan oklusi arteri. Sirkulasi
serebral mengandung banyak lintasan kolateral, sehingga tidak mengherankan
bahwa banyak orang yang memiliki sumbatan sirkulasi namun asimtomatis.
Contoh rute kolateral yang dimiliki oleh peredaran darah serebral saat terjadi
oklusi adalah sebagai berikut :

Oklusi arteri vertebral bilateral – arteri spinalis anterior


Oklusi arteri karotis komunis – arteri karotis komunis kontralateral melalui
arteri karotis eksterna ipsilateral atau arteri vertebralis melalui arteri
oksipitalis ipsilateral.
Oklusi arteri karotis interna – arteri karotis eksterna ipsilateral melalui
arteri ophtalmica atau sirkulus Willis.
Oklusi arteri serebri media – arteri serebri anterior / posterior ipsilateral
melalui anastomosis leptomeningeal.

o Inhibisi neurotransmitter

Peningkatan tonus inhibisi dimediasi oleh reseptor GABA


ekstrasinaptik dapat mengurangi jejas excitotoksik pada awal kejadian stroke.
Bagaimanapun, inhibisi persisten dapat membantu proses perbaikan.

o Respon Hipoksia

Hipoksia mengaktivasi transkripsi protein yang memicu perbaikan sel


dan jaringan, termasuk enzim glikolisis, eritropoietin, dan VEGF. Protein
sitoprotektif lain yang muncul setelah terjadinya iskemia di antaranya ialah
protein antiapoptosis, growth factors dan protein heat-shock.

o Neurogenesis

Iskemia serebral menstimulus neurogenesis dan beberapa neuron baru


untuk bermigrasi ke daerah yang mengalami iskemia. Pada peristiwa ini juga
terjadi pelepasan growth factors, supresi inflamasi dan lain-lain untuk
perbaikan sel.
o Angiogenesis

Iskemia juga menstimulasi pembentukan kapiler baru di sekitar daerah


lesi. Pada stroke fase akut, adanya angiogenesis tidak banyak dirasakan
manfaatnya, namun pada proses lanjut, angiogenesis dapat mencegah
kerusakan lanjut dari iskemia.

Mekanisme Perbaikan

Beberapa pasien dapat mengalami perbaikan spontan setelah


mengalami serangan stroke. Beberapa hal yang terjadi saat proses perbaikan
tidak hanya terjadi pada daerah lesi namun juga pada hemisfer kontralateral,
antara lain yaitu perubahan ekspresi gen, peningkatan eksitabilitas neuronal,
pertumbuhan axon, sinaptogenesis dan pembentukan jaras baru.

VI. Patologi5

 Oklusi arteri besar

Pada penampakan secara gross, adanya oklusi arteri besar


menimbulkan pembengkakan dan perlembekan daerah di otak yang biasanya
terjadi baik pada substansia grisea maupun alba. Secara miksroskopik, proses
iskemia akan terlihat sebagai (penyusutan, mikrovaskularisasi, dan warna
gelap), destruksi sel glia, nekrosis pembuluh darah kecil, dan akumulasi cairan
interstisial. Perdarahan perivaskular juga dapat ditemukan. Tergantung dari
interval antara terjadinya infark dan kematian, edema serebral juga dapat
terjadi. Proses ini terjadi maksimal dalam kurun waktu 4-5 hari setelah
serangan dan dapat menyebabkan herniasi girus cinguli sampai melewati
midline atau ke lobus temporal di bawah tentorium.

 Oklusi arteri kecil


Infark yang disebabkan oleh oklusi arteri kecil jarang menyebabkan
kematian. Lesi ini sering tidak saja ditemukan saat autopsi. Gambaran yang
ditemukan antara lain adanya lacuna atau kavitas kecil berukuran tidak lebih
dari 15 mm dan biasanya berlokasi di subkorteks. Gambaran lain yang biasa
ditemukan pada substansia alba adalah lesi berbentuk punctata, gliosis,
hilangnya axon, dan perdarahan halus. Sumbatan pembuluh darah kecil
berhubungan dengan atherosklerosis, lipohyalinosis (penebalan kolagen dan
inflamasi dinding pembuluh darah) atau nekrosis fibrinoid (destruksi dinding
pembuluh darah disertai inflamasi perivaskuler).

VII. Manifestasi klinis


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis
yang bersifat akut. Gambaran klinisnya tergantung pada otak yang mengalami
iskemia, oleh sebab itu kemampuan untuk mengidentifikasi topis neurologis
berdasarkan deficit yang terjadi sangat diperlukan. 6

Tabel 2. Gejala klinis stroke berdasarkan letak oklusi6


Lokasi Oklusi Gejala dan tanda

Arteri Serebri Anterior Gejala oklusi arteri serebri anterior antara lain gangguan
buang air kecil yang terjadi oleh karena kegagalan
penghambatan refleks kontraksi kandung kemih.
Terdapat pula paresis dan hilangnya sensorik pada
tungkai kontralateral.

Arteri Serebri Media

a. Stroke pada devisi Hemiparesis kontralateral yang terjadi pada wajah,


superior arteri serebri tangan, lengan namun kaki tidak mengalami paresis.
media
Gangguan hemisensorik kontralateral pada daerah
distribusi yang sama namun tidak terdapat homonimus
hemianopsia.

Bila terjadi pada hemisfer dominan terdapat gejala


afasia broca

b. Stroke pada devisi Homonimus hemianopia, terdapat pula gangguan fungsi


inferior arteri serebri sensorik kortikal seperti graphiestesia, dan stereognosis
media pada kontralateral lesi

Gangguan visospasial, termasuk hilangnya kewaspadaan


terhadap kelainan yang diderita (anosognosia), neglek
dan gangguan untuk mengenal ekstremitas kontralateral,
dressing apraxia dan konstruksional apraxia bila yang
terlibat adalah hemisfer dominan, afasia wernicke dapat
pula terjadi.

Acute confosional state (hemisfer non dominan)

c. Oklusi pada bifurcasio Hemiparese kontralateral, gangguan sensorik kontra


atau trifurcasio arteri lateral yang mengenai wajah dan lengan lebih berat dari
serebri media pada tungkai, homonym hemianopsia dan bila terkena
pada hemisfer dominan akan terjadi afasia global

d. Oklusi pada pangkal Mirip dengan oklusi trifurkasio dengan tambahan infark
arteri media pada jaras motorik pada kapsula interna yang
menghasilkan parese kontra lateral lesi pada wajah,
lengan, tangan dan tungkai.

Arteri karotis Interna Transient monocular blindness. Oklusi arteri karotis


dapat asimptomatik. Oklusi symptomatik menyebabkan
syndrome yang mirip dengan arteri serebri media
(hemiplegi kontralateral, defisit hemisensorik dan
homonimus hemianopsia, afasia pada hemisfer
dominan)

Arteri Serebri posterior Homonim hemianopia kontralateral lapangan pandang


dengan macular spared, abnormalitas okuler, parese N
III, internuklear Opthalamoplegi, deviasi mata ke
vertical. Oklusi di lobus occipital terutama pada
hemisfer dominan pasien dapat mengalami afasia
anomik. Aleksia tanpa agraphia, ataupun agnosia visual.
Dapat pula terjadi sindrom diskoneksi korpus kallosum.

Infark kedua hemisfer arteri serebri posterior


menyebabkan kebutaan kortikal, gangguanmemori,
prosopagnosia (gangguan mengenal wajah yang
familiar), juga beberapa gangguan prilaku.

a. Cabang pedunkulus Sindroma weber: kelemahan wajah dan ekstremitas


arteri serebri posterior kontralateral, parese N.III ipsilateral
proksimal
b. Cabang tegmntum Parese N III ipsilateral ataksia tungkai kontra lateral,
paramedian arteri hemiballismus dan choreoathetosis
serebri posterior
Cabang arteri basilaris

a. Cabang distal arteri Hemiparese kontralateral, parese N XII ipsilateral,


vertebralis gangguan sensorik kontralateral

b. PICA (posterior Sindrom Wellenberg:


inferior cerebellar
Ataksia tungkai ipsilateral, hilangnya rasa eksteroseptif
arteri)
ipsilateral wajah dan kontralateral ekstremitas, sindrom
horner ipsilateral, vertigo, nistagmus, suara parau,
disfagia, hiccup.

c. Arteri perforantes pada Hemiparese kontralateral, diartia, kadang ataksia


pons paramedia kontralateral, ditambah dengan: parese N.VII dan N VIII
ipsilateral, gaze paresis (infark inferior) atau parese N
VII kontralateral, internuklear opthalmoplegia (infark
superior)

d. AICA (anterior Ataksia ipsilateral, hilangnya sensasi ipsilateral wajah


inferior cerebellar dan kontra lateral ekstremitas, vertigo, nistagmus, tuli
arteri) dan tinnitus, parese N VII, sindroma horner ipsilateral

e. SCA (Superior Ataksia ipsi lateral, diartria, hilangnya sensorik


cerebellar arteri) dan kontralateral, sindroma horner ipsilateral,
cabang choreoathetosis ipsilateral, tuli ipsilateral
sirkumferensial longus

VIII. Penegakan diagnosis


Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran,
serta faktor risiko.7
Tabel 3. perbedaan stroke hemoragik dan nonhemoragik (iskemik)
Gejala klinis Perdarahan Perdarahan Stroke
Intraserebral Subarakhnoid Nonhemoragik
(PIS) (PSA) (SNH)
Gejala deficit Berat Ringan Berat/ringan
fokal
Awitan Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
(onset)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada
Muntah pada Sering Sering Tidak, kecuali lesi
awalnya di batang otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering
Kaku kuduk Jarang Biasa ada Tidak ada
Kesadaran Biasa hilang Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
Hemiparesis Sering sejak awal Awal tidak ada Sering sejak awal
Deviasi mata Bias ada Jarang Mungkin ada
Likuor Sering berdarah Berdarah Jernih

Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri,


dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat
jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada
gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen,
kulit dan ekstremitas. 7
Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik,
sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala
stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health
Stroke Scale). 7
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
seperti8:

Pemeriksaan laboratorium darah yang terdiri dari hemoglobin, hematocrit,
eritrosit, leukosit, hitung jenis, trombosit, laju endap darah, PT dana PTT,
agregasi trombosit, fibrinogen, gula darah, profil lipid dan kolestrol, serta
asam urat.

EKG dan ekokardiografi untuk mencari pencetus stroke akibat penyakit
jantung.

Pungsi lumbal (sesuai indikasi)

Foto toraks

CT scan/MRI kepala
Terdapat beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis stroke hemoragik atau iskemik.
Untuk mengetahui hal tersebut, dari anamnesa dapat kita gunakan
skor Siriraj atau skor Gajah mada.
Tabel 4. Skor stroke siriraj8,9

Skor Stroke Siriraj

Gejala/tanda Penilaian Indeks


Derajat Kesadaran (0) Kompos mentis X 2,5

(1) Somnolen
(2) Sopor/koma

Muntah (0) Tidak ada X2

(1) Ada

Nyeri kepala (0) Tidak ada X2

(1) Ada

Tekanan darah Diastolik X 0,1

Ateroma (0) Tidak ada X3

(1) Salah satu atau lebih: DM,


angina, penyakit pembuluh
darah.

Skor >1 : Perdarahan Supratentorial

Skor < -1 : Infark Serebri

Tabel 5. Skor stroke gajah mada8


Penurunan Nyeri kepala Babinski Jenis stroke
kesadaran

+ + + Perdarahan

+ - - Perdarahan

- + - Perdarahan

- - + Iskemik

- - - Iskemik

IX. Tatalaksana7
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
a. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat
pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat,
sistematik, dan cermat.
b. Terapi Umum
 Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
 Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%.
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien
yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
 Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi
oksigen.
 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
 Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan
untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan
cairan dan nutrisi.
 Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah.
 Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin
dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan
darah sistolik berkisar 140 mmHg.
 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah serangan stroke iskernik.
 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi).
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia
harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi.
 Pemeriksaan Awal Fisik Umum
 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor
iii. Keparahan hemiparesis
 Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
 Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis
pada hari-hari pertama setelah serangan stroke
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.
 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi:
i. Tinggikan posisi kepala 200 – 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4
- 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB
i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi
naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction,
bucking ventilator. Agen nondepolarized seperti vencuronium atau
pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada
ganglion lebih baik digunakan. Pasien dengan kenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain
sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak
dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat
diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke
iskemik serebelar.
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang
menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
 Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi
stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan
mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
 Pengendalian Kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit.
 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa
kejang tidak dianjurkan.
 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan .
 Pengendalian Suhu Tubuh
 Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya.
 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC atau 37,5 oC
(ESO Guideline).3
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis.
 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.

Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat


1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari
ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah
lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa
dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali
pada keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
 Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
 Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
 Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin
K pada pasien yang mendapat warfarin.
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus,
komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan.
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman .
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur
antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin
subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan
Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu diperhatikan.
Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan, penggunaan
stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah thrombosis
vena dalam.
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi
insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat
(<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa
10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien
karena dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasiintermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI,
DupleksCarotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain
sesuai denganindikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut


Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin
tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada
sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam
pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan
ESO 2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut
agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD)
>120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi
trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan
TDD <110 mmHg. Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS
<180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA.
Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,
nikardipin, atau diltiazem intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200 mmHg
atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-
hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP
110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010,
penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman.
Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau
dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk
mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan
ulang. Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada
pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga
TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan
sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal
ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya
kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.
j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini
menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat
dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal
tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.
l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target
organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal
ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-
25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

Penatalaksanaan Stroke Iskemik


1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan
diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik.
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak
direkomendasikan.
5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau memperbaiki
keluaran setelah stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai
pengobatan untuk pasien dengan stroke iskemik akut.
b. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita dengan
stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi
perdarahan intracranial.
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan.
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke
iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik
akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis
berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian
heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang tidak dapat
terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas.
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut.
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut
pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena.
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan.
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan.
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut, tidak dianjurkan, kecuali pada pasien dengan indikasi
spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau
recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah
kejadian.
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa tidak dianjurkan.
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak
dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut.
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut.
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki
aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan
kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat.
11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat
mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan.
Tindakan endovascular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga
tidak dianjurkan.
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif,
sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin sampai saat ini
masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada
stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan
dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS
(International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada
penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian
Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di
Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut berupa
perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index.
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui
sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian
The International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis
(ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain kontrasepsi oral
(54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa
infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%),
gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-
obatan (7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik
termasuk cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST
diberikan secara komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik, terapi
simptomatik, dan terapi penyakit dasar. Pemberian terapi UFH atau LMWH
direkomendasikan untuk diberikan, walaupun terdapat infark hemoragik.
Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan selama 3-6 bulan,
diikuti dengan terapi antiplatelet.
Terapi Spesifik Stroke Akut
Prosedur Aplikasi Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut.

Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara


keuntungan dan kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rTPA
secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan
sel serebral yang bermakna. Pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang
kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan
(awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam pemberian intraarterial).

1. Kriteria inklusi
 Usia > 18 tahun
 Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas
 Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam, AHA guideline 2007 atau
<4,5 jam, ESO 2009)
 Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT-Scan
 Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan resiko yang
mungkin timbul dan harus ada persetujuan secara tertulis dari penderita
atau keluarga untuk dilakukan terapi rTPA
2. Kriteria eksklusi
 Usia>80 tahun
 Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau perburukan defisit
neurologi yang berat
 Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan
 Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir
 Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri
 Kejang pada saat onset stroke
 Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal
 Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya
 Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik
 Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu
sebelumnya
 Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius dalam 3 minggu
sebelumnya
 Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg
 Glukosa darah <50 mg/dl atau > 400 mg/dl
 Gejala perdarahan subarachnoid
 Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal
dalam 1 minggu sebelumnya
 Jumlah platelet <100.000/mm3
 Mendapat terapi heparin dalam 48 jam yang berhubungan dengan
peningkatan aPTT
 Gambaran klinis adanya perikarditis pascainfark miokard
 Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya
 Wanita hamil
 Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral atau bila sedang dalam
terapi antikoagulan hendaklah INR < 1,7.
3. Golden hour untuk rencana pemberian rTPA (< 60 menit)
 Pasien tiba di IGD dengan diagnosis stroke
 Evaluasi dan pemeriksaan pasien oleh triage (termasuk anamnesis,
permintaanlaboratorium dan menilai NIHSS) waktu < 10 menit
 Didiskusikan oleh tim stroke (termasuk keputusan dilakukan
pemberianrTPA) waktu < 15 menit
 Dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala, waktu <25 menit
 Hasil pemeriksaan CT-Scan kepala dan laboratorium, waktu < 45 menit
 Pemberian rTPA (bila pasien memenuhi kriteria inklusi), waktu < 60 menit

4. Protokol penggunaan rTPA intravena


 Infus Rtpa 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) dalam 60 menit dengan 10%
dosisdiberikan sebagai bolus dalam 1 menit
 Masukkkan pasien ke ICU atau unit stroke untuk pemantauan
 Lakukan penilaian neurologi setiap 15 menit selama pemberian infus
dalamsetiap 30 menit setelahnya selama 6 jam berikutnya, kemudian tiap
jam hingga24 jam setelah terapi
 Bila terdapat nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, atau muntah,
hentikaninfus (bila rTPA sedang dimasukkan) dan lakukan CT Scan segera
 Ukur tekanan darah setiap 15 menit selama 2 jam pertama dan setaip 30
menitselama 6 jam berikutnya, dan kemudian setiap jam hingga 24 jam
setelahterapi
 Naikkan frekuensi pengukuran tekanan darah bila tekanan darah sistolik >
180mmHg atau bila diastolik > 105 mmHg; berikan medikasi
antihipertensi untukmempertahankan tekanan darah pada level ini atau
level dibawahnya
 Tunda pemasangan pipa nasogastrik, kateter urin atau kateter
tekananintraarterial
 Lakukan CT Scan untuk follow up dalam 24 jam sebelum pemberian
antikoagulan atau antiplatelet
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari
24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun
infeksi.
Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah ke suatu bagian otak tiba – tiba
terhenti oleh karena adanya oklusi. Penyakit serebrovaskler iskemik disebabkan oleh
thrombosis, emboli dan hipoperfusi fokal, sehingga dapat menyebabkan penurunan
atau gangguan pada cerebral blood flow (CBF) yang mempengaruhi fungsi saraf
karena kurangnya glukosa dan oksigen ke otak.
Gambaran klinisnya tergantung pada otak yang mengalami iskemia, oleh
sebab itu kemampuan untuk mengidentifikasi topis neurologis berdasarkan deficit
yang terjadi sangat diperlukan. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium darah, EKG, foto toraks, dan CT scan.
Selain itu juga terdapat beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis stroke hemoragik atau iskemik yaitu
kor Siriraj atau skor Gajah mada.
Tatalaksana pada kasus stroke dibagi menjadi terapi umum dan terapi khusus
untuk stroke iskemik. Terapi umum stroke dibedakan menjadi terapi umum di IGD
dan terapi umum di Ruang Rawat. Terapi umum di IGD terdiri dari stabilisasi jalan
nafas dan pernafasan, stabilisasi hemodinamik, pengendalian peningkatan tekanan
intrakranial, pengendalian kejang, pengendalian suhu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. 2011. CDK 185. 38(4):


247-248.
2. Kanyal N. The Science of Ischemic Stroke: Pathophysiology & Pharmacologi
Treatment. International Journal of Pharma Research & Review. 2015.
4(10):65-66.
3. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013. Jakarta:
Kemenkes RI
4. Ginsberg L. Lectures note Neurologi. Edisi 8. 2008. Jakarta : Erlangga.
5. Simon R, Grenber D, Aminoff M. Clinical Neurology. 2009. London : Lange
Medical Books/McGraw-Hill
6. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. 2011. Surabaya:
Airlangga University Pers.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke. 2011 Bagian
Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
8. Dewanto G, Suwini WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. 2011. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
9. Widiastuti P, Nuartha AABN. Sistem skoring diagnostik untuk stroke: Skor
Siriraj. 2015. CKD-233. 42 : 10

Anda mungkin juga menyukai