Anda di halaman 1dari 10

Dasar Teori

Hewan percobaan yang digunakan di laboratorium tidak ternilai jasanya dalam


penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta keamanan dan senyawa bioaktif.
Hewan percobaan merupakan kunci di dalam pengembangan senyawa bioaktif dan
usaha-usaha kesehatan (Malole, 1989).
Suatu bahan agar dapat dipergunakan sebagai obat harus memenuhi tiga
persyaratan, yaitu memiliki khasiat, aman serta karakteristik. Dalam
percobaan/penelitian farmakologi, hewan harus diperlakukan atau ditangani dengan
sebaik-baiknya, dan perilaku yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam hasil percobaan. Penangan hewan
meliputi cara memelihara, cara memegang, memberikan sediaan, menganestesi dan
mengorbankan. Untuk itu, sifat-sifat khusus setiap jenis hewan percobaan perlu
diketahui dan diperhatikan. Disamping itu, faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi hasil percobaan dan cara pemberian obat perlu dipelajari dengan
sebaik-baiknya (Mangkoewidjojo, 1998) .

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Percobaan


Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih
sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa
bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai fartor, yaitu:
(Malole 1989:475).
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri adalah umur, jenis kelamin, bobot
badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang,
populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan
percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan,dan cara
pemeliharaan. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi
respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan
yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan,
memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu, cara pemberian senyawa
bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap
senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara
pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk
sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan.
Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif
harus melalui proses absorpsi terlebih dahulu kemudian sifat fisiologi yang
berpengaruh.

Karakteristik Hewan Percobaan


Dalam praktikum farmakologi, hewan percobaan yang biasa digunakan adalah
mencit, tikus, kelinci dan marmot. Setiap jenis hewan tersebut mempunyai karakteristik
masing-masing (Mangkoewidjojo, 1998).
1. Mencit
Mencit bersifat penakut, fotofobia, cenderung berkumpul sesamanya, mudah
ditangani, lebih aktif pada malam hari, aktivitas terganggu dengan adanya
manusia, suhu normal badan 37,4 oC dan laju respirasi 163/menit. Farmakope
Indonesia edisi III-1979 mengemukakan kriteria bobot mencit yang digunakan
adalah sekitar 17-25gr.
Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya (Syafri, M. 2010):
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur disapih : 21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : poliestrus
Perkawinan : pada waktu estrus
Berat dewasa : 20-40 gram (jantan) dan 18-35 gram (betina)
2. Tikus
Tikus bersifat sangat cerdas, mudah ditangani, tidak begitu bersifat fotofobik, lebih
resisten terhadap infeksi, kencenderungan berkumpul dengan sesama sangat
kurang, jika makan kurang atau diperlakukan secara kasar akan menjadi liar, galak
dan menyerang si pemegang, suhu normal badan 37,5 oC dan laju respirasi
210/menit. Farmakope Indonesia edisi III-1979 mengemukakan kriteria bobot
mencit yang digunakan adalah sekitar 150-200gr.
Data biologis tikus menurut Smith & Mangkoewidjojo (1998) :
Lama hidup : 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun.
Lama Bunting : 20-22 hari.
Kawin sesudah beranak : 1 sampai 24 jam.
Umur disapih : 21 hari.
Umur dewasa : 40-60 hari.
Umur dikawinkan : 10 minggu (jantan dan betina).
Siklus kelamin : Poliestrus.
Siklus estrus (birahi) : 4-5 hari.
Lama estrus : 9-20 jam.
Perkawinan : Pada waktu estrus.
Ovulasi : 8-11 jam sesudah timbul estrus.
Jumlah anak : Rata-rata 9-20.
Puting susu : 12 puting
Susu : Air 73 %, lemak 14-16 %, protein 9-10 %, Gula
2-3 %.
Perkawinan kelompok : 3 betina dengan 1 jantan.
Mencit dan tikus digunakan sebagai hewan model hidup dalam berbagai
kegiatan penelitan terutama yang akan diterapkan pada manusia. Hewan ini mudah
didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya relatip murah, ukurannya kecil
sehingga mudah ditangani, jumlah anak perperanakannya banyak. Sebagaimana
makhluk hidup lainnya selama pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat
lepas dari pengaruh berbagai faktor lingkungan hidupnya. ( Sundari, 2011).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula
diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-
beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa
sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G,
1989).

Cara Memegang Hewan Percobaan


Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan,
biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian
tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang
mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari
manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap
untuk diberi perlakuan (Malole, 1989).

Cara Pemberian Obat


Berbagai cara pemberian perlakuan terhadap hewan coba dapat dilakukan
dengan cara:
1. Cara pemberian oral
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang
dilengkapi jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam
mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang
sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara
peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang
mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke
dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan
kematian (Thomson, E.B, 1985).
2. Cara pemberian intra peritoneal
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya
tegang.Pada saat penyuntikkan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen yaitu dengan
menunggingkan mencit atau tikus Jarum disuntikkan sehingga membentuk sudut 46
derajat dengan abdomen, posisi jarum agak menepi dari garis tengah (linea alba) untuk
menghindari agar tidak mengenai organ di dalam peritoneum (Thomson, E.B , 1985).
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di
antara jempol kemudian jarum di masukan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut
(Thomson, E.B , 1985).
4. Cara pemberian intramuskular
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha (Thomson, E.B,
1985) .
5. Cara pemberian intravena
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang
individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk
memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau
dengan air hangat cara lain Masukkan hewan ke dalam “holder” sehingga ekor terjulur
ke luar. Obat disuntikkan pada vena ekor (vena lateral) dengan terlebih dahulu vena
ekor di dilatasi menggunakan alkohol atau xylol (Thomson, E.B , 1985).

Anestesi pada Hewan Percobaan


Perlakuan anestesi terhadap hewan percobaan kadang kala diperlukan untuk
memudahkan cara pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena penis
tikus) dan untuk percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran tekanan darah
insitu pada carotid hewan dengan manometer condon. Umumnya anestesi hewan
percobaan dapat dilakukan dengan pemebrian uretan sebesar 1,2 gram/kg bobot badan
yang diberikan secara intraperitoneal.

Cara Mengorbankan Hewan Percobaan


1. Pengorbanan hewan sering diperlakukan apabila keadaan rasa sakit yang hebat
atau lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita
sakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan.
2. Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu dilakukan sedemikian sehingga
hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara fisik
yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan
berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada
tujuan dari pengorbanan hewan percobaan dalam rangkaian percobaan.
3. Cara pengorbanan hewan lain adalah dengan menggunakan gas karbondioksida
dalam wadah khusus atau dengan pemberian pentobarbital natrium pada takaran
letalnya.

Faktor Konversi Dosis


Volume cairan yang diberikan pada setiap jenis hewan percobaan tidak boleh
melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan.
Hewan Volume Maksimum Cairan yang Boleh Diberikan
Percobaan i.v i.m i.p s.c p.o
Mencit 0,5 0,05 1 0,5 1
Tikus 1 0,1 3 2 5
Kelinci 5-10 0,5 10 3 20
Marmot 2 0,2 3 3 10
Sediaan yang diberikan kepada hewan secara oral dapat berupa larutan ataupun
suspense (untuk senyawa yang tidak larut dalam air) (Harmita,Maksum Radji, 2008).
Perbandingan luas permukaan tubuh hewan (digunakan sebagai faktor konversi
dosis antar spesies hewan) (Harmita,Maksum Radji, 2008)

Dosis Dosis pada hewan yang dicari


yang Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
diket 20g 200 g 400g 1,5 Kg 2,0Kg 4 Kg 12 Kg 70 Kg
20 g
1,0 7,0 12,25 27,8 23,7 64,1 124,2 387,9
Mencit
200 g
0,14 1,0 1,74 3,3 4,2 9,21 17,8 56,0
Tikus
400 g
0,08 0,57 1,0 2,,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Marmot
1,5 g
0,04 0,25 0,44 1,0 1,06 2,4 4,5 14,2
Kelinci
2 kg
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
Kucing
4 kg
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Kera
12 kg
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Anjing
70 Kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
Manusia

Rute Pemberian Obat


Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzug, 1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta
kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti
berikut:
a) Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b) Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c) Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d) Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e) Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
f) Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-
macam rute
g) Kemampuan pasien menelan obat melalui oral
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008:127):
a) Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI),
seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian
melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena
paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian
dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat
diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan
obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan
dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan
melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat
harus diberikan secara enteral.
b) Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea
menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini
dapat menimbulkan efek sistemik atau local.
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan,
dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian
secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan
intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran
darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain
adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses
penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan
atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan (Siswandono, 1995).
Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:

No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat


1. Per oral (per os) Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung),
penyerapan obat melalui membran mukosa pada
lambung dan usus memberi efek sistemik
2. Sublingual Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui
membran mukosa, memberi efek sistemik
3 Parenteral atau melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap
injeksi jaringan
a. intravena Masuk pembuluh darah balik (vena), sistemik
b. intrakardial Menembus jantung, memberi efek sistemik
c. intraperitonial Menembus sekitar rongga perut, memberi efek sistemik
d. subkutan Di bawah kulit, memberi efek sistemik
e. intramuskular Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4 Rektal Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal +
sistemik
5 Vaginal Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita,
memberi efek lokal
6 Uretral Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek
lokal
(Anief, M., 1994).
Daftar Pustaka:
Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dirjen POM. 1976. Farmakope Indonesia, Edisi Ke-III. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI
Harmita dan Radji, M., 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. Dalam: Buku Ajar.
Analisis Hayati, Ed.3. EGC, Jakarta.
Katzung, B., G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:Salemba Medika
Malole, M.M.B, Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Hewan Percobaan
Laboratorium. Bogor : IPB. DitJen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi.
Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi & Keperawatan
Edisi II. Jakarta:Leskonfi
Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Penerbit Airlangga
University Press.
Smith, B. J. B dan S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia:
Jakarta
Thomson, E. B. 1985. Drug Bioscreening. America: Graceway Publishing Company

Anda mungkin juga menyukai