Anda di halaman 1dari 13

MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM SOROTAN

Komentar Terhadap Buku


"Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi
(Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)"
Karya Yusril Ihza Mahendra

A. Pendahuluan
Buku yang berjudul "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam;
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" ini pada
mulanya merupakan disertasi Yusril Ihza Mahendra untuk memperoleh gelar Doctor of
Philosophy di Universitas Sains Malaysia pada 1993. Saya (Muh. Isa Anshory) tidak akan
mengomentari keseluruhan isi buku ini, baik berupa kritik maupun apresiasi1, namun hanya
akan menekankan pada bagian Pendahuluan yang menggambarkan desains penelitian secara
umum dan bagian Kesimpulan yang berisi jawaban atas rumusan masalah pada bagian
Pendahuluan. Agar mendapatkan gambaran yang utuh dan tidak terputus, saya sampaikan
terlebih dahulu ringkasan dari dua bagian tersebut dalam makalah ini sebelum saya
memberikan komentar terhadap buku ini.

B. Ringkasan Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam"


a. Latar Belakang Masalah
Secara tersirat, Yusril mengemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi
pemilihan tema penelitian tentang modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam.
Beberapa alasan itu dapat diringkas sebagai berikut:
- Menurut Yusril, modernisme dan fundamentalisme merupakan dua fenomena global
yang dapat dijumpai dalam berbagai masyarakat yang menganut "agama-agama
dunia", seperti Yahudi, Hindu, Kristen, dan Islam. Terkait dengan Islam, kedua
fenomena itu telah banyak diperbincangkan orang. (hal. 3) Dengan demikian, sumber
mengenai tema ini tersedia dan mudah didapatkan.
- Yusril ingin ikut mengambil bagian dalam diskursus akademis tentang modernisme
dan fundamentalisme Islam, khususnya di kalangan pengikut mazhab Sunni. (hal. 4)
Dilihat dari aspek kemampuan, seorang intelektual seperti Yusril sudah tentu memiliki
kemampuan untuk melakukan penelitian mengenai tema ini.

1
Mengenai kritik terhadap buku ini, silakan lihat Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik
Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Dea Press.

1
- Yusril berusaha untuk membahas masalah modernisme dan fundamentalisme Islam
dalam kajian ini dengan menggunakan perspektif ilmu politik. Menurutnya, perspektif
demikian akan memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menganalisis modernisme
dan fundamentalisme sebagai dua "aliran politik" atau dua "ideologi politik". Kedua
aliran itu akan dihubungkan dengan partai-partai Islam yang oleh penulis-penulis
sebelumnya telah dikategorikan sebagai partai beraliran "modernis" dan
"fundamentalis". Menurut Yusril, pendekatan seperti itu cukup menarik untuk
dilakukan. (hal. 4)

b. Perumusan Masalah
Dalam penelitiannya ini, Yusril merumuskan dua permasalahan utama:
1. Apakah pandangan-pandangan dasar (karakteristik) "modernisme" dan
"fundamentalisme" jika dihubungkan dengan doktrin Islam?
2. Sejauh manakah pandangan-pandangan dasar kedua aliran itu mempengaruhi
organisasi, program dan perilaku politik partai modernis dan partai fundamentalis?
(hal. 5)

c. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan yang ingin dicapai Yusril dalam studi ini. Pertama,
mempertajam karakteristik dan fundamentalisme untuk menghindari kesalahpahaman
dalam penggunaannya sebagai istilah teknis dalam suatu kajian ilmiah. Kedua, kajian ini
ingin menunjukkan adanya pengaruh, yaitu adanya "elektif afinitas" atau "pilihan yang
sesuai antara pandangan-pandangan dasar modernisme dan fundamentalisme dengan
organisasi dan program partai-partai modernis dan fundamentalis, serta "konsistensi
psikologis" antara pandangan-pandangan dasar itu dengan perilaku aktor-aktor politiknya.
(hal. 10-11)

d. Metode Penelitian
Terkait dengan metode penelitian, Yusril membaginya menjadi tiga. Pertama,
pembahasan tentang alasan pembatasan ruang lingkup kajian. Kedua, metode
pengumpulan data. Ketiga, metode analisis yang dipakai dalam studi ini.

1. Pembatasan Ruang Lingkup Kajian

2
Secara periode waktu, studi ini dibatasi pada perkembangan modernisme dan
fundamentalisme Islam selama dua dekade, yakni antara 1940-1960. Alasan pembatasan
tersebut didasarkan pada pertimbangan utama bahwa dalam masa itu "perseteruan"
pendapat antara kedua aliran itu bisa diamati secara lebih jelas dibandingkan dengan
masa-masa yang lain. Tahun 1940-an merupakan tahun-tahun akhir kolonialisme di
negeri-negeri Islam. Menjelang kemerdekaan itu, kaum modernis dan fundamentalis
mulai memperdebatkan gagasan-gagasan mereka berkaitan dengan masa depan negeri
mereka dengan isu utama bagaimana meletakkan posisi yang sesuai bagi Islam di alam
kemerdekaan nanti. Setelah kemerdekaan diperoleh, perdebatan kedua kelompok ini
semakin jelas. Kaum modernis yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, terus
ditantang oleh kaum fundamentalis yang menuntut tegaknya "negara Islam yang
sebenarnya" dan ditegakkannya syari'ah Islam secara menyeluruh. Di negeri-negeri
Muslim tertentu, kaum modernis terlibat perdebatan yang sangat sengit dengan golongan-
golongan sekuler, juga mengenai tempat yang sesuai bagi agama di dalam negara.
Perdebatan-perdebatan itu mulai "mereda" –setidaknya untuk sementara—ketika
memasuki dekade 1960, setelah pihak tentara mengambil alih kekuasaan pemerintah sipil.
(hal. 48-49)

2. Metode Pengumpulan Data


Kajian ini menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara tidak formal dengan mantan tokoh-tokoh utama
Masyumi. Mereka, antara lain, adalah Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,
Mohamad Roem, Boerhanoeddin Harahap, Anwar Harjono, M. Yunan Nasution,
Mohammad Sardjan, Zainal Abidin Ahmad, Osman Raliby, dan Muhammad Ali Hanafiah
Lubis. Wawancara dengan tokoh-tokoh Jamâ'at-i-Islâmî dilakukan dengan Syed Asad
Gilani, Khurram Jah Murrad, Akhlaq Ahmed, dan Abdurrahman Qureishi. Di samping
wawancara secara langsung, data primer juga dikumpulkan dari dokumen-dokumen resmi
yang disimpan dalam arsip Masyumi dan Jamâ'at-i-Islâmî.
Data sekunder diperoleh dari penerbitan-penerbitan Masyumi dan Jamâ'at-i-
Islâmî, media massa umum, hasil-hasil studi para sarjana yang diterbitkan dalam berbagai
media massa, jurnal, buku-buku, makalah-makalah dan tesis serta laporan penelitian
yang belum diterbitkan. Data sekunder juga diperoleh dari wawancara tidak formal
dengan tokoh-tokoh di luar Masyumi dan Jamâ'at-i-Islâmî, tetapi dipandang relevan
dengan topik-topik tertentu yang ditelaah dalam studi ini. Tokoh-tokoh dimaksud antara

3
lain adalah Dr. Mr. Teuku Mohammad Hasan, mantan gubernur Sumatra, menteri Agama
dan anggota Parlemen Indonesia, dan Dr. Inamullah Khan, seorang mantan politikus
Pakistan dan kini menjadi Sekretaris Jenderal World Islamic Conggres yang bermarkas di
Karachi. (hal. 55)

3. Metode Analisis
Penulis berusaha untuk melakukan analisis secara "obyektif" terhadap makna
"subyektif" dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor politik modernis dan
fundamentalis. Untuk membantu analisis tersebut, penulis menghubungkan motif suatu
tindakan dengan pandangan-pandangan dasar yang dianutnya. Motif tindakan-tindakan
tertentu aktor-aktor politik partai modernis dan fundamentalis dapat dipahami dengan
menghubungkan tindakan-tindakan tersebut dengan dua tipe rasionalitas tindakan sosial,
yang oleh Weber disebut sebagai "Zweckrationaliat" dan "Wertrationaliat".
Zweckrationaliat merupakan tipe rasionalitas yang mencakup pemilihan dan
pertimbangan sadar yang berkaitan dengan tujuan dari suatu tindakan. Rasionalitas tipe
ini secara sadar juga mempertimbangkan pilihan "alat-alat" atau "cara-cara" yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan itu. Pilihan itu juga mempertimbangkan berbagai
implikasinya. Wertrationaliat merupakan tipe tindakan yang kurang mementingkan
pilihan dan pertimbangan sadar mengenai "alat-alat" dan "cara-cara" seperti di dalam
Zweckrationaliat, namun yang penting tujuan dari suatu tindakan dapat tercapai. (hal. 56-
57)

e. Studi Kepustakaan
Ada banyak kajian mengenai modernisme dan fundamentalisme yang pernah
dilakukan oleh para penulis sebelumnya. Yusril menyampaikan nama beberapa penulis
beserta rumusan definisi mereka tentang modernisme dan fundamentalisme. Dalam
makalah ini (yaitu Modernisme dan Fundamentalisme dalam Sorotan) hanya akan
disebutkan nama para sarjana yang pendapatnya tentang modernisme dan
fundamentalisme dinukil oleh Yusril tanpa menuliskan bagaimana bunyi pendapat mereka
dan terdapat dalam buku apa karena hanya sekadar untuk menunjukkan bahwa Yusril
telah melakukan studi kepustakaan. Para sarjana yang telah mengemukakan pendapatnya
tentang rumusan modernisme antara lain adalah Ahmad Hassan, Chehabi, Mukti Ali,
Fazlur Rahman, Bassam Tibi, Hamilton Gibb, Wilfred C. Smith, Edward Said, Marshal
G.H. Hodgson, Robert N. Bellah, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, dan Leonard Binder.

4
(hal. 12-16) Sementara itu, para sarjana yang telah mengemukakan pendapatnya tentang
rumusan fundamentalisme antara lain adalah Jan Hjarpe, Leonard Binder, Allan Taylor,
Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi, Bruce Lawrence, Fazlur Rahman, Fouad
Ajami, dan Hrair Dekmejian. (hal. 17-20)

f. Kerangka Pemikiran Teoretis


Berdasarkan pendapat-pendapat beberapa sarjana terkemuka mengenai
modernisme dan fundamentalisme seperti yang telah disebutkan dalam studi kepustakaan,
Yusril akhirnnya merumuskan definisi kedua aliran itu. Menurutnya, modernisme dan
fundamentalisme diartikan sebagai dua ideologi atau aliran politik yang sama-sama
berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Keduanya sama-sama bertujuan untuk
membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang
termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, meskipun kedua aliran
itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin
menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Modernisme cenderung
menafsirkan doktrin secara elastis dan fleksibel. Sementara fundamentalisme cenderung
menafsirkannya secara rigid dan literalis. Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini,
menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-
masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah
dan tradisi Islam; (c) ijma'; (d) pluralisme (kemajemukan); dan (e) hikmah. Perbedaan
kecenderungan penafsiran terhadap lima masalah ini yang menjai faktor terpenting untuk
membedakan modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam. (hal. 29)
Mengacu pada lima masalah di atas, Yusril kemudian merumuskan karakteristik
modernisme dan fundamentalisme. Ringkasnya sebagai berikut:
No Masalah Modernisme Fundamentalisme
1 Ijtihad Modernisme melihat bahwa dalam Fundamentalisme memandang
masalah-masalah mu'amalah bahwa corak pengaturan doktrin
(kemasyarakatan), doktrin hanya bersifat total dan serba mencakup.
memberikan ketentuan-ketentuan Tidak ada masalah-masalah yang
umum yang bersifat universal. Oleh berhubungan dengan kehidupan
karena itu, ijtihad (pemikiran bebas) manusia di dunia ini yang luput dari
harus digalakkan. Ijtihad jangkauan doktrin yang serba
memungkinkan corak pengaturan mencakup itu. Karena itu, ijtihad
doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan dengan sendirinya dibatasi hanya
umum itu dapat diimplementasikan ke kepada masalah-masalah dimana
dalam suasana konkret, yaitu suasana doktrin tidak memberikan petunjuk

5
masyarakat yang ada pada suatu zaman dan pengaturan sampai detail-detail
dan tempat tertentu. persoalan.
2 Preseden zaman Modernisme memandang tradisi awal Fundamentalisme memandang
awal, serta Islam yang dicontohkan oleh Nabi preseden zaman awal Islam adalah
sejarah dan Muhammad dan para sahabat beliau – mengikat secara keseluruhan; baik
tradisi Islam terutama zaman Khulafa'ur Rasyidin— dalam prinsip maupun perincian-
hanyalah mengikat dalam hal prinsip- perinciannya. Fundamentalisme
prinsipnya saja, bukan menyangkut hal- berpendapat bahwa orang-orang
hal yang terperinci. Oleh karena itu, yang hidup di zaman awal lebih
preseden awal Islam di zaman Nabi dan memahami maksud-maksud doktrin.
para sahabat tidak harus diikuti sampai Zaman awal Islam, yaitu zaman Nabi
pada perincian-perincian berdasarkan dan para sahabat, adalah zaman ideal
pada prinsip perubahan yang berlaku yang wajib diwujudkan di segala
dalam masyarakat. Warisan tradisi zaman.
zaman ini pun, dengan sendirinya
tidaklah mengikat generasi-generasi
kaum Muslim yang hidup di zaman
kemudian.
3 Ijma' Modernisme memandang bahwa ijma' Fundamentalisme memandang ijma'
(konsensus) yang dicapai oleh generasi zaman sahabat Nabi adalah ijma'
terdahulu dapat diperbarui oleh yang mengikat generasi-generasi
generasi yang hidup di zaman kaum Muslim hingga akhir zaman.
kemudian. Hal ini dilakukan jika Ijma' demikian tidak dapat diubah
faktor-faktor psikologis, sosial, politik, oleh ijma'-ijma' yang dibuat oleh
dan ekonomi yang melatarbelakangi generasi yang hidup setelah mereka.
ijma' itu juga telah berubah. Pembaruan
ijma' ini, menurut kaum modernis,
termasuk juga kemungkinan
memperbarui ijma' para sahabat Nabi.
Kaum modernis juga memperluas
konsep tradisional mengenai ijma' –
yaitu konsensus mayoritas para ulama
fiqh mengenai sesuatu masalah hukum
—menjadi konsensus mayoritas kaum
Muslim, atau wakil-wakil mereka, pada
suatu zaman dan tempat tertentu.
4 Pluralisme Modernisme melihat pluralisme dengan Fundamentalisme cenderung
(kemajemukan) sikap positif dan optimis. Kaum memandang negatif dan pesimis
modernis berkeyakinan bahwa selama kepada pluralisme. Masyarakat
dunia ini masih ada, selama itu pula cenderung dilihat secara hitam putih,
pluralisme akan tetap ada. yaitu antara masyarakat Islami yang

6
meyakini dan mengamalkan doktrin
secara kaffah dengan masyarakat
jahiliyah yang tidak meyakini dan
mengamalkannya.
5 Hikmah Bagi kaum modernis, hikmah Hikmah tidak perlu dicari dalam
(kebijaksanaan) akan ditemukan di masyarakat-masyarakat yang telah
mana saja di muka bumi ini, termasuk jelas bersifat jahiliyah itu. Oleh
pada umat-umat dan kelompok- karena itu, fundamentalisme
kelompok di luar Islam. Modernisme cenderung bersifat tertutup dari
cenderung bersikap terbuka untuk kemungkinan beradaptasi dan
beradaptasi dan mengakulturasi berakulturasi dengan prestasi-
prinsip-prinsip doktrin dengan hikmah prestasi peradaban yang telah
yang telah disumbangkan oleh dikembangkan oleh masyarakat lain.
masyarakat-masyarakat yang
mendukung peradaban lain. Dorongan
mencari hikmah itu adalah seiring
dengan kecenderungan kaum modernis
yang lebih berorientasi pada
penyelesaian masalah yang dihadapi
secara konkret, dengan pendekatan
yang bercorak pragmatis dan
kompromistis.
(hal. 29-32)

g. Kesimpulan
Yusril kemudian melakukan pemaparan fakta-fakta mengenai partai Masyumi di
Indonesia dan partai Jamâ'at-i-Islâmî di Pakistan, kemudian menganalisis fakta tersebut
berdasarkan karakteristik modernisme dan fundamentalisme yang telah ia rumuskan.
Kesimpulan sekaligus jawaban dari perumusan masalah yang ia ajukan sebelumnya
adalah sebagai berikut:
1. Modernisme dan fundamentalisme memiliki pandangan-pandangan dasar
(karakteristik yang terkait erat dengan perbedaan kecenderungan dalam menafsirkan
doktrin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik. (hal. 304) Karakteristik
tersebut secara ringkas sebagaimana telah disebutkan pada bagian kerangka pemikiran
teoretis di atas.
2. Pandangan-pandangan dasar tersebut mempengaruhi tipologi organisasi dan tipologi
program partai modernis (Masyumi) dan partai fundamentalis (Jamâ'at-i-Islâmî).
a. Kecenderungan Tipologi Organisasi

7
Partai Islam modernis pada umumnya didirikan secara kolektif untuk
menyatukan potensi dan aspirasi umat. Tujuan partai bersifat terbatas untuk satu
negara tertentu. Untuk mencapai tujuannya, partai modernis cenderung terbuka dan
kompromis dengan golongan lain. Struktur organisasi mengadaptasikan antara nilai-
nilai universal Islam dengan struktur organisasi modern dari Barat. Kepemimpinan
partai menggunakan otoritas legal rasional dengan tanpa menghapuskan otoritas
tradisional dan kharismatik. Oleh karena itu, kepemimpinan partai cenderung
didominasi tokoh berlatar belakang pendidikan Barat. Peran ulama cenderung kurang
penting. Cenderung menjadi partai massa.
Partai Islam fundamentalis pada umumnya didirikan oleh seorang tokoh
sebagai reaksi terhadap kelompok-kelompok Muslim "sekuler" dan modernis. Tujuan
partai bersifat luas dan global (sedunia). Untuk mencapai tujuannya, partai
nonkompromistis. Struktur organisasi terpusat pada Ketua Partai. Kepemimpinan
cenderung monolitik. Cenderung menjadi partai elite dan ekslusif. (hal. 306-307)
b. Kecenderungan Tipologi Program
Di antaranya adalah pengaruh terhadap program politik. Partai Islam modernis
tidak begitu mengutamakan sebutan "negara Islam" atau "Islam sebagai dasar negara",
namun yang lebih penting adalah menstransformasikan nilai-nilai universal Islam ke
dalam hukum dan praktek penyelenggaraan negara. Sebaliknya, sebutan tadi
merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar bagi partai fundamentalis. Partai Islam
modernis berusaha untuk mengadaptasikan nilai-nilai universal Islam di bidang
politik dengan gagasan-gagasan politik Barat modern serta menolak usaha untuk
menegakkan kembali struktur pemerintahan zaman para khalifah. Adapun partai Islam
fundamentalis kebalikan dari dua hal tersebut. (hal. 308-310)

C. Komentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam"


Yusril berusaha untuk mengikuti prosedur penelitian ilmiah dalam menulis kajian di
buku ini. Meskipun singkat, ia menyebutkan alasan penelitian yang dilakukannya pada
bagian awal bab I (Pendahuluan). Kemudian ia mengajukan dua rumusan masalah yang
dijawabnya dalam bab Kesimpulan. Ia juga dengan jelas menyebutkan tujuan penelitian, studi
kepustakaan terhadap karya-karya terkait yang sudah ada sebelumnya, metode penelitian, dan
kerangka pemikiran teoretis. Dalam mengumpulkan data, Yusril berusaha mengambil dari
sumber primer dan sekunder sehingga menjadikan karya ilmiah bisa dipertangunggjawabkan
dari sisi sumber.

8
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam karya ini. Beberapa di
antaranya bahkan merupakan perkara yang sangat fatal. Perkara pertama dan sangat mendasar
adalah penggunaan istilah modernisme dan fundamentalisme dalam kajian ini. Kedua istilah
ini berasal dari Barat dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Dalam bahasa
Arab, modernisme sering disebut dan diidentikkan dengan tajdîdiyah (pembaharuan). Ada
pula yang menyebutnya dengan hadâtsah. Sementara itu, fundamentalisme sering disebut
dengan ushûliyah. Kedua istilah ini (tajdîdiyah dan ushûliyah) sebenarnya tidak akan didapati
jika kita membuka kamus-kamus lama bahasa Arab. Kita hanya mendapatkan kata dasar
istilah itu, yaitu al-jadîd dan al-ashlu (dasar sesuatu). Kedua istilah ini pun dalam bahasa
Arab dan wacana pemikiran Islam mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda
dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh
banyak orang. Penggunaan istilah dengan perbedaan pemahaman dan substansi tersebut akan
membawa implikasi yang sangat fatal; terlebih jika dikaitkan dengan agama. Dalam Islam,
tajdîd ad-dîn diartikan sebagai upaya untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali
ajaran agama yang ditinggalkan, memurnikannya dari perkara-perkara baru yang bukan
bagian darinya (bid'ah), serta mengaplikasikannya dalam realita dan perkembangan
kehidupan.2 Adapun istilah ushûliyah biasanya dikaitkan dengan kajian ushul fikih yang
bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari
teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah 'legislasi' umum serta pokok-pokok
tasyri'iyah general, seperti: (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf,
(3) apa yang menjadi objek ijtihad, (4) nasakh hukum, dan (5) ta'arudh 'pertentangan' an
tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum)."3 Dengan merujuk pada dua pengertian ini,
tajdîd ad-dîn tidak dapat dipisahkan dari ushûliyah.
Pengertian ini tentu jauh berbeda dengan pengertian modernisme dan
fundamentalisme dalam perspektif Barat; termasuk juga pengertian yang digunakan Yusril
dalam bukunya. Selain itu, kedua pengertian tadi bukan pengertian yang dimaksudkan
kebanyakan orang; termasuk juga yang dimaksudkan Yusril dalam bukunya. Dalam
perspektif Barat, modernisme dan fundamentalisme merupakan dua aliran yang saling
bertentangan. Keduanya lahir dari permasalahan yang dihadapi Barat yang berakar dari
pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Masalah ini tidak didapati dalam Dunia
Islam karena Islam merupakan agama wahyu yang tidak menentang usaha pengembangan
ilmu pengetahuan. Harun Nasution menyatakan bahwa modernisme dalam masyarakat Barat
2
Amamah, 'Adnan Muhammad. Tt. At-Tajdîd fî Al-Fikr Al-Islâmy. KSA: Dâr Ibn Al-Jauzy. Hal. 19.
3
Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema
Insani Press. Hal. 13-14.

9
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pikiran dan aliran ini
segera memasuki lapangan agama. Modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai
tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katholik dan Protestan
dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Aliran ini akhirnya membawa pada timbulnya
sekulerisme di masyarakat Barat.4
Sementara itu, fundamentalisme –sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Imarah—
pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad XIX
M dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani
kembalinya Al-Masih as secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya guna
mengatur dunia ini, seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia. Prototipe
pemikiran yang menjadi cirri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh
teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks
mana pun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbul-simbul
sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab suci.5
Meskipun mengakui sulit untuk mencari istilah selain modernisme dan
fundamentalisme sehingga penggunaan keduanya terpaksa dilakukan, Yusril akhirnya
terjebak pada kesalahan metodologis dalam menganalisis fenomena politik Partai Masyumi
dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî. Baik disadari atau tidak, Yusril terpengaruh oleh perspektif Barat
yang memandang modernisme dan fundamentalisme sebagai dua aliran yang memiliki
perbedaan dalam menafsirkan teks Bibel. Pengaruh itu sangat kental terlihat ketika Yusril
mengajukan konsep "modernisme dan fundamentalisme Islam" setelah mengemukakan
pendapat para sarjana Barat dan atau mereka yang terpengaruh Barat dalam Studi
Kepustakaan dengan menekankan pada perbedaan kecenderungan dalam menafsirkan
doktrin. Menurut Yusril, modernisme cenderung menafsirkan doktrin secara elastis dan
fleksibel. Sementara fundamentalisme cenderung menafsirkannya secara rigid dan literalis.
Penafsiran terhadap Al-Quran maupun penjelasan (syarh) terhadap As-Sunnah dalam
Islam merupakan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang mapan. Keduanya terikat erat
dengan syarat-syarat yang ketat. Dalam menafsirkan Al-Quran misalnya, mufassir harus
menguasai minimal 15 macam pengetahuan sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin

4
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang. Hal. 11.
5
Imarah. Op. cit. hal. 10.

10
As-Suyuthi.6 Selain itu, ia harus memperhatikan manhaj penafsiran. Belum lagi aspek
kepribadian yang juga tidak boleh diabaikan. Menafsirkan nash secara elastis dan fleksibel
tanpa memperhatikan ketentuan dan kaidah justru akan melahirkan pemahaman yang rusak.
Konsekuensinya, hal ini akan mengantarkan kaum "modernis Islam" sebagai orang-orang
yang merusak agamanya.
Kecenderungan penafsiran secara rigid dan literal yang disematkan pada kaum
"fundamentalis Islam" adalah pernyataan yang tidak benar. Seluruh aliran pemikiran Islam
yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul hadits, kaum zhahiriyah maupun
kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majaz (metafor) dan takwil
terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir terjadi ijma' bahwa nash-nash yang tidak
bisa ditakwilkan, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara
sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan
perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada
yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, dan ada
yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak
oleh mazhab-mazhab Islam.7
Kesalahan mendasar dalam mendikotomikan "modernisme dan fundamentalisme
Islam" tersebut berimplikasi pada kerancuan karakteristik yang dibuat Yusril terhadap kedua
aliran itu. Dalam makalah ini, saya tidak akan membahasnya karena tujuan penulisan
makalah adalah untuk melihat desains penelitian; bukan mengkritisi penelitian secara rinci.
Untuk lebih jelasnya, silakan baca buku Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran
Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra karya Adian Husaini.
Selain kesalahan metodologis, Yusril juga terjebak dalam kesalahan generalisasi
ketika membuat pembatasan temporal penelitian. Yusril menyatakan alasan dimulainya kajian
pada 1940 karena pada tahun-tahun akhir kolonialisme di negeri-negeri Islam itu "kaum
modernis dan fundamentalis mulai memperdebatkan gagasan-gagasan mereka berkaitan
dengan masa depan negeri mereka dengan isu utama bagaimana meletakkan posisi yang
sesuai bagi Islam di alam kemerdekaan nanti." Terlepas dari pro-kontra dikotomi
"modernisme dan fundamentalisme Islam", ternyata peristiwa seperti itu tidak terjadi di
Indonesia. Memang Yusril menguraikan adanya kritik yang dilakukan oleh Al-Maududi

6
15 pengetahuan tersebut adalah bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqâq, al-ma'âni, al-bayân, al-badî', ilmu
qira'ah, ushuluddin, ushul fikih, asbâbun nuzûl, an-nâsikh wa al-mansûkh, fikih, hadits-hadits, dan ilmu
muhibah. Silakan lihat: Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-
Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125.
7
Imarah. Op. cit. hal. 14.

11
terhadap Liga Muslim pimpinan Ali Jinnah pada pembahasan motif pembentukan partai
fundamentalis (hal. 86-96), namun fenomena perdebatan antara tokoh-tokoh yang mewakili
Islam mengenai posisi Islam setelah merdeka nanti tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, tokoh-
tokoh yang mewakili Islam dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda pada masa
penjajahan bersatu dalam perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mereka
terlibat perdebatan sengit dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler dan nonmuslim hingga
tercapailah rumusan kompromi pada 22 Juni 1945 yang disebut dengan Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta tersebut dicantumkan kalimat, "Negara berdasarkan Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Namun sehari
setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kalimat itu dicoret oleh Moh. Hatta atas desakan
seorang opsir Jepang yang menyampaikan "ancaman" seorang tokoh Kristen dari Indonesia
Timur. Dengan demikian, terdapat perbedaan kondisi antara India dan Indonesia pada saat itu
(1940-an) lengkap dengan permasalahan yang dihadapi umat Islam di kedua negeri ini. Jika
kondisi dan permasalahan yang dihadapi saja berbeda, maka wajar apabila motif
pembentukan Partai Masyumi dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî juga berbeda. Hal ini tidak lantas
bisa dijadikan justifikasi mengenai kecenderungan tipologi partai modernis dan
fundamentalis dalam motif pembentukan partai.

D. Penutup
Demikianlah sedikit komentar yang bisa saya tuliskan terhadap buku "Modernisme
dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan
Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" karya Yusril Ihza Mahendra. Meskipun menyimpan data-
data sejarah mengenai Masyumi dan Jamâ'at-i-Islâmî yang cukup bermanfaat, namun karya
Yusril ini tidak lepas dari kesalahan fatal. Kesalahan mendasar adalah pendikotomian antara
"modernisme Islam" dan "fundamentalisme Islam" dengan karakter-karakter yang dibuatnya.
Kesalahan metodologis ini dapat berimplikasi pada kesalahan kesimpulan. Hal itu karena
konsep dan teori sebagai alat analisis untuk melakukan pendekatan dalam suatu kajian
berfungsi sebagai konstruk yang memberi bentuk bangunan penelitian. Jika konsep dan
teorinya bermasalah, tentu bentuk bangunan penelitiannya pun juga bermasalah. Dengan
demikian, memposisikan Masyumi sebagai partai modernis dengan pengertian dan karakter
yang dibuat Yusril akan mendorong kesimpulan orang bahwa Masyumi adalah partai yang
merusak Islam. Ini bertentangan dengan kenyataan sejarah. Memposisikan Jamâ'at-i-Islâmî
sebagai partai fundamentalis dengan pengertian dan karakter yang dibuat Yusril juga akan

12
mendorong kesimpulan orang bahwa Jamâ'at-i-Islâmî adalah partai radikal, tidak ramah, dan
tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Terlebih dalam wacana publik yang didominasi media massa Barat dan sekuler pada
saat ini, istilah modernisme dan fundamentalisme sudah menjadi tidak netral lagi. Kantor-
kantor berita Barat maupun banyak media massa di negeri Muslim sudah terbiasa
menggunakan istilah modernisme dalam arti yang positif. Modernisme dianggap merupakan
usaha untuk mengadaptasikan Islam ke dalam nilai-nilai modern dan up to date. Sebaliknya,
istilah fundamentalisme digunakan untuk menyebut gerakan-gerakan Islam berhaluan keras.8
Terkait dengan tema kajian Yusril, pemosisian sebagai partai fundamentalis dapat juga
berimplikasi pada buruknya citra Jamâ'at-i-Islâmî. Wallâhu a'lam bish shawâb.

DAFTAR PUSTAKA

Amamah, 'Adnan Muhammad. Tt. At-Tajdîd fî Al-Fikr Al-Islâmy. KSA: Dâr Ibn Al-Jauzy.

Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy.


Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125.

Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam
Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Dea Press.

Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam.
Jakarta: Gema Insani Press.

Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam;
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan).
Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang.

8
Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza
Mahendra. Jakarta: Dea Press. Hal. 27-28.

13

Anda mungkin juga menyukai