Anda di halaman 1dari 8

Kemarau Panjang di Pulau Es

Oleh : Raja Chairul J. Wydmann | XII TKJ 1 | SMK Negeri 1 Bukittinggi

Kamis, 18 Februari 2010


Tifa, begitu sebutanku dimulut teman-temanku. Aku bingung mengapa
dipanggil begitu. Padahal nama asliku Amanda Latifani. Bukankah bagus kalau
dipanggil Amanda, Manda, atau Fani. Tapi nama Tifa cocok juga sebenarnya.
Aku bersekolah di SMA N 5 Surabaya. Jauh ya? Menurutku tidak karena
rumahku hanya 500 meter dari sana. Saat ini aku duduk di bangku sekolah. Iya,
bukan dimeja. Saat ini aku sedang tahap semester 4. Jadi, jika dihitung-hitung aku
sedang berada dikelas 11. Aku pindahan dari daerah sana, Sumatera Selatan.
Tepatnya di Palembang. Tetapi, aku sudah pindah, disini, dibangku ini. Sejak
masuk SMA aku ada disini.
Haruskah aku memberitahu tanggal kelahiranku yang bertepatan pada hari ini?
Sepertinya tidak perlu karena kalian sudah tahu kebenarannya. Benar, tepat 16
tahun yang lalu aku muncul didunia yang indah ini. Itu kata-kata mereka. Mereka
yang hidup berkecukupan dan penuh keharmonisan dalam pelukan keluarga.
Kalian dapat mengira-ngira bagaimanakah kehidupan aku selama 16 tahun ini.
Biarkan kalian menebak bagaimanakah rasanya menjadi seorang aku.
Ya, hari ini ulang tahunku yang ke 16. Dan mengapa aku menulisnya dibuku
diary ini? Karena aku tidak mendapatkan teman berbagi. Hanya buku diary ini
saja yang aku percayai sebagai teman berbagi. Bukannya aku tidak punya teman,
semua temanku menyukaiku. Tetapi aku tidak percaya semuanya. Saat aku
bercerita, mereka hanya berpura-pura tertarik mendengarkan. Sisanya, tidak
menyelesaikan masalahku melainkan pembocoran data karena masalah
kepercayaan. Terlalu panjangkah cerita hari ini? Kalau begitu aku cukupkan dulu
hari ini.

Jum’at, 19 Februari 2010


Satu hari berlalu, dan tidak ada perubahan dari semuanya. Aku masih merasa
sendiri. Sebenarnya aku dirumah bertiga dengan tante dan nenekku. Bukan aku
yang sendiri, tetapi hati ini merasa sepi, kosong. Bukan hati yang bermakna
sebenarnya ya. Kalau makna sebenarnya, mungkin aku sudah hilang dari tanah
airku tercinta ini.

Sabtu, 20 Februari 2010


Hari ini Sabtu. Jadi nanti malam adalah malam suci bagi sepasang manusia yang
sedang dimabuk asmara. Ya, nanti malam adalah Malam Minggu. Dan malam
inilah adalah malam yang sangat dibenci oleh jomblo yang kesepian. Kalian tahu
jomblo? Haruskah kuberi tahu kalau jomblo adalah makhluk yang berbentuk
manusia yang berdiri seorang diri tanpa pasangan dan bersifat rapuh jika melihat
sepasang manusia lain? Sepertinya tidak perlu lagi karena kalau aku kasih tahu
akan membuang-buang waktu dan sisa kertas yang ada dibuku diary ini.
Kalian bertanya tentang aku? Aku tidak jomblo. Aku hanya menikmati menjadi
seorang single yang mencari kebebasan. Tapi malam ini aku tidak sendiri. Aku
bersama dengan teman berbagiku, Conny, begitu kusebut buku diaryku. Kami
sedang duduk-duduk ditaman, disini sebutannya adalah “Taman Bungkul”. Entah
mengapa diberi nama itu taman ini. Kami menikmati orang-orang yang berlalu
lalang dihadapan kami. Mengamati berbagai macam manusia dibumi ini, dikota
ini. Mulai dari yang muda sampai yang tua. Dari laki-laki sampai perempuan,
semi laki-laki sampai semi perempuan. Dari yang pulang ke rumah sampai yang
pergi dari rumah. Dari yang berkecukupan sampai yang berkekurangan. Entah apa
yang mereka cari pada malam ini. Yang jelas, aku hanya mencari ketenangan
dimalam ini.

Senin, 22 Februari 2010


Hah.. hari telah berubah kembali menjadi Senin. Waktunya menjalani rutinitas
yang membosankan itu lagi. Bangun, makan, tidak lupa minum supaya tidak
tersedak, berangkat ke sekolah bukan ke kantor karena aku masih pelajar,
mengikuti upacara bendera. Aku tidak mengerti apa gunanya upacara bendera.
Aku hanya berfikir jika upacara bendera hanya penanda bahwa hari ini adalah
Hari Senin.
Setelah upacara bendera telah selesai, aku mengikuti teman-temanku memasuki
kelas. Tetapi sepertinya teman-temanku yang mengikutiku memasuki kelas karena
aku berada didepan. Jadi begitukah menjadi seorang pemimpin? Apakah itu yang
dirasakan oleh pemimpin Negara sekarang? Sepertinya tidak. Bukan dialah yang
menjadi pemimpin, melainkan boneka yang menganggap dirinya pemimpin.
Membiarkan dirinya ditarik ulur oleh Sang Pemegang Tali.
Hari ini terasa berbeda dari hari lainnya. Karena hari ini hujan mungkin. Tetapi
tidak hanya itu, pada awal jam pelajaran masuklah sesosok makhluk laki-laki.
Tingginya kira-kira 167,2 cm, beratnya 62,9 kg dan bentuk rambutnya seperti
kebanyakan laki-laki disini. Dibelah kiri tetapi agak berdiri keatas. Aku tidak tahu
jenis potongan rambut apa itu karena aku bukan ahli rambut.
“Namaku adalah Andika Saputra. Panggil saja aku Dika. Aku pindahan dari
Bandung. Apakah aku harus memberitahu tentang diriku bu guru?” tanyanya pada
guru yang berdiri disampingnya.
“Ya, tentu saja. Beritahu apa saja yang ada pada dirimu” jawab Bu Intan.
“Nanti tidak seru bu. Mereka jadi tidak penasaran tentang aku. Dan aku tidak
mempunyai teman karena tidak ada yang bertanya denganku. Bolehkah aku
langsung duduk bu? Em… Disamping dia?” Dia menunjuk kearahku. Ya, karena
bangku disampingku sedang kosong. Kenapa bangku disebelahku kosong? Aku
lebih suka duduk sendiri. Dan teman-temanku mengetahuinya. Mereka
mengetahuinya dari sikapku yang dingin terhadap mereka. Tetapi mereka tidak
membenci sikap dinginku yang seperti es kering itu.
“Hahaha.. ya sudah. Kamu duduklah disamping Tifa. Cara berpikirmu unik
untuk memperoleh sesuatu ya.” Bu Intan tersenyum dan mempersilahkannya
duduk, disampingku.
Dia menarik kursinya dan langsung duduk disampingku.
“Namamu Tifa ya? Salam kenal Tifa.” Dia menyapaku dengan senyum
simpulnya yang khas.
“Ya, namaku Tifa. Salam kenal juga” aku menjawab seadanya dengan ekspresi
datar.
Itulah pertama kalinya aku berbicara panjang lebar dengan laki-laki selama
hidupku. Dia menceritakan kehidupannya disana, di Bandung. Mengapa dia
pindah kemari, dan banyak lagi tentang dirinya. Pastinya itu di jam istirahat
makan siang karena kalau di jam pelajaran kami akan dimarahi oleh Bu Intan.
Aku merasa ada sedikit ketertarikan dengannya, sebagai teman.

Rabu, 24 Februari 2010


“Tifa, maukah kamu pulang bersama denganku? Sekalian jalan-jalan. Maukah
kamu menemaniku jalan-jalan karena aku belum tahu betul seluk beluk kota ini?”
kata kata dari mulutnya mengejutkanku. Tidak pernah seorang laki-laki
memintaku untuk menemaninya jalan-jalan. Memang kita sudah saling kenal,
tetapi kenapa ini terasa aneh?
“Em.. anu.. em..” aku hanya kebingungan menjawabnya.
“Baiklah, sudah diputuskan. Kita akan pulang bersama. Aku akan menunggumu
di dekat gerbang sepulang sekolah.” Katanya dengan senyumnya yang khas tanpa
memikirkan jawabanku.
“Eh…?! Tunggu dulu..” aku memanggilnya tetapi dia sudah keluar untuk
istirahat makan siang. Jujur, baru kali ini aku gugup menghadapi seseorang. Tidak
pernah aku rasakan rasa ini. Biasanya menghadapi orang aku selalu bersikap
santai. Apakah ini pertanda kalau aku menyayanginya? Ah.. tidak mungkin.
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku keluar dari ruang belajar menuju
kesana, ke gerbang sekolah. Berharap Dika sudah pulang dan tidak jadi
menungguku. Tetapi perkiraanku salah. Dia menunggu tepat didepan gerbang
sekolah. Melihatku dan melambaikan tangannya sambil melemparkan senyuman
khasnya. Entah kenapa senyumannya membuatku tenang. Apa yang terjadi
denganku sekarang? Tidak adakah yang bisa membantuku menjawabnya
sekarang? Bahkan Conny pun tidak tahu menahu tentang itu. Perasaan aneh itu
muncul kembali.
Kami pun pergi meninggalkan gerbang sekolah itu. Kami berkeliling hampir 2
jam lamanya. Kami bercerita panjang lebar, entah itu berguna atau tidak kami
tidak perduli. Mulut kami tidak bisa berhenti berbicara dan membahas pendapat
kami tentang kota ini, tentang sekolah kami, tentang keluarga kami.
“Karena aku menyayangimu” kata itu terdengar ditelingaku. Jantungku terasa
berhenti. Aku tidak bisa membalas kata yang baru saja aku dengar. Sebelumnya
aku bertanya padanya kenapa dia mengajakku jalan-jalan dan menceritakan
semuanya padaku?kenapa dia tidak mengajak orang dan berbagi ceritanya dengan
yang lain?
“Karena aku menyayangimu, sejak pertama kali aku masuk keruang kelas kita.
Aku tertarik denganmu.” Dengan senyumannya yang khas dan membuatku
semakin gugup dan berkeringat. Ini adalah pertama kalinya seseorang mengatakan
seperti itu kepadaku. Tidak dengan orang tuaku, tidak dengan nenekku, tidak juga
dengan tanteku, apalagi dengan teman-temanku.
“A.. Aku harus pergi..” aku mengatakannya sambil berlari menjauhinya. Dia
hanya berdiri menatapku, menatapku bingung apa yang aku lakukan sore itu. Tak
terasa aku sudah sampai rumah. Aku langsung menuju kekamarku. Tanpa
terpikirkan, aku telah berada di bak mandi dikamar mandiku, bukan kamar
tidurku. Aku masih memikirkan kata-kata itu smbari berendam didalam bak
mandi ini.
“Apa sebenarnya maksud perkataan Dika tadi? Menyayangiku? Sebagai apa?
Temankah atau lebih? Dan bodohnya, kenapa aku lari?Itu semakin memperkeruh
suasana. Apakah kau tidak memikirkannya walaupun suasana tidak sekeruh itu?”
kata-kata ini terus terngiang dipikiranku. Terlintas dipikiranku kejadian-kejadian
dulu. Bukannya sombong, aku adalah salah satu gadis, bukan, perempuan yang
mudah membuat laki-laki tertarik. Perawakanku tinggi langsing. Berat badanku
165,88 cm dan beratku hanya 57,98 kg. Bentuk wajahku bulat telur. Banyak yang
mengatakan bahwa Artis Indonesia bernama Acha Septriasa mirip denganku.
Entah aku yang mirip dia atau dia yang mirip denganku aku tidak tahu. Yang jelas
kami bukan saudara. Dalam pelajaran aku juga tidak kalah sempurna, hampir tiap
semester berada dipapan paling atas. Kenapa hampir? Karena disemester 1 aku
hanya bertengger 1 level dibawah angka 1. Tidak heran banyak yang mendekatiku
hanya untuk mendapatkan status pacaran denganku. Tetapi setiap kali mereka
mendekatiku, sikapku hanya dingin, seperti balok es kering. Itu juga yang
menjelaskan aku suka duduk menyendiri di jam kelas.
Kutuntaskan mandiku pada sore itu. Aku berpakaian, makan malam dan bersiap
untuk tidur. Malam ini aku akan absen untuk belajar dulu perihal perasaanku tidak
sejalan dengan pikiranku. Jadi kusikat gigiku, kucuci tangan dan kakiku. Setelah
itu kubaringkan tubuhku, kutarik selimutku, dan tidak lupa membaca doa. Tidak
lama aku untuk mencapai alam mimpiku yang biasa-biasa saja. “Sudah cukup
untuk hari ini” otakku memerintah.

Kamis, 25 Februari 2010


“Karena aku menyayangimu” Kenapa kata-kata ini terus ada dipikiranku?! Apa
yang terjadi denganku? Apa yang telah kau buat Dika sampai aku seperti ini?!
“Hai Tifa. Selamat pagi. Maaf soal kemarin ya.” Dika datang tiba-tiba dan
menepuk pundakku dari belakang. Tidak lupa dengan senyuman khasnya yang
membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku. Dika langsung duduk
disampingku. Aku tidak menjawab. Suasana hening selama beberapa menit.
“Apakah kamu marah soal kemarin sore Tifa?” tanyanya dengan ekspresi
cemas.
“Em.. tidak Dika. Aku hanya kaget dengan apa yang kamu katakan. Aku tidak
menyangkanya dan berlari meninggalkanmu sendirian. Entah apa yang kupikirkan
sampai berlari meninggalkanmu sore itu. Aku minta maaf.” Gila! Bagaimana bisa
aku berbicara selancar ini ketika aku gugup? Apa ini perbuatanmu Dika? Dan
kenapa aku meminta maaf?
“Baiklah. Kita akan bicarakan ini sepulang sekolah. Aku tunggu digerbang yang
sama” katanya.
Tidak terasa pelajaran telah berakhir. Dan sesuai kata-kata Dika, dia
menungguku di gerbang yang sama. Gerbang sekolah kita, bukan sekolah
tetangga. Kami berjalan bersama menyusuri jalan pulang karena rumah kami
searah.
“Aku tertarik dengan seseorang ketika aku masuk ke kelas itu.” Dia mengawali
ceritanya.
“Siapa?” kataku berpura-pura tidak tahu.
“Jangan berpura-pura tidak tahu. Itu adalah kamu, Amanda Latifani. Sejak
pertama kali aku melihatmu, aku tertarik denganmu. Bukan karena wajahmu,
tetapi karena sikapmu. Dari situlah aku tahu kamu adalah orang yang menarik”
“Menarik? Sikapku?” tanyaku tidak mengerti bagaimana pola pikirnya. Dari
pertama kali bertemu juga aku tidak mengerti bagaimana pola pikir anak ini.
“Ya, menarik. Dari sikapmu yang dingin seperti es itu, aku mengetahui bahwa
kamu adalah orang yang bernasib sama denganku. Aku hanya ingin berbagi
ceritaku dengan orang yang bernasib sama denganku. Dan ternyata benar,
keluargamu bercerai, dan keluargaku juga begitu saat kita masih kecil dulu. Kita
adalah hasil dari keluarga yang tidak utuh. Sikap dingin itulah yang kamu dapat
selama ini. Begitu pula denganku, dulunya.” Jelasnya.
“Dulunya? Tetapi kamu adalah orang paling ceria yang pernah aku kenal.
Mengapa kamu berbicara kamu sama denganku?” tanyaku.
“Aku berkata tadi dulunya sifatku sama persis denganmu. Hanya menanggapi
apa seadanya saja. Tetapi aku tersadar, jika aku seperti ini, kehidupanku akan sia-
sia. Dan kejadian yang sama akan terulang. Aku akan terjatuh dijurang yang sama,
yaitu kesepian, kesendirian. Jadi aku memutuskan untuk mencairkan kebekuan
dihatiku dengan senyumanku.”
“Jadi apa tujuanmu mendekatiku? Apa hanya untuk pelampiasan kekesalanmu
saja?”
“Untuk melelehkan pulau es yang ada dihatimu sekarang. Aku ingin
menanamkan bunga dan pohon-pohon diatas pulau es dihatimu itu” aku terkejut
dengan jawabannya. Apa maksud dari pulau es dihatiku?
“Intinya, aku ingin selalu berada disisimu. Melewati ganasnya musim dingin
yang telah melanda dan menyambut hangatnya matahari yang akan
melelehkannya, bersama. Aku ingin berbagi indahnya dunia versiku dan melihat
indahnya dunia versi dirimu. Berbagi cerita. Canda, marah, tangis, maupun tawa.
Aku ingin mempunyai orang yang selalu disisiku. Dan menjadi orang yang selalu
ada disisimu.” Katanya.
“Maksudnya kamu ingin aku menjadi pacarmu? Atau ada maksud yang lain?”
tanyaku
“Pacar? Haha.. Aku tidak berpikir seperti itu sama sekali. Aku menyayangimu
tulus untuk berada disampingmu. Aku tidak mempedulikan status pacar, tunangan
ataupun lainnya. Aku hanya ingin selalu disampingmu. Menjagamu,
menyayangimu, dan mendengarkan apapun masalahmu. Intinya yang aku minta
adalah, jangan tinggalkan aku sendirian lagi. Aku telah memilih dirimu untuk
pelengkap hidupku yang tak sempurna ini. Jadi jangan kecewakan aku untuk yang
pertama kalinya.” Dika tersenyum dan tidak pernah kulihat senyuman sehangat
itu. Air mataku menetes. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku. Dika pun
terkejut dan menyeka air mataku. Aku menangis haru dalam pelukannya karena
tealah hadir melengkapi hidupku didunia ini seraya berkata :
“Kau berhasil. Terima kasih telah melelehkan dinginnya pulau es ini. Aku telah
menunggunya selama 16 tahun ini. Dan aku akan selalu berada disampingmu.
Terima kasih telah hadir sekarang.”

Anda mungkin juga menyukai