PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Tapitidak berarti kesempatan memiliki
anak menjadi tertutup sama sekali,kemungkinan untuk tetap hamil masih tetap
ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB
mengobati TB nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun jika sudah terlanjur hamil
maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.
6
2.5 Pemeriksaan Radiologi Pasien TB pada Ibu Hamil dengan DM
Pada beberapa penelitian gambaran radiologi penderita TB paru pada ibu
hamil dengan DM telah dideskripsikan sebagai gambaran yang atipikal,
kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran kavitas. Park
dkk. Menemukan bahwa terdapat perbedaan gambaran foto toraks antara pasien
DM dan non-DM dimana Pasien didapatkan kavitas lebih banyak pada pasien
DM yang terdiagnosis TB . Patel dkk. pada penelitiannya di India melaporkan
bahwa didapatkan 84% pasien TB dengan DM yang menunjukkan gambaran TB
pada lobus bawah dan hanya 16% pada bagian atas paru. 32% menunjukkan
keterlibatan kedua bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru. Perbedaan
gambaran radiologis tersebut disebabkan oleh karena penderita DM memiliki
gangguan pada imunitas selular dan disfungsi sel PMN.
8
dengan ahli paru-paru.3-5 Penatalaksanaan sama dengan masa kehamilan
trimester pertama tetapi pada trimester kedua diperbolehkan menggunakan
rifampisin sebagai terapi.
Medikamentosa: (Dilakukan atas konsultasi dengan Internest)
PPD (+) tanpa kelainan radiologis maupun gejala klinis:
- INH 400 mg selama 1 tahun
TBC aktif (BTA +) :
- Rifampisin 450-600 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 600 mg 2x
seminggu selama 5-8 bulan
- INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2x seminggu
selama 5-8 bulan
Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan
2.7.3 Masa Persalinan
Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selama kehamilan
biasanya masuk kedalam persalinan dengan proses tuberkulosis yang sudah
tenang. Persalinan pada wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak
aktif lagi, dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang
masih aktif, penderita ditempatkan dikamar bersalin tertentu ( tidak banyak
digunakan penderita lain). Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat
misalnya dengan tindakan ekstraksi vakum atau forsep, dan sedapat mungkin
penderita tidak mengedan, diberi masker untuk menutupi mulut dan
hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya. Sedapat
mungkin persalinan berlangsung pervaginam. Sedangkan sectio caesarea
hanya dilakukan atas indikasi obstetrik dan tidak atas indikasi tuberkulosis
paru.
2.7.4 Masa Nifas
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pengaruh kehamilan terhadap
tuberkulosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal tersebut mungkin
karena faktor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan
bayinya dll. Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal
persalinan berjalan lancar, tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Cegah
terjadinya perdarahan pospartum seperti pada pasien-pasien lain pada
9
umumnya. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi
selama 6-8 jam, kemudian penderita dapat dipulangkan langsung. Diberi obat
uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta nasihat perawatan masa nifas
yang harus mereka lakukan. Penderita yang tidak mungkin dipulangkan,
harus dirawat di ruang isolasi.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penderita dengan sistem imun rendah karena penyakit kronik seperti DM memiliki
risiko lebih tinggi berkembangnya TB laten menjadi TB aktif. Pasien DM memiliki 2
sampai 3 kali risiko untuk menderita TB dibandingkan orang tanpa DM. Penapisan TB
pada pasien DM juga harus dilakukan terutama pada Negara dengan prevalensi TB yang
tinggi seperti Indonesia. Diperlukan evaluasi rutin penderita DM, dimana bila ditemukan
gejala seperti batuk > 2 minggu, demam yang terus menerus, penurunan berat badan dan
keringat malam perlu dievaluasi kemungkina terinfeksi TB. Penderita TB dengan DM
memeiliki gejala yang sama diabandingkan penderita TB tanpa DM, namun gejala
cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk dan memiliki risiko penularan
TB yang lebih tinggi. Gambaran radiologi penderita TB paru dengan DM menunjukan
gambaran yang atipikal, kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran
kavitas. Penderita DM dengan TB memiliki persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi
BTA lebih lama dan lebih cenderung mengalami resistensi teradap OAT.
3.2 Saran
Diharapkan kepada bagi mahasiswa/i dapat menambah wawasan dan pengetahuan
khususnya dengan masalah keperawatan tentang penyakit TB pada Ibu Hamil dengan
DM dan juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.
11
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana B, Crevel RV, Sahiratmadja E, Heijer MD, Maya A, Istriana E, et all. Diabetes
mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J Tuber Lung Disc. 2006;
10(6): 696-700.
Restrepo BI. Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics: Renewal of old
acquaintances.Clin Infect Dis. 2007; 45:436-8.
Jeon CY, Murray BM. Diabetes mellitus increases the risk of active tuberculosis:
Asystematic review of 13 observational studies. Plos Med.2008;5:e152.
Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: An appraisal. Ind J Tub. 2000; 47:3-8.
Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff THM, et al.
The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of
pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis. 2007; 45:428-35.
Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-20.
Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, Ven-Jongekrijg VD, Ottenhoff THM, Meer JWM,
et al. The role of interferon gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes
mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008;27:97-103.
Ellorriaga G, Pineda DR. Type 2 diabetes mellitus as a risk factor for tuberculosis. J Mycobac
Dis. 2014;4 :
12