Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Prevalensi diabetes mellitus (DM) meningkat diseluruh dunia, terutama di


kawasan Asia. Jumlah pasien DM di dunia diperkirakan meningkat menjadi 366
juta kasus pada tahun 2030. Prevalensi DM di Indonesia mencapai 6,6% pada
laki-laki dan 7,1% pada perempuan, dengan prevalensi untuk total populasi
sebesar 6,9% .
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa DM akan
meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) tiga kali lebih besar dari populasi
normal. Peningkatan kasus DM merupakan faktor resiko untuk terinfeksi TB, hal
ini akan memiliki dampak yang penting dalam pengendalian TB dan perawatan
pasien dengan komorbid DM TB. Sejumlah orang dengan TB atau DM tidak
terdiagnosis atau terlambat didiagnosis. Pasien DM yang didiagnosis TB memiliki
risiko kematian lebih tinggi selama pengobatan TB dan risiko kambuh setelah
selesai pengobatan .
Indonesia menjadi negara dengan pasien TB tertinggi ke-3 pada tahun 2007
dan menjadi yang kelima pada tahun 2010. Kecenderungan penurunan kasus TB
secara global belum mencapai target ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
tambahan untuk meningkatkan deteksi TB dan kesuksesan terapi melalui
peninjauan pada populasi khusus dengan faktor risiko TB, di antaranya DM .
Banyaknya pasien DM yang mengalami TB dapat meningkatkan
morbiditas maupun mortalitas TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk
diketahui lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, maupun
pengobatan kasus TB yang terjadi pada pasien DM.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah makalah ini antara lain:

1. Bagaimana TB pada Ibu Hamil ?


2. Bagaimana DM pada Ibu Hamil ? ?
3. Bagaimana Hubungan TB pada Ibu Hamil dengan DM ?
4. Apa saja Manifestasi klinis TB pada Ibu Hamil dengan DM ?
5. Bagaimana Pemeriksaan Radiologi Pasien TB pada Ibu Hamil dengan DM ?
6. Bagaimana Pemeriksaan Sputum BTA Pasien TB pada Ibu Hamil dengan
DM ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan Pasien TB pada Ibu Hamil dengan DM ?

1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan masalah makalah ini antara lain:

1. Mengetahui Bagaimana TB pada Ibu Hamil


2. Mengetahui Bagaimana DM pada Ibu Hamil
3. Mengetahui Bagaimana Hubungan TB pada Ibu Hamil dengan DM
4. Mengetahui Apa saja Manifestasi klinis TB pada Ibu Hamil dengan DM
5. Mengetahui Bagaimana Pemeriksaan Radiologi Pasien TB pada Ibu Hamil
dengan DM
6. Mengetahui Bagaimana Pemeriksaan Sputum BTA Pasien TB pada Ibu
Hamil dengan DM
7. Mengetahui Bagaimana Penatalaksanaan Pasien TB pada Ibu Hamil dengan
DM

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TB pada Ibu Hamil


Efek TBC pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe,
letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan
antituberculosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status
imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnose dan pengobatan TBC.
Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal
merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal.
Ussia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberculosa
merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam
kehamilan TBC. Jika pengobatan tuberculosis diberikan awal kehamilan,
dijumpai dengan hasil yang sama dengan pasien yang tidak hamil, sedangkan
diagnose dan perawatan terlambat dikaitkan dengan meningkatnya resiko
morbiditas obstetric sebanyak 4x lipat dan meningkatnya resiko preterm labor
sebanyak 9x lipat. Status social ekonomi yang jelek, hypoproteinaemia, anemia
dihubungkan ke morbiditas ibu. Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis
dimana peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru
bagian bawah mengalami kolaps yang disebut pneuperitoneum. Pada awal abad
20, induksi aborsi direkomendasikan pada wanita hamil dengan TBC.
Selain paru-paru, kuman TBC juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti
usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga
organ reproduksi, kemungkinan akan mempengaruhi tingkat kesuburan
(fertilitas) seseorang. Bahkan, TBC pada samping kiri dan kanan rahim bisa
menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap
TB atau yang pernah mengidap TB,khususnya wanita usia reproduksi.Jika
kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita bisanya wanita tersebut
mengalami kesulitan untuk hamil karenauterus tidak siap menerima hasil
konsepsi. Bahwa TB (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas
seorang wanita dikemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium

3
dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Tapitidak berarti kesempatan memiliki
anak menjadi tertutup sama sekali,kemungkinan untuk tetap hamil masih tetap
ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB
mengobati TB nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun jika sudah terlanjur hamil
maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.

2.2 DM pada Ibu Hamil


Kehamilan yang disertai diabetes melitus merupakan kondisi yang berisiko
tinggi, oleh karena itu perlu penanganan dan pendekatan multidisiplin untuk
mencapal hasil akhir yang baik. Perawat yang memberikan asuhan keperawatan
kepada wanita diabetik yang sedang hamil harus menerima respons fisiologis
normal terhadap kehamilan dan perubahan metabolism akibat diabetes, perawat
juga harus mengetahui implikasi- implikasi psikososial kehamilan diabetik,
sehingga ia dapat mengarahkan wanita yang sedang dalam perencanaan
pengimplementasian dan pengevaluasian terhadap wanita dan keluarganya.
Disebut diabetes gestasional bila gangguan toleransi glukosa yang terjadi
sewaktu hamil kembali normal dalam 6 minggu setelah persalinan. dianggap
diabetes mellitus (jadi bukan gestasi) bila gangguan toleransi glukosa menetap
setelah persalinan. Pada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama
masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali
didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga.
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi
glukosa berbagai tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa
membedakan apakah penderita perlu mendapat insulin atau tidak. Pada
kehamilan trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65 % dan hal ini
merupakan respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Sebagian
besar DMG asimtomatis sehingga diagnosis ditentukan secara kebetulan pada
saat pemeriksaan rutin. Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi
karbohidrat dari seorang wanita yang diketahui pertama kali ketika dia sedang
hamil. Diabetes gestasional yang terjadi karena kelainan yang dipicu oleh
kehamilan,diperkirakan karena terjadinya perubahan pada metabolism glukosa.
Teori yang lain mengatakan bahwa diabetes tipe 2 ini disebut sebagai
"unmasked" ataubaru ditemukan saat hamil dan patut dicurigai pada wanita yang
4
memiliki ciri gemuk,riwayat keluarga diabetes,riwayat melahirkan bayi> 4
kg,riwayat bayi lahir mati, dan riwayat berulang. Angka lahir mati terutama pada
diabetes yang tidak terkendali dapat terjadi 10 kali dari normal.

2.3 Hubungan TB pada Ibu Hamil dengan DM


Hubungan antara TB pada Ibu Hamil dengan DM sudah lama diketahui.
Orang dengan sistem imun rendah karena penyakit kronik seperti DM memiliki
risiko lebih tinggi berkembangnya TB laten menjadi TB aktif. Pasien DM
memiliki 2 sampai 3 kali risiko untuk menderita TB dibanding orang tanpa DM.
Sistem kekebalan tubuh bawaan terganggu oleh tingginya tingkat glukosa darah.
Kadar hemoglobin terglikasi (HbA 1C) ≥ 7% memiliki risiko relatif TB sebesar 3
kali dibanding dengan mereka dengan HbA 1C <7% .
Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti
penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti yang terjadi pada
retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati dari saraf otonom dapat berupa
hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi penurunan
elastisitas recoil paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan
peningkatan endogen produksi karbondioksida .
Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat kegagalan sistem
pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi pada epitel
pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler
vaskular paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi
oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan
mekanisme pertahanan melawan infeksi .
Peningkatan risiko TB aktif pada penderita DM diduga akibat dari gangguan
sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman
Mycobacterium TB pada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien
tersebut .
Terdapat sejumlah hipotesis yang menjelaskan meningkatnya insiden TB
paru pada pengidap diabetes adalah mengenai peran sitokin sebagai suatu
molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB.
5
Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada
pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.
Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh
defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al. mengemukakan
adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur pada pasien TB paru aktif.
Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara
pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur
yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM, seperti yang ditemukan
dalam penelitian ini, dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya
perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM .
Kadar sitokin TNF- alfa dan IFN- g meningkat pada pasien dengan TB pada
ibu hamil dengan DM, kedua sitokin ini penting untuk aktivasi makrofag dan
membatasi infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa respons sel imun selular
menurun dan membutuhkan rangsangan yang lebih tinggi untuk optimalisasi
respons imun.

2.4 Manifestasi Klinis TB pada Ibu Hamil dengan DM


Pada pasien TB pada Ibu Hamil yang juga menderita DM dapat ditemukan
gejala, seperti batuk lebih dari 2 minggu, batuk berdarah, sesak nafas, demam,
keringat malam, dan penurunan berat badan, namun gejala cenderung lebih
banyak dan keadaan umum lebih buruk dan memiliki risiko penularan TB yang
lebih tinggi. Infeksi TB paru dengan DM dapat memberikan gambaran infiltrat di
lobus manapun daripada pola klasik di bagian segmen apeks posterior. Hal ini
didukung oleh beberapa laporan penelitian oleh Park dkk. dinyatakan bahwa
tidak terdapat perbedaan gejala antara pasien TB yang menderita DM dan non-
DM. Alisjahbana dkk. Dalam penelitiannya di Indonesia menunjukkan bahwa
pasien TB dengan DM sebelum mendapatkan terapi memiliki gejala yang lebih
banyak dibandingkan pasien TB tanpa DM. Wang et al. menemukan bahwa
pasien DM dengan TB paru menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap
demam, hemoptisis, pewarnaan sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi,
kavitasi, dan lapangan paru bawah, serta angka kematian yang lebih tinggi.

6
2.5 Pemeriksaan Radiologi Pasien TB pada Ibu Hamil dengan DM
Pada beberapa penelitian gambaran radiologi penderita TB paru pada ibu
hamil dengan DM telah dideskripsikan sebagai gambaran yang atipikal,
kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran kavitas. Park
dkk. Menemukan bahwa terdapat perbedaan gambaran foto toraks antara pasien
DM dan non-DM dimana Pasien didapatkan kavitas lebih banyak pada pasien
DM yang terdiagnosis TB . Patel dkk. pada penelitiannya di India melaporkan
bahwa didapatkan 84% pasien TB dengan DM yang menunjukkan gambaran TB
pada lobus bawah dan hanya 16% pada bagian atas paru. 32% menunjukkan
keterlibatan kedua bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru. Perbedaan
gambaran radiologis tersebut disebabkan oleh karena penderita DM memiliki
gangguan pada imunitas selular dan disfungsi sel PMN.

2.6 Pemeriksaan Sputum BTA Pasien TB pada Ibu Hamil dengan DM


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM memiliki
persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi BTA lebih lama dan lebih
cenderung mengalami resistensi teradap OAT. Hal ini menunjukkan bahwa
penderita TB dengan DM sangat mungkin dalam kondisi yang lebih parah dan
memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi.
Alisjahbana dkk. mendapatkan bahwa setelah terapi TB selama 6 bulan,
ditemukan hasil kutur yang masih positif 7,65 kali lebih tinggi pada pasien yang
juga menderita DM dibandingkan penderita tanpa DM. penelitian ini
memberikan kesimpulan peningkatan risiko waktu konversi untuk kultur sputum
pada penderita TB dengan DM .

2.7 Penatalaksanaan Pasien TB pada Ibu Hamil dengan DM


2.7.1 Masa kehamilan trimester I
- Kurangi aktivitas fisik (bedrest); Terpenuhinya kebutuhan nutrisi (tinggi
kalori tinggi protein); Pemberian vitamin dan Fe; Dukungan keluarga &
kontrol teratur.
- Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau terakhir dan
segera diperiksa agar tidak terjadi penularan pada orang-orang
disekitarnya. Dahulu pasien tuberkulosis paru dengan kehamilan harus
7
dirawat dirumah sakit, tetapi sekarang dapat berobat jalan dengan
pertimbangan istirahat yang cukup, makanan bergizi, mencegah
penularan pada keluarga dll.
- Pasien sejak sebelum kehamilan telah menderita TB paru 􀃆 Obat
diteruskan tetapi penggunaan rifampisin di stop.
- Bila pada pemeriksaan antenatal ditemukan gejala klinis tuberkulosis
paru (batuk-batuk/batuk berdarah, demam, keringat malam, nafsu makan
menurun, nyeri dada,dll) maka sebaiknya diperiksakan PPD (Purified
Protein Derivate), bila hasilnya positif maka dilakukan pemeriksaan foto
dada dengan pelindung pada perut, bila tersangka tuberkulosis maka
dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali dan biakan BTA. Diagnosis
ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan kelainan bakteriologis, tetapi
diagnosis dapat juga dengan gejala klinis ditambah kelainan radiologis
paru
- Lakukan pemeriksaan PPD 􀃆 bila PPD (+) 􀃆 lakukan pemeriksaan
radiologis dengan pelindung pada perut :
1. Bila radiologi (-) 􀃆 Berikan INH profilaksis 400 mg selama 1 tahun
2. Bila radiologi suspek TB 􀃆 periksa sputum 􀃆 sputum BTA (+)
 INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2 kali
seminggu 5-8 bln
 Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan
 Rifampisin sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester
pertama
2.7.2 Masa Kehamilan Trimester II dan III
Pada penderita TB paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak
perlu dapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif, hendaknya jangan
dicampurkan dengan wanita hamil lainnya pada pemeriksaan antenatal dan
ketika mendekati persalinan sebaiknya dirawat di rumah sakit; dalam kamar
isolasi. Gunanya untuk mencegah penularan, untuk menjamin istirahat dan
makanan yang cukup serta pengobatan yang intensif dan teratur. Dianjurkan
untuk menggunakan obat dua macam atau lebih untuk mencegah timbulnya
resistensi kuman. Untuk diagnosis pasti dan pengobatan selalu bekerja sama

8
dengan ahli paru-paru.3-5 Penatalaksanaan sama dengan masa kehamilan
trimester pertama tetapi pada trimester kedua diperbolehkan menggunakan
rifampisin sebagai terapi.
Medikamentosa: (Dilakukan atas konsultasi dengan Internest)
 PPD (+) tanpa kelainan radiologis maupun gejala klinis:
- INH 400 mg selama 1 tahun
 TBC aktif (BTA +) :
- Rifampisin 450-600 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 600 mg 2x
seminggu selama 5-8 bulan
- INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2x seminggu
selama 5-8 bulan
􀃆 Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan
2.7.3 Masa Persalinan
Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selama kehamilan
biasanya masuk kedalam persalinan dengan proses tuberkulosis yang sudah
tenang. Persalinan pada wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak
aktif lagi, dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang
masih aktif, penderita ditempatkan dikamar bersalin tertentu ( tidak banyak
digunakan penderita lain). Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat
misalnya dengan tindakan ekstraksi vakum atau forsep, dan sedapat mungkin
penderita tidak mengedan, diberi masker untuk menutupi mulut dan
hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya. Sedapat
mungkin persalinan berlangsung pervaginam. Sedangkan sectio caesarea
hanya dilakukan atas indikasi obstetrik dan tidak atas indikasi tuberkulosis
paru.
2.7.4 Masa Nifas
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pengaruh kehamilan terhadap
tuberkulosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal tersebut mungkin
karena faktor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan
bayinya dll. Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal
persalinan berjalan lancar, tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Cegah
terjadinya perdarahan pospartum seperti pada pasien-pasien lain pada

9
umumnya. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi
selama 6-8 jam, kemudian penderita dapat dipulangkan langsung. Diberi obat
uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta nasihat perawatan masa nifas
yang harus mereka lakukan. Penderita yang tidak mungkin dipulangkan,
harus dirawat di ruang isolasi.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penderita dengan sistem imun rendah karena penyakit kronik seperti DM memiliki
risiko lebih tinggi berkembangnya TB laten menjadi TB aktif. Pasien DM memiliki 2
sampai 3 kali risiko untuk menderita TB dibandingkan orang tanpa DM. Penapisan TB
pada pasien DM juga harus dilakukan terutama pada Negara dengan prevalensi TB yang
tinggi seperti Indonesia. Diperlukan evaluasi rutin penderita DM, dimana bila ditemukan
gejala seperti batuk > 2 minggu, demam yang terus menerus, penurunan berat badan dan
keringat malam perlu dievaluasi kemungkina terinfeksi TB. Penderita TB dengan DM
memeiliki gejala yang sama diabandingkan penderita TB tanpa DM, namun gejala
cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk dan memiliki risiko penularan
TB yang lebih tinggi. Gambaran radiologi penderita TB paru dengan DM menunjukan
gambaran yang atipikal, kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran
kavitas. Penderita DM dengan TB memiliki persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi
BTA lebih lama dan lebih cenderung mengalami resistensi teradap OAT.

3.2 Saran
Diharapkan kepada bagi mahasiswa/i dapat menambah wawasan dan pengetahuan
khususnya dengan masalah keperawatan tentang penyakit TB pada Ibu Hamil dengan
DM dan juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana B, Crevel RV, Sahiratmadja E, Heijer MD, Maya A, Istriana E, et all. Diabetes
mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J Tuber Lung Disc. 2006;
10(6): 696-700.

Wijiyanto A, Burhan E, Nawas A, Rochismandoko. Pulmonary tuberculosis in patients with


diabetes mellitus type 2. J Respir Indo. 2015; 35 : 1-11

Restrepo BI. Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics: Renewal of old
acquaintances.Clin Infect Dis. 2007; 45:436-8.

Jeon CY, Murray BM. Diabetes mellitus increases the risk of active tuberculosis:
Asystematic review of 13 observational studies. Plos Med.2008;5:e152.

Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: An appraisal. Ind J Tub. 2000; 47:3-8.

Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff THM, et al.
The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of
pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis. 2007; 45:428-35.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI; 2006. 16

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.

Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-20.

Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, Ven-Jongekrijg VD, Ottenhoff THM, Meer JWM,
et al. The role of interferon gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes
mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008;27:97-103.

Ellorriaga G, Pineda DR. Type 2 diabetes mellitus as a risk factor for tuberculosis. J Mycobac
Dis. 2014;4 :

12

Anda mungkin juga menyukai