Anda di halaman 1dari 7

KI3061 BIOKIMIA UMUM

PRAKTIKUM II

REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN

Nama : Afifah Alifia Alfiantie

NIM : 10416006

Kelompok :2

Hari : Jumat

Tanggal : 9 Februari 2018

Asisten Pagi : Dede

LABORATORIUM BIOKIMIA

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2018
PERCOBAAN II

REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN

I. Tujuan
1. Mengidentifikasi jenis protein berdasarkan ikatan yang khas pada protein dengan uji biuret.
2. Menentukan pengaruh pH terhadap struktur protein.
3. Menentukan pengaruh penambahan garam ammonium sulfat dan logam berat terhadap fraksinasi
dan pengendapan protein.
4. Menentukan kadar protein dengan metode Lowry.

II. Teori Dasar


Makronutrien adalah substrat-substrat yang dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh suatu organisme
untuk dapat menunjang tumbuh kembang organisme tersebut. Makronutrien menyediakan kalori dan
energi yang dibutuhkan oleh tubuh kita untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Terdapat tiga jenis
makronutrien, salah satunya adalah protein. Protein adalah makronutrien yang esensial untuk
membangun massa otot, pada umumnya ditemukan dalam produk hewani, pada kacang-kacangan, dan
telur (Szalay, 2015).
Secara kimia, protein tersusun dari monomer-monomernya, yaitu asam amino yang merupakan
senyawa organik yang terdiri dari nitrogen, karbon, hidrogen, oksigen, dan sulfur. Oleh karena itu, asam
amino disebut sebagai building block protein. Asam amino memiliki gugus amina, karboksil fungsional,
dan gugus samping atau gugus R . Struktur asam amino tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Asam Amino (Mrabet, 2007)


Protein adalah polimer yang memiliki struktur tersendiri. Struktur dari protein ini adalah penyusunan
atom-atom dalam rantai asam amino secara tiga dimensional. Untuk dapat melakukan fungsi biologisnya,
protein melipat menjadi konformasi spasial yang lebih spesifik. Peristiwa ini disebut juga protein folding
dan dapat terjadi akibat adanya interaks-interaksi non kovalen seperti ikatan hidrogen, gaya Van der
Walls, dan packing hidrofobik (Brocchieri, 2005).
Protein memiliki empat level struktur, yaitu struktur primer, sekunder, tersier, dan kuartener.
Struktur primer protein mengacu pada urutan asam amino dalam rantai polipeptida. Struktur primer
disatukan oleh ikatan peptida yang dibuat selama proses biosintesis protein. Dua ujung rantai polipeptida
disebut sebagai ujung karboksil (C-terminus) dan ujung amino (N-terminus) berdasarkan sifat kelompok
bebas pada setiap ekstremitas. Perhitungan residu protein selalu dimulai pada terminal N-terminal
(kelompok NH2), yang merupakan akhir dimana gugus amino tidak lagi terlibat dalam ikatan peptida.
Struktur primer protein ditentukan oleh gen yang bersesesuaian dengan protein. Struktur sekunder
mengacu pada sub-struktur lokal yang sangat teratur pada rantai backbone polipeptida. Dua tipe utama
struktur sekunder adalah α-helix dan β-strand atau β-sheets. Struktur sekunder ini didefinisikan oleh pola
ikatan hidrogen antara kelompok peptida pada rantai utama. Struktur tersier mengacu pada struktur tiga
dimensi molekul protein monomerik dan multimerik, dimana lapisan α-helix dan β-pleated dilipat
menjadi struktur bulat yang compact. Proses terjadinya lipatan digerakkan oleh interaksi hidrofobik non-
spesifik, penguburan residu hidrofobik dari air, namun strukturnya stabil hanya jika bagian domain
protein berada pada tempatnya oleh interaksi tersier tertentu, seperti jembatan garam, ikatan hidrogen,
dan rantai samping yang dikemas dengan tight, atau ikatan disulfida (sangat jarang diteukan dalam
protein di sitosol). Struktur kuartenerr adalah struktur tiga dimensi yang terdiri dari agregasi dua atau
lebih rantai polipeptida individu (subunit) yang beroperasi sebagai unit fungsional tunggal. Dalam
konteks ini, struktur kuartener distabilkan oleh interaksi non-kovalen dan ikatan disulfida yang sama
dengan struktur tersier. Kompleks dua atau lebih polipeptida (beberapa subunit) disebut multimers.
Secara khusus disebut dimer jika mengandung dua subunit, trimer jika mengandung tiga subunit, tetramer
jika mengandung empat subunit, dan pentamer jika mengandung lima subunit (Stoker, 2015).
Selain melalui uji biuret yang dilakukan pada praktikum ini, terdapat uji-uji lainnya yang bersifat
kualitatif terhadap protein. Beberapa diantaranya adalah uji ninhidrin, uji xanthoproteat, dan uji Hopkins-
Cole. Uji ninhidrin adalah uji yang digunakan untuk menguji adanya asam amino dalam suatu sampel,
sementara uji xanthroproteat adalah uji yang digunakan untuk menentukan adanya gugus benzen pada
protein dengan menutrasi gugus benzen tersebut dengan HNO3 pekat, dan uji Hopkins-Cole adalah uji
yang digunakan untuk mendeteksi adanya asam amino triptofan pada sampel protein. Sementara, uji lain
yang bersifat kuantitatif pada protein adalah uji Kjeldahl, yang merupakan metode sederhana untuk
penetapan nitrogen total pada asam amino, protein, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel
didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan
amonium sulfat. Setelah pembebasan alkali dengan kuat, amonia yang terbentuk disuling uap secara
kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi.

III. Data Pengamatan


1. Uji Kualitatif Protein
a. Uji Biuret
Gambar Hasil

b. Pengaruh Penambahan pH
Reagen Gambar Hasil

Sedikit larut, karena pH


HCl 0,1 M larutan mendekati pH
isoelektriknya
pH larutan jauh dari nilai pH
NaOH 0,1 M
isoelektrik, protein tidak larut

pH larutan hampir sama


Buffer Asetat pH 4,7 dengan pH isoelektrik, Protein
mengendap

Albumin Tidak terjadi apa apa

c. Pengendapan Logam Berat


Reagen Gambar Hasil

Pb-asetat + Albumin Mengendap

d. Fraksinasi Protein
Fraksi Uji Millon Pengamatan

20% +
50% +

2. Uji Lowry
Tabung A [Standar]
2 0,112 40
3 0,181 80
4 0,341 120
5 0,375 160
6 0,426 200

Konsentrasi strandar dihitung menggunakan rumus pengenceran, M1V1 = M2V2. Konsentrasi awal
adalah konsentrasi standar yang diketahui, yaitu 200 ug/mL, sedangkan volume awal adalah volume
standar yang dimasukkan pada tabung, volume akhir adalah volume tabung yang mengandung standar
setelah ditambahkan air, yaitu 0,5 mL. Sehingga untuk menentukan standar,
200 𝑝𝑝𝑚 × 𝑉 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐵𝑆𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑡𝑎𝑏𝑢𝑛𝑔
[𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟] =
0,5

Kurva Absorbansi BSA Standar terhadap [Standar]


0.5
0.45 y = 0.0022x + 0.0192
R² = 0.964
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250

Konsentrasi protein didapatkan dengan menggunakan rumus yang didapatkan dari hasil regresi kurva
absorbansi terhadap [BSA standar], dengan x adalah konsentrasi sampel dan y sebagai absorbansi sampel.
𝑦 = 0,0022𝑥 + 0,0192
𝑦 − 0,0192
𝑥=
0,0022
0,242 − 0,0192
𝑥= = 101,2727 𝑝𝑝𝑚
0,0022
Maka, konsentrasi protein sampel adalah 101,2727 ppm.
IV. Pembahasan
Uji biuret digunakan untuk menunjukkan adanya ikatan peptida dalam suatu zat yang diuji. Adanya
ikatan peptida mengindikasikan adanya protein, karena asam amino berikatan dengan asam amino yang
lain melalui ikatan peptida dan membentuk protein. Ikatan peptida merupakan ikatan yang terbentuk
ketika atom karbon dari gugus karboksil suatu molekul berikatan dengan atom nitrogen dari gugus amina
molekul lain. Reaksi tersebut melepaskan molekul air sehingga disebut reaksi kondensasi. Ikatan peptida
akan bereaksi dengan reagen biuret menghasilkan perubahan warna. Reaksi positif uji biuret ditunjukkan
dengan munculnya warna ungu atau merah muda akibat adanya persenyawaan antara Cu++ dari reagen
biuret dengan NH dari ikatan peptida dan O dari air. Semakin panjang ikatan peptida (banyak asam amino
yang berikatan) akan memunculkan warna ungu, semakin pendek ikatan peptida (sedikit asam amino
yang berikatan) akan memunculkan warna merah muda (Panji, 2015).
Hasil pengamatan menunjukkan larutan berwarna ungu bening, mengindikasikan hasil positif bagi
uji biuret, bahwa dalam sampel terdapat protein.
Selanjutnya, dilakukan uji pengaruh pH terhadap protein. Uji ini berkaitan dengan titik isoelektrik
dan pH protein. Titik isoelektrik merupakan pH dimana kelarutan protein minimum karena jumlah ion
positif dan ion negatif sama (muatan nol) (University of Cagalry California, 2015), oleh karena itu,
semakin dekat rentang pH larutan terhadap titik isoelektrik protein, maka protein akan semakin kecil
kelarutannya dalam larutan tersebut, dan akhirnya akan mengendap. Hasil pengamatan yang didapatkan
menunjukan bahwa protein mengendap dalam larutan buffer dan larutan HCl, mengindikasikan bahwa pH
kedua larutan tersebut masih mendekati pH isoelektrik protein. Sementara, protein teramati larut dalam
larutan NaOH, mengindikasikan bahwa nilai pH larutan NaOH jauh berbeda dibandingkan dengan nilai
pH isoelektrik protein. Larutan buffer sendiri merupakan larutan yang dibuat dari asam lemah degan
garamnya yang berasal dari asam kuat, sehingga berfungsi dalam menyangga pH (dikenal juga sebagai
larutan penyangga) memiliki pH 4,7 yang diasumsikan sama dengan nilai pH isoelektrik protein.
Sementara larutan HCl memiliki nilai pH 1, dan larutan NaOH memiliki nilai pH 13. Dengan begitu,
dapat disimpulkan rentang perbedaan pH larutan HCl dan pH isoelektrik protein (3,7) cukup signifikan
dengan perbedaan rentang pH larutan NaOh dan pH isoelektrik protein (8,3), sehingga protein larut dalam
larutan NaOH namun mengendap dalam larutan HCl.
Kemudian dilakukan pengendapan protein oleh logam berat dan fraksinasi protein dengan
pengendapan menggunakan ammonium sulfat. Peristiwa denaturasi protein dapat diamati melalui
pengendapan protein dengan logam berat, sementara peristiwa salting out pada protein dapat diamati
melalui fraksinasi protein dengan pengendapan menggunakan ammonium sulfat. Protein yang tercampur
oleh senyawa logam berat akan terdenaturasi. Denaturasi adalah proses yang mengubah struktur molekul
tanpa memutuskan ikatan kovalen (Deman, 1997). Proses ini bersifat khusus untuk protein dan
mempengaruhi protein yang berlainan dan sampai yang tingkat berbeda pula Hal ini terjadi pada albumin
yang terkoagulasi setelah ditambahkan (CH3COO)2Pb. Alasannya, senyawa-senyawa logam dengan
konsentrasi yang tinggi dalam larutan protein tersebut akan memutuskan jembatan garam dan berikatan
dengan protein membentuk endapan logam proteinat. Protein juga mengendap bila terdapat garam-garam
anorganik, misalnya ammonium sulfat. Berbeda dengan logam berat, garam-garam anorganik
mengendapkan protein karena kemampuan ion garam terhidrasi sehingga berkompetisi dengan protein
untuk mengikat air, oleh karena itu fenomena ini sering disebut sebagai salting out. Hasil pengamatan
positif uji millon pada endapan yang terbentuk mengindikasikan bahwa endapan yang terbentuk adalah
protein.
Untuk menganalisa protein dengan kuantitatif, digunakan metode Lowry. Metode Lowry
mengombinasikan pereaksi biuret dengan pereaksi lain (folin-ciocalteuphenol) yang bereaksi dengan
residu tirosin dan triptofan dalam protein. Komples Cu-protein yang terbentuk akan mereduksi sebagia
besar residu tirosin dan triptofan yang ada dalam sampel sehingga metode ini lebih sensitive terhadap
protein dalam konsentrasi rendah dibandingkan dengan metode biuret. Protein dengan asam fosfotungstat
dan fosfomolibdat pada suasana basa akan tereduksi dengan metode ini dan memberikan warna biru yang
intensitasnya dapat diukur dan proporsional dengan konsentrasi protein. Oleh karena itu, metode Lowry
merupakan metode kuantitatif dalam analisa protein (Soeharsono, 2006).
Hasil kuantitasi konsentrasi sampel menunjukkan bahwa sampel memiliki konsentrasi 101,27 ppm,
dengan galat 1,27% dari konsentrasi protein sample asli yaitu 100 ppm.

V. Kesimpulan
1. Teridentifikasi adanya ikatan peptida pada protein dari hasil uji biuret yang positif.
2. Protein larut dalam larutan NaOH dan memgendap pada larutan HCl, dan larutan buffer.
3. Garam ammonium sulfat menyebabkan terjadinya proses salting out pada protein, dan logam
berat menyebabkan protein terdenaturasi, keduanya menyebabkan protein mengendap.
4. Konsentrasi protein sampel yang terkuantifikasi sebesar 101,27 ppm.

VI. Daftar Pustaka

Brocchieri, L., Karlin, S. 2005. Protein length in eukaryotic and prokaryotic proteomes. Nucleic Acids
Research. 33 (10): 3390–3400. doi:10.1093/nar/gki615.

Deman., John, M. 1997. Kimia Makanan, Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Panji. 2015. Uji Biuret. [online] www.edubio.info. Diakses pada 8 Maret 2018 pukul 20.47.

Soeharsono. 2006. Biokimia I. Yogyakarta: UGM Press.

Stoker, HS. 2015. Organic and Biological Chemistry. Cengage Learning. Halaman 371.

Szalay, Jessie. 2015. What Is Protein?. [online] www.livescience.com. Diakses pada 8 Maret 2018 pukul
20.38.

University of Cagalry California. 2015. Chapter 27: Amino Acids, Peptides and Proteins. [online]
www.chem.ucalgary.ca. Diakses pada 8 Maret 2017 pukul 21.01.

Anda mungkin juga menyukai