Anda di halaman 1dari 17

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-87243/PP/M.

XVIB/16/2017

Jenis Pajak : PPN

Tahun Pajak : 2011

Pokok Sengketa : bahwa sengketa terbukti mengenai tarif pajak dalam banding ini adalah
koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan (Kredit

K
Pajak) PPN Masa Pajak Maret 2011 sebesar Rp 1.165.443.122 di mana
koreksi tersebut terdiri dari:
· Koreksi Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang atau dibebaskan dari pengenaan

JA
PPN sebesar Rp 1.159.568.136;
· Koreksi Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
sebesar Rp 5.874.986;

PA
bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya atas pokok sengketa tersebut di atas dapat diuraikan
sebagai berikut:

Menurut Terbanding : 1. Koreksi Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang
atau dibebaskan dari pengenaan PPN sebesar Rp 1.159.568.136;

N
bahwa Terbanding melakukan koreksi dengan dasar hukum Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun
2000 (Pasal 4A, Pasal 9 ayat (5), Pasal 16B ayat (1) dan (3) KMK 575/KMK.04/2000 Pasal 2 PP

ILA
Nomor 31 Tahun 2007;

bahwa menurut Terbanding koreksi Positif karena Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang pertanian yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS) tidak dapat dikreditkan;
AD
bahwa Pajak Masukan yang dimaksud adalah Pajak Masukan yang terkait dengan kebun kelapa
sawit yang akan menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN, sehingga sesuai peraturan perpajakan yang terkait, Pajak Masukan tersebut tidak
dapat dikreditkan;
NG

2. Koreksi Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha sebesar Rp 5.874.986;

bahwa Terbanding melakukan koreksi dengan alasan bahwa kegiatan usaha Wajib Pajak adalah
perkebunan kelapa sawit dan memiliki pabrik kelapa sawit untuk mengolah hasil kebun menjadi CPO
PE

(crude palm oil/minyak sawit) dan PK (palm kernel/biji kernel sawit) yang sebagian besar produknya
dijual ke perusahaan afiliasi, maka atas pembangunan atau pembuatan rumah untuk karyawan
tersebut tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak dan juga tidak memenuhi
syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai karena yang menjadi hasil produk Wajib pajak adalah CPO (crude palm oil/minyak
AT

sawit) dan PK (palm kernel/biji kernel sawit);

bahwa berdasarkan Penelitian LPP/KKP Pemeriksa, LPK dan dokumen-dokumen yang diserahkan
Pemohon Banding hingga proses persidangan, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
RI

1. bahwa Pemohon Banding melakukan kegiatan usaha terpadu yang terdiri dari:
a. Unit Perkebunan yang melakukan kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharan,
pemupukan hingga proses pemanenan kelapa sawit yang atas penyerahan barang kena
TA

pajak berupa Tandan Buah Segar (TBS) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007
penyerahannya dibebaskan PPN sehingga Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan
RE

untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai
atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seperti
pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan, dan sebagainya.
b. Unit Pengolahan yang melakukan kegiatan pabrikasi yang mengolah bahan mentah
menjadi barang jadi berupa CPO yang atas penyerahan barang jadi tersebut terutang
K

PPN, maka Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas
penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat
SE

dikreditkan.

2. bahwa atas penyerahan TBS yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perkebunan
kelapa sawit, dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
16B ayat (1) huruf b Undang-Undang PPN jo. Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2
huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2007;

a. bahwa Pajak Masukan yang terkait dengan kebun yang dibayar untuk perolehan TBS,
tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN;

b. bahwa dalam proses penelitian keberatan, antara lain diketahui bahwa Pemohon Banding
mempunyai 2 (dua) unit sebagai berikut:
1) Unit/divisi perkebunan;
" Menyerahkan TBS yang dapat diserahkan kepada:

K
- Pihak luar maupun;
- Pihak dalam, yaitu unit pengolahan (CPO);
" Atas penyerahan TBS oleh unit perkebunan dibebaskan dari pengenaan PPN;

JA
2) Unit/divisi pengolahan (CPO).
" Menyerahkan CPO, dsb;
" Atas penyerahannya oleh unit pengolahan, dikenakan PPN;

PA
c. bahwa atas penyerahan TBS yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perkebunan
TBS, dibebaskan dari penggenaan PPN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16B
ayat (1) huruf b PPN jo. Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2 huruf a PP-31;

d. bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman


Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan

N
Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak merupakan
peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN, namun

ILA
demikian ketentuan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan tersebut merupakan
pengaturan yang sejalan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN;

e. bahwa hal yang sama juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi
Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
AD
penyerahan yang Tidak Terutang Pajak yang menggantikan/mencabut KMK Nomor
575/KMK.04/2000. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka
menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam 2 (dua) ketentuan tersebut di atas berlaku
NG

sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated)
maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated). Hal ini sesuai
dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam
penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN tersebut pada angka 2;

f. bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51/P.PTS/X11/ 2011/P/HUM/2010


PE

mengenai Perkara Permohonan Uji Materi Terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi
Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak pada intinya memutuskan bahwa norma atau
kaidah di dalam PMK-78/PMK.03/2010 tidak bertentangan dengan peraturan perundangan
AT

perpajakan yang lebih tinggi. Norma atau kaidah di dalam PMK-78/PMK.03/2010 sebagai
pelaksana Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN pada prinsipnya sama dengan norma
atau kaidah dalam Ketentuan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 sebagai
pelaksana Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN;
RI

g. bahwa sebagai peraturan pelaksanaan PMK Nomor 78/PMK.03/2010 telah diterbitkan


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tentang Pengkreditan Pajak
Masukan pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit yang bertujuan untuk
TA

memberikan pemahaman dan penerapan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang sama
atas pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu yang penyerahannya terutang
dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pada angka 6 Surat Edaran tersebut diatas
jelas memberikan pemahaman bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu
(integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
RE

penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai,

maka:
1) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-
K

nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
2) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-
SE

nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;

h. bahwa dengan uraian tersebut di atas, maka Terbanding menyimpulkan bahwa Pemohon
Banding adalah pihak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan
Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan PMK
Nomor 78/PMK.03/2010 dan SE-90/PJ/2011 karena melakukan kegiatan terpadu berupa
Unit Perkebunan yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN dan Unit Pengolahan yang menghasilkan CPO dan Palm
Kernel yang merupakan Barang Kena Pajak;

i. bahwa Tanggapan Terbanding mengenai definisi penyerahan terkait dengan koreksi yang
disengketakan
(1) Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya, sebagai berikut:
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;

K
(2) Dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut:
"Pengusaha Kona Pajak "8" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan

JA
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai";
(3) Terbanding berpendapat bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B
ayat (3) UU PPN mengandung makna yang apabila diserahkan. Itulah sebabnya,
pilihan kata pada bagian penjelasan pasal 16B ayat (3) UU PPN adalah

PA
"memproduksi" bukan "melakukan Penyerahan BKP ";
(4) Terbanding berpendapat bahwa ketika PKP memproduksi BKP yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang
menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berlaku tanpa menunggu
kepastian adanya penyerahan BKP tersebut. Itulah sebanya frase yang digunakan
dalam pasal 16B adalah "yang atas penyerahannya", bukan "Pengusaha Kena Pajak

N
yang melakukan Penyerahan BKP";
(5) Berkaitan dengan sengketa a quo, Terbanding berpendapat bahwa Pemohon

ILA
Banding adalah Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi BKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Oleh karena itu, sesuai ketentuan
Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP tersebut tidak
dapat dikreditkan;
(6) bahwa pemahaman ini semakin jelas dengan memperhatikan contoh yang diberikan
pada penjelasan Pasal 16B ayat (3) sebagai berikut:
AD
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B"
NG

menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan
baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;

Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut,
Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha
PE

Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak tersebut;

Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B"
kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang
AT

dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

j. bahwa dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16B ayat (1) menganut prinsip equal
RI

treatment. bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai
dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good
tax);
TA

bahwa Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of


Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman
22 menulis:
1. Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah;
RE

2. Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi
rakyat untuk membayar;
3. Pajak yang balk seharusnya efisien bagi perekonomian negara;
4. Pajak yang baik seharusnya adil;
K

bahwa selanjutnya dalam halaman 32-37 menyebutkan beberapa kriteria pajak yang adil
adalah sebagai berikut:
SE

a) Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan


sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut;
b) Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya
mendapat perlakuan pajak yang sama;
c) Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki
kesejahteraan yang lebih balk daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak
tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih balk daripada Wajib Pajak;
d) Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam
suatu masyarakat;

bahwa dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan Azas-Azas
Umum Pemerintahan yang balk yakni azas persamaan perlakuan;

k. bahwa sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada aspek keadilan dan
pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam pungutan pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari

K
pengenaan PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk perolehan BKP
dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat
dikreditkan;

JA
bahwa ketika Pemohon Banding yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja
maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO
dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan;

PA
bahwa pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal
16B;

I. bahwa menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B ayat (3), apakah diharuskan adanya syarat
penyerahan BKP. Apabila dalam pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya.

N
Penjelasan Pasal 16B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B memproduksi
Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang

ILA
Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa frase kalimat "yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai" menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP.
Dicontohkan bahwa PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan;
AD
bahwa dalam sengketa ini Pemohon Banding menghasilkan TBS. Kekhususan Pasal 16B
ada pengertian dalam menghasilan sebagai penyerahan;

bahwa dengan demikian bahwa Pemohon Banding seharusnya tidak dapat mengkreditkan
NG

Pajak Masukan terkait pemakaian TBS;

m. bahwa PP Nomor 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU
PPN (atribusi). PP 31 yang merubah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001,
merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN
PE

yang keberadaannya secara sah dapat dijadikan dasar hukum;

bahwa ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus
dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-
AT

kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh
pada ketentuan peraturan perundang-undangan;

bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
RI

penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan


tersebut;
TA

n. bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Terbanding telah sesuai dengan
maksud dan tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi
perlakuan yang sama;
bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas Pajak Keluaran dan Pajak
Masukan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
RE

bahwa dalam hal usaha Pemohon Banding adalah Kebun Sawit saja;
- Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
- Pajak Masukan kebun tidak dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP)
K

bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;


SE

bahwa dalam hal usaha Pemohon Banding adalah Pabrik CPO saja;
- Atas penyerahan CPO terutang PPN;
- Tidak ada Pajak Masukan atas pembelian TBS;
- Pajak Masukan kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi
unsur HPP bagi CPO;

bahwa dalam hal usaha Pemohon Banding terintegrasi Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
- Tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO;
- Pajak Masukan kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;

bahwa apabila pada perusahaan yang terintegrasi antara kebun sawit dan pabrik CPO,
Pajak Masukan kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
- Pajak Masukan Kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi Pajak
Masukan kebun ke dalam HPP dan perusahaan integrated yang mengkreditkan Pajak
Masukan kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS
berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan

K
mengkreditkan Pajak Masukan kebun;
- Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan
persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya

JA
pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih
tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak
Masukan kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah.

PA
bahwa oleh karena itu, demi terciptanya pesaingan bisnis yang sehat dan menghindari
perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada
Pajak Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan
(TBS busuk), dan tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, balk atas penyerahan
konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk);

N
o. bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak
boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi

ILA
kompetisi dalam dunia bisnis, Jika Pajak Masukan untuk menghasilan TBS pada dunia
usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak
mampu memiliki unit pengolahan (termasuk di dalamnya adalah para petani), akan
kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena PM menjadi HPP). Hal
tersebut bertentangan dengan netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak
mempengaruhi kompetisi bisnis;
AD
p. bahwa perlakuan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas merupakan perwujudan
keadilan pembebanan pajak sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum UU PPN.
Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut:
DPP pupuk Rp100
NG

DPP TBS Rp400


DPP CPO Rp900

a. bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran
unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP
PE

TBS oleh PT X (perkebunan TBS) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah


sebagai berikut:

(Rp)
Uraia PT X Perkebunan TBS PT Y Pengolahan CPO Beban Pajak
n
AT

DPP DPP PPN DPP DPP PPN


PM PK PM PK
Pupuk 100 Tidak dapat Tidak dapat
dikreditkan dikreditkan
TBS 400 Dibebaska 400 Tidak
n dapat
RI

dikreditkan
CPO 900 90 90

b. bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh
TA

perusahaan yang sama, dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk
perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Pemohon Banding
dalam surat banding, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:

Uraian PT KSI
RE

UNIT Perkebunan UNIT Pengolahan Beban Pajak


DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
Pupuk 100 (10) (10)
TBS 400 Dibebaskan 400 Tidak dapat
dikreditkan
CPO 900 90 90
K

bahwa membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 2) di atas, maka:
1) Pengkreditan Pajak Masukan pupuk atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari
SE

pengenaan PPN, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN;
2) Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan ketidakadilan.
c. bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh
perusahaan yang sama, dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk
perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Terbanding, maka
penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraia PT KSI
n
Unit Perkebunan Unit Pengolahan Beban
Pajak
DPP DPP PPN DPP DPP PPN
PM PK PM PK
Pupuk 100 Tidak dapat Tidak dapat
dikreditkan dikreditkan
TBS 400 Dibebaska 400 Tidak
n dapat

K
dikreditkan
CPO 900 90 90

JA
bahwa membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 3) di atas, maka terdapat
kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;

bahwa mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran dalam UU

PA
PPN dan memori penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN menghendaki keadilan
pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap
semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakekatnya sama, koreksi Pajak Masukan yang dilakukan oleh Terbanding sudah tepat;

bahwa tanpa mengurangi independensi Majelis Hakim dalam memutus sengketa ini, sebagai

N
informasi tambahan atas pokok sengketa yang sama yaitu pengkreditan Pajak Masukan
pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) terdapat Putusan
Mahkamah Agung Nomor 738/B/PK/PJK/2014 tanggal 22 Desember 2014 mengenai perkara

ILA
Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor 46895/PP/M.VI/16/2013 yang
memutuskan mempertahankan koreksi Pajak Masukan tersebut, dengan pertimbangan
secara garis besar sebagai berikut:

bahwa alasan-alasan atas koreksi positif Pajak Masukan PPN atas perolehan Barang Kena
AD
Pajak yang bersifat strategis yang nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
PPN pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat
dibenarkan, karena dalam perkara a quo pengkreditan atas Pajak Masukan haruslah
dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding
NG

sebagai PKP sesuai dengan norma atau kaidah serta kebijakan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6)
serta Pasal 16 B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

Menurut Pemohon : 1. Koreksi Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang
PE

atau dibebaskan dari pengenaan PPN sebesar Rp 1.159.568.136;

bahwa Pemohon Banding menjelaskan untuk koreksi Pajak Masukan, sebenarnya Pemohon
Banding merupakan perusahaan yang hanya menjual CPO atau palm kernel, dan tidak menjual TBS
sama sekali, dan biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk kebun,
sehingga seluruh biaya-biaya tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
AT

bahwa seluruh TBS yang dihasilkan dari kebun digunakan untuk diolah lebih lanjut yang hasil
akhirnya berupa CPO, Kernel dan atau CPKO;
RI

bahwa hasil akhir berupa CPO, Kernel dan atau CPKO inilah yang akan dijual oleh Pemohon
Banding kepada pihak ketiga, dengan demikian, terlihat secara nyata bahwa sebagai perusahaan
yang terintegrasi, perkebunan dengan pabrik merupakan satu kesatuan kegiatan yang utuh dan tidak
dapat dipisahkan;
TA

bahwa atas pertanyaan Majelis apakah Pemohon Banding melakukan kegiatan usaha terintegrasi,
Pemohon Banding membenarkan hal tersebut dan menyatakan juga bahwa sengketa ini merupakan
sengketa Yuridis;
RE

2. Koreksi Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha sebesar Rp 5.874.986;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding dengan alasan, bahwa Pemohon
K

Banding merupakan perusahaan terpadu yang bergerak di bidang industri kelapa sawit yang
menghasilkan produk akhir berupa CPO/ CPKO yang atas penyerahannya terutang PPN. Sehingga
pengeluaran yang dilakukan Pemohon Banding termasuk pembelian obat-obatan untuk seluruh
SE

karyawan berkaitan dengan kegiatan menghasilkan produk CPO/ CPKO yang terhutang PPN. Oleh
karena itu seharusnya pajak masukan terkait pembelian tersebut dapat di kreditkan;

bahwa Pemohon Banding dalam penjelasan tertulisnya tanpa nomor tanggal 22 Maret 2017, pada
pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa memenuhi permintaan Majelis Hakim pada sidang yang dilaksanakan pada tanggal 2 Maret
2017, maka dengan ini Pemohon Banding sampaikan penjelasan atas dasar koreksi, dasar hukum
dan pendapat Pemohon Banding sehubungan dengan permohonan banding yang Pemohon Banding
ajukan;

Pokok dan Nilai Sengketa

· bahwa PPN Masukan sebesar Rp 1.159.568.136 yang dikoreksi adalah Pajak Masukan
terkait dengan unit kegiatan untuk memproduksi TBS yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan PPN;

K
· bahwa PPN Masukan sebesar Rp 5.874.986 yang dikoreksi adalah Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

JA
1. Koreksi Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang atau dibebaskan dari
pengenaan PPN sebesar Rp 1.159.568.136;

PA
1.1 Dasar Hukum Koreksi:

a. bahwa UU PPN No. 18 Tahun 2000 (Pasal 4A, Pasal 9 ayat (5), Pasal 16B ayat (1) dan (3))
tentang dalam hal pengkreditan pajak masukan apabila Wajib Pajak melakukan
penyerahan yang terutang pajak dan juga penyerahan yang tidak terutang pajak;

N
b. bahwa PMK No. 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang pedoman penghitungan
pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan panyerahan yang tidak terutang pajak, dan

ILA
c. bahwa PP No. 31 Tahun 2007 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai;

1.2 Uraian Pemohon Banding


AD
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding dengan alasan sebagai
berikut:

1. Pemohon Banding merupakan Perusahaan Terpadu pada Industri Minyak Kelapa


NG

Sawit

bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan terpadu (integrated) yang bergerak di


bidang industri minyak kelapa sawit/Crude Palm Oil (“CPO”) dan inti sawit/Palm Kernel
(“Kernel”) dan atau Crude Palm Kernel Oil (“CPKO") yang memiliki perkebunan kelapa
sawit sendiri sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
PE

(“BKPM”) dalam Surat Persetujuan No. 69/V/PMA/2005 tanggal 20 Mei 2005. Berikut
Pemohon Banding lampirkan salinan surat ijin BKPM Nomor 28/1/IP/III/PMA/2010
tertanggal 11 Februari 2010 sebagai referensi untuk Majelis Hakim;

bahwa Pemohon Banding menjual CPO dan Kernel/CPKO sebagai produk akhir dari
AT

pengolahan kelapa sawit dan tidak menjual Tandan Buah Segar (“TBS”);

bahwa seluruh TBS yang dihasilkan dari kebun digunakan untuk diolah lebih lanjut yang
hasil akhirnya berupa CPO, Kernel dan atau CPKO. Hasil akhir berupa CPO, Kernel dan
RI

atau CPKO inilah yang akan dijual oleh Pemohon Banding kepada pihak ketiga. Dengan
demikian terlihat secara nyata bahwa sebagai perusahaan yang terintegrasi, perkebunan
dengan pabrik merupakan satu kesatuan kegiatan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan;
TA

bahwa saat ini Pemohon Banding telah mengoperasikan pabrik pengolahan minyak sawit
berkapasitas 90 ton TBS per jam yang menghasilkan CPO dan PK serta pabrik
pengolahan kernel yang menghasilkan CPKO yang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin
Timur Propinsi Kalimantan Tengah;
RE

2. Koreksi Terbanding tidak sesuai dengan Pasal 9(5) dan Pasal 9(6) UU PPN No.
18/2000 (“Pasal 9(6)”) dan Peraturan Menteri Keuangan No. 78/PMK.03/2010 (“PMK
78”). Pendapat Pemohon Banding ini didasari:

bahwa Pasal 9(5) mengatur sebagai berikut:


K

“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
SE

penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.”

bahwa Pasal 9(6) mengatur sebagai berikut:


“Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

bahwa PMK 78 mengatur (sebagaimana menjadi judul PMK bersangkutan) tentang:

“Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena

K
Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
Tidak Terutang Pajak”

JA
bahwa PMK 78 adalah peraturan pelaksanaan dari Pasal 9(6);

bahwa berdasarkan hal-hal diatas, perlakuan pengkreditan PPN Masukan yang diatur di
dalam Pasal 9(6) dan PMK 78 hanya berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (“PKP”) yang

PA
melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak terutang PPN;

bahwa Pemohon Banding, sebagai pengusaha perkebunan terpadu, hanya


menjual/menyerahkan CPO dan PK (yang merupakan BKP) dan tidak melakukan
penyerahan TBS (yang merupakan BKP tertentu yang bersifat strategis);

N
bahwa dengan demikian, Terbanding telah melakukan kesalahan dalam menafsirkan dan
menggunakan aturan perpajakan disebut di atas sebagai dasar hukum untuk mengoreksi

ILA
PPN Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS (sebagai contoh pembelian pupuk).
Terbanding seharusnya hanya menggunakan aturan PMK 78 apabila PKP bersangkutan
melakukan penyerahan TBS (yang dibebaskan dari pengenaan PPN) dan juga
penyerahan CPO/PK (yang merupakan BKP);

3. Dalam Masa Maret 2011 Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang tidak
AD
terutang PPN. Pendapat Pemohon Banding berdasarkan penjelasan sebagai
berikut:

bahwa dapat Pemohon Banding sampaikan juga, perlakuan pengkreditan PPN Masukan
yang diatur di dalam Pasal 9(5) dan PMK 78 hanya berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak
NG

(“PKP”) yang melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak terutang PPN;

bahwa dalam masa Maret 2011 Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang
tidak terhutang PPN. Hal ini dapat dibuktikan dengan laporan dalam SPT Masa PPN
Maret 2011 dimana tidak terdapat penyerahan yang tidak terhutang PPN;
PE

bahwa selama proses pemeriksaan lapangan pihak Terbanding tidak menemukan bukti
bahwa Pemohon Banding melakukan penyerahan yang tidak terhutang PPN maupun
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (penyerahan TBS) pada
masa Maret 2011;
AT

bahwa dengan demikian Terbanding tidak mempunyai alasan yang kuat untuk
menggunakan aturan perpajakan disebut di atas sebagai dasar hukum untuk mengoreksi
PPN Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS (sebagai contoh pembelian pupuk). PMK
78 hanya bisa diterapkan apabila PKP bersangkutan melakukan penyerahan TBS (yang
RI

dibebaskan dari pengenaan PPN) dan penyerahan CPO/PK (yang merupakan BKP);

bahwa dengan demikian maka dasar hukum Pasal 9(5) dan PMK 78 yang digunakan oleh
TA

Terbanding sebagai dasar koreksi adalah tidak tepat;

4. Koreksi Terbanding bertentangan dengan Pasal 16B ayat (3) UU PPN No 42/2009
(“Pasal 16B(3)”). Pendapat ini didasari :
RE

bahwa Penjelasan Pasal 16B(3) mengatur sebagai berikut:


“….adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.”
K

bahwa menurut Penjelasan Pasal 16B (3), PPN Masukan atas kegiatan menghasilkan
SE

TBS (sebagai contoh pembelian pupuk) tidak dapat dikreditkan apabila hanya terdapat
penyerahan TBS;

bahwa ketentuan Pasal 16B (3) tidak dapat diterapkan sebagai acuan perlakuan PPN
Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS (sebagai contoh pembelian pupuk) apabila
PPN Masukan tersebut digunakan untuk menghasilkan hasil akhir berupa CPO dan PK,
yang penyerahannya terutang PPN;
bahwa dalam memproses TBS menjadi CPO tidak terjadi “penyerahan” sesuai dengan
definisi yang diatur di dalam Pasal 1 butir 4 dan Pasal 1A (1) UU PPN No. 42/2009;

bahwa koreksi PPN Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS (sebagai contoh
pembelian pupuk) tanpa adanya fakta hukum terjadinya penyerahan, bertentangan
dengan Pasal 12(2) dan Pasal 12(3) UU KUP No 28/2007 sebagai berikut:

Ayat 2:
“Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh

K
Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”

JA
Ayat 3:
“Apabila Terbanding mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Terbanding
menetapkan jumlah pajak yang terutang”

PA
bahwa selama proses pemeriksaan dan keberatan, Terbanding tidak dapat membuktikan
terjadinya “penyerahan” TBS oleh Pemohon Banding Oleh karena itu koreksi PPN
Masukan tidak berdasarkan bukti melainkan hanya berdasarkan pada asumsi, yang tidak
sesuai dengan prinsip kebenaran material yang dianut pada perundang- undangan
perpajakan yang berlaku sehingga koreksi ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 12

N
ayat (2) dan Pasal 12 ayat (3) UU KUP No. 28/2007;

ILA
bahwa berdasarkan hal-hal di atas dan dikarenakan Pemohon Banding hanya
menyerahkan/menjual CPO dan PK, dan tidak menyerahkan/menjual TBS, maka PPN
Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS seharusnya dapat dikreditkan sesuai dengan
pasal 16B ayat 1 UU PPN;

5. Pendapat Terbanding yang menerapkan prinsip “equal treatment” atas sengketa


AD
PPN ini tidak tepat

bahwa Terbanding tidak tepat dalam menerapkan prinsip "equal treatment" untuk
menyama-ratakan perlakuan PPN terhadap dua kegiatan yang memang tidak sama, yaitu
antara kegiatan pengusaha kelapa sawit yang menghasilkan TBS saja (yang oleh
NG

Terbanding disebut sebagai petani TBS) dan kegiatan pengusaha kelapa sawit yang
terintegrasi dengan unit pengolahan untuk menghasilkan CPO;

bahwa sebagaimana Pemohon Banding jelaskan di atas, konsep keadilan yang diusung
oleh Terbanding terbukti tidak berdasar dan tidak relevan. Terbanding mendalilkan bahwa
PE

terjadi ketidakadilan apabila perusahaan kelapa sawit yang terpadu (terintegrasi) dapat
mengkreditkan pajak masukan kebun sebab harga jual TBS perusahaan kelapa sawit
terintegrasi tersebut akan lebih rendah dibandingkan perusahaan tidak terpadu;

bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan kelapa sawit terintegrasi yang tidak
AT

menjual TBS yang dihasilkan oleh perkebunannya melainkan digunakan untuk proses
produksi CPO (seperti halnya Pemohon Banding sebagai perusahaan terintegrasi pun
tidak menjual TBS) sehingga ketidakadilan yang menjadi kekhawatiran Terbanding
terbukti nyata tidak akan pernah terjadi;
RI

bahwa selain itu, Pemohon Banding juga berpandangan bahwa kewajiban PPN tidak
hanya memperhatikan objeknya semata, melainkan sangat memperhatikan tentang ada
atau tidaknya penyerahan atas objek tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4
TA

ayat (1) UU PPN, yang mengatur tentang Objek Pajak sebagai berikut:

"(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:


a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha."
RE

bahwa tanpa adanya penyerahan, maka PPN tidak akan dapat dikenakan atas suatu
objek PPN (Barang Kena Pajak). Oleh karena itu, dalil Terbanding yang secara subjektif
menyatakan bahwa ada atau tidaknya penyerahan BKP, tidak mempengaruhi perlakuan
PPN Keluaran dan Masukan sangatlah tidak sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku seperti yang diamanatkan dalam Pasal 9 UU PPN
K

dan SE-90/PJ/2011 tanggal 23 Oktober 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan pada
Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit;
SE

bahwa lebih lanjut, jika dilihat dari sudut pandang Pajak Penghasilan, PPN masukan yang
dibiayakan pada perusahaan tidak terpadu (non intergrated) akan menguntungkan bagi
perusahaan. Biaya PPN masukan tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan yang
menjadi dasar perhitungan PPh Badan, sehingga PPh yang terutang menjadi lebih kecil;

Menurut Majelis : 1. Koreksi Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang
atau dibebaskan dari pengenaan PPN sebesar Rp 1.159.568.136;

bahwa menurut Terbanding, koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan dilakukan terkait
dengan kegiatan usaha Pemohon Banding yang merupakan kegiatan terpadu yaitu untuk Unit
Perkebunan yang melakukan kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharan, pemupukan hingga
proses pemanenan kelapa sawit yang atas penyerahan barang kena pajak berupa Tandan Buah
Segar (TBS);

bahwa sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak

K
Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
atas penyerahan TBS dibebaskan dari PPN sehingga Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan
untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari

JA
pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan seperti pembelian pupuk, perlengkapan perkebunan, dan
sebagainya, sebagaimana.diatur dalam ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN.

bahwa sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.0312010 tentang Pedoman

PA
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan
Penyerahan yang Terutang Pajak clan penyerahan yang Tidak Terutang Pajak yang
menggantikan/mencabut KMK Nomor 575/KMK.0412000, Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, balk bagi usaha kelapa
sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated). Hal

N
ini sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam
penjelasan Pasai 16B ayat (1) Undang-Undang PPN.

ILA
bahwa menurut Terbanding, Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya,
sebagai berikut :
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena
Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dart pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan;
AD
Dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut :
"Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai;
NG

bahwa Terbanding berpendapat bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B ayat (3) UU
PPN mengandung makna yang apabila diserahkan. Itulah sebabnya, pilihan kata pada bagian
penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN adalah "memproduksi" bukan "melakukan Penyerahan BKP."
Menurut Terbanding ketika PKP memproduksi BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari
PE

pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat
dikreditkan berlaku tanpa menunggu kepastian adanya penyerahan BKP tersebut. Itulah sebanya
frase yang digunakan dalam Pasal 16B adalah "yang atas penyerahannya", bukan "Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan Penyerahan BKP";
AT

bahwa berkaitan dengan sengketa a quo, Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding adalah
Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pajak Masukan
atas perolehan BKP tersebut tidak dapat dikreditkan;
RI

bahwa secara tersurat bahwa Pasal 16B ayat (1) menganut prinsip equal treatment. yaitu prinsip
perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi
agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax). bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1)
TA

bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak
Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
PPN, tidak dapat dikreditkan;

bahwa ketika Pemohon Banding yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka
RE

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK maka
Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan, maka pendapat
demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16B;

bahwa frase kalimat "yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan
K

Pajak Pertambahan Nilai" menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara
bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Dicontohkan bahwa PKP yang
SE

memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan. Dalam sengketa ini Pemohon Banding
menghasilkan TBS. Kekhususan Pasal 16B ada pengertian dalam menghasilan sebagai penyerahan,
dengan demikian bahwa Pemohon Banding seharusnya tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan
terkait pemakaian TBS;

bahwa PP Nomor 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN
(atribusi), yang merubah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, merupakan aturan
pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaannya secara sah dapat
dijadikan dasar hukum. Ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus
dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan;

bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahantersebut, dan

K
penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Terbanding telah sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama;

JA
bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan terpadu (integrated) yang bergerak di bidang industri
minyak kelapa sawit/Crude Palm Oil (CPO) dan inti sawit/Palm Kernel (Kernel) dan atau Crude Palm
Kernel Oil (CPKO) yang memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri sesuai dengan ijin yang diberikan

PA
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam Surat Persetujuan No. 69/V/PMA/2005
tanggal 20 Mei 2005;

bahwa Pemohon Banding menjual CPO dan Kernel/CPKO sebagai produk akhir dari pengolahan
kelapa sawit dan tidak menjual Tandan Buah Segar (TBS), dimana seluruh TBS yang dihasilkan dari
kebun digunakan untuk diolah lebih lanjut yang hasil akhirnya berupa CPO, Kernel dan atau CPKO,

N
yang akan dijual oleh Pemohon Banding kepada pihak ketiga, dengan demikian secara nyata
Pemohon Banding merupakan perusahaan yang terintegrasi, dimana perkebunan dan pabrik

ILA
merupakan satu kesatuan kegiatan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan;

bahwa saat ini Pemohon Banding telah mengoperasikan pabrik pengolahan minyak sawit
berkapasitas 90 ton TBS per jam yang menghasilkan CPO dan PK serta pabrik pengolahan kernel
yang menghasilkan CPKO yang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan
Tengah;
AD
bahwa menurut Pemohon Banding, koreksi Terbanding tidak sesuai dengan Pasal 9 ayat (5) dan
Pasal 9 ayat (6) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, dan Peraturan Menteri Keuangan No.
78/PMK.03/2010 (PMK 78), dimana berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perlakuan
pengkreditan PPN Masukan yang diatur di dalam Pasal 9 ayat (6) dan PMK 78 hanya berlaku bagi
NG

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak terutang
PPN, sedangkan Pemohon Banding, sebagai pengusaha perkebunan terpadu, hanya
menjual/menyerahkan CPO dan PK (yang merupakan BKP) dan tidak melakukan penyerahan TBS
(yang merupakan BKP tertentu yang bersifat strategis);
PE

bahwa dalam Masa Maret 2010, Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang tidak terutang
PPN, yang dapat dibuktikan dengan laporan dalam SPT Masa PPN Maret 2010 dimana tidak
terdapat penyerahan yang tidak terhutang PPN;

bahwa menurut Pemohon Banding, koreksi Terbanding bertentangan dengan Pasal 16B ayat (3) UU
AT

PPN No 42/2009, yang di dalam Penjelasan Pasal 16B ayat (3) disebutkan sebagai berikut:
“….adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan
tersebut tidak dapat dikreditkan”;
RI

bahwa menurut Penjelasan Pasal 16B ayat (3), PPN Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS
(sebagai contoh pembelian pupuk) tidak dapat dikreditkan apabila hanya terdapat penyerahan TBS.
TA

bahwa ketentuan Pasal 16B ayat (3) tidak dapat diterapkan sebagai acuan perlakuan PPN Masukan
atas kegiatan menghasilkan TBS (sebagai contoh pembelian pupuk) apabila PPN Masukan tersebut
digunakan untuk menghasilkan hasil akhir berupa CPO dan PK, yang penyerahannya terutang PPN;

bahwa dalam memproses TBS menjadi CPO tidak terjadi “penyerahan” sesuai dengan definisi yang
RE

diatur di dalam Pasal 1 butir 4 dan Pasal 1A (1) UU PPN No. 42/2009, dan selama proses
pemeriksaan dan keberatan, Terbanding tidak dapat membuktikan terjadinya “penyerahan” TBS oleh
Pemohon Banding, oleh karena itu koreksi PPN Masukan tidak berdasarkan bukti, sehingga PPN
Masukan atas kegiatan menghasilkan TBS seharusnya dapat dikreditkan sesuai dengan pasal 16B
ayat 1 UU PPN;
K

bahwa menurut Pemohon Banding, pendapat Terbanding yang menerapkan prinsip equal treatment
SE

atas sengketa PPN ini tidak tepat, karena menyama-ratakan perlakuan PPN terhadap dua kegiatan
yang memang tidak sama, yaitu antara kegiatan pengusaha kelapa sawit yang menghasilkan TBS
saja (yang oleh Terbanding disebut sebagai petani TBS) dan kegiatan pengusaha kelapa sawit yang
terintegrasi dengan unit pengolahan untuk menghasilkan CPO;

bahwa selain itu, Pemohon Banding juga berpandangan bahwa kewajiban PPN tidak hanya
memperhatikan objeknya semata, melainkan sangat memperhatikan tentang ada atau tidaknya
penyerahan atas objek tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPN, yang
mengatur tentang Objek Pajak sebagai berikut:
"(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha";

bahwa tanpa adanya penyerahan, maka PPN tidak akan dapat dikenakan atas suatu objek PPN
(Barang Kena Pajak). Oleh karena itu, dalil Terbanding yang secara subjektif menyatakan bahwa
ada atau tidaknya penyerahan BKP, tidak mempengaruhi perlakuan PPN Keluaran dan Masukan
sangatlah tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku seperti
yang diamanatkan dalam Pasal 9 UU PPN dan SE-90/PJ/2011 tanggal 23 Oktober 2011 tentang

K
Pengkreditan Pajak Masukan pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan penjelasan para pihak di dalam

JA
persidangan, diketahui bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara banding ini adalah
koreksi Terbanding atas Pajak Masukan (yang berhubungan dengan kegiatan kebun) Masa Pajak
Maret 2011 sebesar Rp1.159.568.136, yang menurut Terbanding tidak dapat dikreditkan terkait
dengan TBS yang dihasilkan dari Unit Kebun Pemohon Banding, sebagai barang strategis yang atas

PA
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;

bahwa sesuai Pasal 16B ayat (3) UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM disebutkan :
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena
Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan";

N
bahwa dalam penjelasan Pasal 16 B ayat (3) UU PPN dinyatakan :

ILA
“Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang
memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan”;

bahwa menurut Majelis, dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pajak Masukan a quo
AD
tidak dapat dikreditkan apabila ada/terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan
PPN;

bahwa menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah dilakukan
perubahan keempat dengan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 disebutkan bahwa :
NG

"Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";

bahwa menurut Majelis, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah dilakukan
PE

perubahan keempat dengan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 tersebut adalah merupakan
peraturan pelaksanaan dari Pasal 16B Ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009, dimana dalam Pasal 3 PP 31
tahun 2007 tersebut dinyatakan : ……sehubungan dengan “penyerahan” BKP tertentu yang
bersifat strategis …. Dst;
AT

bahwa dengan demikian menurut Majelis, makna frase "yang atas penyerahannya” sebagaimana
tersebut dalam Pasal 16 B ayat 3 UU PPN adalah apabila Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak tersebut benar-benar diserahkan, dengan demikian harus terdapat unsur
penyerahan yang harus dipenuhi;
RI

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN, disebutkan sebagai berikut :


“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. Penyerahan Barang Kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
TA

b. Impor BKP dan seterusnya sampai dengan huruf h”

bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka menurut Majelis, makna frase "yang
atas penyerahannya” sebagaimana tersebut adalam Pasal 16 B ayat (3) UU PPN adalah apabila
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak tersebut benar-benar diserahkan, oleh
RE

karena itu harus terdapat unsur penyerahan atas barang baik yang tidak terutang PPN yang harus
terpenuhi, sehingga tidak dapat diartikan sebagai "yang apabila diserahkan", sebagaimana pendapat
Terbanding;

bahwa menurut Majelis, penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebagaimana dimaksud
K

dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM
adalah CPO dan Kernel sebagai produk akhir Pemohon Banding yang merupakan Barang Kena
SE

Pajak (BKP) yang atas penyerahannya terutang PPN 10%. Sedangkan penyerahan TBS kepada
pabrik atau Unit pengolahan CPO dan Kernel bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan a quo, karena Pemohon Banding telah mengolah lebih lanjut TBS menjadi CPO dan
Kernel;

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang
perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan
PPN, antara lain diatur dalam lampiran peraturan tersebut bahwa jenis barang perkebunan kelapa
sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS, sedangkan menurut Majelis, produk CPO
dan Kernel tidak termasuk sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana
diatur dalam lampiran ketentuan a quo, sehingga atas penyerahan CPO dan Kernel yang dilakukan
oleh Pemohon Banding harus dikenakan PPN sebesar 10%;

bahwa Terbanding juga menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha
Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak

K
Terutang Pajak, yang pada intinya mengatur tentang perusahaan terintegrasi dan mengatur
unit/divisi, namun tidak memberi pedoman penghitungan Pajak Masukan apabila pada perusahaan
terintegrasi melakukan penyerahan sebagian produksi di unit/divisi yang menghasilkan BKP yang

JA
tidak terutang PPN kepada pihak ketiga;

bahwa ketentuan PMK 78 a quo menurut Majelis, hanya dapat diberlakukan bagi Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak terutang PPN, sedangkan

PA
Pemohon Banding, sebagai pengusaha perkebunan terpadu, hanya menjual/menyerahkan CPO dan
PK (yang merupakan BKP) dan tidak melakukan penyerahan TBS (yang merupakan BKP tertentu
yang bersifat strategis) yang tidak terhutang PPN;
bahwa dari uraian tersebut di atas dan memperhatikan penjelasan Pemohon Banding baik dalam
surat bandingnya maupun di dalam persidangan, tidak terbukti adanya penyerahan TBS sebagai

N
barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN baik sebagian maupun seluruhnya oleh
Pemohon Banding kepada pihak ketiga/luar, namun Pemohon Banding melakukan pengolahan TBS
lebih lanjut menjadi produk akhir berupa CPO dan Kernel;

ILA
Dengan kata lain bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
oleh karena itu menurut Majelis, dasar hukum yang digunakan oleh Terbanding yaitu Pasal 16B ayat
(3); Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007, dan PMK-78/PMK.03/2010
tanggal 5 April 2010 (yang mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 575/KMK.04/2000
tanggal 26 Desember 2000) adalah tidak tepat;
AD
bahwa terkait dengan pendapat Terbanding yang menyatakan adanya perlakuan yang sama atau
equal treatment atas pengenaan PPN terhadap TBS pada kasus-kasus perpajakan yang sama
kepada semua Wajib Pajak, Majelis sependapat karena hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang
diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang menjelaskan antara lain bahwa salah satu prinsip yang
NG

harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan, namun menurut Majelis perlakuan tersebut dapat dilakukan sepanjang
penerapannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
PE

bahwa terkait azas perlakuan yang sama menurut Terbanding, Majelis berpendapat bahwa dalam
sengketa ini, penyerahan TBS dari usaha perkebunan kepada pabrik pengolahan CPO dan Kernel
tidak termasuk dalam pengertian penyerahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN, oleh karenanya penyerahan TBS tersebut bukan merupakan obyek PPN.
Karena TBS masih akan diolah menjadi CPO dan Kernel yang merupakan produk akhir yang akan
AT

dijual kepada pihak ketiga/luar sebagai obyek PPN. Dengan demikian penerapan azas perlakuan
yang sama hanya dapat dilakukan dalam hal terjadi penyerahan atau penjualan TBS sebagai produk
akhir perusahaan kepada pihak ketiga/luar;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
RI

diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat,
sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp1.159.568.136,00 tidak dapat dipertahankan.
TA

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan
dalam :
Pasal 69 ayat (1e) :
RE

Alat bukti dapat berupa “pengetahuan hakim”, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya
diketahui dan diyakini kebenarannya.
Pasal 74 :
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat
diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.
K

Pasal 78 :
SE

Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim.
bahwa menurut memori penjelasan Pasal 78 disebutkan :
Keyakinan Hakim di dasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
2. Koreksi atas Pajak Masukan yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha sebesar Rp
5.874.986,00

bahwa menurut Terbanding, koreksi Pajak Masukan sebesar Rp5.874.988,00 adalah Koreksi atas
Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding
atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang digunakan untuk
menghasilkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang PPN
sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) UU PPN, berupa pembelian obat-obatan untuk seluruh karyawan
pemohon Banding sebagai penunjang kegiatan perusahaan yang terdapat dilokasi perkebunan, yang
dikreditkan oleh Pemohon Banding.

K
bahwa menurut Terbanding, kegiatan usaha adalah melakukan kegiatan usaha terintergrasi/terpadu
(integrated) dari menanam kelapa sawit yang dimulai dari proses pembibitan, penanaman,

JA
pemeliharaan, pemupukan hingga proses pemanenan, dan pengolahan bahan mentah menjadi barang
jadi berupa CPO dan Palm Kernel yang ataspenyerahan barang jadi tersebut terutang PPN.

bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Terbanding terkait sengketa ini adalah Undang-Undang

PA
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009, yaitu :

Pasal 9 Ayat (2)


Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang

N
sama

ILA
Pasal 9 Ayat (8)
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi
pengeluaran untuk:
a. Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
b. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
AD
c. Perolehan dan Pemeliharaan Kendaraan Bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
d. Pemanfaatan BKP tidak betwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum
pengusaha dikukuhkan menjadi PKP
e. Dihapus
NG

f. Perolehan BKP/JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan:sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) dan tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur
PE

pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (6)
h. Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak
i. Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
PPN, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
j. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau jasa kena pajak sebelum pengusaha kena
AT

pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (2a).

Penjelasan Pasal 9 Ayat (8) :


Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk
pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
RI

Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah
pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku
TA

untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat
bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung
dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu
apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak
RE

Pertambahan Nilai.

bahwa sesuai Penjelasan Pasal 9 Ayat (8) huruf b UU No. 42 tahun 2009, menurut Terbanding oleh
karena kegiatan usaha Pemohon Banding adalah perkebunan kelapa sawit dan memiliki pabrik kelapa
sawit untuk mengolah hasil kebun menjadi CPO dan PK yang sebagian besar produknya dijual ke
K

perusahaan afiliasi, maka atas pembelian obat-obatan untuk karyawan tersebut tidak berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding dan juga tidak memenuhi syarat bahwa
SE

pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai
karena yang menjadi hasil produk Wajib pajak adalah CPO dan PK tersebut.

bahwa menurut Pemohon Banding, Pajak Masukan yang dikreditkan sebesar Rp5.874.988,00
merupakan Pajak Masukan atas pembelian obat-obatan untuk seluruh karyawan pemohon Banding
sebagai penunjang kegiatan perusahaan yang terdapat dilokasi perkebunan, dimana obat-obat ini
bersifat pertolongan sementara disebabkan karena jauhnya fasilitas kesehatan/rumah sakit dari lokasi
perkebunan milik perusahaan.

bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Pemohon Banding adalah Pasal 9 Ayat (2) dan (8) huruf b
UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, dimana berdasarkan pasal 9 Ayat (8) a quo maka pajak masukan yang dapat
dikreditkan dengan pajak keluaran adalah pajak masukan yang berkaitan dengan kegiatan usaha, dan
pajak masukan atas pembelian obat-obatan untuk seluruh karyawan Pemohon Banding sebagai
penunjang kegiatan perusahaan yang terdapat dilokasi perkebunan tersebut, jelas terkait dengan
kegiatan usaha sehingga dapat dikreditkan.

K
bahwa selanjutnya berdasarkan penjelasan pasal 9(8) huruf b UU PPN tersebut, menurut Pemohon
Banding, oleh karena kegiatan perusahaan merupakan perusahaan terpadu yang bergerak di bidang
industri kelapa sawit yang menghasilkan produk akhir berupa CPO/ CPKO yang dan atas

JA
penyerahannya terutang PPN, maka pengeluaran pembelian obat-obatan untuk seluruh karyawan
berkaitan dengan kegiatan menghasilkan produk CPO/ CPKO yang terhutang PPN, sehingga
seharusnya pajak masukan terkait pembelian tersebut dapat di kreditkan.

PA
bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis berpendapat bahwa baik Terbanding maupun Pemohon
Banding sama-sama menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, Pasal 9 Ayat (2),
dan Ayat (8) hruf b beserta penjelasannya, namun dengan interpretasi yang berbeda terkait dengan
“pengeluaran yang ada hubungan langsung dengan kegiatan usaha” dan “penyerahan yang terutang

N
PPN”.

ILA
bahwa sesuai Pasal 9 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, disebutkan sebagai berikut :

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi
pengeluaran untuk :
AD
a. Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
b. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
c. Dst sd huruf j.

bahwa sesuai Penjelasan Pasal 9 Ayat (8) disebutkan sebagai berikut :


NG

Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk
pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

dan lebih lanjut lanjut dalam huruf b disebutkan sebagai berikut :


PE

Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah
pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku
untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat
bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung
AT

dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu
apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai.

bahwa mengacu pada ketentuan a quo, Majelis berpendapat bahwa pada dasarnya Pajak Masukan
RI

dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, dengan 2 syarat yaitu :


- pengeluaran yang dilakukan ada hubungannya secara langsung dengan kegiatan usaha Pemohon
Banding berupa kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen perusahaan.
TA

- pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai, yang dapat dimaknai bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan kegiatan untuk
menghasilkan BKP/JKP yang terutang PPN,

bahwa di dalam persidangan terungkap fakta-fakta sebagai berikut :


RE

- bahwa Pemohon Banding merupakan perusahaan terpadu yang bergerak di bidang industri
kelapa sawit, dimana kegiatan usaha Pemohon Banding meliputi kegiatan dari menanam kelapa
sawit yang dimulai dari proses pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan hingga proses
pemanenan, dan pengolahan bahan mentah berupa TBS menjadi barang jadi berupa CPO/CPKO
dan Palm Kernel (PK) yang atas penyerahannya terutang PPN.
K

- bahwa lokasi perkebunan Pemohon Banding berada di Desa Sawahan dan Desa Bagendang di
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang merupakan daerah tertentu yang sudah memenuhi
SE

kriteria daerah terpencil, sebagaimana Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 yang
diterbitkan Tahun 2011.
- bahwa Pemohon Banding, hanya menjual/menyerahkan CPO dan PK yang merupakan BKP dan
tidak melakukan penyerahan TBS yang merupakan BKP tertentu yang bersifat strategis, dimana
seluruh TBS yang dihasilkan dari kebun digunakan untuk diolah lebih lanjut yang hasil akhirnya
berupa CPO, Kernel dan atau CPKO yang akan dijual kepada pihak ketiga
- bahwa Pemohon Banding memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri sesuai dengan ijin yang
diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”) dalam Surat Persetujuan Nomor
69/V/PMA/2005 tanggal 20 Mei 2005.
- bahwa Pemohon Banding telah mengoperasikan pabrik pengolahan minyak sawit berkapasitas
90 ton TBS per jam yang menghasilkan CPO dan PK serta pabrik pengolahan kernel yang
menghasilkan CPKOyang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan
Tengah.
bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal ( Ayat (8) huruf b telah disebutkan bahwa kegiatan distribusi,
pemasaran, dan manajemen perusahaan termasuk kegiatan yang secara langsung berhubungan
dengan kegiatan usaha, sehingga Pajak Masukan atas pengeluaran untuk kegiatan tersebut dapat

K
dikreditkan.

bahwa berdasarkan fakta-fakta dan ketentuan a quo, Majelis berpendapat bahwa pengeluaran untuk

JA
obat-obatan bagi karyawan di perkebunan Pemohon Banding merupakan pengeluaran yang ada
hubungannya secara langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding yaitu memproduksi TBS,
yang lebih lanjut berkaitan dengan kegiatan mengolah TBS untuk menghasilkan produk akhir berupa
CPO dan PK yang atas penyerahannya terutang PPN. Dengan demikian menurut Majelis Pajak

PA
Masukan atas pengeluaran pembelian obat-obatan sebesar Rp5.874.988,00 dapat dikreditkan.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, oleh
karena itu koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha

N
sebesar Rp 5.874.986,00 tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.

ILA
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi
Administrasi;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, dan
AD
koreksi Terbanding tidak dapat dipertahankan, oleh karena itu Majelis berpendapat untuk
mengabulkan seluruh permohonan banding Pemohon Banding;
bahwa dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Maret 2011 dihitung kembali menjadi
sebagai berikut:
NG

1 Dasar Pengenaan Pajak


a. bahwa atas Penyerahan Barang dan Jasa yang terutang PPN :
a.1. Ekspor Rp 20.780.431.000
a.2.Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut ssendiri Rp 1.020.140.404
a.3.Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN Rp 0
a.4.Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut Rp 0
a.5.Penyerahan yang dibebaskan dart pengenaan PPN Rp 0
PE

a.6.Jumlah (a.1.+a.2.+a.3.+0.4.+a.5) Rp 21.800.571.404


b. bahwa atas Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN Rp 0
c. Jumlah Seluruh Penyerahan (a.6+b) Rp 21.800.571.404
2 Penghitungan PPN Kurang Bayar
a. Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri (tarif x 1.a.2) Rp 102.014.040
b. Dikurangi :
AT

b.1.PPN yang disetor dimuka dalam Masa Pajak yang sarna Rp 0


b.2.Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan menurut Terbanding Rp 25.202.704.931
b.2a. Koreksi yang tidak dapat dipertahankan Rp 1.165.443.122
b.2b. Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan menurut Majelis Rp 26.368.148.053
b.3.STP (pokok kurang bayar) Rp 0
b.4.Dibayar dengan NPWP sendiri Rp 0
RI

b.5. Lain-lain Rp 0
b.6. Jumlah (b.1+b.2b+b.3+b.4+b.5) Rp 26.368.148.053
c. Diperhitungkan :
c.1. SKPPKP Rp
TA

d. Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan (b.6-c.1) Rp 26.368.148.053


e. Jumlah perhitungan PPN Kurang/Lebih Bayar (a-d) Rp (26.368.134.013)
3 Kelebihan Pajak yang sudah :
a. Dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya Rp 26.266.134.013
b. Dikompensasikan ke Masa Pajak.. (karena pembetulan) Rp
c. Jumlah (a+b) Rp 26.266.134.013
RE

4 PPN yang kurang dibayar (2.e+3.c) Rp 0


5 Sanksi administrasi :
a. Bunga Pasal 13 (2) KUP Rp
b. Kenaikan Pasal 13 (3) KUP Rp
c. Bunga Pasal 13 (5) KUP Rp
d. Kenaikan Pasal 13A KUP Rp
K

e. Kenaikan Pasal 17C (5) KUP Rp


f. Kenaikan Pasal 17D (5) KUP Rp
g. Jumlah (a+b+c+d+e+f) Rp 0
SE

6 Jumlah PPN yang masih harus dibayar (4+5.g) Rp 0

Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan


ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
sengketa ini;

Memutuskan : Mengabulkan Seluruh banding Pemohon Banding terhadap Keputusan


Terbanding Nomor KEP-00688/KEB/WPJ.07/2016 tanggal 16 Mei 2016
tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Maret 2011 Nomor
00072/207/11/058/15 tanggal 27 Juli 2015, atas nama: PT XXX, sehingga
PPN yang terutang Masa Pajak Maret 2011 dihitung kembali menjadi
sebagai berikut:

1 Dasar Pengenaan Pajak Rp 21.800.571.404


2 Penghitungan PPN Kurang Bayar
a. Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri (tarif x Rp 102.014.040

K
1.a.2)
b. Dikurangi :
Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan menurut Majelis Rp 26.368.148.053

JA
e. Jumlah perhitungan PPN Lebih Bayar (a-d) Rp (26.368.134.013)
3 Kelebihan Pajak yang sudah :
Dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya Rp 26.368.134.013
4 PPN yang Kurang dibayar Rp 0

PA
5 Sanksi administrasi :
a. Bunga Pasal 13 (2) KUP Rp 0
b. Kenaikan Pasal 13 (3) KUP Rp 0
c. Jumlah (a+b) Rp 0
6 Jumlah PPN yang masih harus dibayar (4+5.c) Rp 0

N
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan
dicukupkan pada hari Kamis tanggal 4 Mei 2017 oleh Hakim Majelis XVIB dengan susunan Majelis

ILA
sebagai berikut:
Ruwaidah Afiyati, S.E., S.H., M.M., M.H., CfrA. sebagai Hakim Ketua,
Drs. Djoko Joewono Hariadi, M.Si. sebagai Hakim Anggota,
Anwar Syahdat, S.H., M.E. sebagai Hakim Anggota,
dengan dibantu oleh :
AD
M.R. Abdi Nugroho, S.H., M.M. sebagai Panitera Pengganti,
NG
PE
AT
RI
TA
K RE
SE

Anda mungkin juga menyukai