Anda di halaman 1dari 24

SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan THT REFERAT

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

RHINOSINUSITIS
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan THT

Imas Qurrata ‘Ayuni 1810029023


Wirdah Ulfahaini M. 1810029018

Pembimbing:
dr. Selvianti, Sp.THT-KL

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nya referat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.Referat ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari
pembelajaran kami.Referat ini secara khusus membahas tentang penyakit
Rhinosinusitis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya referat ini. Pertama-tama kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Selvianti, Sp. THT-KL selaku pembimbing klinik laboratorium ilmu
kesehatan THT, sekaligus pembimbing dalam penulisan referat ini.
2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu memberikan informasi
dan sumber bacaan.
Kami sengaja menyelesaikan referat ini untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik. Tentunya kami selaku penyusun juga mengharapkan agar
referat ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di
kemudian hari.
Tentunya referat ini sangat jauh dari sempurna.Oleh karena itu, saran serta
kritik yang membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dari isi laporan referat ini.

Samarinda, 24 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4
1.2 Tujuan ....................................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal .................................................................... 6
2.2 Histologi Sinus Paranasal ....................................................................................... 10
2.3 Definisi Rhinosinusitis ............................................................................................ 10
2.3.1 Definisi klinis pada dewasa.............................................................................. 11
2.3.2 Definisi klinis pada anak-anak ......................................................................... 11
2.3.3 Beratnya penyakit ............................................................................................ 12
2.3.4 Definisi rhinosinusitis yang sulit diobati.......................................................... 12
2.4 Epidemiologi ........................................................................................................... 12
2.5 Klasifikasi rhinosinusitis akut pada dewasa dan anak-anak ................................... 12
2.6 Etiologi dan Faktor Predisposisi ............................................................................. 13
2.7 Patofisiologi ............................................................................................................ 15
2.8 Diagnosis ................................................................................................................. 16
2.8.1 Anamnesis ........................................................................................................ 16
2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang.................................................................... 17
2.9 Tatalaksana.............................................................................................................. 18
2.10 Komplikasi ............................................................................................................ 20
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan yang
tampaknya mencerminkan dari peningkatan frekuensi rhinitis alergi dan yang
menyebabkan beban keuangan yang besar pada masyarakat. Rhinosinusitis adalah
istilah yang luas yang mencakup beberapa penyakit, termasuk rhinosinusitis akut,
rhinosinusitis kronik dengan polip hidung atau tanpa polip hidung. Di Amerika
Serikat, survei rumah tangga berbasis populasi yang dilakukan oleh National
Center for Health menemukan prevalensi rinosinusitis dilaporkan sendiri 13%
pada tahun 2009. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat
diikuti infeksi bakteri (Fokkens et al, 2012; Mangunkusumo, 2010).
Rhinosinusitis sering disebut sebagai sinusitis. Sinusitis terjadi ketika
sinus tersumbat atau terlalu banyak lendir yang menyebabkan satu atau lebih
rongga menjadi meradang atau bengkak. Rhinitis alergi atau asma dapat dikaitkan
dengan sinusitis kronis. Di negara-negara Eropa Barat 40% dari anak-anak saat ini
menderita rhinitis alergi sehingga menyebabkan obstruksi pada hidung. Akibatnya
dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah (Cummings, 2006; Georgy, 2012)
Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan
mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter
umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai
definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini. Bahaya dari
rhinosinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat
dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap rhinosinusitis ini menjadi
yang penting.

1.2 Tujuan
Penulisan tugas ini bertujuan umtuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan THT

4
khususnya untuk penyakit difteria.Selain itu juga sebagai salah satu syarat dalam
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan THT.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara embriologik, sinus
paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya
dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8
tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.

Gambar 1. Anatomi Hidung dan Sinus Paransal


Sinus Maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

6
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik
yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: Dasar dari anatomi
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. Sinusitis maksila
dapat menyebabkan komplikasi orbita. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi
dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan
kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh
sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari
sinus etmoid anterior.

7
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali
disebut sel-sel etmoid. Selsel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9
sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-
superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid enterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian
belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-batasnya ialah,
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus

8
dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
Kompleks Ostio-Meatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu
di meatus medius, ada muaramuara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal
yakni : Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning). Sinus berfungsi
sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati
pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung. Sebagai penahan suhu (thermal insulators). Sinus paranasal berfungsi
sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu
rongga hidung yang berubah-ubah. Membantu keseimbangan kepala Sinus
membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak
bermakna. Membantu resonansi suara.Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga
untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. Sebagai peredam
perubahan tekanan udara. Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang
besar dan mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang
jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif

9
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
2.2 Histologi Sinus Paranasal
Sebagian besar epitel respirasi terdiri 5 jenis sel yang khas. Sel silindris
bersilia adalah sel yang terbanyak. Setiap sel memiliki lebih kurang 300 silia pada
permukaan apikalnya. Di bawah silia, selain terdapat badan-badan basal, banyak
terdapat mitokondria kecil yang menyediakan ATP untuk pergerakan silia. Sel
terbanyak kedua adalah sel goblet mukosa yaitu sel yang pada bagian apikalnya
mengandung droplet mucus yang terdiri atas glikoprotein. Sel silindris selebihnya
dikenal sebagai sel sikat karena banyaknya mikrovili pada permukaan apikalnya.
Sel sikat mempunyai ujung saraf aferen pada permukaan basalnya dan dipandang
sebagai reseptor semsorik. Sel basal adalah sel bulat kecil yang terletak di atas
lamina basal namun tidak meluas sampai permukaan lumen epitel. Sel ini
didugamerupakan sel induk generative yang mengalami mitosis dan kemudian
berkembang menjadi jenis sel yang lain. Jenis sel yang terakhir adalah sel granul
kecil yang mirip dengan sel basal kecuali bahwa sel ini memiliki banyak granul
berdiameter 100-300 nm dengan bagian pusat yang padat. Kajian histokimia
mengungkapkan bahwa sel-sel ini merupakan populasi sel dari system
neuroendokrin difus.
Sinus paranasal adalah rongga tertutup dalam tulang yang dilapisi oleh
epitel respirasi yang lebih tipis dan sedikit mengandung sel goblet. Lamina
proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di
bawahnya. Mukus yang dihasilkan di dalam rongga-rongga ini terdorong ke
dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.
2.3 Definisi Rhinosinusitis
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dua gejala atau lebih, salah satunya hidung tersumbat atau
obstruksi atau kongesti disertai dengan nyeri wajah dan/atau penurunan
sensitivitas pembau.
Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2012 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology

10
(BSACI) Rhinosinusitis Initiative (RI), Joint Task Force on Practice Parameters
(JTFPP), dan Clinical Practice Guidelines : Adult Sinusitis (CPG:AS), 4
diantaranya sepakat untuk mengadopsi istilah rinosinusitis sebagai pengganti
sinusitis, sementara 1 pedoman yakni JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan
istilah tersebut. Istilah rinosinusitis dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan
mengingat konka nasalis media terletak meluas secara langsung hingga ke dalam
sinus ethmoid, dan efek dari konka nasalis media dapat terlihat pula pada sinus
ethmmoid anterior. Secara klinis, inflamasi sinus (yakni, sinusitis) jarang terjadi
tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di dekatnya. Namun, para ahli yang
mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah rinosinusitis
maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian, mengingat istilah
rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade terakhir.10
2.3.1 Definisi klinis pada dewasa
Rinosinusitis pada orang dewasa didefinisikan sebagai inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah , penurunan/ hilangnya
penghidu selama 12 minggu (akut) dan >12 minggu (kronik) serta salah satu dari
temuan nasoendoskopi; polip hidung dan/ atau sekret mukopurulen dari meatus
medius dan/ atau edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau gambaran
tomografi komputer: - perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.
2.3.2 Definisi klinis pada anak-anak
Rinosinusitis pada anak-anak didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan
sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya
termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah , batuk selama 12 minggu (akut)
dan >12 minggu (kronik) serta salah satu dari temuan nasoendoskopi; polip
hidung dan/ atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau edema/
obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau gambaran tomografi komputer:
perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.

11
2.3.3 Beratnya penyakit
Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm) yaitu RINGAN
=VAS 0-3 - SEDANG =VAS > 3-7 - BERAT =VAS > 7-10. Untuk evaluasi nilai
total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan
BERAPA BESAR GANGGUAN DARI GEJALA RINOSINUSITIS
SAUDARA?

10 cm
Tidak mengganggu Gangguan terburuk yang masuk akal
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
2.3.4 Definisi rhinosinusitis yang sulit diobati
Pasien yang tidak mencapai tingkat kontrol yang dapat diterima meskipun
telah menjalani pembedahan yang memadai, perawatan kortikosteroid intranasal
dan hingga 2 sesi singkat antibiotik atau kortikosteroid sistemik pada tahun
lalu/terakhir.
2.4 Epidemiologi
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak
signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak
ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap
tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan
rinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka
kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri, data dari
DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada
pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan pada
musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.
2.5 Klasifikasi rhinosinusitis akut pada dewasa dan anak-anak
Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling
sederhana adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala.
Rinosinusitis didefinisikan akut menurut 3 guidelines (pedoman) yakni oleh RI,
JTFPP, dan oleh CPG:AS yakni apabila durasi gejala berlangsung selama 4

12
minggu atau kurang. Oleh CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan sebagai subakut
apabila gejala berlangsung antara 4 minggu hingga 12 minggu, sedangkan definisi
dari JTFPP menentukan durasi subakut mulai dari 4 minggu hingga 8 minggu.
Lebih jauh lagi CPG:AS mendefinisikan rinosinusitis akut berulang (recurrent)
sebagai 4 episode atau lebih rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa
gejala menetap di antara episode, sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis
akut berulang sebagai 3 episode atau lebih rinosinusitis akut per tahun. Untuk
rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman sepakat bahwa rinosinusitis kronik
merupakan gejala rinosinusitis yang menetap selama 12 minggu atau lebih,
kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis yang menetap selama 8
minggu atau lebih sebagai kriteria rinosinusitis kronik.
Rhinosinusitis akut terdiri dari flu biasa (common cold) dan rhinosinusitis
akut pasca-virus. Rhinosinusitis virus akut/ flu biasa didefinisikan sebagai, flu
yang durasi gejala <10 hari. Rhinosinusitis akut pasca-virus didefinisikan sebagai
peningkatan gejala persisten setelah 10 hari dengan durasi <12 minggu.
Rhinosinusitis bakterial akut didefinisikan sebagai setidaknya 3 gejala/tanda, yaitu
perubahan warna sekret menjadi purulen dalam kavum nasi, nyeri lokal yang
parah, demam (>38oC), C-reaktif protein / Erythrocyte sedimentation rate tinggi,
dua kali sakit.
2.6 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang
timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan
menyumbat sinus. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting
penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan

13
merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak
silia.
Penyebab sinusitis dibagi menjadi: Rhinogenik. Penyebab kelainan atau
masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung
dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi
septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena
terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak
menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan, dan siklus seterusnya berulang. Dentogenik/odontogenik. Penyebab
oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi
pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain. Penyebab yang
yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya kerusakan
pada gigi.
Sinusitis Dentogen Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis
kronik. Dasar sinus maksila adalah prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan
kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi
gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara
langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai
adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik
yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.
Sinusitis Jamur Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal,
suatu keadaan yang jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan
radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur
antara lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama
di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal
ialah spesis Aspergillus dan Candida. Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur
paranasal pada kasus seperti berikut : Sinusitis unilateral yang sukar sembuh

14
dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau
adanya membran berwarna putih keabu-abu pada irigasi antrum. Para ahli
membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan non-invasif.
Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif
kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan
vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama dan
terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
meyebabkan penyebaran jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding sinus,
jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka dan septum
warna birukehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering
kali berakhir dengan kematian. Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi
pada pasien dengan ganguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat
kronik progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi
gejala klinisnya tidak sehebat gejala klinis pada fulminan kerana perjalanan
penyakitnya berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti sinusitis bakterial,
tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat
dengan mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis jamur non-invasif, atau
misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam ronggasinus tanpa invasi ke
mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala
klinik merupai sinusitis kronik berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas
bau. Kadangkadang ada massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan
materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di
dalam sinus.
2.7 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-
meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi
sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous
profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka
bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

15
pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi
patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika
terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus
dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang membentuk KOM
letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan, akan saling
bertemu sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya
terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis
non-bacterial dan biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas
sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem
fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Gejala rinosinusitis dikelompokkan menjadi gejala mayor dan gejala
minor. Gejala mayor rinosinusitis meliputi nyeri/rasa tebal pada wajah, hidung
tersumbat, ingus kental, postnasal drip purulen, gangguan penghidu, demam, dan
adanya sekret purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal. Gejala minor
rinosinusitis meliputi sakit kepala, napas berbau, batuk, nyeri telinga, dan rasa
penuh di telinga.
Pasien dicurigai menderita rinosinusitis apabila memenuhi satu kriteria
gejala mayor atau dua kriteria gejala minor. Jika memenuhi dua kriteria gejala
mayor atau satu gejala mayor dan dua minor atau jika ada sekret purulen pada
pemeriksaan endoskopi nasal maka dugaan kecurigaan ke arah rinosinusitis
semakin kuat.

16
Menurut EPOS 2007, rinosinusitis ditegakkan apabila ada hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti ditambah salah satu atau lebih dari gejala berikut :
 Nyeri wajah/rasa tertekan di wajah
 Penurunan/hilangnya kemampuan menghidu ditambah salah satu dari temuan
nasoendoskopi berikut :
 Sekret mukopurulen dari meatus medius
 Edema/obstruksi mukosa di meatus medius
 Polip
 Dan/atau gambaran tomografi komputer berupa perubahan mukosa di
kompleks osteomeatal dan/atau sinus .
Berdasarkan waktu perjalanan penyakit, dalam konsensus tahun 2004,
rinosinusitis dibagi dalam bentuk akut (<4 minggu), subakut (4-12 minggu), dan
kronik (>12 minggu). Berdasarkan penyebabnya, rinosinusitis dibedakan menjadi
tipe rinogen dan tipe dentogen. Sedangkan secara anatomi sekaligus epidemiologi,
sinus yang paling sering terlibat yakni sinus maksila, diikuti dengan sinus
etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus sfenoidalis.
2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan sinus dilakukan dengan metode palpasi. Akan didapatkan
nyeri yang khas pada rinosinusitis akut, yakni nyeri menusuk atau rasa sakit yang
terlokalisir pada sinus yang terkena. Nyeri pada rinosinusitis maksila biasanya
terdapat di infraorbital yang meluas ke gigi maksila dan kadang-kadang ke
telinga. Nyeri pada rinosinusitis ethmoidalis terdapat di kantus medial dan dorsum
hidung. Pada sinusitis frontalis, nyeri terdapat di supraortibal yang meluas ke
bitempral atau oksipital. Sedangkan pada rinosinusitis sphenoidalis, nyeri
terlokalisir terutama di verteks tulang tengkorak.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis rinosinusitis secara lebih tepat dan dini adalah dengan rinoskopi anterior
menggunakan spekulum hidung atau endoskopi hidung. Pemeriksaan endoskopi
ini terutama dibutuhkan untuk mengevaluasi kompleks osteomeatal (KOM).
Dalam pemeriksaan intranasal dapat diperoleh mukosa hidung hiperemi, konka
kongesti atau hipertrofi, adanya sekret hidung purulen, polip hidung, deviasi
septum, konka bulosa atau konka media paradoksal..

17
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan radiografi posisi Waters.
Pemeriksaan radiografi juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi atau
kelainan pada gigi sehingga bisa menegakkan atau menyingkirkan dugaan
penyebab rinosinusitis secara dentogen. Jika ditemukan perselubungan, penebalan
mukosa atau air fluid level di kavum sinus maka positif untuk rinosinusitis. CT-
Scan dapat dilakukan sebagai penunjang diagnostik pilihan untuk menilai
kemungkinn terjadinya komplikasi atau sebagai penunjang sebelum dilakukan
tindakan pembedahan.
Adapun gold standard untuk mendiagnosis rinosinusitis adalah dengan
melakukan aspirasi sinus dan pemeriksaan kultur sekret sinus, terutama
diindikasikan pada rinosinusitis yang tidak sembuh dengan pengobatan antibiotik
multipel, rinosinusitis dengan imunodefisiensi atau Diabetes Melitus yang tidak
terkontrol.
2.9 Tatalaksana
Tata laksana rinosinusitis dapat berupa pemberian medikamentosa atau
tindakan pembedahan. Adapun tata laksana rinosinusitis bertujuan untuk
mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, serta mencegah perubahan
menjadi kronik. Prinsip pengobatannya yakni menghilangkan obstruksi di
Kompleks Osteomeatal (KOM) sehingga drainase sekret sinus dan ventilasi sinus
dapat berfungsi normal kembali.
Untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus, dapat digunakan antibiotik dan dekongestan. Pemakaian
antibiotika untuk pengobatan rinosinusitis berdasarkan antibiotika yang telah
terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas. The
Bacteriology of Rhinosinusitis di Amerika Serikat seperti dikutip dari Levine
(2005) menyatakan bakteri patogen terbanyak pada rinosinusitis akut adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan
Moraxella catarrhalis. Sehingga antibiotik lini pertama yang direkomendasikan
adalah amoxicillin, doxycicllin dan trimethoprim/sulfamethoxazole. Namun
apabila diperkirakan kuman telah resisten, maka dapat diberikan
amoksisilinklavulanat atau jenis sephalosporin generasi ke-2. Antibiotik pada
pengobatan rinosinusitis diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik

18
sudah hilang. Pengobatan yang lebih singkat dapat menimbulkan kekambuhan
infeksi dan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotika.
Dekongestan akan menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah
hidung, menurunkan aliran darah, dan mengurangi edema pada mukosa hidung.
Dekongestan oral yang dapat digunakan yakni golongan adrenergik- agonis
seperti phenylpropanolamine dan pseudoephedrine. Dapat pula digunakan
dekongestan oral (oxymetazoline) selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan kecepatan drainase sinus. Pengobatan dekongestan oral dalam
jangka waktu yang lebih lama dapat menyebabkan efek rebound vasodilatation
sehingga terjadi rinitis medikamentosa.
Terapi medikamentosa pada rinosinusitis kronis juga menggunakan
antibiotik, terutama antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob.
Terapi tambahan dapat juga diberikan berupa analgetik, mukolitik, steroid
oral/topical, dan pencucian hidung dengan larutan salin isotonis. Adapun
pemberian mukolitik (guanifesin, ambroxol) berfungsi untuk mengencerkan sekret
sehingga membantu fungsi. Pada rinosinusitis kronis tipe dentogen, tata laksana
meliputi terapi pada rinosinusitis dan terapi untuk mengatasi kelainan asalnya
pada gigi. Kombinasi dari medikamentosa dan operasi umumnya dibutuhkan
untuk membantu mencegah kekambuhan dan komplikasi dari rinosinusitis
dentogen ini.
Tindakan operasi yang dapat dilakukan untuk kasus rinosinusitis yakni
bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS). Tindakan ini dilakukan terutama
untuk rinosinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi rinosinusitis serta rinosinusitis jamur. BSEF merupakan operasi terkini
untuk rinosinusitis yang memberikan hasil lebih memuaskan dan tindakan lebih
ringan serta tidak radikal.

19
Gambar 2. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut Dengan atau Tanpa Polip

Gambar 3. Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik Dengan atau Tanpa


Polip

2.10 Komplikasi
Komplikasi rinosinusitis yang berat dapat terjadi pada rinosinusitis akut
atau rinosinusitis kronik eksaserbasi akut, meliputi komplikasi ekstrakranial dan

20
intrakranial. Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural
atau subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi
ekstrakranial terutama mengenai orbita, hal ini disebabkan letak sinus paranasal
yang berdekatan dengan mata (orbita). Komplikasi pada orbita yang dapat terjadi
yakni edema palpebra, sellulitis orbita, abses subperiostal, dan abses orbita.
Komplikasi pada rinosinusitis kronis dapat berupa osteomielitis dan abses
subperiostal maupun kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan
bronkiektasis.

21
BAB 3
KESIMPULAN

Rhinosinusitis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai


dua gejala atau lebih, salah satunya hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti
disertai dengan nyeri wajah dan/atau penurunan sensitivitas pembau. Faktor
predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis
alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus. Faktor lain
yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok.
Gejala rinosinusitis dikelompokkan menjadi gejala mayor dan gejala
minor. Pemeriksaan sinus dilakukan dengan metode palpasi, sedangkan gold
standard untuk mendiagnosis rinosinusitis adalah dengan melakukan aspirasi
sinus dan pemeriksaan kultur sekret sinus. Tujuan dari penatalaksanaan pada
rhinosinusitis adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi,
serta mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatannya yakni
menghilangkan obstruksi di Kompleks Osteomeatal (KOM) sehingga drainase
sekret sinus dan ventilasi sinus dapat berfungsi normal kembali. Tatalaksana yang
dapat dilakukan berupa pemberian medikamentosa atau tindakan pembedahan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,


diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head &
Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2006; 406-416.
2. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming
otolaryngology head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby; 2006.p.201.
3. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.
Rhinology,Supplement 20, 2007; www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
4. Fokkens W.J., Lund V.J., Mullol J., Bachert C., et al. European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
5. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc. 2012
;33 Suppl 1:24-7
6. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL,
Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical
management. New York: Informa, 2007;1-12
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.150-4.
8. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the
clinician: a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86
(5): 427-43
9. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
10. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of
chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.
11. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani
AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck
surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.

23
12. Venekamp RP, Bonten MJM, Rovers MM, Verheij TJM, Sachs APE.
Systemic corticosteroid monotherapy for clinically diagnosed acute
rhinosinusitis: a randomized controlled trial. CMAJ. 2012; 184: 751-7

24

Anda mungkin juga menyukai