Anda di halaman 1dari 7

TOKSIKOLOGI

OLEH:

SITI INTAN KEMALA SARI


1702101010190
KELAS: 3
DOSEN PENGAJAR :
Dr.drh. Rinidar, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2020
Pengertian Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan
kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi
didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur
kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan
fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi.
Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan
cara pemberian. Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah racun;
tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun 1564
Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis
menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan
Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang
menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting
Pengertian Racun
Secara umum, racun merupakan zat padat, cair, atau gas, yang dapat mengganggu proses
kehidupan sel suatu organisme.4 Zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur oral
(mulut) maupun topikal (permukaan tubuh).5 Dalam hubungan dengan biologi, racun adalah zat
yang menyebabkan luka, sakit, dan kematian organisme, biasanya dengan reaksi kimia atau
aktivitas lainnya dalam skala molekul. Bapak Toksikologi, Paracelsus, menyatakan bahwa
Segala sesuatu adalah racun dan tidak ada yang tanpa racun. Hanya dosis yang membuat sesuatu
menjadi bukan racun (Dosis solum facit venum).⁶ Istilah racun bersinonim dengan kata toksin
dan bisa, namun memiliki definisi yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kata "toksin"
didefinisi sebagai racun yang dihasilkan dari proses biologi, atau sering disebut sebagai biotoksin
(Maramis,2016).
Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada tubuh
baik secara kimiawi dan biologis yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu penyakit
dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan menakisme kerjanya dalam tubuh
manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun
yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik
biasanya mempunyai afinitas terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis,
asam oksalat, dan karbon monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk
misalnya arsen, asam karbol, dan garam. Racun kimia adalah zat tertentu yang memiliki efek
merugikan pada jaringan manusia, organ, atau proses biologi. Sedangkan toksisitas merujuk pada
sifat- sifat zat kimia yang menggambarkan efek sampingyang mungkin dialami manusia akibat
kontak kulit atau mengkonsumsinya.

Metabolisme Racun Bersifat Lipofilik


Racun-racun yang bersifat sangat lipofilik (mudah berikatan dengan jaringan lemak)
misalnya jenis pestisida. Lipofilik (nonpolar) xenobiotik biasanya dimetabolisme di hati menjadi
metabolit hidrofilik, yang kemudian diekskresikan oleh ginjal.
Mekanisme Kerja Racun
Mekanisme kerja suatu racun zat terhadap suatu organ sasaran pada umumnya
melewati suatu rantai reaksi yang dapat dibedakan menjadi 3 fase utama :
1. Fase Eksposisi
2. Fase Toksikokinetik
3. Fase Toksikodinamik

A. Fase Eksposisi
Dalam fase ini terjadi kotak antara xenobiotika dengan organisme atau dengan lain kata,
terjadi paparan xenobiotika pada organisme, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek
toksik/farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada
dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam
konstek pembahasan efek obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase
farmaseutika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi
molekular di tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi
menuju sistem sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari
sediaan farmasi. Rute eksposisinya yaitu:

 Kulit
 Paru-paru
 Saluran cerna
B. Fase Toksikokinetik
Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada
dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi
menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran
darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor).
Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau
tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem
eksresi lainnya. Tahapan fase toksikokinetik yaitu:
 Fase absorbsi
 Fase distribusi
 Fase metabolisme
 Fase eksresi

1. Fase absorbsi
Proses pemindahan racun dari tempat eksposisi/tempat pemejanannya melintasi
membran biologi tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Penyerapan
parasetamol terjadi dengan cepat di duodenum, karena senyawanya sebagai asam
lemah. Jika pasien mengkonsumsi bersama makanan, mungkin ada penundaan pada
saat itu, namun tidak mengganggu penyerapan obat. Sama seperti konsumsi makanan
bersamaan yang menyebabkan penundaan waktu dalam penyerapan parasetamol,
pasien dengan penyakit hati kronis berisiko mengalami masa paruh obat serum yang
berkepanjangan (dengan rata-rata 2,0 sampai 2,5 jam, dan lebih dari 4 jam), terutama
jika mengkonsumsi formulasi parasetamol extendedrelease. Sementara overdosis
parasetamol menghasilkan konsentrasi serum puncak (10 - 20 mg / mL) dalam 4 jam.
Pasien yang minum obat sesuai dosis akan mencapai konsentrasi puncak dalam 1,5
jam, dengan waktu paruh 1,5 - 3 jam (Yoon, et al., 2016).
Setelah diabsorpsi dan didistribusikan di dalam tubuh, xenobiotika/xenobiotik
dapat dikeluarkan dengan capat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam
bentuk asalnya maupun sebagai metabolitnya. Jalur ekskresi utama adalah melalui
ginjal bersama urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting
bagi xenobiotik tertentu. Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain yang kurang
penting seperti, kelenjar keringat, kelenjar ludah, dan kelenjar mamae.
C. Fase Toksikodinamik
Fase toksikodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang
bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang,
bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Efek toksik/farmakologik
suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh sifat toksokinetik xenobiotika, akan tetapi
juga tergantung kepada faktor yang lain seperti:

 bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang digunakan,

 jenis dan tempat eksposisi,

 keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,

 distribusi xenobiotika dalam organisme,

 ikatan dan lokalisasi dalam jaringan,

 biotransformasi (proses metabolisme), dan

 keterekskresian dan kecepatan ekskresi, dimana semua faktor di atas dapat dirangkum
ke dalam parameter farmaseutika dan toksokinetika (farmakokinetika).
Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik
(irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh
interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia
kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat
biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan
peroksida. Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.
Eksposisi (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim terhadap manusia
atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik, produk rumah
tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran industri di tempat kerja, ialah
pemejanan sengaja atau tidak sengaja pada kulit. Kulit terdiri atas epidermis (bagian
paling luar) dan dermis, yang terletak di atas jaringan subkutan. Tebal lapisan epidermis
adalah relative tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm, sedangkan dermis sekitar 2 mm.
Dua lapisan ini dipisahkan oleh suatu membran basal.
Toksikodinamik , disebut farmakodinamik dalam farmakologi , menjelaskan interaksi
dinamis dari racun dengan target biologis dan efek biologisnya. [1] Target biologis , juga dikenal
sebagai tempat aksi, dapat mengikat protein, saluran ion , DNA , atau berbagai reseptor
lain. Ketika racun memasuki suatu organisme, ia dapat berinteraksi dengan reseptor ini dan
menghasilkan perubahan struktural atau fungsional. Mekanisme kerja racun, sebagaimana
ditentukan oleh sifat kimia racun, akan menentukan reseptor apa yang ditargetkan dan efek racun
keseluruhan pada tingkat sel dan tingkat organisme.
Toksik telah dikelompokkan bersama menurut sifat kimianya melalui hubungan struktur-
aktivitas kuantitatif (QSARs), yang memungkinkan prediksi aksi toksik berdasarkan sifat-sifat
ini. bahan kimia pengganggu endokrin (EDC) dan karsinogen adalah contoh dari kelas racun
yang dapat bertindak sebagai QSAR. EDC meniru atau memblokir aktivasi transkripsional yang
biasanya disebabkan oleh hormon steroid alami. Jenis bahan kimia ini dapat bekerja
pada reseptor androgen , reseptor estrogen dan reseptor hormon tiroid . Mekanisme ini dapat
mencakup racun seperti dichlorodiphenyltrichloroethane (DDE) dan biphenyls
polychlorinated (PCBs). Kelas bahan kimia lain, karsinogen, adalah zat yang
menyebabkan kanker dan dapat diklasifikasikan sebagai karsinogen genotoksik atau
nongenotoksik. Kategori-kategori ini termasuk racun seperti polycyclic aromatic
hydrocarbon (PAHs) dan carbon tetrachloride (CCl 4 ).
Proses toksikodinamik dapat berguna untuk aplikasi dalam penilaian risiko lingkungan
dengan menerapkan model toksikokinetik-toksikodinamik (TKTD). Model TKTD termasuk
fenomena seperti paparan waktu yang bervariasi, toksisitas carry-over, waktu pemulihan
organisme, efek campuran, dan ekstrapolasi bahan kimia dan spesies yang belum diuji
1. Fase I
Merupakan reaksi non sintetik, Terjadi pembentukan gugus fungsionil atau perubahan gugus
fungsionil yang sudah ada pada molekul xenobiotik. Bertujuan untul membuat senyawa menjadi
lebih polar dan digunakan sebagai substrat untuk reaksi konjugasi pada fase II. Pada kondisi
tertentu fase ini dapat merubah senyawa inaktif menjadi aktif.
2. Fase II
Merupakan reaksi sintetik/konjugasi. Terjadi penggabungan substrat yang dihasilkan dari
reaksi fase I, pada gugus fungsionilnya dengan senyawa endogen (glukoronida, ester sulfat,
glutation, asam amino (glysine dan glutamin), asam asetat).
Reaksi sintesis ini meliputi:

 Konjugasi dengan glukoronyl (glukoronidasi)


 konjugasi dengan asam amino
 Konjugasi dengan glutation
 Konjugasi dengan sulfat Hidrasi
 Metilasi
 Asetilasi

Reaksi fase 2 dikatalisis oleh enzim-enzim sitosolik kecuali glukoronil transferase.


DAFTAR PUSTAKA
Manahan, E.S. (2003). Toxicological Chemistry and Biochemistry, 3rd ed. Lewis Publisher,
London.
Maramis, M.R. (2016). Analisis yuridis terhadap racun penyebab kematian yang berkaitan
dengan tindak kekerasan. Jurnal Hukum Unsrat. 22(7):44-50.
Purnama, S.G. (2017). Toksikologi Lingkungan Pariwisata. UCG Kedokteran, Udayana.
Rahayu, M., dan M.F. Solihat. (2018). Toksikologi Klinik. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Yoon, et al., E, Babar A, Choudhary M, Kutner M, Pyrsopoulos N. (2016).
AcetaminophenInduced Hepatotoxicity: a Comprehensive Update. Journal of
Clinical and Translational Hepatology. 4(2):131-142.

Anda mungkin juga menyukai