Anda di halaman 1dari 7

Kasus

Dilansir dari finance.detik.com, PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) merevisi


laporan keuangan tiga tahun terakhir, yaitu 2015, 2016, dan 2017. Langkah yang
dilakukan bank berkode BBKP itu menyita perhatian otoritas terkait, yaitu Bursa
Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank sentral menyatakan selalu memantau aktivitas dalam sistem
pembayaran tanah air, termasuk jika terdapat aktivitas yang janggal. Termasuk
apabila terdapat kejanggalan pada bisnis kartu kredit Bank Bukopin.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko
menjelaskan, divisi yang khusus memantau aktivitas yang janggal di sistem
pembayaran adalah Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK).
"Kalau ada laporan atau atas dasar pemantauan aktivitas ada yang janggal,
DSSK akan periksa," ujar dia kepada CNBC Indonesia seperti dikutip, Jumat
(27/4/2018).
Sementara itu, Juru Bicara OJK Sekar Putih mengatakan, pihaknya belum
mendapat informasi mengenai manipulasi kartu kredit di Bukopin. Pihaknya juga
masih dalam tahap klarifikasi mengenai revisi laporan keuangan yang terjadi di
Bukopin.
"Sejauh ini belum ada (kelanjutannya), masih tahap klarifikasi," tegas dia.
Otoritas bursa bahkan menyatakan akan memberi sanksi apabila ada
perbedaan signifikan antara laporan keuangan lama dengan versi revisi yang
dilakukan Bukopin.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat mengatakan jika hal itu
memang terjadi maka pihak bursa akan meminta klarifikasi kepada emiten dan
auditornya. Menurutnya, perbedaan biasanya terjadi saat proses audit oleh akuntan
publik yang bertanggungjawab.
"Jadi kalau yang gitu biasanya treatment accounting, nanti kita konfirmasi
ke auditornya biasanya. Kemudian kalau memang ada perbedaan antara tahun
sekarang sama tahun sebelumnya yaitu dilihat alasannya apa. Nah, sampai saat ini
sih belum kita klarifikasi," kata Samsul di Gedung BEI seperti dikutip dari CNBC
Indonesia, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Laporan keuangan tersebut diaudit oleh afiliasi EY di Indonesia, yaitu
Kantor Akuntan Publik (KAP) Purwantono, Sungkoro dan Surja. Brand,
Marketing, and Communications Director Ernst & Young Indonesia Kornel H.
Soemardi menyebut belum bisa memberikan komentar terkait kasus ini.
"Kami perlu mengumpulkan informasi terkait hal ini terlebih dahulu," kata
Kornel kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/4/2018).

Diduga Manipulasi Data Kartu Kredit


Menurut informasi yang dihimpun oleh CNBC Indonesia dari para pihak
yang mengetahui masalah ini, modifikasi data kartu kredit di Bukopin telah
dilakukan lebih dari 5 tahun yang lalu. Jumlah kartu kredit yang dimodifikasi juga
cukup besar, lebih dari 100.000 kartu.
Modifikasi tersebut menyebabkan posisi kredit dan pendapatan berbasis
komisi Bukopin bertambah tidak semestinya.
Uniknya, kejadian ini lolos dari berbagai layer pengawasan dan audit selama
bertahun-tahun. Mulai dari audit internal Bukopin, Kantor Akuntan Publik (KAP)
sebagai auditor independen, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran
yang menangani kartu kredit, serta OJK sebagai lembaga yang bertanggungjawab
dalam pengawasan perbankan.
Auditor independen Bukopin selama ini adalah KAP Purwantono,
Sungkoro, dan Surja yang terafiliasi dengan salah satu big four auditor internasional
Ernst & Young.
"Permasalahan mengenai restated (penyampaian kembali) laporan
keuangan 2016 merupakan temuan dari manajemen yang telah disampaikan kepada
Kantor Akuntansi Publik untuk dilakukan restated pada laporan keuangan 2017,"
ujar Direktur Utama Bukopin Eko Rachmansyah Gindo, tanpa mau merinci
mengenai kasus ini kepada CNBC Indonesia.
Manajemen Bukopin pun secara terang-terangan merevisi laporan keuangan
dari 2015, 2016, dan 2017. Kenapa hanya tiga tahun? Karena penyajian kembali
laporan keuangan dibatasi maksimal hanya 3 tahun terakhir.
Bank Bukopin merevisi laba bersih 2016 menjadi Rp 183,56 miliar dari
sebelumnya Rp 1,08 triliun. Penurunan terbesar adalah di bagian pendapatan
provisi dan komisi yang merupakan pendapatan dari kartu kredit. Pendapatan ini
turun dari Rp 1,06 triliun menjadi Rp 317,88 miliar.
Selain masalah kartu kredit, revisi juga terjadi pada pembiayaan anak usaha
Bank Syariah Bukopin (BSB) terkait penambahan saldo cadangan kerugian
penurunan nilai debitur tertentu.
Akibatnya, beban penyisihan kerugian penurunan nilai atas aset keuangan
direvisi meningkat dari Rp 649,05 miliar menjadi Rp 797,65 miliar. Hal ini
menyebabkan beban perseroan meningkat Rp 148,6 miliar.
Sebelum Otoritas melakukan klarifikasi, sebenarnya Bukopin telah
'dihukum' atas insiden ini. Bukopin telah merevisi turun ekuitas yang dimiliki
sebesar Rp 2,62 triliun pada akhir 2016, dari Rp 9,53 triliun menjadi Rp 6,91 triliun.
Penurunan itu karena revisi turun saldo laba Rp 2,62 triliun menjadi Rp 5,52 triliun
karena laba yang dilaporkan sebelumnya tidak benar.
Penurunan ekuitas ini berperan dalam tergerusnya rasio kecukupan modal
(capital adequacy ratio/CAR) Bukopin. Pada laporan keuangan 2016 sebelum
revisi, CAR Bukopin masih aman 15,03%, namun setelah revisi CAR tersisa
11,62%.
CAR semakin memburuk pada akhir 2017 yang tercatat 10,52%, meski
meningkat lagi pada kuartal I/2018 menjadi 11,09%. Hal lain yang mempengaruhi
penurunan CAR adalah peningkatan rasio kredit bermasalah (non performing
loan/NPL) Bukopin.
Inisiden modifikasi data kartu kredit ini memaksa Bukopin menyiapkan
action plan untuk menyehatkan CAR ke level 14%. Langkah yang dilakukan adalah
rights issue dengan menerbitkan saham baru sebesar 30% dan divestasi 40% saham
BSB.
Target dana yang bisa dihimpun untuk rights issue sekitar Rp2 triliun,
sementara untuk divestasi BSB sebesar Rp 400 miliar. Dalam waktu yang cukup
singkat, manajemen berhasil berkomunikasi dengan sejumlah bank asing, private
equity asing dan bank BUMN sebagai mitra strategis rights issue yang digelar Juni
mendatang. (ang/eds)
1. Analisa kasus
a. Analisa dari sisi akuntansi
1) Adanya standar akuntansi, dimana di dalamnya terdapat prinsip-
prinsip yang menyebabkan laporan keuangan tidak
mencerminkan realitas ekonomi yang ada.
2) Banyak menggunakan estimasi yang ditentukan oleh manajemen
yang mana adakalanya estimasi yang dilakukan tidak akurat
sehingga menyebabkan angka dalam laporan keuangan menjadi
salah atau tidak mencerminkan realitas ekonomi.
3) Karakteristik kualitatif laporan keuangan telah ditetapkan dalam
kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan,
namun diantara karakteristik kualitatif sering terdapat benturan.
4) Earning management merupakan praktek yang membuat laporan
keuangan dapat bias karena disajikan menurut tujuan dari
penyusunnya. Earning manajemen adalah tindakan yang
dibolehkan karena masih berdasarkan standar ataupun tindakan
yang dilarang karena melanggar standar dalam upaya
manajemen mengatur kinerja keuangan untuk tujuan memenuhi
kontrak atau ketentuan tertentu. Oleh karena itu, maka sebelum
laporan keuangan dianalisis harus dilakukan penyesuaian-
penyesuaian angka-angka laporan keuangan. Kegiatan ini
disebut recasting karena kita menyusun ulang laporan keuangan
sebelum analisis rasio dan analisis yang lain dilakukan.

1. Likuiditas : Tingginya NPL pada bank Bukopin menyebabkan bank


tersebut tidak mampu memenuhi kewajibannya (tidak likuid)
2. Solvabilitas : NPL tersebut menimbulkan kerugian bagi bank
sehingga bank menjadi tidak likuid dan kemudian mencairkan aktiva
tetapnya guna memenuhi segala kewajibannya kepada pihak ketiga.
Jika bank Bukopin tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka
solvabilitas bank tersebut juga menjadi berkurang.
3. Rentabilitas : NPL dapat menyebabkan penghasilan bank dari bunga
kredit akan berkurang, sehingga bank Bukopin tidak memperoleh
laba yang diinginkan.
4. Tingkat kesehatan bank : Bank Bukopin mengalami penurunkan
tingkat kesehatan, dan pada gilirannya bank dapat dikenakan sanksi,
bahkan bisa menghadapi likuidasi.
5. Permodalan : kredit bank Bukopin tidak tumbuh dengan baik,
sehingga menyebabkan modal bank tersebut tidak dapat berkembang
dengan baik.
Untuk mencegah agar kasus tersebut tidak terulang kembali perlu
dilakukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pengelola kredit
terhadap sistem akuntansi.

b. Analisa dari sisi auditing


Kasus bank Bukopin tersebut dapat terjadi karena pemberian dan
pengawasan kredit yang dilakukan oleh bank menyimpang dari prosedur
yang telah ditetapkan.
Untuk mencegah hal itu terjadi auditor harus berupaya bersama pihak
bank untuk menjaga komunikasi dengan nasabah, baik melalui telepon
secara berkala, surat-menyurat, dan kunjungan langsung. Komunikasi
perlu terus dilakukan untuk menggali informasi yang bersifat non-
keuangan, termasuk aspek teknis perusahaan yang dapat menjadi gejala
terjadinya masalah kredit. Melakukan pendampingan kepada debitur
yang bermasalah, pendampingan ini bertujuan untuk mengetahui apakah
permasalahan kredit yang terjadi murni karena aktivitas usaha atau
karena karena kecurangan yang dilakukan debitur terhadap fasilitas
kredit yang telah diterimanya. Jika terkait dengan permasalahan
aktivitas usaha, pendampingan yang dilakukan yaitu dengan
memberikan alternatife masukan atau solusi yang dapat membantu
debitur keluar dari permasalahan usaha yang dialaminya.
Untuk mengantisipasi dan mengendalikan risiko kredit yang
diakibatkan oleh kegagalan debitur dalam memenuhi kewajibannya,
Bank Bukopin perlu memiliki early warning system yaitu suatu sistem
pemantauan untuk mengidentifikasi risiko kredit secara lebih dini yang
digunakan sebagai penentu dilakukannya investigasi lebih jauh sebelum
kredit menjadi bermasalah. Selanjutnya secara proaktif dilakukan upaya
restrukturisasi terhadap kredit yang diindikasikan akan bermasalah di
kemudian hari sehingga bank Bukopin mampu menekan laju
peningkatan NPL. Selain itu, bank Bukopin dapat secara bertahap
meningkatkan coverage ratio untuk mengantisipasi kondisi
perekonomian yang masih belum stabil. Untuk menjaga dan
meningkatkan kualitas kredit, proses analisa kredit memisahkan fungsi
antara unit bisnis/fungsi pemasaran, yang dilakukan oleh relationship
manager, dengan unit risiko/fungsi analisa kredit yang dilakukan oleh
credit analyst, selain itu perlu menerapkan berbagai analisis untuk
mengurangi NPL termasuk analisis 5C & 7P , analisis aspek
legal/yuridis, analisis aspek manajemen, analisis aspek teknis dan
produksi, analisis aspek pemasaran, analisis aspek sosial dan
lingkungan, analisis aspek ekonomi makro, analisis aspek keuangan,
analisis agunan, analisis grup debitur, analisis kontribusi calon debitur,
analisis risiko dan mitigasi, penetapan jumlah kredit, penetapan struktur
kredit, dan persyaratan kredit, sehingga dalam proses pemberian kredit
secara keseluruhan yang diterapkan dapat berjalan dengan efektif.
Secara umum diperlukan perombakan managemen baik dari sisi
akuntan, audit maupun perbankanya agar dapat melaksanakan tugas
sesuai kode etik yang berlaku.

2. Kelemahan peraturan yang menyebabkan hal itu terjadi


a. Peraturan akuntansi
Akuntansi Aktiva PSAK No. 31 tentang Kredit yang diberikan dan
Perlakuan akuntansi PSAK No.55 terhadap kredit bermasalah
(Nonperforming Loan)
b. Peraturan auditing
Peraturan Departemen Audit Internal Bab I. Pasal 4. Tentang
Wewenang Departemen Audit Internal, Peraturan Departemen Audit
Internal Bab I. Pasal 5 tentang Kode Etik, dan Peraturan Departemen
Audit Internal Bab I. Pasal 12 tentang Metode Audit
c. Peraturan perbankan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan
Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional
mengatakan bahwa batas maksimal Non Performing Loan adalah
sebesar 5 persen.

Anda mungkin juga menyukai