PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kasus surrogate
mother membuat manusia lupa akan makna filosofi kehidupan.
Perkembangan ilmu bioteknologi reproduksi yang awalnya menjadi solusi
untuk pasangan yang tidak mempunyai keturunan menjadi praktik yang
mengindahkan etika, hukum dan agama (Sachrowardi, 2013). Banyak negara
di dunia yang tidak setuju atau menolak praktik surrogate mother atau sering
disebuat sewa rahim ini, tetapi banyak juga negara yang membolehkan
praktik surrogate mother ini misalnya India, Ukrania Cina, Inggris dan
Amerika (Fentonglynn, 2015).
Perkembangan bioetik diawali dengan penemuan pembuahan in-vitro
atau lebih dikenal dengan bayi tabung oleh 2 dokter asal Inggris Patrick C.
Steptoe dan Robert G. Edwards pada tahun 1973 (Rintamo S., 2016).
Perkembangan inseminasi buatan melalui bayi tabung ini kemudian
berkembang lagi menjadi praktik sewa rahim atau surrogate mother.
Surrogate mother adalah praktik penyewaan rahim seorang perempuan dalam
suatu ikatan perjanjian untuk menjadi hamil yang kemudian bayi tersebut
diserahkan kepada pihak lain untuk mendapatkan imbalan materi seperti
kesepakatan yang telah disepakati(Wijaya, 2015).
Di India praktik ibu pengganti atau sewa rahim atau surrogate mother
memang legal dilakukan dan menjadi praktik yang dijadikan bisnis untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Perempuan yang mempunyai latar belakang
ekonomi rendah atau keluarga miskin adalah yang sering menjadi subyek ibu
pengganti (Saxena P et al, 2012). Banyak perempuan di India melakukan
praktik sewa rahim karena dipaksa ibu atau suami untuk kebutuhan finansial.
Praktek ini sama halnya dengan prostitusi dan tidak ada hukum di India yang
melindungi kasus surrogate mother. Padahal bisnis sewa rahim ini sudah
memiliki rasio kematian ibu yang tinggi (Nandi A, 2015).
Kasus Inseminasi Buatan di Amerika Serikat, Mary Beth Whitehead
sebagai ibu pengganti (surrogate mother) yang berprofesi sebagai pekerja
kehamilan dari pasangan William dan Elizabeth Stern pada akhirnya
memutuskan untuk mempertahankan anak yang dilahirkannya. Timbul
sengketa diantara mereka yang kemudian oleh Pengadilan New Jersey,
ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam perlindungan ayah biologisnya,
sementara Mrs. Mary Beth Whitehead (ibu pengganti) diberi hak untuk
mengunjungi anak tersebut (Ragoné, 1996).
Di Italia, memiliki peraturan hukum yang ketat mengenai surrogate
mother. Italia hanya melegalkan proses bayi tabung yang ditanamkan dari
pasangan suami istri pendonor seperti halnya di Indonesia. Bayi yang lahir
melalui proses bayi tabung harus dibuktikan secara hukum melalui tes DNA
untuk memiliki kewarganegaraan Italia. Sebuah kasus dari pasangan suami
istri di Italia yang tidak bisa memiliki keturunan karena istri mengalami
histerektomi dan suami mengalami oligosperma memilih melakukan
surrogate mother di klinik yang berada di Ukraina. Setelah bayi lahir dan
waktunya mendaftarkan bayi sebagai warga Negara italia. Pengadilan
menolak karena secara fakta bayi tidak mempunyai kesamaan DNA dengan
ibu maupun ayah. Kasus pun berlanjut dengan tuntutan kepada klinik di
Ukrania yang menambah permasalahan etik yang timbul karena surrogated
mother (Frati P et al, 2015).
Di Indonesia, praktik bayi tabung dari sel sprema dan ovum pasangan
suami istri yang kemudian ditanamkan ke rahim ibu pasangan pendonor
tersebut legal dilakukan dan diatur di dalam hukum. Sedangkan kasus
Surrogate mother merupakan kasus yang melanggar Undang-undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Berbantu. Selain itu hal ini tidak memenuhi syarat sah
perjanjian yang diatur di dalam KUHP pasal 1320 BW tentang syarat sah
perjanjian terkait dengan objek atau karena sebab yang halal (Setiawan FB et
al., 2013).
Praktik surrogate mother atau ibu pengganti yang ditanam ke rahim
orang lain bukan pemilik pasangan pendonor karena alasan medis atau suatu
sebab tertentu masih menimbulkan isu etik yang menyebabkan kontroversial
sampai saat ini. Beberapa dampak negatif dan permasalahan yang timbul dari
praktik surrogate mother diantaranya yaitu kasus pelanggaran hak azasi
perempuan, kasus penyimpangan ke arah perdagangan atau bisnis berbau
komersial dan mementingkan finansial, kasus perebutan hak asuh anak, kasus
kewarganegaraan dan masih banyak lagi (Bhatia K et al, 2009).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis ingin menganalisis
“Bagaimana cara pandang praktik surrogate mother secara etik, moral,
hukum, agama dan kaidah bioetika segi autonomy, beneficence, non
malficence, dan justice di Indonesia serta bagaiman pemecahan untuk
masalah etis tersebut?
C. Tujuan
Tujuan penulis mengambil topik surrogate mother yaitu:
1. Untuk mengetahui pandangan secara etik praktik surrogate mother
di Indonesia
2. Untuk mengetahui pandangan secara hukum praktik surrogate
mother di Indonesia
3. Untuk mengetahui pandangan secara agama praktik surrogate
mother di Indonesia
4. Untuk mengetahui kaidah bioetika dari segi autonomy dalam
praktik surrogate mother di Indonesia
5. Untuk mengetahui kaidah bioetika dari segi beneficence dalam
praktik surrogate mother di Indonesia
6. Untuk mengetahui kaidah bioetika dari segi non - malficence
dalam praktik surrogate mother di Indonesia
7. Untuk mengetahui kaidah bioetika dari segi justice dalam praktik
surrogate mother di Indonesia
8. Untuk mengetahui peran ilmu filsafat dalam pemecahan masalah
dari praktik surrogate mother di Indonesia
D. Manfaat
1. Memberikan informasi tentang masalah etik pada kasus surrogate
mother di Indonesia dari cara pandang secara etik, moral, agama, dan
hukum.
2. Memberikan informasi tentang masalah etik pada kasus surrogate
mother di Indonesia dari kaidah bioetika dari segi autonomy, beneficence,
non malficence, dan justice.
3. Memberikan solusi untuk mengatasi masalah etik sehingga praktik
surrogate mother tidak terjadi lagi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kaidah bioetika dari segi autonomy dalam praktik surrogate
mother di Indonesia
Dalam kaidah autonomy, setiap individu harus diperlakukan sebagai
manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri (Budiman et al,
2013). Di Indonesia praktik surrogate mother atau sewa Rahim tidak boleh
dilakukan karena embrio hanya boleh ditanam pada rahim ibu pendonor dari
pasangan suami istri yang sah.
Untuk kasus surrogate mother yang legal di Negara seperti India,
Amerika Serikat, dan Cina. Dalam hal autonomy, pihak pasangan suami istri
berhak memberi kebebasan kepada ibu pengganti untuk berfikir secara logis
dan membuat keputusan sendiri atas praktik sewa rahim yang akan
dijalaninya. Ibu pengganti adalah orang yang sudah dewasa dalam
melakukan sebuah persetujuan dengan pihak pasangan suami istri dalam
bentuk informed consent setelah mendapat penjelasan mengenai surrogate
mother tanpa ada paksaan dari siapapun hanya karena keinginannya sendiri
tanpa intervensi (Van den Akker OB, 2017). Selain itu pihak pasangan
suami istri juga harus saling menjaga kerahasiaan tentang proses surrogate
mother sehingga baik pasangan maupun ibu pengganti tidak saling
dirugikan.
2. Kaidah bioetika dari segi beneficence dalam praktik surrogate
mother di Indonesia
Dalam kaidah beneficence mempunyai arti yaitu memaksimalkan
manfaat, meminimalkan risiko atau kerugian serta memberikan
kesejahteraan dan keselamatan kepada pasien (Budiman et al, 2013). Pasien
dalam kasus ini yaitu ibu pengganti yang disewa rahimnya untuk hamil.
Manfaat yang dapat diambil dari praktik Surrogate Mother yaitu kedua
belah pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa rahim sama-sama
mendapat keuntungan. Dari pihak penyewa mendapat keuntungan memiliki
keturunan selain alasan mengapa memilih jalan menyewa rahim. Sedangkan
dari pihak yang menyewakan tentunya mendapatkan materi yang telah
disepakati sebelumnya. Selain itu dari segi beneficence, ibu pengganti harus
diberikan penjelasan bahwa bayi yang dilahirkan nanti akan menjadi hak
pasangan suami istri yang menginginkan anak tersebut. Ibu pengganti juga
akan dijamin kesejahteraan serta keselamatan selama kehamilan dan
persalinan (Caracciolo, 2015).