Anda di halaman 1dari 5

Pada praktikum kali ini, dilakukan skrining kandungan amfetamin dalam

urin. Amfetamin dan derivatnya yaitu MA (metamfetamin) dan MDMA


(methylene-dioxy-meth-amfetamine), termasuk kedalam narkotika golongan 1
yang memiliki efek stimulansia kuat. Dalam ilmu kedokteran amfetamin digunakan
untuk mengobati penyakit narkolepsi, hiperkinesis pada anak, dan obesitas. Namun
penggunaan amfetamin yang melebihi dosis untuk pengobatan dapat menimbulkan
ketergantungan dan kecanduan. Amfetamin ini sering disalahgunakan sebagai
‘dopping’ karena pada pasien yang tidak lelah akan menimbulkan euforia ringan,
meningkatkan rasa percaya diri dan aktivitas (Mutshcler, 1999). Karena adanya
penyalahgunaan inilah biasanya dilakukan skrining kandungan amfetamin pada
pertandingan-pertandingan olah raga dan dilakukan oleh polisi untuk menanangkap
pengguna narkoba (bisanya digunakan turunan amfetamin yaitu metamphetamin
hidroklorida)
Mekanisme kerja amfetamin pada susunan saraf dipengaruhi oleh
pelepasan biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin, atau serotonin atau
pelepasan ketiganya dari tempat penyimpanan pada persinap yang terletak pada
akhiran saraf. Pada dopamin didapati bahwa amfetamin menghambat reuptake
dopaminergik dan sinapstosom di hipotalamus dan secara langsung melepaskan
dopamin yang baru disintesa. Pada norepinefrin, amfetamin memblok reuptake
norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan norepinefrin baru, penambahan atau
pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamin
pada pelepasan reuptake norepinefrin. Sedangkan pada serotonin, devirat
amfetamin dengan elektron kuat yang menarik penggantian pada cincin fenil akan
mempengaruhi sistim serotoninergik Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketiga
kerja reseptor biogenik tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Aktivitas
susunan saraf pusat yang terjadi dalam otak, masing-masing menimbulkan aktivitas
serta kepribadian pada individu pengguna. Stimulasi pada pusat motorik di daerap
media otak depan (medial forebrain) menyebabkan peningkatan dari kadar
norepinefrin dalam sinaps menimbulkan euforia dan meningkatkan libido (Japardi,
2002). Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan
katekolamin (epineprin, norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat dan
menghambat dengan meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk
dopamin. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan konsentrasi
lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya (Mutshcler, 1999).
Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah
penggunaan. Menurut Stimmel (1993) bahwa masing-masing obat (narkotika atau
psikotropika) memiliki waktu pendeteksian yang berbeda-beda. Golongan
amphetamine masih dapat dideteksi pada rentang waktu satu hingga maksimal tiga
hari. Golongan barbiturate masih dapat dideteksi pada rentang waktu tiga hingga
maksimal empat hari. Golongan cocaine masih dapat dideteksi pada rentang waktu
dua hingga tiga hari. Golongan opiat seperti codeine dan heroin(dideteksi sebagai
morphine) masih dapat dideteksi pada rentang waktu dua hingga maksimal empat
hari. Golongan mariyuana masih dapat dideteksi pada rentang waktu satu hingga
maksimal sepuluh hari.
Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relatif
cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu kesulitan tersendiri
untuk pengujian terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari 24 jam
jumlah metabolit sekunder yang di terdapat pada urin menjadi sangat sedikit dan
sulit dideteksi dengan KIT. Maka daritu proses skrining ini harus dilakukan secara
cepat, sehingga hasilnya dapat langsung diketahui. Sehingga dibutuhkan metode
analisis yang cepat dan akurat. Metode analisis yang memenuhi syarat tersebut
adalah metode immunoassay.
Immunoassay merupakan uji untuk mengidentifikasi keberadaan suatu obat
maupun metabolitnya dalam sampel biologis. Tujuannya untuk memonitor
penyalahgunaan obat maupun terapi suatu obat pada pasien (Stanley, 2002).
Immunoassay merupakan metode analisis yang didasarkan pada interaksi
antigen dan antibodi. Antibodi merupakan molekul protein (yang diproduksi
oleh hewan) yang dapat mengenal antigen (obat) secara spesifik pada tingkat
molekuler. Kemampuan antibodi untuk membentuk kompleks dengan antigen
merupakan basis immunoassay. Immunoassay merupakan teknik yang spesifik
dan sensitif (Stripp, 2007).
Kelebihan dari metode immunoassay mudah dilakukan, relatif murah
untuk pengujian tiap sampel, cepat, dan dapat mengidentifikasi suatu golongan
obat. Namun perlu diperhatikan adanya senyawa yang mirip dengan senyawa
target dapat mengganggu pengukuran dan memberikan hasil positif yang tidak
diharapkan atau hasil positif yang salah (Stripp, 2007).
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu strip test. Strip Test
adalah metode immunoassay dengan prinsip pemeriksaan yaitu reaksi antigen dan
antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam spesimen urine dan bersaing
melawan konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi. Selama pengujian,
spesimen urine bermigrasi keatas dengan aksi kapiler dengan prinsip pemeriksaan
adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi (Baselt, 1982).
Ketika di dalam urin terdapat amfetamin dengan kadar dibawah batas
konsentrasi, maka antibodi yang spesifik untuk amfetamin tidak akan dijenuhkan
oleh amphetamin yang ada pada sampel, sehingga antibodi yang spesifik dengan
amfetamin akan berikatan dengan konjugat protein obat yang terdapat pada strip T
sehingga akan timbul warna pada strip tersebut akibat ikatan antara antibodi dengan
konjugat protein obat ketika terbasahi oleh urin. Sedangkan apabila dalam sampel
terdapat amfetamin dengan kadar diatas konsentrasi, maka antibodi yang spesifik
untuk amfetamin akan dijenuhkan oleh amfetamin yang ada pada sampel, sehingga
antibodi yang spesifik untuk amfetamin akan terjenuhkan dan afinitas ikatannya
tinggi, akibatnya tidak ada antibodi yang spesifik amfetamin yang akan berikatan
dengan konjugat protein obat. Karena tidak adanya ikatan antibodi yang spesifik
yang berikatan dengan konjugat protein obat pada strip T, maka tidak akan timbul
warna pada strip tersebut ketika terbasahi oleh urin. Pada strip C atau kontrol, berisi
antibodi yang spesifik untuk amfetamin dan konjugat emas-protein dan bantalan
pewarna yang akan menimbulkan warna pada strip ini ketika terbasahi urin ketika
dalam urin tersebut mengandung atau tidak mengandung amphetamin, jadi strip C
berfungsi sebagai kontrol yang mengindikasikan bahwa volume spesimen telah
tepat dan sampai pada ujung kaset dengan hasil yang akurat.
Sampel yang digunakan untuk percobaan ini adalah urin, menggunakan
urin, karena urine merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk
pemeriksaan narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar dan
memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat
dibandingkan pada spesimen lain (Indrianti, 2015).
Sampel menggunakan urin salah satu praktikan, urin tersebut ditampung
kedalam suatu wadah plastik kecil, kemudian selanjutnya dilakukan pengujian
dengan menggunakan strip test. strip dicelupkan secara vertikal pada spesimen
urine lalu ditunggu beberapa menit dan dilihat hasilnya, jika tertera garis pada
control dan test menunjukkan negatif, jika tertera garis pada control menunjukkan
positif sedangkan jika tidak tertera garis menunjukkan invalid. Sehingga apabila
diperoleh hasil bahwa sampel urine yang diuji menunjukkan hasil positif berarti
pasien merupakan pemakai obat golongan narkotik, khususnya amphetamin.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa urin yang dianalisis tidak
mengandung amfetamin diatas batas konsentrasi yang ditunjukkan dengan
munculnya warna merah pada control zone dan strip zone. Garis merah di control
zone menunjukan bahwa volume spesimen telah tepat dan membrane telah akurat
(kondisi strip masih baik). Sedangkan garis merah di test zone menandakan bahwa
sampel negatif mengandung amfetamin (Baselt, 1982). Seharusnya untuk
meyakinkan hasil dari uji strip selanjutnya dilakukan uji konformasi dengan
menggunakan GC-MS. Mass chromatografi (MS) digunakan karena sensitifitas
lebih tinggi karena mengukur intensitas ion zat. Sedangkan gas chromatografi (GS)
digunakan karena memiliki spesifitas lebih tinggi karena dapat membedakan
berbagai jenis zat sampai tingkat intensitas ion, hambatan waktu dan bentuk
kromatografinya. Tetapi pada saat pengujian hanya dilakukan skrining amfetamin
saja dengan menggunakan uji strip, tanpa dikonfirmasi lanjut dengan GC atau MS.

Daftar Pustaka
Japardi, Iskandar. (2002). Efek neurologis dari ectasy dan shabu-shabu. Sumatera
Utara : Universitas Sumatera Utara.
Mutschler, E.(1999). Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi,
diterjemahkan oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S., Edisi Kelima, Penerbit
ITB, Bandung.
Stanley, J., (2002), Essentials of Immunology and Serology. USA: Thomson
Learning Inc.
Stripp, R.A., (2007). The Forensic Aspect of Poisons. New York: Infobase
Publishing.
Baselt, R. (1982). Disposition of Toxic Drugs and Chemicals in Man. 2nd Edition.
Davis CA: Biomedical Publish.

Anda mungkin juga menyukai