Pembimbing:
dr. Luse, Sp.PD
Disusun Oleh:
Adelaide Suriady 201706010110
Renandha Septaryan Yustira 201706010119
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat mengenai “Diagnosis dan Manajemen Krisis
Hiperglikemi” sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Luse, Sp.PD atas waktu dan bimbingan
yang telah diberikan selama proses pembuatan referat ini.
Seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa referat
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk memperbaiki kekurangan referat ini di kemudian hari. Penulis juga
memohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan. Di akhir kata, penulis
berharap agar referat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Atas perhatian yang
diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 10 Mei
2018
Penulis
DAFTAR ISI
2.4. Diagnosis4,5,8
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, biasanya proses perjalanan HHS
memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu sekitar beberapa hari hingga beberapa
minggu, dibandingkan dengan DKA yang jauh lebih singkat. Meskipun gejala dari
diabetes yang tidak terkontrol telah ada untuk beberapa hari, namun perubahan
metabolis yang mengarah ke ketoasidosis biasanya dapat terbentuk dalam waktu
yang cukup singkat (<24 jam). Untuk DKA dan HHS, gejala klasik yang biasanya
ditemukan adalah poliuria, polidipsi, penurunan berat badan, muntah, dehidrasi,
lemas, dan perubahan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan
yaitu, tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit yang buruk, sunken eyeballs, takikardia,
hipotensi, dan shock), pernapasan Kussmaul dan berbau keton (pada DKA).
Perubahan status mental dapat beragam mulai dari sadar penuh, letargi, bahkan koma
namun perubahan status mental pada pasien DKA lebih jarang bila dibandingkan
dengan HHS.. Gangguan neurologis seperti hemianopsia dan hemiparesis serta
kejang sering terjadi pada HHS. Mual, muntah, dan nyeri abdomen merupakan gejala
yang lebih sering ditemukan pada pasien dengan DKA dibandingkan HHS. Pasien
biasanya memiliki suhu yang normal atau bahkan hipotermia ringan meskipun
terdapat infeksi dikarenakan vasodilatasi perifer.
Pemeriksaan laboratorium yang berguna sebagai kriteria diagnosis DKA dan
HHS yaitu meliputi glukosa plasma, blood urea nitrogen, kreatinin, elektrolit
(dengan anion gap), osmolalitas, keton di dalam serum dan urin, urinalisis, analisis
gas darah, dan pemeriksaan darah lengkap. EKG, rontgen thorax, kultur urin, darah,
atau sputum juga dapat berguna dalam mendiagnosis DKA dan HHS.
DKA memiliki kriteria yaitu glukosa darah >250 mg/dL, ketonemia atau
ketonuria yang moderat, pH arteri <7.3, bikarbonat <15mEq/L dan anion gap >12
mmol/L. Untuk mendiagnosis HHS biasanya ditemukan peningkatan glukosa darah
yang tinggi yaitu >600 mg/dL, ketonuria minimal atau tidak ada, osmolalitas serum
>320 mOsm/kg, pH arteri >7.3 dan bikarbonat >15 mEq/L.
DKA dapat dibagi menjadi beberapa derajat keparahan yaitu ringan, sedang,
dan berat, yang dibagi berdasarkan keparahan asidosis metabolik (pH darah,
bikarbonat dan keton) dan perubahan status mental. Yang terpenting dalam
mendiagnosis DKA adalah ditemukannya peningkatan konsentrasi keton di dalam
darah. Untuk mengetahui keton di dalam darah dapat menggunakan test reaksi
nitroprusside. Akumulasi keton dapat meningkatkan anion gap asidosis metabolik
yaitu sebesar >10-12 mEq/l. HHS dikarakteristikkan dengan hiperglikemia berat dan
dehidrasi disertai dengan perubahan status mental, tanpa adanya tanda - tanda
asidosis.
Leukositosis merupakan temuan yang umum pada pasien DKA dan HHS,
dengan rentang 10.000-15.000 mm3 dan hal tersebut tidak menunjukkan indikasi
adanya suatu infeksi, namun jika leukositosis >25.000 mm3 maka perlu dipikirkan
adanya infeksi dan diperlukan tatalaksana yang lebih lanjut. Penyebab pasti
leukositosis masih belum diketahui, akan tetapi pada suatu penelitian menyebutkan
dalam keadaan ketoasidosis, leukositosis dapat terjadi karena stress dan berhubungan
dengan peningkatan kadar kortisol, katekolamine, dan sitokin proinflamasi seperti
TNF-α.
.
Gambar 4. Diagnosis DKA dan HHS
2.5. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana DKA dan HHS mencangkup koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan keseimbangan elektrolit. Konfirmasi diagnosis dari pasien dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta melakukan pemeriksaan glukosa plasma
darah, pH darah arteri, elektrolit, keton urine atau keton darah.
● IV Fluid
Resusitasi cairan bertujuan untuk ekspansi volume intravaskular,
interstisial dan intraselular dan memperbaiki perfusi ginjal. Dapat dilakukan
pemberian NaCl 0,9% sebanyak 15 - 20 mL/kgBB/jam atau 1 - 1,5 L / jam.
Pemilihan terapi resusitasi cairan tergantung dari kondisi hemodinamik, status
hidrasi, serum elektrolit dan urine output. Dalam kondisi serum Na+ terkoreksi
normal atau tinggi dapat diberikan NaCl 0,45% sebanyak 250 - 500 mL/ jam.
Dalam kondisi Na+ terkoreksi rendah dapat diberikan NaCl 0,9% sebanyak 250 -
500mL/jam. Apabila kadar gula darah mencapai 200 mg/dL pada DKA atau 300
mg/dL pada HHS, maka dapat dilakukan penggantian dengan menggunakan
dextrose 5% dan NaCl 0,45% sebanyak 150 - 250 ml/jam.
Pada DKA, koreksi hiperglikemi dilakukan lebih cepat dari koreksi
ketoasidosis. Umumnya waktu hingga kadar gula darah mencapai <250 mg/dL
adalah 6 jam sedangkan koreksi ketoasidosis (pH > 7,3 dan bikarbonat > 18
mmol/L) terkoreksi dalam 12 jam. Pemberian dextrose 5% adalah untuk
mencegah terjadinya hipoglikemia apabila dilakukan pemberian insulin.
● Insulin
Pemberian insulin dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
continuous intravenous infusion atau dengan injeksi subkutan atau intramuskular.
Penggunaan continuous intravenous infusion lebih dipilih karena memiliki waktu
paruh yang singkat dan titrasi yang lebih mudah dibandingkan dengan injeksi
subkutan yang memiliki waktu aksi lebih lama dan waktu paruh yang lebih
panjang. Lakukan pemberian bolus insulin short acting dengan dosis 0,1 U/kgBB
kemudian infusi 0,1 U/kgBB/jam atau infusi insulin dengan dosis 0,14
U/kgBB/jam. Cek kembali dalam 1 jam, apabila tidak terdapat penurunan kadar
gula sebanyak 10%, lakukan pemberian bolus insulin 0,14 U/kgBB/jam dan
lanjutkan infusi insulin. Insulin tidak boleh diberikan apabila serum potasium <
3,3 mmol/L (3,3 meq/L). Lakukan koreksi serum potasium terlebih dahulu
sebelum melakukan pemberian insulin.
a. Pada DKA, apabila serum glukosa mencapai 200 mg/dL, kurangi dosis
insulin infusi menjadi 0,02 - 0,05 U/kgBB/jam atau berikan insulin rapid
acting 0,1 U/kgBB/2jam secara SC. Pertahankan kadar serum glukosa
diantara 150 - 200 mg/dL hingga resolusi DKA.
b. Pada HHS, apabila serum glukosa mencapai 300 mg/dL, kurangi infusi
insulin menjadi 0,02 - 0,05 U/kgBB/jam dan pertahankan kadar serum
glukosa diantara 200 - 300 mg/dL hingga pasien sadarkan diri.
● Bikarbonat
Pemberian bikarbonat dapat dilakukan apabila pH < 6,9 dengan
menggunakan 100mmol dalam 400 mL H2O + 20mEq KCL, infus dalam waktu
2 jam, dan diulang setiap 2 jam hingga pH >= 7. Lakukan monitor Kalium setiap
2 jam.
● Potasium
Apabila serum Potasium < 3,3 mEq/L, tunda pemberian insulin dan
berikan 20 - 30 mEq/jam hingga serum Potasium > 3,3 mEq/L. Apabila serum
Potasium > 5,2 mEq/L, lakukan pemeriksaan serum potasium setiap 2 jam.
Apabila serum Potasium 3,3 - 5,2 mEq/L lakukan pemberian 20 - 30 mEq
Potasium per 1 liter IV fluid untuk mempertahankan serum Potasium diantara 4 -
5 mEq/L.
● Lakukan pemeriksaan elektrolit, BUN, pH darah, kreatinin dan glukosa setiap 2 -
4 jam hingga stabil. Setelah resolusi DKA atau HHS dan pasien sudah dapat
makan, lakukan pemberian regimen SC multidose insulin. Untuk mengubah
pemberian insulin IV menjadi SC, berikan jarak waktu 1 - 2 jam setelah
penghentian insulin infusi untuk memulai pemberian insulin SC.. Insulin dapat
diberikan 0,5 - 0,8 U/kgBB/hari.
2.6. Komplikasi5,6
Penggunaan insulin dan bikarbonat yang berlebihan dapat menyebabkan
hipoglikemia dan hipokalemia pada pasien DKA. Maka dari itu, pemantauan glukosa
darah setiap 1-2 jam diperlukan untuk menghindari hipoglikemia karena pada pasien
DKA yang mengalami hipoglikemia saat terapi tidak terdapat manifestasi adrenergik
seperti berkeringat, cemas, lapar, dan takikardia. Namun komplikasi ini biasanya
dapat terhindar jika menggunakan dosis insulin yang rendah.
Edema otak dapat terjadi pada pasien DKA dan HHS walaupun sangat jarang
terjadi, dengan prevalensi 0,3-1% pada anak-anak, namun memiliki angka mortalitas
yang cukup tinggi yaitu sebesar 20-40% dan menyebabkan kematian 57-87% pada
anak-anak dengan DKA. Gejala dari edema otak sangat beragam yaitu meliputi sakit
kepala, penurunan kesadaran secara gradual, kejang, papilledema, perubahan ukuran
pupil, bradikardia, peningkatan tekanan darah, dan apnea. Penyebab terjadinya
edema serebral belum diketahui dengan pasti. Terdapat beberapa mekanisme yang
diperkirakan dapat menyebabkan edema otak yaitu antara lain iskemia atau hipoksia
serebral, adanya mediator inflamasi, peningkatan aliran darah serebral, gangguan
transport ion membran sel, dan perpindahan cairan yang terus menerus di
ekstraseluler dan intraseluler sehingga menyebabkan gangguan osmolalitas.
Untuk menghindari terjadinya edema otak maka perlu menghindari
pemberian cairan berlebih dan penurunan osmolaritas serum yang cepat; penurunan
glukosa darah secara gradual, dan menjaga glukosa serum diantara 250-300 mg/dL
hingga osmolalitas serum normal dan status mental membaik. Pemberian manitol dan
ventilasi mekanik dapat diberikan untuk membantu pengobatan edema serebral.
2.7. Prevensi5
Langkah pertama untuk mencegah agar tidak terjadi DKA dan HHS adalah
dengan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien mengenai kondisi DM
yang pasien alami sehingga pasien dapat teredukasi dengan baik. Yang terpenting
dalam langkah ini adalah pasien teredukasi bagaimana cara memanajemen DM yang
ia miliki dalam kehiduapan sehari-hari, yaitu dengan mengedukasi:
1. Kapan untuk menghubungi dokter
2. Pentingnya penggunaan insulin sehari-hari dan alasan untuk tidak menghentikan
insulin tanpa persetujuan dokter
3. Pemeriksaan glukosa darah berkala
4. Memiliki obat-obatan untuk menurunkan demam dan untuk mengobati infeksi
5. Edukasi anggota keluarga untuk melakukan pencatatan suhu tubuh, gula darah,
pemberian insulin, berat badan dan makanan.
BAB III
KESIMPULAN
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada DM baik
tipe 1 dan tipe 2. Krisis hiperglikemia terbagi menjadi 2 yaitu DKA dan (HHS). DKA
disebabkan oleh defisiensi relatif atau absolut insulin dan peningkatan hormon
counterregulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone) yang akan
menyebabkan kondisi hiperglikemia dan ketosis. HHS disebabkan oleh defisiensi relatif
insulin dan ketidakcukupan intake cairan. Kedua keadaan tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit
guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
Untuk DKA dan HHS, gejala klasik yang biasanya ditemukan adalah poliuria,
polidipsi, penurunan berat badan, muntah, dehidrasi, lemas, dan perubahan kesadaran.
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan yaitu, tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit
yang buruk, sunken eyeballs, takikardia, hipotensi, dan shock), pernapasan Kussmaul
dan berbau keton (pada DKA). Pemeriksaan laboratorium yang berguna sebagai kriteria
diagnosis DKA dan HHS yaitu meliputi glukosa plasma, blood urea nitrogen, kreatinin,
elektrolit (dengan anion gap), osmolalitas, keton di dalam serum dan urin, urinalisis,
analisis gas darah, dan pemeriksaan darah lengkap. EKG, rontgen thorax, kultur urin,
darah, atau sputum juga dapat berguna dalam mendiagnosis DKA dan HHS.
Tatalaksana DKA dan HHS mencangkup koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan
keseimbangan elektrolit. Konfirmasi diagnosis dari pasien dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Pasien perlu
diberikan edukasi mengenai kondisi DM yang pasien alami sehingga pasien dapat
memahami dengan baik. Yang terpenting dalam langkah ini adalah pasien teredukasi
bagaimana cara memanajemen DM yang ia miliki dalam kehiduapan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
3. Wolfsdorf JI, Allgrove J, Craig ME, Edge J, Glaser N, Jain V, et al. ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines 2014. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar state. Pediatr Diabetes. 2014 Sep;15 Suppl 20:154–79.
5. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic Crises in Adult
Patients With Diabetes. Diabetes Care. 2009 Jul;32(7):1335–43.
6. Pasquel FJ, Umpierrez GE. Hyperosmolar hyperglycemic state: a historic review of the
clinical presentation, diagnosis, and treatment. Diabetes Care. 2014 Nov;37(11):3124–31.
7. Ness-Otunnu RV, Hack JB. Hyperglycemic Crisis. J Emerg Med. 2013 Nov 1;45(5):797–
805.