Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit kusta (lepra, Morbus Hansen) adalah penyakit infeksi


menahun yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae),
yang primer menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit dan berbagai
organ lainnya. Penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan tubuh bila tidak
segera diobati dan dapat menimbulkan masalah psikososial akibat adanya
stigma atau predikat buruk dari penyakit dalam pandangan masyarakat.
Penyakit kusta adalah penyakit setua peradaban manusia, namun beberapa
aspek dari penyakit ini masih menyimpan berbagai misteri terutama sebelum
akhir abad ke sembilan belas.1,7,10

Armauer Hansen, orang Noerwegia, yang menemukan basil penyebsb


lepra yaitui Mycobacterium leprae, pada tahun 1873.2 Meicobacterium leprae
merupakan bakteri yang bersifat obligat intra-seluler (hanya bisa hidup
dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi fagositosis karena mempunyai
dinding sel yang sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisozim. Mikroskop
elektron menunjukkan ultrastruktur yang umum untuk semua mikobakteria.
M.leprae berupa batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 µm dan
diameter 0,3 µm. Pada jaringan yang terinfeksi batang sering tersusun
bersama-sama membentuk globi.3,8,9

Menurut WHO (2016), angka penemuan kasus baru kusta diseluruh


dunia mulai tahun 2011 hingga 2015 mengalami penurunan yang tidak
signifikan. Pada tahun tersebut ditemukan 226.626 kasus pada tahun 2011,
232.857 pada tahun 2012, 215.656 kasus pada tahun 2013, 213.899 kasus
pada tahun 2014 dan 201.758 pada tahun 2015. Asia Tenggara merupakan
regional dengan jumlah penderita kusta terbanyak di dunia pada tahun 2015
dengan angka kejadian sebesar 156.118 kasus dan 14.059 per 1.000.000

B
mengalami kecacatan tingkat 2 di mana penderita mengalami kelainan
anatomis. Jumlah penemuan kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2010
mencapai 17.012 kasus, meningkat pada tahun 2011 menjadi 20.023 kasus.
Tahun 2012 menurun menjadi 18.994 kasus dan terus menurun pada tahun
2013 menjadi 16.856. Tahun 2014 jumlah kasus baru kusta kembali
meningkat menjadi 17.025 kasus dan terus meningkat pada tahun 2015
menjadi 17.202 kasus dengan angka kecacatan tipe 2 mencapai 1.687 per
1.000.000 penduduk (WHO,2016). Angka penemuan kasus baru kusta di
Indonesia memang mengalami penurunan, namun penurunan yang terjadi
belum signifikan dan dari tahun ketahun masih ditemukan kasus baru.4

Penyakit ini ditandai dengan kulit yang mengalami bercak putih


seperti panu pada awalnya hanya sedikit tetapi lama-kelamaan semakin lebar
dan banyak, adanya bintil – bintil kemerahan yang tersebar pada kulit, ada
bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau atau
bagian raut muka, muka benjol-benjol dan tegang yang disebut face leomina
(muka singa) dan mati rasa karena kerusakan saraf tepi. Kusta awalnya hanya
berupa gejala kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang dijumpai dapat
berupa warna seperti hipopigmentasi ( warna kulit menjadi lebih terang),
hiperpigmentasi ( warna kuit menjadi gelap ), dan eritematosa (kemerahan
pada kulit). Gejala – gejala umum pada kusta yaitu reaksi panas dari derajat
yang rendah sampai dengan menggigil, noreksia, nausea, kadang – kadang
disertai dengan Nephrosia, Nepritis, dan hepatosplenomegali, dan Neuritis.
Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai,
air yang tidak bersih, asupan gizi yag buruk, dan adanya penyertaan penyakit
HIV yang dapat menekan sistem imun.5

2. Tujuan

Tujuan dari penulisan Refarat ini untuk menguraikan mengenai


pemeriksaan sensorik dan motorik morbus hansen

B
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis6
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda kardinal, yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit / lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi)
atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi)
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis.
Gangguan fungsi saraf berupa:
- Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
- Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot
- Gangguan saraf otonom : kulit kering dan retak-retak
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear)
Seseorang dikatakan menderita penyakit kusta bila terdapat satu dari
tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di
diagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Tanda – tanda kusta :
1. Tanda pada kulit
- Bercak kulit merah atau putih ( gambaran yang sering ditemukan)
dan atau plakat pada kulit terutama diwajah dan telinga
- Bercak kurang/mati rasa
- Bercak yang tidak gatal
- Kulit mengkilap atau kering bersisik
- Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat atau tidak berambut
- Lepuh tidak nyeri

B
2. Tanda-tanda pada saraf
- Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
- Rasa kesemutan, tertusuk – tusuk dan nyeri pada anggota gerak
- Kelemahan anggota gerak dan atau wajah
- Adanya cacat (Deformitas)
- Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan
kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat
keterlibatan saraf tepi
2.2 Pemeriksaan klinis6
A. Anamnesis
Pada anamnesa ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya
- Kapan timbul bercak / keluhan yang ada?
- Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama
(apakah ada riwayat kontak)
- Lahir dan tinggal dimana?
- Riwayat pengobatan sebelumnya
B. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan kulit/dermatologis
1) Persiapan pemeriksaan
- Tempat
Tempat pemeriksaan harus cukup cahaya, sebaiknya diluar rumah
tetapi tidak boleh langsung dibawah sinar matahari atau didalam
ruangan dengan sinar yang cukup, dengan arah sinar oblik/miring
- Waktu pemeriksaan
Pemeriksaan diadakan pada siang hari agar mendaapatkan cukup
cahaya matahari
- Orang yang diperiksa
Dijelaskan mengenai cara pemeriksaan dan apa yang akann
diperiksakan
2) Pelaksanaan pemeriksaan

B
- Pemeriksaan pandang
- Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
b. Pemeriksaan saraf tepi
Pemeriksaan dilakukan pada saraf – saraf tepi yang paling sering
terlibat dalam penyakit kusta dan dapat diraba, seperti :
1. Tempat terjadinya kerusakan saraf
Pada umumnya cacat kusta diakibatkan kerusakan pada saraf – saraf
tepi seperti ditunjukan pada gambar

B
Tabel.1 fungsi normal beberapa saraf tepi
Saraf Fungsi
Motorik Sensorik Otonom
Auricularis Mempersarafi
magnus area belakang
telinga
Facialis Mempersarafi
kelopak mata
agar bisa
menutup
Ulnaris Mempersarafi Rasa raba
jari manis dan telapak tangan: Mempersarafi
jari kelingking jari kelingking kelenjar
dan separuh keringat,
jari manis kelenjar
Medianus Mempersarafi Rasa raba minyak dan
ibu jari, telapak tangan pembuluh
telunjuk dan bagian ibu jari, darah
jari tengah telunjuk, jari
tengah,
separuh jari
manis
Radialis Kekuatan
pergelangan
tangan
Peroneus Kekuatan
comunis pergelangan
kaki
Tibialis posterior Mempersarafi Rasa raba
jari kaki telapak kaki

2. Perabaan (Palpasi) saraf tepi


- Apakah ada penebalan / pembesaran
- Apakah saraf kiri dan kanan sama besar atau berbeda
- Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf
3. Pemeriksaan fungsi saraf
Pemeriksaan fungsi saraf dilakukan secara sistematis pada mata,
tangan, dan kaki. Pemeriksaan fungsi raba dan kekuatan otot

B
(1) Mata
Fungsi motorik saraf facialis
- Pasien diminta memejamkan mata
- Dilihat dari depan/samping apakah mata tertutup dengan sempurna /
tidak ada celah
- Bagi mata yang tidak menutup rapat, diukur lebar celahnya lalu
dicatat, misalnya lagophtalmos +3mm mata kiri atau kanan.

Funsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf


Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan
(2) Tangan
Funsi sensorik saraf ulnaris dan medianus
- Posisi pasien : tangan yang akan diperiksa diletakkan di atas meja /
paha pasien atau bertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian
rupa, sehingga semua ujung jari tersangga ( tangan pemeriksa yang
menyesuaikan diri dengan keadaan tangan pasien )
- Menjelaskan ke pasien proedur yang akan dilakukan, sambil
memperagakan dengan ringan dari ujung ballpoint pada lengannya
dan satu atau dua titik pada telapak tanganngannya
- Bila pasien merasa sentuhan diminta untuk menunjuk tempat
sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain
- Test diulangi sampai pasien mengerti dan kooperaatif
- Pasien diminta menutup mata atau menoleh ke arah berlawanan dari
tangan yang di periksa
- Pasien diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh
- Usahakan pemeriksaan titik – titik tersebut tidak berurutan (Secara
acak)

B
- Bila pasien tidak dapat menunjukkan dua titik atau lebih berarti ada
gangguan rasa raba pada saraf tersebut

Funsi motorik (kekuatan otot)


Saraf Ulnaris (kekuatan otot jari kelingking)
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari manis, jari tengah dan
telunjuk tangan kanan pasien, dengan telapak tangan kanan pasien
menghadap ke atas posisi ekstensi (jari kelingking bebas bergerak
tidak terhalang oleh tangan pemeriksa)
- Minta pasien mendekatkan (adduksi) dan menjauh (abduksi)
kelingking dan jari-jari lainnya. Bila pasien dapat
melakukannya,minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari
jari lainnya, dan kemudian jari telunjuk pemeriksa mendorong pada
bagian pangkal kelingking.

B
Penilaian :
- bila jari kelingking pasien dapat menahan dorongan ibu jari
pemeriksa , berarti kekuatan otot tergolong kuat
- bila jari kelingking pasien tidak dapat menahan dorongan pemeriksa
berarti kekuatan ototnya tergolong sedang
- bila jari kelingking pasien tidak dapat mendekat atau menjauh dari
jari lainnya berarti telah lumpuh.
Bila hasil pemeriksaan masih meragukan apakah masih kuat atau
mengalami kelemahan maka dilakukan pemeriksaan konfirmasi sebagai
berikut:
- meminta pasien menjepit dengan kuat sehelai kertas yang diletakkan
diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa
menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan/jepitan
terhadap kertas tersebut
penilaian :
- bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah
- bila ada tahanan terhadap kertas berarti otot masih kuat

saraf medianus (kekuatan otot ibu jari)


- tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking
tangan kanan pasien agar telapak tangan pasien menghadap keatas,
dan dalam posisi ekstensi
- ibu jari pasien di tegakkan keatas hingga tegak lurus terhadap
telapak tangan pasien (seakan – akan menunjuk kearah hidung) dan
pasien diminta mempertahankan posisi tersebut
- jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari pasien yaitu dari
bagian atas antara punggung dan telapak tangan mendekati telapak
tangan.
-

B
Penilaian :
- bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kekuatan otot tergolong
kuat
- bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti kekuatan otot tergolong
sedang
- bila tidak ada gerakan berarti telah lumpuh

saraf radialis (kekuatan pergelangan tangan)


- tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan
kanan pasien
- pasien diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan yang
terkepal ke atas ( ekstensi )
- pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menarik tangan pasien ke arah pemeriksa

B
Penilaian :
- bila pasien mampu menarik tarikan berarti kekuatan otot tergolong
kuat
- bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu menahan tarikan berarti
kekuatan otot tergolong sedang
- bila tidak ada gerakan berarti telah lumpuh ( pergelangan tangan
tidak bisa ditegakkan keatas)
(3) kaki
fungsi sensorik saraf tibialis posterior
- kaki kanan pasien diletakkan pada paha kiri , usahakan telapak kaki
menghadap keatas
- tanga kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki pasien
- cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan
- bila pasien tidak dapat menunjukkan dua titik atau lebih berarti ada
gangguan rasa raba pada saraf tersebut.

Funsi motorik saraf peroneus communis (paplitea lateralis)

- dalam keadaan duduk, pasien diminta mengangkat ujung kaki


dengan tumit tetap terletak dilantai / ekstensi maksimal (seperti
berjalan dengan tumit)
- pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki pasien kebawah /
lantai

B
Penilaian :

- bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan pemeriksa


berarti kekuatan otot tergolong kuat
- bila ada gerakan namun pasien tidak mampu menahan tekanan
berarti kekuatan otot tergolong sedang
- bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (ujung kaki tidak bisa di
tegakkan keatas)

B
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Penyakit kusta (lepra, Morbus Hansen) adalah penyakit infeksi menahun
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae), yang
primer menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit dan berbagai
organ lainnya.
b. Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda kardinal, yaitu: (1) Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
(2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
(3)Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit
skin smear)
c. Gangguan fungsi saraf berupa: Gangguan fungsi sensoris : mati rasa,
Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot, Gangguan saraf otonom : kulit kering dan retak-retak

B
DAFTAR PUSTAKA

1. Mudatsir. Perkembangan terkini penelitian kusta secara biologi molekuler.


Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2013; 105
2. Brown, R.G. Dkk. Lecture Notes Dermatologi Edisi kedelapan.2005 ; 23
3. Hajar, S. MORBUS HANSEN Biokimia dan Imunopatogenesis. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. 2017. Vol. 17 No.3; 190
4. Laili, A.F.N. Hubungan dukungan keluarga dan pengetahuan terhadap
pengetahuan terhadap perawatan diri penderita kusta di puskesmas Grati
tahun 2016. The Indonesian Journal of Public Health. 2016.Vol.12 No.1 ; 14-
15
5. Kemenkes RI. Infodatin Kusta. 2015; 1-2
6. KEMENKES RI. Pedoman Nasional Program Pengendlian Penyakit Kusta.
2012 ;67-75’
7. Hartskeerl R.A.M.Y.L. de Wit, and P. R. Klaster. Polymerase chain reaction
for the detection of mycobacterium leprae. J. GEN. Microbiol. 1989.135 :
2357-2364
8. Jopling W.H. Hand Book of Leprosy. 5 th ed New Delhi : CBS. Published &
Distributor; 2011. P.1-53, 92-100
9. James W, Buerger T, Elston D, hansen’s Disease. In Andrew Disease of the
skin clinical Dermatology.; sauders Elseviers; 2011. P. 334-44\
10. Rudi K. And Jakobsen KS., Protocols for Quantification of Microorganism.
In ; Rochelle, PA (eds). Environmental Molecular Microbiology ; protocols
and aplication. Hirizon, scientific press. California. 2001. 63-74

B
REFARAT Maret, 2019

“PEMERIKSAAN SENSORIK DAN MOTORIK


MORBUS HANSEN”

Disusun Oleh:

NAMA : RIZQI AMALIA USMAN


NIM : N 111 18 077

PEMBIMBING KLINIK
dr. ASRAWATI SOFYAN, Sp. KK, M.KES

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

B
B

Anda mungkin juga menyukai