Anda di halaman 1dari 5

A.

Asal Mula Hukum Adat


Istilah hukum adat berasal dari terjemahan dari perkataan “adatrecht” yang pertama kali
diperkenalkan oleh Prof.Dr.C.Snouck Hurgronje seorang ahli pengetahuan islam dalam bukunya
De Atjehers (orang-orang Aceh) pada tahun 1893. Bahwa hukum adat sebagai adats ‘die recht
gevolgenhebben’ artinya adat yang mempunyai sanksi hukum. Berlainan dengan Prof. Cornelius
van Vollenven yang dikenal sebagai penemu hukum adat dan penulis buku Het Adatrecht van
Nederlands Indie.[1] Dengan adanya istilah ini, maka pemerintahan colonial hindia belanda pada
akhir tahun 1929 memulai secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.
Istilah hukum adat sebenarnya tidak terkenal dalam masyarakat, dan masyarakat hanya
mengenal “adat” atau “kebiasaan”. Adat rech yang diterjemahkan menjadi hukum adat dapatkah
dialihkan menjadi hukum kebiasaan. Van dijk tidak menyetujui hukum kebiasaan sebagai
terjemahan adat recht dengan menggantikan hukum adat.
“ tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan
hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum
yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku
menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga di
inginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana
peraturam itu berasal. Maka hamper senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan
masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya”

B. Definisi hukum adat


1. Menurut yulies Tiena Masriani, S.H., M.Hum.
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai
sanksi dari pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan dengan kata lain, Hukum Adat adalah
adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.
Istilah hukum adat berasal dari terjemahan dari perkataan “adatrecht” yang pertama kali
diperkenalkan oleh Prof.Dr.C.Snouck Hurgronje seorang ahli pengetahuan islam dalam bukunya
De Atjehers pada tahun 1893. Bahwa hukum adat sebagai adats ‘die recht gevolgenhebben’ artinya
adat yang mempunyai sanksi hukum. Berlainan dengan Prof. Cornelius van Vollenven yang dikenal
sebagai penemu hukum adat dan penulis buku Het Adatrecht van Nederlands Indie.[2]
Berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak dalm penetapan (putusan-putusan) petugas
hukum, misalnya putusan kepala adat, putusan Hakim perdamaian desa, dan sebagainya sesuai
dengan lapangan kompetensinya masing-masing.
Di dalam pengambilan keputusan para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai
universal yang di pakai oleh para tetua adat, yaitu:
a. Asas gotong royong.
b. Fungsi social manusia dan milik dalam masyarakat
c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah)
d. Asas perwakilan dan permusyawaratan.

2. Menurut Ilhami Bisri, S.H., M.Pd.


Hukum adat adalah system aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal adat
kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati dan ditaati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa
Indonesia.
Berlakunya hukum adat di Indonesia diakui secara implisit oleh Undang-Undang Dasar 1945
melalui penjelasan umum, yang menjelaskan bahwa: “Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar
yang tertulis, sedangkan disampingnya Undang-Undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.”[3]
Sesuai dengan sifat dan ciri utama hukum adat yang tidak tertulis dalam arti tidak diundangkan
dalam bentuk perundang-undangan, hukum adat tumbuh dan berkembang serta berurat akar pada
kebudayaan tradisional sebagai perasaan hukum rakyat yang nyata (soerya, 1992:52) di dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.

3. Pendapat Para Ahli


Menurut definisi souck hurgronye, hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi.
Menurut Van vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi
orang-orang Bumi putera dan timur asing yang mempunyai pemaksa/sanksi dan tidak
dikodifikasikan.
Sedangkan menurut Prof soepomo, hukum adat sinonim dengan hukum tak tertulis atau hukum
yang tidak dibentuk oleh badan legislative (unstatutary law).

C. Sejarah Hukum Adat di Indonesia


Pra Kemerdekaan
1. Zaman kerajaan Hindu.
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di
daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek
moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.
Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu
serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina). Kerajaan-
kerajaan tersebut antara lain :
a. Sriwijaya – Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
Pusat pemerintahan : hukum agama Budha
Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia
b. Medang (Mataram)
Masa raja “Dharmawangsa” dikeluarkan suatu UU “Iwacasana – Jawa Kuno –
Purwadhigama. Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah
dibuat beberapa prasasti antara lain :
1.Prasasti Bulai (860 M)
2. Prasasti Kurunan (885 M)
3. Prasasti Guntur (907 M)
Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh “Airlangga” yang membagi
wilayah kerajaan atas Kerajaan Jonggala dan Kerajaan Kediri (Panjalu).
Zaman raja-raja “Airlangga”, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.
2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja
Zaman raja “Jayabaya” usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat:
1) Adanya balai pertemuan umum.
2) Bidang kehakiman, tidak dikenal hukuman siksa badan, kecuali kejahatan perampokan
dan pencurian.
3) Hukuman yang berlaku kebanyakan hukuman denda.
c. Zaman Singosari (Tumapel) – didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)
Raja yang terkenal “Prabu Kertaqnegara” yang menghina utusan Cina (Men Gici). Usaha
yang dilakukan terhadap hukum adat :
Mendirikan prasasti “Sarwadharma” yang melukiskan tentang adanya “Tanah Punpunan”, yaitu :
tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan suci yang statusnya dilepaskan dari kekuasaan
Thanibala atau kekuasaan sipil (masyarakat) dengan ganti rugi.
d. Zaman Majapahit – didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)
Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa
Jayawardhana), Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hukum
adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada. Usaha yang dilakukan :
1. Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal perkawinan,
peralihan kekuasaan, ketentaraan negara.
2. Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra).
3. Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”
Kesimpulan :
Secara zaman ini di mana kerajaan-kerajaan yang ada dipengaruhi oleh agama Hindu dan
sebagian kecil agama Budha. Hal ini terlihat adanya pembagian-pembagian kasta dalam bidang
pemerintahan dan peradilan.
Zaman ini berakhir dengan wafatnya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk
dengan raja terakhir Kertabumi (1478). Sejak saat itu kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Kerajaan
Demak.

Sebab-sebab runtuhnya kerajaan Majapahit :


a. Perpecahan diantara pemimpinnya.
b. Perang saudara dan perebutan kekuasaan.
2. Zaman Kerajaan Islam
a. Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap tempat
pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai imam dan bergelar
“Teuku/Tengku”.
b. Minangkabau dan Batak
Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari, sedang hukum
Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat dalam bidang perkawinan.
Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut, hukum agama/syara bersendi kitab Allah.
Di Batak yang terdiri dari berbagai suku seperti: Toba, Karo, Dairi, Simalungun, Angkola.
Masing-masing suku tetap pada hukum adat, karena menghormati Sisingamangaraja, tetapi berkat
Ompu Nommensen, agam Kristen juga ikut berpengaruh (jalan damai).
Secara umum, agama Islam dan Kristen di Batak hanya dalam hal kerohanian saja, tetapi
tetap dalam struktur kemasyarakatan hukum adat tetap dipakai. Kedudukan pejabat agama hanya
sebagai penyerta saja dalam pemerintahan desa, mengurus dan menyelenggarakan acara agama,
misalnya : perkawinan, perceraian dan sebagainya.
c. Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)
Masuknya agama Islam berasal dari :
1. Barat : Pedagang/mubaligh dari Aceh dan Minangkabau
2. Utara : Pedagang/mubaligh dari Aceh, Malaka dan Cina
3. Selatan : Pedagang/mubaligh dari Cirebon dan Banten.
Perkembangan terhadap hukum adat pada masa “Ratu Senuhun Seding”, hukum adat
dibukukan dalam bahasa Arab Melayu – UU Simbur Cahaya. Di dalamnya memuat istilah-istilah
yang berasal dari hukum Islam, seperti : Khatib Bilal.
Berdasarkan Tambo Minang : Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Minangkabau pernah
mengusahakan tambang emas di daerha Rejang Lebong (Bengkulu). Masuknya para mubaligh yang
berasal dari Minangkabau membawa pula pengaruh terhadap hukum adat dengan gari matrilineal –
daerah Semendo. (jadi menempatkan kedudukan wanita sebagai penguasa harta kekayaan dari
kerabatnya).
Di daerah Semendo dengan dianutnya garis keturunan matrilineal, telah membawa pengaruh
terhadap sistem kewarisan yang dipakai, yaitu Sistem kewarisan mayorat (Mayorat Erprecht),
dimana anak wanita tertua sebagai “tunggu tubang” atas harta kerabat yang tidak terbagi.
Sedangkan anak lelaki tertua disebut “payung jurai” yang bertugas harta pengurusan harta tersebut.
Di samping itu juga berlaku adat “kawin Semendo”, dimana suami setelah kawin menetap
di pihak istri.
d. Lampung
Masuknya Islam disini pada masa “Ratu Pugung” dimana puterinya yang bernama “Sinar
Alam” melangsungkan perkawinan dengan “Syarif Hidayat Fatahillah/sunan Gunung Jati”, setelah
jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan kekerabatan yang dianut adalah garis keturunan
laki-laki (patrilineal). Di mana laki-laki tertua (disebut “pun” – yang dihargai) – Kewarisan
Mayorat. Ia berhak dan berkewajiban melanjutkan orang tua.
e. Jawa
1) Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan Tuban
Penduduknya : Kota pantai – orang pendatang (Arab, Cina, Pakistan) dengan agama Islam.
adanya makam Maulana Malik Ibrahim. Penduduk asli : agama Hindu.
2) Jawa Tengah
BerdIrinya kerajaan Demak dengan raja Raden Patah. Dimana Masjid menjadi pusat
perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah yang terkenal adalah Raden Sa’id/Sunan
Kali Jogo. Pada masa “Pangeran Trenggana” dengan bantuan Fatahillah berhasil menduduki
Cirebon dan Banten.
3) Jawa Barat – kerajaan Pajajaran didirikan “Ratu purana”
Pelabuhan laut :
a) Banten
b) Kalapa (Sunda Kelapa)
Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada Demak dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa –
Jayakarta.
3. Zaman VOC (1596 – 1608 / 1600 – 1800)
Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai dagang
Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta
(Batavia).
Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-
batas Sebelah barat sungai Cisadane dan Sebelah timur sungai Citarum. Kedudukan VOC pada
waktu itu Sebagai pengusaha perniagaan dan Sebagai penguasa pemerintahan.
Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General (Perwakilan
Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten (Gubernur Jenderal dan
Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum sendiri.
Adapun hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari unsur-
unsur :
a. Hukum Romawi
b. Asas-asas hukum Belanda Kuno
c. Statuta Betawi
Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-
palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan. Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang
diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang
sederhana”
Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum
tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :
a. Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia.
b. Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta.
Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat. kecuali
untuk daerah Betawi/Jakarta. Sebab-sebabnya adalah:
a. kesulitan sarana transportasi waktu itu.
b. kurangnya alat pemerintah.
Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708 yaitu sebagian Priangan
(barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan
pidana menurut hukum adat.
Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan
baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :
a. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
b. Pepakem Cirebon.
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang
bernama “pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum
adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya
Lengkaran, dan lain-lain.
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum
adat :
a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga yang harum baunya
Penilaian VOC terhadap hukum adat :
a. Hukum adat identik dengan hukum agama
b. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
c. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
d. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.
4. Zaman Belanda
a. Kedudukan Hukum Adat Zaman Daendels
Hukum adat pada zaman Daendels, tidak diperhatikan dan tidak ada peraturan-peraturan
yang lahir. Daendels berpendapat bahwa hukum adat di Jaea terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi
hukum adat keseluruhan menurut Daendels terdiri atas hukum Islam.
Menurut Daendels derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Meskipun demikian
Daendels mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Selain itu Daendels juga
mengenal sistem panjer.
b. Kedudukan Hukum Adat zaman Raffles
Raffles beranggapan bahwa hukum adat sama dengan hukum islam. Hukum adat menurut
Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa. Hukum adat dianggap hanya baik untuk
bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diberlakukan atas orang Eropa.

Politik Hukum Kolonial


Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan kodifikasi terhadap semua aturan
perundangan terutama hukum perdata dan hukum dagang. Dengan adanya kodifikasi hukum, di
Belanda timbul juga pemikiran untuk diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda. hal ini
sesuai dengan asas konkordansi.
Saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputera yang selama ini
hukum adat belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini diserahkan kepada Mr. Hageman, tetapi
tugas ini gagal, karena pemerintahan Belanda tidak mengetahui keadaan hukum di Hindia Belanda.
Tugas tersebut diganti oleh scholten, lalu diganti lagi oleh Mr. H.L. Wichers. Tugas utamanya
adalah mengadakan unifikasi hukum.
Unifikasi hukum ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan :
“Suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang sebagian besar
penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat mereka”.

Anda mungkin juga menyukai