Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

CLOSE FRAKTUR TIBIA PLATEAU

I. Konsep Dasar Penyakit


A. Pengertian
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang,
baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan tulang
dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan dunia
luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kontinuitif ringan
4) Kontaminasi minimal

b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kontinuitif sedang
4) Kontaminasi sedang

c. Derajat III
1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
a) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan
lunak hebat.
Tibia merupakan tulang penumpu berat badan yang besar di kaki, kurang lebih
sebesar 85% bertumpu kepadanya. Tibial plateu tersusun atas permukaan sendi lateral
dan medial, yang terdiri dari meniskus kartilago. Plateu medial lebih besar dan cekung
pada bagian axis sagital dan koronal. Plateu lateral lebih tinggi dan cembung pada
bagian sagital dan koronal.

Plateu tibia normal mempunyai bagian lembah sebesar 10 derajat. Dua plateu
dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh ligamen interkondilar, dimana tidak
mempunyai artikulasi dan merupakan perlekatan dari ligamentum cruciatum
tibia.Terdapat tiga penonjolan tulang sepanjang 2 hingga 3 cm di bagian distal dari
tibia plateu. DI bagian anterior, tuberkel tibia yang merupakan insersi dari ligamen
patela. Di medial, terdapat pes anserinus yang merupakan dari ligamen medial. Di
bagian lateral, terdapat tuberkulum Gerdy yang merupakan insersi dari iliotibial.

Fraktur pada tibial plateu terjadi oleh karena benturan dari medial maupun
lateral yang disertai dengan fraktur axial. Kecelakaan karena mengendarai sepeda
motor merupakan kejadian penyebab terbesar terjadinya fraktur tersebut pada anak
muda , tetapi pada orang tua osteopenik tulang dapat terjadi hanya karena jatuh.

Arah dan besarnya hantaman, umur pasien, dan kualitas tulang sertabesranya
fleksi lutut pada saat terjadinya benturan akan mempengarhui ukuran, lokasi, dan
perpindahan fragmen fraktur. Dewasa muda dengan tulang yang kuat dan kaku akan
lebih banyak memgalami fraktur yang berhubungan dengan kerusakan ligamen.
Dewasa tua dengan penurunan kekuatan tulang dan tekanan dari kekakuan akan
mengalami sedikit kerusakan ligamen.

B. Klasifikasi
 Menurut Schatzker

a) Tipe I : Plateu lateral, fraktur terbagi

b) Tipe II : Plateu lateral, fraktur tekanan terbagi

c) Tipe III : Plateu lateral, fraktur tekanan

d) Tipe IV : Fraktur plateu medial

e) Tipe V : Fraktur plateu bikondilar

f) Tipe VI : Fraktur plateu dengan pemisahan dari metafisi dari diafisis

Gambar :

Tipe I hingga III dikarenakan trauma karena energi yang rendah

Tipe IV hingga VI dikarenakan trauma karena energi yang tinggi

Tipe I biasanya terjadi pada anak muda dan berhubungan dengan trauma pada
ligamnetum kolateral medial
Tipe III biasanya terjadi pada orang yang lebuh tua

 Menurut jumlah garis fraktur :


a) Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur)
b) Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur)
c) Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas)
d) Segmental Fraktur (bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling
berhubungan)
 Menurut luas garis fraktur:
a) Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung)
b) Fraktur komplit (tulang terpotong secara total)
c) Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada
perubahan bentuk tulang)
 Menurut bentuk fragmen :
a) Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang)
b) Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
c) Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
 Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
a) Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi 3 :
(1) Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit,
kontaminasi ringan, luka <1 cm.
(2) Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka >1 cm.
(3) Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neurovaskuler,
kontaminasi besar.
b) Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar)

C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan
bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut (Brunner and Suddarth, 2002) :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji
krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa
jam atau hari setelah cidera.

Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah :


1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
F. Patofisiologis
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu
karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak
langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga
bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya : patah tulang patela dan olekranon,
karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah
putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat
tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan
sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito, 2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat
anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002).

G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi :
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain : radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan
fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

H. Managemen Preoperatif pada Pasien Fraktur


Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan oleh
perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan
dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan fisik
maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental sangat diperlukan karena
kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari kesuksesan persiapan yang
dilakukan selama tahap persiapan.
1. Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra-anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi
yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan
menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi yang
sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama operasi dan atau
pasca bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi
penyulit tersebut.
Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ
vital dan penentuan status fisik pasien pra-anestesi. Hal ini dilakukan untuk
menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera
mungkin. Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien,
riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan,
riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami di waktu yang lalu, serta
kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan,
keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi dan
lain - lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien fraktur adalah
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto polos
AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG.
Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor koagulasi harus dikoreksi
terlebih dahulu.

2. Persiapan Pra Anestesi


Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun fisik
agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan diagnostik
atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi pra-anestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis.
Sebagai seorang ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien
dengan peritonitis adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya
tindakan operasi. Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation.
Oksigenisasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan selama puasa dan
mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka untuk
memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfuse darah,
memberikan cairan pemeliharaan, serta mengoreksi deficit atau kehilangan
cairan selama operasi.Berikut adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti
cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka
bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.

I. Penatalaksanaan
a. Non Operatif
 Diindikasikan untuk fraktur nondisplace atau displace minimal dan pasien
osteoporosis yang progresif
 Direkomendasikan latihan beban yang terlindungi dan rangkaian gerakan lutut
dalam penjepit berengsel untuk fraktur (hinged collar brace)
 Diindikasikan latihan quadriceps isometric dan latihan ROM passive
meningkat menjadi ROM aktif dibantu dan akhirnya ROM aktif
 Diperbolehkan Latihan beban parsial (30 sampai 50 lb) selama 8 sampai 12
minggu yang meningkat menjadi latihan beban penuh

b. Operatif
1) Indikasi Bedah:
 Depresi persendian berkisar < 2mm sampai 1 cm
 Ketidakstabilan > 10⁰ mendekati lutut yang ekstensi dibandingkan sisi
kontralateral.
 Fraktur split lebih tidak stabil dibandingkan fraktur depresi murni dimana
tepinya masih utuh
 Fraktur terbuka yang seharusnya dirawat secara bedah
 Sindrom kompartemen
 Terkait trauma vascular
2) Prinsip Penatalaksanaan secara operatif
 Rekonstruksi permukaan sendi, diikuti pembangunan kembali kelurusan dari
tibia adalah tujuannya
 Pengobatan meliputi menopang segmen sendi yang dielevasikan dengan bone
graft atau subtitusi bone graft.
 Fiksasi fraktur dapat menggunakan plat dan skrup, skrup sendiri atau fiksasi
eksternal
 Pilihan implant berkaitan dengan pola fraktur, derajat pergeseran dan
kecakapan ahli bedah
 Rekonstruksi jaringan lunak yang adekuat termasuk preservative dan atau
memperbaiki meniscus beserta ligamentum intraartikuler dan ekstraartikuler.
3) Mencakup fiksasi eksternal melalui lutut dapat digunaka sebagai pengukuran
temporal pada pasien dengan trauma energy tinggi. Fiksator eksternal
digunakan untuk tetap menjaga panjang dari jaringan lunak dan menyediakan
beberapa derajat reduksi fraktur sebelum pembedahan definitive
4) Arthroscopy dapat digunakan untuk mengevaluasi permukaan sendi, meniscus,
dan ligament cruciatum. Juga dapat digunakan sebagai evakuasi hemarthrosis
dan partikulat debris, untuk prosedural meniscus. Perannya dalam evaluasi
kelainan bantalan sendi dan manfaatnya dalam manajemen komplikasi fraktur
dibatasi
5) Avulsi ligamentum cruciatum anterior dengan fragmen tulang yang besar
sebaiknya direparasi. Jika fragmen minimal, atau robekan dalam substansi
intraligamentum, rekonstruksi harus ditunda.
6) Pembedahan dalam trauma tertutup sebaiknya tetap dilanjutkan setelah
penilaian dari karakter fraktur. Penundaan dapat menyebabkan pembengkakan
pada sisinya dan local pada kondisi kulit untuk diperbaiki.
7) Fraktur Schatzsker tipe I sampai IV dapat diperbaiki dengan sekrup
perkutaneus, atau plat yang ditempatkan di periartikuler. Jika reduksi tertutup
yang memuaskan (penurunan persendian <-1mm ) tidak didapatkan dengan
teknik tertutup, maka reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan
8) Meniscus tidak boleh dipotong untuk mempermudah eksposure
9) Fragment yang terdepresi dapat dinaikkan dari bawah secara bersamaan
dengan menggunakan tampon tulang yang bekerja melalui komponen yang
retak atau jendela korteks. Defek metafise harus diisi dengan autograft bagian
yang lunak, allograft, atau substitusi sintetik
10) Fraktur Tipe V dan VI dapat ditatalaksana menggunakan plat dan sekrup,
cincin fiksator, atau fiksator hybrid. Pembatasan fiksasi internal dapat
ditambahkan untuk mengembalikan permukaan sendi.
11) Plat yang dimasukkan secara perkutan, lebih mendekati biologis. Dalam teknik
ini, plat meluncur ke bawah melalui subcutan tanpa pengelupasan jaringan
lunak
12) Penggunaan plat yang terkunci mengeliminasi kebutuhan plat double pada
fraktur bicondylar tibial plateau
13) Fraktur plateau medial posterior memerlukan insisi posteromedial untuk
reduksi fraktur dan stabilisasi plat.
14) Postoperative, pasien didukung dengan latihan passive ROM continuous tanpa
beban dan aktif ROM
15) Uji latih beban diperbolehkan selama 8 sampai 12 minggu

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi


dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

J. Komplikasi
a. Kekakuan sendi. Ini merupakan hal yang sering terjadi berhubungan dengan
trauma karena cedera dan diseksi bedah, kerusakan retinakular ekstensor, skar,
dan imobilisasi post operasi
b. Infeksi. Hal ini dihubungkan dengan incisi melalui jaringan lunak yang
berhubungan dengan ekstensif diseksi untuk menempatkan implan.
c. Kompartemen sindrom . Hal ini bukanlah hal umum, tetapi dapat terjadi
komplikasi yang berkembang dari kompartemen fascia kaki. Hal ini
membutuhkan perhatian klinis yang cukup besar, pemeriksaan neurovaskular
yang bertahap, evaluasi yang agresif, termasuk pengukuran tekanan dalam
kompartemen jika dibutuhkan, dan pengobatan pada fasiotomi emergensi pada
semua kompartemen kaki.
d. Malunion dan nonunion. Hal ini sering terjadi pada fraktur Schatzker VI pada
perbatasan metafisis dan diafisis, yang berhubungan dengan fraktur kominutif,
fiksasi yang tidak stabil, kegagalan implan, atau infeksi.
e. Posttrauma osteoartritis. Hal ini merupakan hasil dari persendian yang tidak
sebangun, kerusakan tulang rawan pada cedera, atau ketidaklurusan karena aksis
mekanik.
f. Cedera nervus peroneal. Hal ini merupakan hal yang sering terjadi pada trauma
yang mengenai bagian lateral aki dimana nervus peronela berjalan pada bagian
proximal head fibula dan lateral tibia plateu.
g. Laserasi arteri poplitea
h. Avaskular nekrosis dari fragmen sendi yang kecil. Hal ini akan menghasilkan
hilangnya bagian dari lutut.

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan :
(1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
d) Riwayat Penyakit Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
f) Riwayat Psikososial
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Pemeriksaan head-to-toe :
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
b) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
c) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
e) Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
k) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
l) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
n) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
o) Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang, program pembatasan gerak.
3. Resiko infeksi
4. Resiko syok hipovolemik.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi perawatan,
pengobatan penyakit
C. Perencanaan Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Nyeri akut NOC : NIC:
Tingkat nyeri (2102) Manajemen Nyeri (1400)
berhubungan dengan
Kontrol nyeri (1605) a. Lakukan pengkajian
agen cidera Kriteria Hasil
nyeri secara
a. Mampu mengontrol
komprehensif termasuk
nyeri (tahu penyebab
lokasi, karakteristik,
nyeri, mampu
durasi, frekuensi,
menggunakan tehnik
kualitas dan faktor
nonfarmakologi untuk
presipitasi
mengurangi nyeri,
b. Observasi reaksi
mencari bantuan)
nonverbal dari
b. Melaporkan bahwa nyeri
ketidaknyamanan
berkurang dengan
c. Gunakan tehnik
menggunakan
komunikasi terapeutik
managemen nyeri
untuk mengetahui
c. Mampu mengenali nyeri
pengalaman nyeri
(skala, intensitas,
pasien
frekuensi dan tanda
nyeri) d. Kaji kultur yang
d. Menyatakan rasa nyaman
mempengaruhi respon
setelah nyeri berkurang
nyeri
e. Evaluasi pengalaman
nyeri masa lampau
f. Evaluasi bersama
pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
g. Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari
dan menemukan
dukungan
h. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri
tidak berhasil
q. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Pemberian obat (2300)


a. Tentukan lokasi,
karakter, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek intruksi dokter
tentang jenis obat, dosi,
dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesic ketika
pemberian lebih dari
satu
e. Tentukan pilihan
analgesic tergantung
tipe dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
g. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
h. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik
pertama kali
i. Berikan analgesic tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas
analgesic, tanda dan
gejala
2. Hambatan mobilitas NOC: NIC
Pergerakan (0208) Terapi latihan ambulansi
fisik berhubungan
Ambulasi (0200)
(0222)
dengan kekuatan dan Kriteria hasil:
a. Monitoring vital sign
a. Klien meningkat dalam
tahanan sekunder
sebelum/sesudah
aktivitas fisik
akibat fraktur
b. Mengerti tujuan dari latihan respon pasien
peningkatan mobilitas saat latihan
c. Memverbalisasikan b. Konsultasikan dengan
perasaan terapi fisik tentang
dalammeningkatkan rencana ambulansi
kekuatan dan sesuai dengan
kemampuan berpindah kebutuhan
d. Memperagakan c. Bantu klien untuk
penggunaan alat bantu menggunakan tongkat
untuk mobilisasi (walker) saat berjalan dan cegah
terhadap cidera
d. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulansi
e. Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
f. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
h. Berikan alat bantu jika
pasien memerlukan
i. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
3. Resiko infeksi NOC NIC
Status Imunitas (0702) Kontrol infeksi (6540)
Pengetahuan: Manajemen a. Bersihkan lingkungan
infeksi (1842) setelah dipakai pasien
Kriteria hasil
lain
a. Klien bebas dari tanda
b. Pertahankan teknik
dan gejala infeksi
isolasi
b. Mendeskripsikan proses
c. Batasi pengunjung bila
penularann penyakit,
perlu
factor yang d. Instruksikan pada
mempengaruhi penularan pengunjung untuk
serta penatalaksanaannya mencuci tangan saat
c. Menunjukkan
berkunjung
kemampuan untuk
meninggalkan pasien
mencegah timbulnya e. Gunakan sabun
infeksi antimikroba untuk cuci
d. Jumlah leukosit dalam
tangan
batas normal f. Cuci tangan setiap
e. Menunjukkan perilaku
sebelum dan sesudah
hidup sehat
tindakan keperawatan
g. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
penlindung
h. Pertahankan lingkunan
aseptic selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake
nutrisi
l. Berikan terapi
antibiotic bila perlu

Infection protection (6550)


a. Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan local
b. Monitor hitung
granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
f. Pertahankan teknik
isolasi k/p
g. Berikan perawatan
kulit pada area epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan,
panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan
cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien
untuk minum antibiotic
sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
p. Ajarkan cara
menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
r. Laporkan kultur positif
4. Resiko syok NOC NIC
Kontrol risiko (1902) Pencegahan syok (4260)
hipovolemik
Tanda – tanda vital (0802) a. Monitor status sirkulasi
Kriteria hasil
BP, warna kulit, suhu
a. Nadi dalam batas yang
kulit, denyut jantung,
diharapkan
b. Irama jantung dalam HR, dan ritme, nadi
batas yang diharapkan perifer, dan kapiler
c. Frekunsi napas dalam
refill
batas yang diharapkan b. Monitor tanda
d. Irama pernapasan dalam
inadekuat oksigenasi
batas yang diharapkan
jaringan
e. Natrium serum dalam
c. Monitor suhu dan
batas normal
pernafasan
f. Kalium serum dalam
d. Monitor input dan
batas normal
output
g. Klorida serum dalam
e. Pantau nilai labor:
batas normal HB, HT, AGD, dan
h. Kalsium serum dalam
elektrolit
batas normal f. Monitor hemodinamik
i. Magnesium serum dalam
invasi yang sesuai
batas normal g. Monitor tanda dan
j. PH darah serum dalam
gejala asites
batas normal h. Monitor tanda awal
k. Mata cekung tidak
syok
ditemukan i. Tempatkan pasien pada
l. Demam tidak ditemukan
posisi supine, kaki
m. TD dalam batas norma
n. Hematokrit dalam batas elevasi untuk
normal peningkatan preload
dengan tepat
j. Lihat dan pelihara
kepatenan jalan napas
k. Berikan cairan IV dan
atau oral yang tepat
l. Berikan vasodilator
yang tepat
m. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang tanda
dan gejala datangnya
syok
n. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang langkah
untuk mengatasi gejala
syok
Manajemen syok (4250)
a. Monitor fungsi
neurologis
b. Monitor fungsi renal
(e.g BUN dan Cr
Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan,
input, output
e. Catat gas darah arteri
dan oksigen di jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan
pemantauan jalur arteri
untuk meningkatkan
akurasi pembacaan
tekanan darah
h. Menggambarkan gas
darah arteri dan
memonitor jaringan
oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter
hemodinamik
(misalnya CPV, MAP,
tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau factor
penentu pengiriman
jaringan oksigen
(misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2,
CO) jika ada
k. Memantau tingkat
karbondioksida
sublingual dan/atau
tonometry
5. Ketidakefektifan NOC NIC
Status sirkulasi (0401) Manajemen sensasi perifer
perfusi jaringan
Kriteria hasil
(2660)
perifer berhubungan Mendemonstrasikan status
a. Monitor adanya daerah
dengan nyeri sirkulasi yang ditandai
tertentu yang hanya
ekstermitas dengan:
peka terhadap
a. Tekanan systole dan
panas/dingin/tajam/tum
diastole dalam rentang
pul
yang diharapkan
b. Monitor adanya
b. Tidak ada ortostatik
paretese
hipertensi
c. Instruksikan keluarga
c. Tidak ada tanda-tanda
untuk mengobservasi
peningkatan tekanan
kulit jika ada lesi atau
intracranial (tidak lebih
laserasi
dari 15 mmHg)
d. Gunakan sarung tangan
Mendemonstrasikan
untuk proteksi
kemampuan kognitif yang
e. Batasi gerakan pada
ditandai dengan:
kepala, leher, dan
a. Berkomuniakasi dengan
punggung
jelas adn sesuai dengan
f. Monitor kemampuan
kemampuan
BAB
b. Menunjukkan perhatian,
g. Kolaborasi pemberian
konsentrasi dan orientasi
analgetik
c. Memproses informasi
h. Monitor adanya
d. Membuat keputusan
tromboplebitis
dengan benar
i. Diskusikan mengenai
Menunjukkan fungsi sensori
penyebab perubahan
motori cranial yang utuh : sensasi
tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-gerakan
involunter

6. Kerusakan integritas NOC NIC


Integritas jaringan : kulit dan Manajemen tekanan
kulit berhubungan
membran mukosa (1101) (3500)
dengan imobilisasi
Kriteria hasil a. Anjurkan pasien untuk
fisik a. Integritas kulit yang baik
menggunakan pakaian
bisa dipertahankan
yang longgar.
(sensai, elastisitas, b. Hindari kerutan pada
temperature, hidrasi, tempat tidur
c. Jaga kebersihan kulit
pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada agar tetap bersih dan
kulit kering.
c. Perfusi jaringan baik d. Mobilisasi pasien
d. Menunjukkan
(ubah posisi pasien)
pemahaman dalam proses
setiap dua jam sekali
perbaikan kulit dan e. Monitor kulit akan
mencegah terjadinya adanya kemerahan.
f. Oleskan lotion atau
cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit minyak/baby oil pada
dan mempertahankan daerah yang tertekan
g. Monitor aktivitas dan
kelembaban kulit
mobilisasi pasien
perawatan alami
h. Monitor status nutrisi
pasien
i. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat

7. Defisiensi NOC NIC


pengetahuan Pengetahuan : Proses Pengajaran : proses
berhubungan dengan penyakit (1803) penyakit (5602)
kurangnya informasi, Pengetahuan : Perilaku a. Berikan penilaian
tentang perawatan, kesehatan (1805) tentang tingkat
pengobatan penyakit. Kriteria Hasil : pengetahuan pasien
a. Pasien dan keluarga tentang proses
menyatakan penyakit yang spesifik
pemahaman tentang b. Jelaskan
penyakit, kondisi, patofisiologidari
prognosis, dan program penyakit dan
pengobatan bagaimana hal ini
b. Pasien dan keluarga berhubungan dengan
mampu melaksakan anatomi dan fisiologi,
prosedur yang dengan cara yang
dijelaskan secara benar tepat.
c. Pasien dan keluarga c. Gambarkan tanda dan
mampu menjelaskan gejala yang biasa
kembali apa yang muncul pada penyakit,
dijelaskan perawat/tim dengan cara yang tepat
kesehatan lainnya d. Identifikasi
kemungkinan
penyebab, dengan cara
yang tepat
e. Sediakan informasi
pada pasien
tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
f. Hindari jaminan yang
kosong
g. Sediakan bagi
keluarga atau SO
informasi tentang
kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
h. Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi dimasa
yang akan datang dan
ata proses
pengontrolan penyakit
i. Diskusikan pilihan
terapi atau penanganan
j. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yang tepat atau
diindikasikan
k. Rujuk pasien pada
grup atau agensi di
komunitas local,
dengan cara yang tepat
l. Intruksikan pasien
mengenal tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat

D. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan penetuan
diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun
untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

E. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria hasil yang
telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online). Available :
https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-Perioperatif-pada-Pasien-
Fraktur-Multipel (diakses pada tanggal 4 Februari 2016 pukul 09.00 WIB)
Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley Edisi 7. Jakarta:
Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth.Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,
Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta; EGC
Engram, Barbara.1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3. Jakarta :
EGC.
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. Jakarta: EGC.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

…………………………………
Nama Pembimbing/ CI Nama Mahasiswa

NIP Kadek Dwi Dharma Pradnyani


NIM. P07120216003

Nama Pembimbing/CT
NIP

Anda mungkin juga menyukai