Anda di halaman 1dari 9

Teodas

Anestesika lokal atau zat penghilang rasa setempat adalah obat yang pada
penggunaan lokal merintangi atau menghambat secara reversible penerusan impuls
saraf ke SSP dan dengan demikiam menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-
gatal, rasa panas atau dingin. (Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007)
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya
obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek
terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaaran darah,
sedangkan efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief,
1990).
Efek obat yang akan timbul pada membrane dan kulit mukosa tergantung pada
jumlah obat yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membrane serta kelarutan
obat dalam lemak karena pada epidermis kulit merupakan sawar lemak. Pada kulit yang
terkelupas/ luka maka absorpsi jauh lebih mudah (Anief, 1990).
Selain pemberian topical untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau
membrane mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke
dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun
bisa saja terjadi ke dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Absopsi ke dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian
(Katzung, 1986)
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang
digunakan sebagai anestetikum lokal, antara lain:
- Tidak merangsang jaringan
- Tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen
- Toksisitas sistemis rendah
- Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender
- Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama
- Dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap
pemanasan (sterilisasi).
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007)
Struktur dasar anastetika lokal pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yakni
suatu gugus amio hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus-aromatis lipofil. Semakin panjang gugus
alkoholnya, semakin besar daya kerja anastetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).
Anastetika lokal dapat digolongkan secara kimiawi dalam beberapa kelompok,
yaitu sebagai berikut :
a. Senyawa-ester: kokain dan ester PABA (benzokain, prokain, oksibuprokain,
tetrakain).
b. Senyawa-amida: lidokain dan prilokain, mepivakain, bupivakain dan chincokain
c. Lainnya: fenol, benzilalkohol dan etilklorida.

Anestetika lokal umumnya digunakan secara parenteral misalnya pembedahan


kecil dimana pemakaian anestetika umum tidak dibutuhkan. Jenis anestetika lokal yang
paling banyak digunakan sebagai suntikan adalah sebagai berikut:
 Anestetika permukaan (topikal), sebagai suntikan banyak digunakan sebagai
penghilang rasa oleh dokter gigi untuk mencabut geraham. Anestesia permukaan
juga dapat digunakan secara lokal untuk melawan rasa nyeri dan gatal, misalnya
larutan atau tablet hisap untuk menghilangkan rasa nyeri di mulut atau leher, tetes
mata untuk mengukur tekanan okuler mata atau mengeluarkan benda asing di
mata, salep untuk menghilangkan rasa nyeri akibat luka bakar dan suppositoria
untuk penderita ambeien/wasir.
 Anestetika infiltrasi, yaitu suntikan yang diberikan pada atau sekitar jaringan
yang akan dianestetisir, sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan di
jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya pada praktek THT (Telinga,
Hidung, Tenggorokan) atau daerah kulit dan gusi (pencabutan gigi).
 Anestetika blok atau penyaluran saraf (juga disebut konduksi), yaitu dengan
injeksi di tulang belakang pada suatu tempat dimana banyak saraf terkumpul
sehingga mencapai daerah anestesi yang luas, terutama pada operasi lengan atau
kaki, juga bahu. Lagi pula digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat. (Tjay,
Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007)

Lidokain
Salah satu obat anastetika lokal dari golongan amida. Lidokain terdiri dari satu
gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan suatu
rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amin tersier).
Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar
lebih mudah larut dan stabil. Didalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak
bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relatif dari dua bentuk ini
ditentukan oleh harga pKa nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan
Henderson-Hasselbalch. (Stoelting, 2006)

Pemerian: serbuk hablur; putih atau semu kuning; bau khas mantap diudara
Kelarutan: praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol (95%) P dan
dalam kloroform P; mudah larut dalam eter P dan dalam benzene P; larut dalam minyak
Khasiat dan Penggunaan: Anastetikum lokal. (Farmakope Indonesia III, 1979)
Biasanya Lidokain digunakan untuk anestesi permukaan dalam bentuk salep,
krim dan gel. Efek samping Lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap
sistem saraf pusat misalnya ngantuk, pusing, paraestesia, gangguan mental, koma, dan
seizure. (Fatma, dkk, tanpa tahun)

Mekanisme Kerja Obat


Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium,
sehingga terjadi depolarisasi yang ditimbulkan oleh masuknya ion-ion natrium ke
dalam sel pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Mekanisme utama
aksi anestetik lokal adalah memblokade “voltage-gated sodium channels”. Membran
akson saraf, membran otot jantung, dan badan sel saraf memiliki potensial istirahat -90
hingga -60 mV. Selama eksitasi, lorong natrium terbuka, dan secara cepat
berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium natrium (+40 mV). Akibat dari
depolarisasi, lorong sodium menutup (inaktif) dan lorong kalium terbuka. Aliran
sebelah luar dari repolarisasi kalium yang ditimbulkan oleh keluarnya ion-ion kalium
dari dalam sel mencapai potensial equilibrium kalium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi
mengembalikan lorong natrium ke fase istirahat. Gradient ionic trans membran
dipelihara oleh pompa natrium. Fluks ionic ini sama halnya pada otot jantung, dan
anestetik lokal memiliki efek yang sama di dalam jaringan tersebut (Latief SA, 2009).
Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin biologi
seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom kalajengking
berikatan pada reseptor diantara lorong dan mencegah inaktivasi. Akibatnya terjadi
pemanjangan influx sodium melalui lorong dan depolarisasi dari potensial istirahat.
Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin memblok lorong sodium dengan berikatan kepada
chanel reseptor di dekat permukan extracellular. Serabut saraf secara signifikan
berpengaruh terhadap blockade obat anestesi lokal sesuai ukuran dan derajat
mielinisasi saraf. Aplikasi langsung anestetik lokal pada akar saraf, serat B dan C yang
kecil diblok pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan fungsi motorik yang terakhir
diblok ((Latief SA, 2009).).

Rute pemberian anestetika lokal berhubungan erat dengan efek anestesi lokal
yang dihasilkan. Sebagai contoh suatu anestesi lokal yang diberikan pada permukaan
tubuh (topikal) dapat mencapai ujung saraf sensoris dan bekerja menghambat
penghantaran impuls nyeri pada serabut saraf tersebut, sehingga terjadilah anestesi
permukaan. Anestesi lokal juga dapat diberikan secara injeksi ke dalam jaringan
sehingga menyebabkan hilangnya sensasi pada struktur di sekitarnya. Efek yang
dihasilkan disebut anestesi filtras.

Rute Pemberian Obat


Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzug, 1989)
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008):
a) Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI),
seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian
melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena
paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian
dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat
diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan
obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan
dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan
melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat
harus diberikan secara enteral.
b) Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea
menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini
dapat menimbulkan efek sistemik atau local.
Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:

No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat


1. Per oral (per os) Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung),
penyerapan obat melalui membran mukosa pada
lambung dan usus memberi efek sistemik
2. Sublingual Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui
membran mukosa, memberi efek sistemik
3 Parenteral atau melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap
injeksi jaringan
a. intravena Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek
b. intrakardial sistemik
c. intrakutan Menembus jantung, memberi efek sistemik
d. subkutan Menembus kulit, memberi efek sistemik
e. intramuskular Di bawah kulit, memberi efek sistemik
Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4 Intranasal Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal
5 Aural Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal
6 Intrarespiratoral Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek
lokal
7 Rektal Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal +
sistemik
8 Vaginal Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita,
memberi efek lokal
9 Uretral Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek
lokal
(Anief, M., 1994).

Obat Anestesis Lokal Yang Sering Digunakan


a. Prokain (novokain)
Prokain adalah ester aminobenzoat untuk infiltrasi, blok, spinal, epidural.
Merupakan obat standard untuk perbandingan potensi dan toksisitas terhadap jenis
obat-obat anestetik local yang lain. Diberikan intravena untuk pengobatan aritmia
selama anestesi umum, bedah jantung atau ‘induced hypothermia’. Absorbsi
berlangsung cepat pada tempat suntikan, hidrolisis juga cepat oleh enzim plasma
(prokain esterase).
b. Lidokain (lignocaine, xylocain, lidonest).
Lidokain adalah golongan amida. Sering dipakai untuk surface analgesi, blok
infiltrasi, spinal, epidural dan caudal analgesia dan nerve blok lainnya. Juga dipakai
secara intravena untuk mengobati aritmia selama anesthesia umum, bedah jantung dan
‘induced hypothermia’. Dibandingkan prokain, onset lebih cepat, lebih kuat (intensea),
lebih mahal dan durasi lebih lama. Potensi dan toksisitas 10 kali prokain. Tertrakain
tidak boleh digunakan bersama-sama sulfonamide. Onset 5-10 menit, duration sekitar
2 jam.
c. Bupivakain (marcain).
Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan
tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis
maksimal 200mg. Duration 3-8 jam. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Mula kerja
lebih lambat dibanding lidokain. Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar
plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8
jam. Untuk anesthesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok
sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%.
d. Kokain.
Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4% untuk mukosa jalan napas
atas. Lama kerja 2-30 menit.
e. Kloroprokain (nesakain).
Derivate prokain dengan masa kerja lebih pendek.
f. EMLA (eutentic mixture of local anesthetic).
Campuran emulsi minyak dalam air (krem) antara lidokain dan prilokain
masing-masing 5%. EMLA dioleskan di kulit intak 1-2 jam sebelum tindakan untuk
mengurangi nyeri akibat kanulasi pada vena atau arteri atau untuk miringotomi pada
anak, mencabut bulu halus atau buang tato. Tidak dianjurkan untuk mukosa atau kulit
terluka.

g. Ropivakain (naropin) dan levobupivakain (chirokain).


Penggunaannya seperti bupivakain, karena kedua obat tersebut merupakan
isomer bagian kiri dari bupivakain yang dampak sampingnya lebih ringan
dibandingkan bupivakain. Bagian isomer kanan dari bupivakain dampak sampingnya
lebih besar. Konsentrasi efektif minimal 0,25%.
(Dardjat M T, 1986)

Daftar Pustaka:
Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi ketiga. Jakarta
Fatma, S. Dewi dkk. Perbandingan Mula Kerja dan Masa Kerja Dua Anestetik Lokal
Lidokain pada Kasus Pencabutan Gigi Molar Satu atau Dua Rahang Bawah.
Jakarta: FKGUI.
Katzung, B., G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:Salemba Medika
Latief SA, Kartini A, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FKUI
Stoelting RK, Hillier SC. Local Anesthetics, in : Stoelting RK, Hillier SC, editors.
Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 4thed. Philadelphia,
Lippincott Williams, 2006, p 182-3.
Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007. Obat-Obat Penting hal 407-413. Jakarta:
CV. Permata.
Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi & Keperawatan
Edisi II. Jakarta:Leskonfi
Dardjat M T. 1986. Obat Anestetik Lokal. Dalam: Kumpulan kuliah anestesiologi. Jakarta:
Aksara Medisina

Anda mungkin juga menyukai