1. DEFINISI ASMA
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran
napas yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga
apabila terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi
tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus,
sumbatan mukus, dan meningkatnya proses radang (Almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Asma
dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi
umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5
tahun dan orang dewasa pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah”
dan berarti serangan nafas pendek (Price, 1995 cit Purnomo 2008).
Nelson (1996) dalam Purnomo (2008) mendefinisikan asma sebagai
kumpulan tanda dan gejala wheezing(mengi) dan atau batuk dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya
faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab
lain sudah disingkirkan.
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) (2006) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.
2. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang
yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus.
Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun
non imunologi.
1. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma
adalah: (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen
atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu
binatang.
b. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen,
seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan
polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik
2. Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan
peradangan. Trigger dianggap menyebabkan gangguan pernapasan akut,
yang belum berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik.
Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung
timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah diatasi
dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat
terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan.
Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan
cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan,
gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
b. Penyebab Asma (Inducer) )
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Induce
dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis
ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya
berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab
asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang
masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh
melalui hidung atau mulut), dan alergen yang didapat melalui kontak dengan
kulit ( VitaHealth, 2006).
3. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat- obatan asma banyak dikembangkan. National Health
Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5
juta orang penduduk negeri itu ,mengidap bronkhitis kronis, lebih dari dua juta
orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah
satu bentuk asma. Laporan Organisasi kesehatan Dunia (WHO) dalam World
Health Report 2000 menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan
17,4% dari seluruh kematian di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru
7,2%, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) 4,8%, Tuberkulosis 3 %,
kanker paru/ trakea/bronkus 2,1% dan asma 0,3%. (Infodatin, 2015).
4. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan kegawatan asma, maka asma dapat dibagi menjadi :
Asma bronkhiale
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai
macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas
yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara
sepontan atau setelah mendapat pengobatan
Status asmatikus
Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang
konvensional(Smeltzer, 2002). status asmatikus merupakan keadaan
emergensi dan tidak langsung memberikan respon terhadap dosis umum
bronkodilator (Depkes RI, 2007).Status Asmatikus yang dialami penderita
asma dapat berupa pernapasan wheezing, ronchi ketika bernapas
(adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi
pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher,
hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian
berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus
maka suara wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda
bahaya gagal pernapasan (Brunner & Suddarth, 2005).
Asthmatic Emergency
Yakni asma yang dapat menyebabkan kematian
5. PATOFISIOLOGI
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma adalah
spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa jalan udara, dan
eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris selular. Obstruksi
menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang merendahkan volume
ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan prematur jalan udara,
hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernafasan, perubahan sifat elastik dan
frekuensi pernafasan. Walaupun jalan udara bersifat difus, obstruksi
menyebabkan perbedaaan satu bagian dengan bagian lain, ini berakibat perfusi
bagian paru tidak cukup mendapat ventilasi dan menyebabkan kelainan gas-gas
darah terutama penurunan pCO2 akibat hiperventilasi.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen
menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin
dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila
respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik. Karena histamin
juga merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan permiabilitas kapiler,
maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif
berlebihan terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah
mengalami degranulasi. Di manapun letak hipersensitivitas respon peradangan
tersebut, hasil akhirnya adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan
obstruksi aliran udara.
6. MANIFESTASI KLINIS
a) Tanda
7. TATALAKSANA MEDIS
Belum terlalu lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai
mengental keyakinan di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali
dalam jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan
dan paru-paru. Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat
datangnya serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis
menunjukkan bahwa para penderita asma yang terutama menggantungkan diri
pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi
yang buruk dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase
keharusan kunjungan ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat
inap, dan risiko kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka
derita adalah karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi.
Dengan demikian, dokter masa kini menggunakan obat peradangan sebagai
senjata utama, sedang obat-obatan pelega sebagai pendukung. Keyakinan ini
sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan saluran
pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini
bekerja dengan mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran
pernapasan. Obat ini paling efektif bila dikombinasikan dengan suatu
obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya
bertahan hingga 12 jam. Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup
dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini tidak dapat
digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang
terdapat dalam secangkir kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama
daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti kafein sehingga tidak
dianturkan untuk pasien hiperaktif.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi,
karena fungsi paru-paru berada pada titik yang paling rendah di tengan
malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa dosis kortikosteroid oral yang
diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami serangan
asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata,
seperti perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera
makan, perubahan berat badan, dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi,
efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini tidak perlu dikhawatirkan jika
penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
e) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut
juga inhaleratau puffer adalah alat yang paling banyak digunakan untuk
menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan atau paru-paru
pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose)
karena memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur
dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa
digunakan oleh segala tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat
hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan cairan tekan (pressurized
liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang menjadi gas
ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya
adalah propelan tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi
butiran-butiran atau kabut halus, dan mendorongnya keluar dari moncong
masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
Alat ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan
program pengendalian asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan
datangnya serangan asma. Berpegang pada prinsip bahwa untuk
menatalaksana segala sesuatu dengan baik harus ada tolok ukurnya, maka
orangtua anak penderita asma, maupun anak-anak dan orang dewasa
penderita asma sendiri harus menguasai cara mengukur fungsi paru-paru
mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah mengambil langkah yang
sesuai dengan hasil pengukuran tersebut.
Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah,
termasuk oleh anak-anak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur
kekuatan embusan napas pemakainya. Ada tiga hal yang mempengaruhi
kekuatan embusan napas seseorang, yaitu ukuran paru-parunya, besar
usahanya dalam mengembus; dan bukaan (lebar atau sempitnya) saluran
pernapasannya. Untuk menggunakannya, si pemakai menarik napas dan
mengisi paru-parunya sepenuh mungkin, kemudian meniup ke dalam Peak
Flow Meter secepatnya dengan sekuat-kuatnya. Seseorang yang saluran
pernapasannya menyempit, tidak akan bisa meniup sekuat bila saluran
pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda pertama dari datangnya
serangan asma bisanya terlihat dari menurunnya ukuran catatan Peak Flow
Meter seseorang. Ini bahkan sebelum muncul gejala-gejala yang lain seperti
batuk, lendir yang berlebihan, atau sesak napas.
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Pemeriksaan Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma
yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-
sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melibat
adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi
terhadap beberapa antibiotik (Muttaqin, 2008).
(2) Pemeriksaan Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
b) Pemeriksaan Penunjang
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang
menurun.
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
(3) Scanning Paru
(4) Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama
saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cararadioallergosorbent
test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
9. REFERENSI