LP Fraktur
LP Fraktur
b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kontinuitif sedang
4) Kontaminasi sedang
c. Derajat III
1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
a) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan
lunak hebat.
Tibia merupakan tulang penumpu berat badan yang besar di kaki, kurang lebih
sebesar 85% bertumpu kepadanya. Tibial plateu tersusun atas permukaan sendi lateral
dan medial, yang terdiri dari meniskus kartilago. Plateu medial lebih besar dan cekung
pada bagian axis sagital dan koronal. Plateu lateral lebih tinggi dan cembung pada
bagian sagital dan koronal.
Plateu tibia normal mempunyai bagian lembah sebesar 10 derajat. Dua plateu
dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh ligamen interkondilar, dimana tidak
mempunyai artikulasi dan merupakan perlekatan dari ligamentum cruciatum
tibia.Terdapat tiga penonjolan tulang sepanjang 2 hingga 3 cm di bagian distal dari
tibia plateu. DI bagian anterior, tuberkel tibia yang merupakan insersi dari ligamen
patela. Di medial, terdapat pes anserinus yang merupakan dari ligamen medial. Di
bagian lateral, terdapat tuberkulum Gerdy yang merupakan insersi dari iliotibial.
Fraktur pada tibial plateu terjadi oleh karena benturan dari medial maupun
lateral yang disertai dengan fraktur axial. Kecelakaan karena mengendarai sepeda
motor merupakan kejadian penyebab terbesar terjadinya fraktur tersebut pada anak
muda , tetapi pada orang tua osteopenik tulang dapat terjadi hanya karena jatuh.
Arah dan besarnya hantaman, umur pasien, dan kualitas tulang sertabesranya
fleksi lutut pada saat terjadinya benturan akan mempengarhui ukuran, lokasi, dan
perpindahan fragmen fraktur. Dewasa muda dengan tulang yang kuat dan kaku akan
lebih banyak memgalami fraktur yang berhubungan dengan kerusakan ligamen.
Dewasa tua dengan penurunan kekuatan tulang dan tekanan dari kekakuan akan
mengalami sedikit kerusakan ligamen.
B. Klasifikasi
Menurut Schatzker
Gambar :
Tipe I biasanya terjadi pada anak muda dan berhubungan dengan trauma pada
ligamnetum kolateral medial
Tipe III biasanya terjadi pada orang yang lebuh tua
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan
bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut (Brunner and Suddarth, 2002) :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji
krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cidera.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi :
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain : radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan
fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
I. Penatalaksanaan
a. Non Operatif
Diindikasikan untuk fraktur nondisplace atau displace minimal dan pasien
osteoporosis yang progresif
Direkomendasikan latihan beban yang terlindungi dan rangkaian gerakan lutut
dalam penjepit berengsel untuk fraktur (hinged collar brace)
Diindikasikan latihan quadriceps isometric dan latihan ROM passive
meningkat menjadi ROM aktif dibantu dan akhirnya ROM aktif
Diperbolehkan Latihan beban parsial (30 sampai 50 lb) selama 8 sampai 12
minggu yang meningkat menjadi latihan beban penuh
b. Operatif
1) Indikasi Bedah:
Depresi persendian berkisar < 2mm sampai 1 cm
Ketidakstabilan > 10⁰ mendekati lutut yang ekstensi dibandingkan sisi
kontralateral.
Fraktur split lebih tidak stabil dibandingkan fraktur depresi murni dimana
tepinya masih utuh
Fraktur terbuka yang seharusnya dirawat secara bedah
Sindrom kompartemen
Terkait trauma vascular
2) Prinsip Penatalaksanaan secara operatif
Rekonstruksi permukaan sendi, diikuti pembangunan kembali kelurusan dari
tibia adalah tujuannya
Pengobatan meliputi menopang segmen sendi yang dielevasikan dengan bone
graft atau subtitusi bone graft.
Fiksasi fraktur dapat menggunakan plat dan skrup, skrup sendiri atau fiksasi
eksternal
Pilihan implant berkaitan dengan pola fraktur, derajat pergeseran dan
kecakapan ahli bedah
Rekonstruksi jaringan lunak yang adekuat termasuk preservative dan atau
memperbaiki meniscus beserta ligamentum intraartikuler dan ekstraartikuler.
3) Mencakup fiksasi eksternal melalui lutut dapat digunaka sebagai pengukuran
temporal pada pasien dengan trauma energy tinggi. Fiksator eksternal
digunakan untuk tetap menjaga panjang dari jaringan lunak dan menyediakan
beberapa derajat reduksi fraktur sebelum pembedahan definitive
4) Arthroscopy dapat digunakan untuk mengevaluasi permukaan sendi, meniscus,
dan ligament cruciatum. Juga dapat digunakan sebagai evakuasi hemarthrosis
dan partikulat debris, untuk prosedural meniscus. Perannya dalam evaluasi
kelainan bantalan sendi dan manfaatnya dalam manajemen komplikasi fraktur
dibatasi
5) Avulsi ligamentum cruciatum anterior dengan fragmen tulang yang besar
sebaiknya direparasi. Jika fragmen minimal, atau robekan dalam substansi
intraligamentum, rekonstruksi harus ditunda.
6) Pembedahan dalam trauma tertutup sebaiknya tetap dilanjutkan setelah
penilaian dari karakter fraktur. Penundaan dapat menyebabkan pembengkakan
pada sisinya dan local pada kondisi kulit untuk diperbaiki.
7) Fraktur Schatzsker tipe I sampai IV dapat diperbaiki dengan sekrup
perkutaneus, atau plat yang ditempatkan di periartikuler. Jika reduksi tertutup
yang memuaskan (penurunan persendian <-1mm ) tidak didapatkan dengan
teknik tertutup, maka reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan
8) Meniscus tidak boleh dipotong untuk mempermudah eksposure
9) Fragment yang terdepresi dapat dinaikkan dari bawah secara bersamaan
dengan menggunakan tampon tulang yang bekerja melalui komponen yang
retak atau jendela korteks. Defek metafise harus diisi dengan autograft bagian
yang lunak, allograft, atau substitusi sintetik
10) Fraktur Tipe V dan VI dapat ditatalaksana menggunakan plat dan sekrup,
cincin fiksator, atau fiksator hybrid. Pembatasan fiksasi internal dapat
ditambahkan untuk mengembalikan permukaan sendi.
11) Plat yang dimasukkan secara perkutan, lebih mendekati biologis. Dalam teknik
ini, plat meluncur ke bawah melalui subcutan tanpa pengelupasan jaringan
lunak
12) Penggunaan plat yang terkunci mengeliminasi kebutuhan plat double pada
fraktur bicondylar tibial plateau
13) Fraktur plateau medial posterior memerlukan insisi posteromedial untuk
reduksi fraktur dan stabilisasi plat.
14) Postoperative, pasien didukung dengan latihan passive ROM continuous tanpa
beban dan aktif ROM
15) Uji latih beban diperbolehkan selama 8 sampai 12 minggu
J. Komplikasi
a. Kekakuan sendi. Ini merupakan hal yang sering terjadi berhubungan dengan
trauma karena cedera dan diseksi bedah, kerusakan retinakular ekstensor, skar,
dan imobilisasi post operasi
b. Infeksi. Hal ini dihubungkan dengan incisi melalui jaringan lunak yang
berhubungan dengan ekstensif diseksi untuk menempatkan implan.
c. Kompartemen sindrom . Hal ini bukanlah hal umum, tetapi dapat terjadi
komplikasi yang berkembang dari kompartemen fascia kaki. Hal ini
membutuhkan perhatian klinis yang cukup besar, pemeriksaan neurovaskular
yang bertahap, evaluasi yang agresif, termasuk pengukuran tekanan dalam
kompartemen jika dibutuhkan, dan pengobatan pada fasiotomi emergensi pada
semua kompartemen kaki.
d. Malunion dan nonunion. Hal ini sering terjadi pada fraktur Schatzker VI pada
perbatasan metafisis dan diafisis, yang berhubungan dengan fraktur kominutif,
fiksasi yang tidak stabil, kegagalan implan, atau infeksi.
e. Posttrauma osteoartritis. Hal ini merupakan hasil dari persendian yang tidak
sebangun, kerusakan tulang rawan pada cedera, atau ketidaklurusan karena aksis
mekanik.
f. Cedera nervus peroneal. Hal ini merupakan hal yang sering terjadi pada trauma
yang mengenai bagian lateral aki dimana nervus peronela berjalan pada bagian
proximal head fibula dan lateral tibia plateu.
g. Laserasi arteri poplitea
h. Avaskular nekrosis dari fragmen sendi yang kecil. Hal ini akan menghasilkan
hilangnya bagian dari lutut.
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Pemeriksaan head-to-toe :
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
b) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
c) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
e) Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
k) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
l) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
n) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
o) Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang, program pembatasan gerak.
3. Resiko infeksi
4. Resiko syok hipovolemik.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi perawatan,
pengobatan penyakit
C. Perencanaan Keperawatan
D. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan penetuan
diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun
untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
E. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria hasil yang
telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online). Available :
https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-Perioperatif-pada-Pasien-
Fraktur-Multipel (diakses pada tanggal 4 Februari 2016 pukul 09.00 WIB)
Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley Edisi 7. Jakarta:
Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth.Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,
Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta; EGC
Engram, Barbara.1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3. Jakarta :
EGC.
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. Jakarta: EGC.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
…………………………………
Nama Pembimbing/ CI Nama Mahasiswa
Nama Pembimbing/CT
NIP