Anda di halaman 1dari 12

SKIRINING KANDUNGAN AMPHETAMIN DALAM URIN

I. TUJUAN PERCOBAAN
Memahami Prinsip skrining kandungan psikotropika dengan metode
immunoassay
memahami peranan skrining psikotropika untuk mendeteksi
penyalahgunaan obat psikotropika

II. TEORI DASAR


2.1 Pengertian Amfetamin.
Amfetamin adalah kelompok obat psikoaktif sintetis yang menstimulasi
system saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam tubuh.
Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun coklat, atau bubuk putih
kristal kecil.Senyawa ini memiliki nama kimia methylphenethylamine
merupakan suatu senyawa yang telah digunakan secara terapetik untuk mengatasi
obesitas, attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan narkolepsi.
Amfetamin meningkatkan pelepasan katekolamin yang mengakibatkan jumlah
neurotransmiter golongan monoamine (dopamin, norepinefrin, dan serotonin) dari
saraf pra-sinapsis meningkat. Amfetamin memiliki banyak efek stimulan
diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup, menurunkan rasa lelah,
meningkatkan mood, meningkatkan konsentrasi, menekan nafsu makan, dan
menurunkan keinginan untuk tidur. Akan tetapi, dalam keadaan overdosis, efek-
efek tersebut menjadi berlebihan.
Secara klinis, efek amfetamin sangat mirip dengan kokain, tetapi
amfetamin memiliki waktu paruh lebih panjang dibandingkan dengan kokain
(waktu paruh amfetamin 10 15 jam) dan durasi yang memberikan efek
euforianya 4 8 kali lebih lama dibandingkan kokain. Hal ini disebabkan oleh
stimulator-stimulator tersebut mengaktivasi reserve powers yang ada di dalam
tubuh manusia dan ketika efek yang ditimbulkan oleh amfetamin melemah, tubuh
memberikan signal bahwa tubuh membutuhkan senyawa-senyawa itu lagi.
Berdasarkan ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems), kelainan mental dan tingkah laku yang disebabkan
oleh amfetamin diklasifikasikan ke dalam golongan F15 (Amfetamin yang
menyebabkan ketergantungan psikologis).
Cara yang paling umum dalam menggunakan amfetamin adalah dihirup
melalui tabung. Zat tersebut mempunyai mempunyai beberapa nama lain: ATS,
SS, ubas, ice, Shabu, Speed, Glass, Quartz, Hirropon dan lain sebagainya.
Amfetamin terdiri dari dua senyawa yang berbeda: dextroamphetamine murni
dan levoamphetamine murni. Karena dextroamphetamine lebih kuat daripada
levoamphetamine, dextroamphetamine juga lebih kuat daripada campuran
amfetamin. (Adam, 2009)
Amfetamin dapat membuat seseorang merasa energik. Efek amfetamin
termasuk rasa kesejahteraan, dan membuat seseorang merasa lebih percaya
diri. Perasaan ini bisa bertahan sampai 12 jam.
Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan amfetamin adalah:
1. Amfetamin
2. Metamfetamin
3. Metilendioksimetamfetamin (MDMA, ecstasy atau Adam).

Gambar : Struktur Amphetamin

2.2 Mekanisme kerja Amphetamin


Sistem saraf utama yang dipengaruhi oleh amfetamin sebagian besar
terlibat dalam sirkuit otak. Selain itu, neurotransmiter yang terlibat dalam jalur
berbagai hal penting di otak tampaknya menjadi target utama dari amfetamin.
Salah satu neurotransmiter tersebut adalah dopamin, sebuah pembawa pesan
kimia sangat aktif dalam mesolimbic dan mesocortical jalur imbalan. Tidak
mengherankan, anatomi komponen jalur tersebut-termasuk striatum ,
yang nucleus accumbens, dan ventral striatum -telah ditemukan untuk menjadi
situs utama dari tindakan amfetamin. Fakta bahwa amfetamin mempengaruhi
aktivitas neurotransmitter khusus di daerah terlibat dalam memberikan wawasan
tentang konsekuensi perilaku obat, seperti timbulnya stereotip euforia .
Amphetamine telah ditemukan memiliki beberapa analog endogen, yaitu
molekul struktur serupa yang ditemukan secara alami di otak. l- Fenilalanin dan
- phenethylamine adalah dua contoh yang terbentuk dalam sistem saraf perifer
serta dalam otak itu sendiri. Molekul-molekul ini berpikir untuk memodulasi
tingkat kegembiraan dan kewaspadaan, antara lain negara afektif terkait.

2.3 Efek Mengkonsumsi Amfetamin


Karena efeknya yang menimbulkan kecanduan dengan adanya toleransi
dari zat yang dikonsumsi, maka zat ini juga akan menimbulkan efek secara fisik.
Begitu seseorang telah kecanduan amfetamin, maka orang tersebut harus kembali
menggunakan amfetamin untuk mencegah sakaw (withdrawal). Karena efek yang
ditimbulkan amfetamin bisa boosting energi pada penggunanya, maka efek
withdrawal yang paling sering muncul adalah kelelahan. Pengguna zat ini
kemungkinan juga akan membutuhkan waktu tidur yang lebih lama dan sangat
sensitif/mudah marah pada saat dibangunkan. Begitu efek obatnya hilang,
pengguna yang tadinya tidak merasa lapar kemudian menjadi sangat lapar. Pada
beberapa kalangan selebriti, penggunaan zat ini sering digunakan sebagai obat
untuk menurunkan nafsu makan. Namun sebenarnya sama saja karena nafsu
makan akan kembali meningkat setelah efek obatnya hilang. Itulah sebabnya
banyak selebriti perempuan yang mati-matian menjaga berat badannya dan
akhirnya berakhir pada kecanduan amfetamin.

2.4 Penyalahgunaan Amfetamin


Kebanyakan zat dalam narkoba sebenarnya digunakan untuk pengobatan
dan penefitian. Tetapi karena berbagai alasan, maka narkoba kemudian
disalahgunakan. Penggunaan terus menerus dan berlanjut akan
menyebabkan Ketergantungan atau Dependensi, yang bisa juga disebut
dengan Kecanduan. Tingkatan penyalahgunaan biasanya sebagai berikut:
1. Coba-coba
2. Senang-senang

3. Menggunakan pada saat atau keadaan tertentu

4. Penyalahgunaan

5. Ketergantungan

Amfetamin bisa disalahgunakan selama bertahun-tahun atau digunakan


sewaktu-waktu. Bisa terjadi ketergantungan fisik maupun ketergantungan
psikis. Dulu ketergantungan terhadap amfetamin timbul jika obat ini diresepkan
untuk menurunkan berat badan, tetapi sekarang penyalahgunaan amfetamin terjadi
karena penyaluran obat yang ilegal.
Beberapa amfetamin tidak digunakan untuk keperluan medis dan beberapa
lainnya dibuat dan digunakan secara ilegal. Di AS, yang paling banyak
disalahgunakan adalah metamfetamin. Penyalahgunaan MDMA sebelumnya
tersebar luas di Eropa, dan sekarang telah mencapai AS. Setelah menelan obat ini,
pemakai seringkali pergi ke disko untuk triping. MDMA mempengaruhi
penyerapan ulang serotonin (salah satu penghantar saraf tubuh) di otak dan diduga
menjadi racun bagi sistem saraf. (Adam, 2009)

2.6 Metode Pemeriksaan Amfetamin


2.6.1. Uji penapisan screening test
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel. Analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia
maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika
secara umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat,
kokain, kanabinoid, turunan amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan
senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, turunan metadon.
Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, disini
diambil senyawa golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar
morfin, beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin,
monoasetil morfin, morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida,
asetilkodein, kodein, kodein-6-glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya,
serta senyawa turunan opiat lainnya yang mempunyai inti morfin.
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan
derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya
relatif cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) Thin Layer Chromatography
(TLC) / kromatografi lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi warna,
b) teknik immunoassay. Teknik immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas
dan sensitifitas yang tinggi, serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang
relatif singkat, namun teknik ini menjadi relatif tidak murah.

a) Teknik Immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam
analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan anti-drug
antibody untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi
biologik). Jika di dalam matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigentarget)
maka dia akan berikatan dengan antidrug antibody, namun jika tidak ada
antigentarget maka anti-drug antibody akan berikatan dengan antigen-
penanda. Terdapat berbagai metode atau teknik untuk mendeteksi beberapa
ikatan antigen-antibodi ini, seperti enzyme linked immunoassay (ELISA),
enzyme multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization
immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio
immunoassay (RIA).
Pemilihan teknik ini sangat tergantung pada beban kerja (jumlah sampel
per-hari) yang ditangani oleh laboratorium toksikologi. Misal dipasaran teknik
ELISA atau EMIT terdapat dalam bentuk single test maupun multi test. Untuk
laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil pemilihan teknik single
test immunoassay akan lebih tepat ketimbang teknik multi test, namun biaya
analisa akan menjadi lebih mahal. Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan, bukan untuk menarik kesimpulan, karena
kemungkinan antibodi yang digunakan dapat bereaksi dengan berbagai senyawa
yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir sama.
Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang
mengandung pseudoefedrin akan memberi reaksi positif palsu terhadap test
immunoassay dari anti bodi- metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi
immunoassay (screening test) harus dilakukan uji pemastian (confirmatori test).
b) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya,
namun KLT kurang sensitif. Untuk meningkatkan sensitifitas KLT sangat
disarankan dalam analisis toksikologi forensik, uji penapisan dengan KLT
dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem pengembang dengan penampak
noda yang berbeda. Dengan menggunakan spektrofotodensitometri analit yang
telah terpisah dengan KLT dapat dideteksi spektrumnya (ultraviolet atau
fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan meningkatkan derajat sensitifitas dan
spesifisitas dari uji penapisan dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini
dapat digunakan untuk uji pemastian.
c) Uji pemastian confirmatory test
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan
kadarnya. Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun
harus lebih spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi
yang dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas-
spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
dengan diode-array detektor, kromatografi cair spektrofotometri massa (LC-
MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat
spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit,
sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang ada.
d) Uji konfirmasi kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS)
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik GC-MS adalah
analit dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya
dipastikan identitasnya menggunakan teknik spektrfotometri massa. Sebelumnya
analit diisolasi dari matrik biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan
dilewatkan ke kolom GC, dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan
metabolitnya, maka dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa
segolongannya atau metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC,
indeks retensi dari analit yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa
tersebut, namun hal ini belum cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik.
Analit yang terpisah akan memasuki spektrofotometri massa, di sini bergantung
dari metode fragmentasi pada MS, analit akan terfragmentasi menghasilkan pola
spektrum massa yang sangat karakteristik untuk setiap senyawa. Pola fragmentasi
(spetrum massa) ini merupakan karakteristik molekular dari suatu senyawa.
Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka identitas
dari analit dapat dikenali dan dipastikan.
(Anonim, 2012)

III. ALAT DAN BAHAN

Alat
Alat uji kaset
Pipet untuk meneteskan urin

Bahan
Specimen urin

IV. PROSEDUR

Urin yang digunakan


merupakan sampel

Alat uji kaset dan pipetnya di


persiapkan
Urin di pipet

Diteteskan pada alat uji kaset


sebanyak 3 tetes

Dibiarkan beberapa menit


sehingga menimbulkan warna

V. DATA PENGAMATAN

VI.

PEMBAHASAN
Obat-obat psikotoprika merupakan golongan obat yang penting dalam
dunia medis, seperti untuk analgesik, antitusif, sedatif dan anestetik. Namun,
obat golongan psikotropika ini merupakan golongan obat yang sering
disalahgunakan karena memiliki efek sedatif. Penyalahgunaan obat
merupakan penggunaan obat untuk memperoleh efek tertentu yang bukan
termasuk efek yang digunakan untuk tujuan terapi (pengobatan).
Amfetamin dengan nama dagang shabu merupakan salah satu obat
psikotropika yang paling banyak di salahgunakan. Untuk mendeteksi adanya
penyalahgunaan obat dapat dilakukan metode immunoassay dan untuk
meyakinkan hasilnya selanjutnya dilakukan uji konformasi dengan
menggunakan GC-MS. Pada uji skrinning digunakan nilai batas (cut-off)
untuk menentukan hasil positif dan negative dimana nilai batas ini berbeda-
beda pada tiap negara.
Pada praktikum ini dilakukan uji skrinning amphetamin dengan metode
immunoassay. Prinsip utama dari metode immunoassay ini adalah ikatan
antibodi kompetetif. Kandungan obat amphetamin yang mungkin terdapat
dalam sampel urin akan berkompetisi dengan konjugat obat masing-masing
untuk berikatan dengan tempat pengikatan pada antibodi.
Pemeriksaan kadar amfethamin ini menggunakan sampel yang berbeda-
beda pada tiap kelompok, sehingga tidak dilakukan pengulangan percobaan,
sehingga mempersempit tidak dapat dilakukan perbandingan hasil
pengulangan, dimana pengulangan yang satu dan yang lain hasil yang
diperoleh tidak boleh berbeda signifikan.
Spesimen urin yang digunakan diperoleh dari praktikan yang diambil
pukul 07.30 WIB pagi dan dianalisis saat itu juga dengan metode
immunoassay dengan menggunakan alat uji kaset dengan prinsip pengujian
immunoassay.
Pada pengujian ini, hal yang pertama dilakukan adalah pengumpulan
spesimen urin. Urin dikumpulkan dalam container spesimen urin. Sistem
pengumpulan spesimen urin yang biasa adalah 12 atau 24 jam pengumpulan
urin untuk melihat ekskresi analit selama 24 jam, akan tetapi pada praktikum
kali ini spesimen urin langsung di analisis (urin sewaktu).
Setelah sampel urin dikumpulkan dalam container, maka sampel urin diuji
dengan kaset. Kaset yang akan digunakan ditempatkan pada permukaan yang
agak tinggi dan bersih, kemudian urin dipipet dengan pipet khusus dan
kemudian urin yang terambil di teteskan sebanyak 3 tetes ( kira-kira 100 L )
diatas tempat spesimen secara vertikal kedalam lubang tersebut dan jangan
sampai terdapat lubang udara yang akan mempengaruhi naiknya sampel urin
pada kasset sehingga bercak garis yang dihasilkan tidak dapat teramati dengan
jelas. Adapun alat yang digunakan dapat digambarkan secara sederhana pada
gambar dibawah ini:
Pada gambar tersebut, terdapat dua tanda yaitu tanda T yang merupakan
tanda untuk Test dan tanda C yang merupakan tanda untuk kontrol. Ketika
sampel urin diteteskan pada lubang tempat spesimen, maka sampel akan
merambat naik karena pengaruh daya kapilaritas. Dalam kaset dengan garis
tanda C (kontrol) dilapisi oleh antibodi poliklonal kambing yang berikatan
dengan konjugat emas-protein dan bantalan pewarna yang mengandung
partikel koloidal emas yang dilapisis monoklonal antibodi tikus yang spesifik
untuk amfetamin. Sedangkan pada garis uji dilapisi oleh obat yang
terkonjugasi protein (bovin albumin murni).
Ketika sampel urin naik ke atas karena pengaruh kapilaritas, maka
amfetamin yang ada pada urin akan berkompetisi dengan konjugat protein
obat untuk berikatan dengan antibodi. Adapun ilustrasi dari reaksi ini
digambarkan seperti dibawah ini:

C T
Urin

Antibodi
Konjugat Protein
YY Amfetamin
obat

OO

Y Y Y Y
Gambar pembentukan warna pada strip

Ketika dalam urin terdapat amphetamin dengan kadar dibawah batas


konsentrasi, maka antibodi yang spesifik untuk amphetamin tidak akan
dijenuhkan oleh amphetamin yang ada pada sampel, sehingga antibodi yang
spesifik dengan amphetamin akan berikatan dengan konjugat protein obat
yang terdapat pada strip T sehingga akan timbul warna pada strip tersebut
akibat ikatan antara antibodi dengan konjugat protein obat ketika terbasahi
oleh urin. Sedangkan apabila dalam sampel terdapat amphetamin dengan
kadar diatas konsentrasi, maka antibodi yang spesifik untuk amphetamin akan
dijenuhkan oleh amphetamin yang ada pada sampel, sehingga antibodi yang
spesifik untuk amphetamin akan terjenuhkan dan afinitas ikatannya tinggi,
akibatnya tidak ada antibodi yang spesifik amphetamin yang akan berikatan
dengan konjugat protein obat. Karena tidak adanya ikatan antibodi yang
spesifik yamng berikatan dengan konjugat protein obat pada strip T, maka
tidak akan timbul warna pada strip tersebut ketika terbasahi oleh urin. Pada
strip C atau kontrol, berisi antibodi yang spesifik untuk amphetamin dan
konjugat emas-protein dan bantalan pewarna yang akan menimbulkan warna
pada strip ini ketika terbasahi urin ketika dalam urin tersebut mengandung
atau tidak mengandung amphetamin, jadi strip C berfungsi sebagai kontrol
yang mengindikasikan bahwa volume spesimen telah tepat dan sampai pada
ujung kaset dengan hasil yang akurat.
Pada praktikum ini, hasil pengujian menunjukkan bahwa urin yang
dianalisis tidak mengandung amfetamin diatas batas konsentrasi yang
ditunjukkan dengan munculnya warna pada strip Control dan strip Test.
Seharusnya untuk meyakinkan hasil dari uji strip selanjutnya dilakukan uji
konformasi dengan menggunakan GC-MS. Mass chromatografi (MS)
digunakan karena sensitifitas lebih tinggi karena mengukur intensitas ion zat.
Sedangkan gas chromatografi (GS) digunakan karena memiliki spesifitas lebih
tinggi karena dapat membedakan berbagai jenis zat sampai tingkat intensitas
ion, hambatan waktu dan bentuk kromatografinya. Akan tetapi, pada
pengujian ini hanya dilakukan skrinning amfetamin saja dengan menggunakan
uji strip, tanpa dikonfirmasi lanjut dengan GC atau MS.

VII. KESIMPULAN
Pada praktikum ini, hasil pengujian menunjukkan bahwa urin yang
dianalisis tidak mengandung amfetamin diatas batas konsentrasi yang
ditunjukkan dengan munculnya warna pada strip Control dan strip Test.

Daftar Pustaka

Adam, 2009. http://adamelsoin.blogspot.com/2009_04_01_archive.html.

diakses pada tanggal 11 November 2012


Anonim, 2012. http://id.scribd.com/doc/77003747/BAB-II. diakses pada

tanggal 11 November 2012

Anda mungkin juga menyukai