Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan pokok pendidikan di Indonesia terbagi menjadi empat
bagian yaitu yang berkaitan dengan pemerataan pendidikan, mutu pendidikan,
efisiensi pendidikan, dan relevansi pendidikan. Keempat masalah pokok tersebut
merupakan kesepakatan nasional yang perlu di prioritaskan penanggulangannya
(Elfachmi, 2016:73). Masalah pemerataan pendidikan berkaitan dnegan persoalan
bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada seluruh warga negara untuk memeproleh pendidikan sehingga
pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk
menunjang pembangunan (Elfachmi, 2016:74). Sementara itu, mutu pendidikan
berkaitan dengan hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan
(Elfachmi, 2016:75). Sedangkan permaslaahan efisiensi pendidikan berhubungan
dengan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan pendidikan (Elfachmi, 2016:76). Dan permasalahan
yang keempat yaitu relevansi pendidikan yaitu masalah yang berkaitan dengan
sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan keluaran/output yang sesuai
dnegan kebutuhan pembangunan (Elfachmi, 2016:77). Keempat permasalahan
pendidikan tersebut merupakan permasalahan yang kompleks dan merupakan
masalah-masalah yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Munculnya masalah-masalah di atas disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara umum menurut Elfachmi (2016:77-78), hal itu disebabkan oleh faktor
mikro dan faktor makro. Faktor mikro merupakan maslah yang berlangsung di
dalam sistem pendidikan itu sendiri. Sedangkan faktor makro merupakan masalah
yang berkaitan dengan makro pembangunan yakni masalah di luar sistem
pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa faktor yang berkaiatan dengan makro
pembangunan yaitu berkaiatan dengan perkembangan IPTEK dan seni, laju
pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat dan keterbelakangan budaya dan
sarana kehidupan (Elfachmi, 2016:78).

1
2

Kegiatan pendidikan dalam pendidikan formal yaitu melalui kegiatan


pembelajaran. Kegiatan pembelajaran selalu berhubungan dengan sistem
lingkungan pembelajaran. Lebih lanjut, Hasibuan dan Moedjiono (2012:3),
memberi penjelasan lebih lanjut mengenai komponen sistem lingkungan sebagai
suatu komponen yang saling mempengaruhi. Sistem lingkungan terdiri dari
komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan pembelajaran, materi yang
diajarkan, guru dan peserta didik yang harus memainkan peranan serta ada dalam
hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan
prasarana belajar-mengajar (Hasibuan dan Moedjiono, 2012:3).
Berkaitan dengan permasalahan pendidikan dan sistem lingkungan
pembelajaran maka komponen peserta didik memiliki kedudukan yang begitu
penting. Permasalahan pada peserta didik tentunya akan mempengaruhi
komponen yang lainnya. Oleh karena itu, permasalahan mengenai peserta didik
menjadi topik yang sangat penting.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan di atas, rumusan
masalah yang diajukan yaitu:
1. Bagaimanakah problematika yang berhubungan dengan peserta didik dalam
pendidikan dasar?
2. Bagaimanakah solusi dari problematika yang berhubungan dengan peserta
didik dalam pendidikan dasar?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di paparkan di atas, tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1. Mendeskripsikan problematika yang berhubungan dengan peserta didik
dalam pendidikan dasar.
2. Mendeskripsikan solusi dari problematika yang berhubungan dengan peserta
didik dalam pendidikan dasar.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Problematika Peserta Didik Pendidikan Dasar di Indonesia


1. Problematika Umum Peserta Didik
Problematika umum peserta didik yang ada di Indonesia yaitu berkaitan
dengan masih adanya peserta didik yang putus sekolah dan rendahnya mutu
peserta didik dilihat dari hasil PISA, TIMSS, dan PIRLS.
a. Masalah Peserta Didik yang Putus Sekolah
Masalah putus sekolah merupakan masalah klasik dalam pendidikan di
Indonesia. Masalah ini berkaitan dnegan banyaknya peserta didik yang tidak
melanjutkan ke tingkat selanjutnya baik kelas maupun sekolah lanjutan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemendikbud (2018), menunjukkan bahwa
jumlah siswa sekolah yang putus sekolah pada tahun akademik 2017/2018 di
Indonesia mencapai 32.127 siswa, dengan rincian kelas I sebanyak 6.277 siswa,
kelas II sebanyak 4.088 siswa, kelas III sebanyak 3.702 siswa, kelas IV 4.111
siswa, kelas V sebanyak 4.599 siswa, dan kelas VI sebanyak 9.350 siswa
(http://statistik.data.kemdikbud.go.id/index.php/page/sd). Mengacu data tersebut,
maka masih banyak siswa yang putus sekolah.
Putus sekolah adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu
lembaga pendidikan tempat dia belajar. Anak putus sekolah yang dimaksud
adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Fenomena putus sekolah adalah suatu keadaan terhentinya
aktivitas pendidikan pada anak-anak usia sekolah, baik itu pendidikan formal
maupun pendidikan informal sebelum mendapatkan pengetahuan yang cukup
untuk bertahan hidup dalam masyarakat. Gunawan (2010:71), menyatakan putus
sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang
tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat
melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya. Misalnya seorang warga
masyarakat atau anak yang hanya mengikuti pendidikan di SD sampai kelas lima,
disebut sebagai putus sekolah SD. Demikian juga seorang warga masyarakat yang

3
4

memiliki ijazah SD kemudian mengikuti pendidikan di SMP sampai kelas dua


saja, disebut putus SMP, dan seterusnya.
Burhannudin (2011), menyatakan bahwa setidaknya ada enam faktor
penyebab terjadinya putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu
faktor ekonomi, minat untuk bersekolah rendah, perhatian orang tua yang kurang,
fasilitas belajar yang kurang mendukung, faktor sosial budaya dan lokasi atau
letak sekolah. Berikut diuraikan masing-masing faktor penyebab terjadinya putus
sekolah.
1) Faktor ekonomi
Faktor ini menurut Burhannudin (2011), berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala proses yang
dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang
tertentu, walaupun pemerintah telah mencanangkan Program Pendidikan Gratis
sembilan tahun bahkan ada yang dua belas tahun, namun belum berimplikasi
secara maksimal terhadap penurunan jumlah anak putus sekolah. Kurangnya
pendapatan keluarga menyebabkan orangtua bekerja keras mencukupi kebutuhan
sehari-hari sehingga perhatian orang tua terhadap pendidikan cenderung
terabaikan (Bagoe: 2013).
2) Kurang perhatian orang tua
Faktor ini menurut Burhannudin (2011), berhubungan dengan rendahnya
perhatian orang tua terhadap anak dapat disebabkan karena kondisi ekonomi
keluarga atau rendahnya pendapatan orang tua si anak sehingga perhatian orang
tua lebih banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Persentase anak yang tidak dan putus sekolah karena rendahnya kurangnya
perhatian orang tua.
3) Fasilitas pembelajaran yang kurang memadai
Faktor ini menurut Burhannudin (2011), berhubungan dengan fasilitas
belajar yang tersedia di sekolah, misalnya perangkat (alat, bahan, dan media)
pembelajaran yang kurang memadai, buku pelajaran kurang memadai, dan
sebagainya. Kebutuhan dan fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa tidak dapat
dipenuhi siswa dapat menyebabkan turunnya minat anak yang pada akhirnya
menyebabkan putus sekolah.
5

4) Minat anak untuk sekolah


Faktor ini menurut Burhannudin (2011), berhubungan dengan rendahnya
minat anak dapat disebabkan oleh perhatian orang tua yang kurang, jarak antara
tempat tinggal anak dengan sekolah yang jauh, fasilitas belajar yang kurang, dan
pengaruh lingkungan sekitarnya. Minat yang kurang dapat disebabkan oleh
pengaruh lingkungan misalnya tingkat pendidikan masyarakat rendah yang diikuti
oleh rendahnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan. Ketidakmampuan
ekonomi keluarga dalam menopang biaya pendidikan yang berdampak terhadap
masalah psikologi anak sehingga anak tidak bisa bersosialisasi dengan baik dalam
pergaulan dengan teman sekolahnya selain itu adalah peranan lingkungan.
5) Faktor sosial budaya.
Faktor ini menurut Burhannudin (2011), berhubungan dengan faktor sosial
budaya terkait dengan kebiasaan masyarakat berkaitan dengan keadaam
lingkungan sekitar rumah. Rendahnya kesadaran orang tua atau masyarakat akan
pentingnya pendidikan. Perilaku masyarakat pedesaan dalam menyekolahkan
anaknya lebih banyak dipengaruhi faktor lingkungan. Mereka beranggapan tanpa
bersekolahpun anakanak mereka dapat hidup layak seperti anak lainnya yang
bersekolah, oleh karena di desa jumlah anak yang bersekolah lebih banyak dan
mereka dapat hidup layak maka kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam
menentukan masa depan anaknya. Pandangan banyak anak banyak rejeki
membuat masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang masih
usia sekolah diarahkan untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah.
6) Lokasi atau letak sekolah
Faktor ini menurut Burhannudin (2011), berhubungan dengan jarak yang
jauh dengan akses yang sulit merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh
masyarakat untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Alat transportasi yang
kurang serta jarak antara rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Selain itu juga
dengan akses yang dirasa sulit, keselamatan pun dianggap tidak terjamin.

b. Masalah Rendahnya Mutu Peserta Didik


Masalah mutu berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Salah satu
indikator mengenai mutu pendidikan adalah bagaimana pembelajarannya.
6

Indikator keberhasilan pembelajaran yaitu ketika peserta didik dapat mencapai


kompetensi di tingkat tertentu dan dapat lanjut ketingkat berikutnya. Namun, data
dari Kemendikbud (2018), menunjukkan bahwa jumlah siswa sekolah yang
mengulang pada kelas sebelumnya pada tahun akademik 2017/2018 di Indonesia
mencapai 370.116 siswa, dengan rincian kelas I sebanyak 161.313 siswa, kelas II
sebanyak 75.165 siswa, kelas III sebanyak 61.685 siswa, kelas IV sebanyak
40.193 siswa, kelas V sebanyak 30.129 siswa, dan kelas VI sebanyak 1.631 siswa.
(http://statistik.data.kemdikbud.go.id/).
Indikator lain untuk menentukan mutu pendidikan yaitu dengan
mengambil data dari studi internasional dengan membandingkan kualitas mutunya
bersama negara lain di dunia. Dalam hal literasi Matematika dan Sains, hasil studi
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007,
hasilnya memperlihatkan bahwa peserta didik Indonesia belum menunjukkan
prestasi memuaskan. Literasi Matematika peserta didik Indonesia, hanya mampu
menempati peringkat 36 dari 49 negara, dengan pencapaian skor 405 dan masih di
bawah skor rata-rata internasional yaitu 500. Sedangkan untuk literasi Sains
berada di urutan ke 35 dari 49 negara dengan pencapaian skor 433, dan masih di
bawah skor rata-rata internasional yaitu 500. Hasil yang diperoleh ini, lebih buruk
dibandingkan dengan pelajar Mesir yang berada pada urutan ke 35 (Martin, dkk.,
2008). Lebih lanjut dijelaskan dari data yang lain, rendahnya mutu pendidikan
dapat dilihat dalam laporan studi Programme for International Student
Assessment (PISA) tahun 2003. Untuk literasi Sains dan Matematika, peserta
didik usia 15 tahun berada di ranking ke 38 dari 40 negara peserta, bahkan untuk
literasi membaca berada di posisi ke 39 (OECD, 2004). Pada tahun 2006 prestasi
literasi membaca siswa Indonesia berada pada peringkat ke 48 dari 56 negara,
literasi matematika berada pada peringkat ke 50 dari 57 negara, dan literasi sains
berada pada peringkat ke-50 dari 57 negara (OECD, 2007). Selanjutnya hasil studi
Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2006 dalam
bidang membaca pada anak-anak kelas IV sekolah dasar di seluruh dunia di
bawah koordinasi The International Association for the Evaluation of Educational
Achievement (IEA) yang dikuti 45 negara/negara bagian, baik berasal dari negara
maju maupun dari negara berkembang, hasilnya memperlihatkan bahwa peserta
7

didik Indonesia berada pada peringkat ke 41 (OECD, 2006). Hasil dari ketiga
lembaga tersebut menunjukkan kualitas atau mutu output berupa peserta didik
termasuk dalam kategori rendah.
Melihat dari rendahnya tingkat kualitas peserta didik di atas, maka ada
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan dalam sistem pendidikan nasional,
yang seharusnya mengarah kepada pendidikan nasional yang bermutu. Pendidikan
nasional yang bermutu salah satunya dapat dilihat dari keluarannya (output) yang
bermutu, yakni dilihat dari lulusan bermutu yang diakui di tingkat nasional,
regional, dan internasional. Dalam konteks ini, pendidikan nasional yang
lulusannya bermutu merupakan suatu keniscayaan karena tanpa menghasilkan
lulusan yang bermutu, program pendidikan bukan dipandang sebagai investasi
sumberdaya manusia yang dapat meningkatkan daya saing bangsa, melainkan
dipandang sebagai pemborosan dilihat dari segi biaya, tenaga, dan waktu.
Selanjutnya untuk menghasilkan lulusan bermutu, dalam sistem pendidikan
nasional perlu dipertajam upaya-upaya penjaminan mutu (quality assurance) dan
pengendalian mutu (quality control). Penjaminan mutu mengharuskan upaya
penentuan standar kemampuan dari sisi masukan (entry level) pembelajar untuk
setiap jenjang pendidikan, standar isi yang terukur, standar proses yang mengacu
pada pencapaian standar isi, standar kompetensi lulusan yang secara sistemik
berkaitan dengan standar isi dan standar-standar lain, seperti standar pendidik,
sarana dan prasarana serta pembiayaan yang difokuskan guna menghasilkan
output pendidikan yang juga bermutu. Standar-standar tersebut telah termaktub
dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (Tunggal, 2006). Untuk memastikan pencapaian standar nasional
pendidikan yang berorientasi pada output pendidikan yang bermutu tersebut, perlu
diupayakan sistem evaluasi yang bermutu dan kredibel sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-undang nomor 20/2003, Bab XVI, pasal 57, butir 1, yang
menyatakan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
8

Rendahnya mutu tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor


yang berkaitan erat dengan belajar peserta didik. Faktor-faktor yang berpengaruh
Piaget (dalam Ginsburg dan Opper, 1988), mengartikan belajar dalam arti luas
sebagai kegiatan untuk memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang
lebih umum yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Belajar
merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-
pola respons yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan dan kecakapan (Witherington, 1952; dalam Sukmadinata, 2007).
Belajar menuntut pengalaman, tetapi hanya pengalaman yang mendasar dan
bagaimana pengalaman ini diduga membawa perubahan performance (Driscoll,
2005). Sedangkan Ormrod (2011), menyatakan bahwa belajar sebagai sebuah
perubahan yang panjang representasi mental atau asosiasi sebagai hasil dari
pengalaman. Hal ini diperjelas pula oleh Woolfolk (2007), bahwa belajar terjadi
akibat dari pengalaman yang menyebabkan perubahan yang relatif ”permanent”
pada pengetahuan atau perilaku seseorang.
Dari perspektif mikro, terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
hasil belajar yang akan mempengaruhi mutu pendidikan. Menurut Suryabrata
(2004), faktorfaktor yang mempengaruhi hasil belajar terdiri dari: (1) faktor-faktor
yang berasal dari luar diri siswa, yang terdiri dari faktor-faktor sosial dan
nonsosial; dan (2) faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa; terdiri dari
faktor psikologis, dan faktor-faktor fisiologis. Kedua faktor yang dimaksudkan
tersebut, sangat menentukan hasil belajar siswa. Faktor-faktor sosial dalam belajar
dalam hal ini adalah faktor manusia, baik manusia itu hadir maupun tidak
langsung hadir. Kehadiran orang atau orang-orang pada waktu seseorang sedang
belajar, akan mengganggu individu dalam belajar. Sebagai contoh, kalau satu
kelas murid sedang mengerjakan ujian, lalu terdengar banyak anak-anak lain
bercakapcakap di samping kelas; atau seseorang sedang belajar di kamar, satu
atau dua orang hilir mudik ke luar masuk kamar belajar, dan lain sebagainya.
Faktor-faktor tersebut, pada umumnya bersifat mengganggu proses belajar dan
akhirnya juga akan mengakibatkan pengaruh terhadap hasil belajar seseorang.
Biasanya faktor-faktor tersebut mengganggu konsentrasi, sehingga perhatian tidak
dapat ditujukan kepada hal yang dipelajari atau aktivitas belajar itu semata-mata.
9

Oleh karena itu, dengan berbagai cara, faktor-faktor tersebut harus diatur, agar
supaya belajar dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya. Demikian pula halnya
dengan faktor-faktor nonsosial dalam belajar, seperti misalnya: keadaan udara,
suhu udara, cuaca, waktu (pagi, atau siang, ataupun malam), tempat (letaknya),
peralatan yang digunakan untuk belajar (seperti alat tulis menulis, buku-buku,
alat-alat peraga, dan sebagainya yang biasa kita sebut alat-alat pelajaran).
Keseluruhan faktor-faktor tersebut, dapat membantu proses/hasil belajar secara
maksimal. Letak sekolah atau tempat belajar misalnya harus memenuhi syarat-
syarat seperti di tempat yang tidak terlalu dekat kepada kebisingan atau jalan
ramai. Demikian pula dengan alat-alat pelajaran harus seberapa mungkin
diusahakan untuk memenuhi syarat-syarat menurut pertimbangan didaktis,
psikologis, dan paedagogis. Faktor-faktor fisiologis, seperti keadaan tonus
jasmani pada umumnya, melatarbelakangi aktivitas belajar; keadaan jasamani
(fisik) yang sehat dan segar akan berbeda pengaruhnya dengan keadaan jasmani
yang kurang sehat dan kurang segar; keadaan jasmani yang lelah akan lain
pengaruhnya daripada yang tidak lelah.
Pada sisi lain, dalam hubungannya dengan faktor fisiologis adalah
berfungsi tidaknya pancaindera dengan baik. Pancaindera juga merupakan
komponen-komponen fisiologis yang menentukan berlangsungnya aktivitas
belajar dengan baik. Seperti juga dengan faktor-faktor lain, faktor psikologis juga
besar peranannya dalam pencapaian hasil belajar anak, seperti: motivasi, sikap,
disiplin belajar, dan lainnya menentukan kelancaran dalam proses belajar. Anak-
anak yang mengalami gangguan psikologis, akan mengalami kesulitan dalam
belajar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan yang cermat dan sistematik.
Frandsen (dalam Suryabrata, 2004), menyatakan bahwa hal yang
mendorong seseorang untuk belajar adalah sebagai berikut: (1) adanya sifat khas
ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas (2) adanya sifat kreatif
yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju; (3) adanya keinginan
untuk mendapatkan simpati dari orangtua, guru, dan teman-teman; (4) adanya
keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik
dengan koperasi maupun dengan kompetisi; (5) adanya keinginan untuk
mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran; dan (6) adanya ganjaran atau
10

hukuman sebagai akhir daripada belajar. Faktor lain yang juga memegang peranan
penting dalam pencapaian prestasi akademik adalah pola belajar. Ada pelajar yang
terbiasa belajar secara teratur walaupun tidak ada tes di hari berikutnya, tetapi ada
juga pelajar yang hanya belajar bila akan ada ujian. Prestasi belajar akan lebih
baik bila pelajar memiliki pola belajar yang teratur setiap harinya daripada tidak
memiliki pola belajar dan hanya belajar pada waktu-waktu tertentu yang dianggap
perlu.

2. Problematika Khusus Peserta Didik


Problematika khusus pada peserta didik adalah problematika yang terjadi
dari dalam diri peserta didik itu sendiri. Problematika khusus dalam peserta didik
ini adalah permasalahan-permasalahan yang dilakukan oleh siswa itu sendiri.
Berkaitan dengan kegiatan pembelajaran maka masalah-masalah yang ada
cenderung mengarah kepada masalah belajar dan pembelajaran. Berikut
dipaparkan permasalahan khusus berkaitan dengan peserta didik dalam
pembelajaran yaitu (hasil observasi pada semester 2 bulan Januari-Februari 2019
di SDN 1 Glanggang):
a. Anak yang suka membantah atau keras kepala (Ego)
Ego merupakan pusat kesadaran, proses alami individu, yang merupakan
gabungan antara pemikiran, gagasan, perasaan, memori, dan persepsi sensoris
(Corsini, 2003). Pada dasarnya seorang anak memiliki karakternya masing –
masing, ada anak yang penurut dan keras kepala. Anak yang keras kepala adalah
sebuah problem bagi anak itu sendiri dan juga bagi gurunya. Anak yang keras
kepala akan sulit diberi tau dan sering berdebat dengan temannya. Debat ini bisa
sampai bertengkar karena menurut dia perkataannya yang paling benar.
b. Anak yg suka berbohong
Mellissa Grace, M.Psi., Psikolog menjelaskan beberapa penyebab
seseorang berbohong (compulsive lying) antara lain: Berbohong digunakan
sebagai bentuk pelarian dari tanggung jawab. Perilaku berbohong dianggap lebih
mudah atau lebih sedikit mendatangkan konsekuensi negatif dibandingkan
perilaku jujur. Berbohong digunakan untuk meningkatkan image atau konsep diri
seseorang. Biasanya pelaku justru memiliki konsep diri yang buruk, sehingga
11

mereka perlu terus menerus melakukan kebohongan untuk membuat imej diri
yang terlihat lebih positif di lingkungan sosial.
Anak yang suka berbohong ini adalah problematika yang sulit untuk
ditangani karena ini adalah sifat yang sudah ada dalam dirinya. Mungkin juga ini
adalah cara seorang anak untuk melindungi dirinya sendiri. Kebiasaan bohong ini
sangat sering dilakukan oleh seorang anak. Bahkan ada satu kasus pernah terjadi
di SDN 1 Glanggang bahwa siswa berbohong dan akhirnya mengadu domba
temannya dengan guru dalam suatu kasus. Dalam permasalahan ini menyebabkan
kerugian bagi temannya.
c. Bertengkar dengan teman
Menurut Willis (2005) perkelahian adalah merupakan suatu perbuatan
yang menggangu keamanan dan ketertiban umum, dimana perkelahian
menunjukkan tindakan dari kedua belah pihak secara bersamaan.
Pada problematika berikut yang hampir setiap hari terjadi pada siswa yaitu
bertengkar dengan teman mulai dari pertengkaran biasa sampai pertengkaran
besar. Bertengkar dengan teman ini terjadi karena seorang anak merasa diganggu
dengan temannya atau dia suka mengganggu temannya karena memang dia suka
mengganggu temannya. Hal tersebut menyebabkan teman menangis sehingga
membuat pelajaran menjadi terganggu dan dapat menyebabkan RPP guru kadang
tidak sesuai waktunya karena ada permasalahan-permasalahan ini.
Untuk masalah pertengkaran yang besar yaitu pernah suatu hari ada siswa
yang di olok-olok kakak kelasnya sehingga dia merasa marah dan merasa dibully
akhirnya dia emosi dan lari ke rumah mengambil pisau dan di todong ke
temannya yang mengolok-ngolok itu. Dan akhirnya guru, kepala sekolah bahkan
pedagang luar sekolah ikut dalam melerai.
d. Terbawa sinetron (sudah mulai suka temannya yang berlawanan jenis, geng,
dsb)
Problematika berikut adalah problematika yang terjadi akibat dari teknolgi.
Problematika berikut dapat merusak pikiran siswa yang akibatnya berpengaruh
pada nilai siswa. Hal ini juga menyebabkan penyimpangan yang sangat berbahaya
bagi siswa. Karena seorang anak saat melihat sesuatu pasti dia jadi penasaran dan
menjadi ikut – ikutan apalagi kalau sesuatu hal tersebut vila. Hal tersebut yang
12

menyebabkan siswa melakukan penyimpangan dan merugikan siswa itu sendiri.


Salah satunya yang pernah terjadi yaitu seorang anak kelas 5 suka dengan
temannya dan akhirnya berebut dengan teman lainnya yang suka dengan orang
yang sama. Akhirnya mereka membentuk 2 kubu atau geng dan menyebabkan
pertengkaran. Hal ini juga dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa.
e. Kasus yg sudah kelewat batas termasuk mencuri, merusak barang milik
teman
Pada problematika ini adalah termasuk tindakan pidana jika menurut UU
negara kita. Siswa yang mencuri ini adalah tindakan yang sudah terlewat batasan
yang bisa menyebabkan kerugian dan bahkan guru akan memberi sanksi yang
juga berat untuk siswa bahkan sampai pemanggilan orang tua. Sering juga siswa –
siswa di SDN 1 Glanggang merasa kehilangan uangnya hal kecil ini kalau
diabaikan akan menyebabkan hal besar dikemudian hari. Ada juga tindakan
menyimpang yang terlewat batas yaitu merusak barang temannya. Mulai dari
merusak barang temannya sampai merusak sepeda temannya. Hal – hal ini sulit
untuk ditolerir karena dapat menyebabkan karakter yang buruk bagi anak tersebut.
f. Mencontek
Menurut Poedjinugroho ( dalam Alhadza, 1998) permasalahan pokok
dunia pendidikan Indonesia yang sebenarnya adalah perilaku menyontek. Perilaku
menyontek dapat membuat seseorang menjadi pembohong publik sejak dini 6.
Sebagian orang berpendapat bahwa siswa yang terbiasa menyontek di sekolah
memiliki potensi untuk menjadi koruptor atau penipu ulung nantinya (Alhadza,
1998).
Mencontek adalah suatu problematika yang sudah mendarah daging di
negara kita ini. Karena kurangnya motivasi kompetisi dalam diri siswa.
Mencontek di negara kita adalah tindakan yang dianggap lumrah dan menjadi
tindakkan sosial atau sosial yang tidak tepat. Siswa manapun dan dimanapun pasti
pernah mencontek hal ini menyebabkan siswa menjadi malas belajar dan
mengandalkan temannya saja. Jiwa-jiwa mencotek ini sulit untuk dihilangkan
dalam diri siswa.
13

g. Malas belajar
Problematika berikut ini yang sangat sering terjadi di sekolah – sekolah.
Pasti disetiap kelas dalam seminggu akan ada anak yang tidak mengerjakan tugas
rumah. Ada juga siswa yang dikelas tidak mau membaca atau belajar mengerjakan
tugas – tugasnya, hal inilah yang dinamakan anak malas belajar.
Dari hasil observasi di atas, terlihat bahwa ada masalah yang berkaitan
dengan masalah belajar dan masalah moral. Berkaitan dengan maslah belajar
maka berhubungan dengan kegiatan belajar dan pembelajaran. Secara umum
faktor yang mempengaruhi belajar yaitu adanya faktor internal dari dalam diri
individu itu, dan faktor ekstern yang berasal dari luar individu. Sementara itu
berkaitan dengan masalah moral, degradasi moral pada peserta didik merupakan
suatu keprihatinan yang sangat mendalam bagi sebuah bangsa, karena pemuda
adalah harapan bangsa dan dapat menyebabkan kehancuran bangsa, jika
pemudanya hancur. Faktor-faktor global penyebab degradasi moral jika dipilah
antara lain disebabkan oleh tersebar luasnya pandangan materialistis tanpa
spiritualitas, ukuran kesuksesan lebih di ukur pada kesuksesan materiil dan
mengenyampingkan moralitas, konsep moralitas kesopanan menjadi longgar
karena terpengaruh budaya barat akibat dari mudahnya mencari informasi melalui
ICT, budaya global menawarkan kenikmatan semu melalui 3F (food, fashion dan
fun), tingkat persaingan semakin tinggi, karena terbukanya sekat lokal dan
kebanyakan bersifat online, masyarakat lebih bersifat individualistis dan kurang
peduli dengan lingkungannya, sehingga kontrol moral terutama pada remaja
menjadi rendah, keluarga kurang dapat memberi pengarahan, karena masing-
masing orang tua sudah mempunyai kesibukannya sendiri atau bahkan broken
home, dan sebagian besar sekolah tidak sepenuhnya dapat mengontrol perilaku
siswa, karena keterbatasan waktu, sumber daya dan sumber dana ataupun kurang
menekankan pentingnya moralitas (Muthohar 2016:326).
14

B. Solusi terhadap Problematika Peserta Didik Pendidikan Dasar di


Indonesia
1. Solusi terhadap Problematika Umum Peserta Didik
a. Masalah Peserta Didik yang Putus Sekolah
Seperti yang telah di jelaskan oleh Burhannudin (2011), bahwa ada enam
faktor penyebab terjadinya putus yaitu faktor ekonomi, minat untuk bersekolah
rendah, perhatian orang tua yang kurang, fasilitas belajar yang kurang
mendukung, faktor sosial budaya dan lokasi atau letak sekolah. Oleh karena itu,
beberapa solusi yang dapat menjadi alternatif yaitu antara lain:
1) Penguatan sekolah gratis yang telah berkembang
Penguatan sekolah gratis dapat dilakukan dengan upaya pengelolaan
anggaran yang tepat waktu dan sesuai sehingga dengan adanya dan tersebut
sekolah termotivasi untuk meningkatkan kualitasnya sesuai dengan behaviorisme
bahwa akan ada stimulus juga ada respons. Selain itu, perlu adanya pemerintah
meningkatkan sosialisasi pentingnya pendidikan kepada masyarakat desa untuk
melanjutkan pendidikan (Bagoe, 2013).
2) Diadakan kegiatan bimbingan dan konseling.
Kegiatan bimbingan dan konseling dapat dilakukan dengan konselor ahli,
konselor teman sebaya, atau guru itu sendiri dalam memberikan dukungan moril
kepada siswa tersebut untuk ikut terus menempuh pendidikan (Maliki, 2016:115).
3) Penguatan lingkungan pendidikan (tri pusat pendidikan).
Keluarga perlu menjaga dalam bentuk hubungan antar anggota keluarga
yang kurang harmonis dan jumlah anak yang menjadi tanggungan orang tua
(Bagoe, 2013). Sementara itu, sekolah perlu melakukan sinergi yang bagus
dengan orang tua maupun keluarga siswa. Sedangkan masyarakat dapat
memberikan dukungan moral kepada anak-anak dan menjaga keharmonisan
lingkungan dan teman-teman bermain di sekitar tempat tinggal
sudah tidak melanjutkan sekolah (Bagoe, 2013).
Alternatif lain yang dapat dilakukan yaitu dengan pemanfaatan dan
penggunaan fasilitas pendidikan, penggunaan berbagai model pembelajaran yang
alternatif dan menarik minat siswa, dan penguatan sistem zonasi yang sudah ada.
15

b. Masalah Rendahnya Mutu Peserta Didik


Berdasar gambaran dari hasil studi internasional (TIMSS, PISA, dan
PIRLS), yang bertujuan untuk memperoleh gambaran prestasi siswa Indonesia
dalam bidang matematika, sains dan literasi membaca, maka kesimpulan yang
diperoleh dari gambaran hasil studi tersebut bahwa peserta didik di Indonesia
masih tergolong dalam kategori rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan terobosan
atau alternatif-alternatif untuk meningkatkan daya saing global peserta didik
Indonesia. Beberapa rekomendasi yang perlu diajukan dalam hubungannya
dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, berdasar hasil studi yang
dilakukan oleh Tjalla (2010) adalah sebagai berikut:
1) Rekomendasi untuk Pengambil Kebijakan:
a) Hasil studi TIMSS maupun PISA dari ketiga bidang (matematika, sains, dan
membaca) yang masih berada pada posisi ranking bawah dari negara peserta
studi, memperlihatkan perlunya dilakukan pembenahan secara sistemik dalam
hubungannya dengan permasalahan pendidikan, baik dalam hubungannya
dengan aspek penciptaan lingkungan sekolah, guru, kurikulum, kegiatan
PBM maupun dalam hubungannya dengan aspek pendukung lainnya (Tjalla,
2010).
b) Perlunya pemberian kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat
mengembangkan kompetensinya, baik itu dalam bidang akademik,
professional, sosial, maupun pribadi, dengan jalan memperhatikan kebutuhan
dan peluangpeluang yang ada secara berkesinambungan dan terkendali. Di
samping itu, penyelenggaraan pre-service dan in-service training agar
dilakukan secara terkendali dan dikelola secara lebih professional dengan
memperhatikan aspek mutu dan kebermaknaan program yang mengacu pada
pencapaian tujuan peningkatan profesionalisme guru (Tjalla, 2010).
c) Pada pengembangan kurikulum, perlu dilakukan penyeimbangan dalam
hubungannya dengan aspek konten, kognitif, motorik, dan sikap serta aspek
konteks. Materi pembelajaran siswa sebaiknya dipilih hal yang esensial dan
strategis, sehingga perkembangan kognitif siswa dapat lebih diperhatikan
(Tjalla, 2010).
16

d) Standard dan praktek penilaian hasil belajar siswa secara nasional yang
dilakukan dengan memperhatikan berbagai kompetensi siswa, perlu
diperbaiki. Mengacu pada soal TIMSS 2003, dapat ditunjukkan bahwa soal
pilihan ganda pun dapat mengukur kemampuan bernalar siswa dan
pemecahan masalah (Tjalla, 2010).
e) Perlunya diupayakan pengadaan buku teks dan fasilitas kelas (media dan cara
pemanfaatannya), hal ini terkait dengan kondisi kepemilikan buku yang
masih rendah di kalangan siswa dan keterbatasan media belajar di sekolah-
sekolah. Di samping itu, pengadaan ini mendukung pelaksanaan kurikulum
yang memperhatikan aspek kontek dan kognitif secara seimbang (Tjalla,
2010).

2) Rekomendasi untuk Sekolah dan Guru:


a) Perlunya pemanfaatan sumber belajar di lingkungan sekolah agar
memperhatikan aspek pedagogis guna mendukung pencapaian tujuan
kurikuler secara efektif dan efisien. Di samping itu, perlunya penggunaan
sumber-sumber belajar dan media pembelajaran yang merangsang siswa
untuk berani mencoba hal-hal yang dianggap rumit untuk dapat lebih
disederhanakan (Tjalla, 2010).
b) Pengembangan kreativitas siswa perlu dilakukan dengan jalan memberikan
peluang untuk berkreasi secara bebas dan bertanggungjawab tanpa
menghambat kegiatan akademik lainnya. Di samping itu, diperlukan berbagai
model pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas guru di kelas dan
kreativitas belajar siswa di sekolah dan di rumah (Tjalla, 2010).
c) Perlunya pemberian materi pembelajaran yang sifatnya esensial dan strategis
untuk mengembangkan berbagai kompetensi siswa. Di samping itu, agar
supaya materi pembelajaran bukan merupakan sesuatu hal yang bersifat
abstrak bagi siswa, maka perlunya materi pembelajaran dihubungkan dengan
kehidupan nyata yang dialami siswa sehari-hari. Berkenaan dengan hal
tersebut, diperlukan adanya pengetahuan yang luas bagi para guru di kelas
untuk menerapkannya (Tjalla, 2010).
17

d) Perlunya dilakukan pembenahan dalam hal penilaian hasil belajar siswa se


hari-hari di kelas. Variasi bentuk penilaian perlu dilakukan, sehingga
penilaian tidak hanya dalam bentuk tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda
tetapi juga dalam bentuk yang lain, seperti tes uraian, self test, dan lain
sebagainya, sehingga soal tidak hanya semata-mata berupa pilihan ganda saja.
Apabila diperlukan bentuk soal pilihan ganda, maka perlu dibuat sebaik-
baiknya supaya dapat mengukur kemampuan bernalar dan pemecahan
masalah, tidak hanya sebatas tataran konsep (Tjalla, 2010).
e) Perlunya dilibatkan semua unsur sekolah (siswa, guru, dan pengelola
sekolah), dalam pengambilan keputusan tentang perencanaan, tanpa
memaksakan kehendak secara sepihak. Pelibatan ini berkenaan dengan tata-
tertib, disiplin, tata cara berdiskusi, berkomunikasi, dan lain sebagainya
(Tjalla, 2010).

2. Solusi terhadap Problematika Khusus Peserta Didik


Solusi dalam problematika dari peserta didik yaitu adalah berawal dari
pembentukan karakter peserta didik dan harus ada peran serta orang tua dalam
pembentukan karakter anak, berikutnya adalah perlunnya lingkungan yang baik
bagi anak agar tidak mempengaruhi sifat atau sikap dari seorang anak, dan yang
terakhir adalah pembentukan karakter yang dilakukan guru kepada siswa. Ada
beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh orang tua maupun guru untuk
meningkatkan minat belajar siswa seperti yang disarikan dalam Dimyati dan
Mudjiono (1999) dan Maliki (2016) adalah sebagai berikut:
a. Menanamkan pengertian yang benar tentang belajar pada siswa sejak dini,
menumbuhkan inisiatif belajar mandiri pada siswa, menanamkan kesadaran
serta tanggung jawab sebagai pelajar pada siswa merupakan hal lain yang
bermanfaat jangka panjang.
b. Berikan contoh belajar pada peserta didik.
c. Berikan intensif jika siswa belajar. Intensif yang dapat diberikan ke siswa
tidak selalu berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian.
d. Orang tua sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di
sekolah pada anak. Sehingga orangtua tahu perkembangan anak di sekolah.
18

e. Mengajarkan kepada siswa pelajaran-pelajaran dengan metode tertentu yang


sesuai dengan kemampuan siswa.
f. Komunikasi. Orangtua harus membuka diri, berkomunikasi dengan anak
untuk mendapat informasi tentang perkembangan anak tersebut serta
mengadakan pendekatan secara pribadi.
g. Menciptakan disiplin. Jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti.
h. Pilih waktu belajar yang tepat dan anak merasa bersemangat untuk belajar
agar anak mampu memahami apa yang sedang dipelajari.
i. Menciptakan suasana belajar yang baik dan nyaman, orangtua memberikan
perhatian dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar.
j. Menghibur dan memberikan solusi yang baik dan bijaksana pada anak,
apabila anak sedang sedih atau sedang sakit, sedang tidak ada motivasi untuk
belajar, orangtua harus membangun motivasi anak agar bersemangat dalam
belajar.
k. Gunakan imajinasi peserta didik. Orangtua membantu peserta didik
membayangkan apa yang dia inginkan untuk masa depan, baik dalam waktu
panjang atau pendek.
l. Mengarahkan peserta didik untuk berteman dan hidup dalam lingkungan yang
baik dan mendukung.
m. Tidak memfokuskan bahwa belajar hanya dari buku saja. Tetapi dari
lingkungan sekitar juga dapat digunakan untuk belajar.
n. Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan dalam belajar.
o. Membangun motivasi atau minat belajar siswa, sehingga siswa bersemangat
dalam belajar.
p. Menyiapkan ruang kelas yang nyaman, kondusif, sehingga siswa dapat
belajar dengan nyaman.
q. Guru dalam mengajar harus melibatkan anak secara aktif melalui kegiatan
diskusi, tugas kelompok agar anak tidak bosan di dalam kelas. Karena metode
guru yang mengajar dengan berceramah saja akan membuat siswa merasa
bosan dan tidak memperhatikan.
19

r. Guru harus mempunyai model pembelajaran yang bervariasi dalam setiap


pertemuan agar tidak monoton, sehingga siswa semangat dengan metode
pembelajaran yang baru.
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, beberapa alternatif
solusi yang pernah dilakukan dan/atau beberapa terobosan alternatif solusi untuk
masalah-masalah yang berkaitan dengan peserta didik dalam kegiatan belajar dan
pembelajaran yaitu:
a. Anak yang suka membantah atau keras kepala
Sesuai dengan observasi yang dilakukan solusi yang sering dilakukan guru
dalam menangani anak yang keras kepala (ego) adalah dengan mengajaknya lebih
sering dalam kegiatan sosial di dalam pembelajran ataupun dalam kegiatan
ekstrakulikuler. Selain hal tersebut juga dilakukan bimbingan konseling oleh guru
kelas mengenai permasalahan apa yang ada dalam dirinya atau keluarganya.
Setelah itu siswa diberi pemahaman bahwa sikapnya dapat merugikan teman dan
dirinya sendiri.
b. Anak yang suka berbohong
Solusi bagi anak yang sering berbohong adalah dengan cara bimbingan
terhadap anak itu sendiri dan perlu ditanyai apa penyebab dia melakukan
kebohongan tersebut. Setelah itu perlunya guru mengajarkan pembelajaran yang
lebih membentuk kejujuran anak melalui praktek bukan hanya sekedar materi.
Seperti siswa diberi uang dan bagaimana dia mengelolanya atau dibentuknya
kantin kejujuran.
c. Bertengkar dengan teman
Solusi dalam problematika ini adalah penanaman nilai-nilai Pancasila
kepada siswa. Penanaman nilai-nilai bukan saja dengan materi tapi juga dalam hal
praktek yaitu dalam tema hidup rukun misalnya dalam kelas 2, dimana siswa akan
bekerja sama dengan klompoknya dan masuk dalam penilaian sikap.
d. Terbawa sinetron (mulai suka dengan teman lawan jenis,geng,dsb)
Dalam hal ini solusinya adalah guru memberikan materi dan contoh-
contoh akibat jika kita sering menonton acara yang tidak baik, apalagi sampai kita
ikut menirukan apa yang kita lihat (dalam hal negatif).
20

e. Kasus yg sudah kelewat batas termasuk mencuri, merusak barang milik


teman
Problematika dalam hal seperti ini perlu tindakan guru yang lebih tegas
mulai dari bimbingan kepada siswa, pemanggilan orang tua bahkan perlu
bekerjasama dengan Kepolisian setempat agar siswa jera untuk melakukannya
lagi. Juga perlu adanya penyuluhan dari pihak yang berwajib mengenai tindakan
pidana yang dilakukan oleh anak dapat merugikan dirinya dan orang lain.
f. Mencontek
Problematika yang sudah mendarah daging ini memang sulit dihilangkan
dalam diri siswa, tetapi ada cara yang yang sering guru lakukan yaitu dengan
strategi tempat duduk siswa atau juga bisa dilakukan ujian lisan untuk mengetahui
kemampuan masing – masing siswa. Menanamkan jiwa kompetisi kepada siswa
melalui reward – reward yang diberikan oleh guru saat siswa mendapat nilai
bagus dalam ulangan.
g. Malas belajar
Cara guru yang seling dilakukan guru dalam mengatasi problematika ini
yang pertama adalah memberi contoh belajar yang baik pada anak, memberi
reward kepada anak yang rajin belajar, sering memberi pertanyaan kepada siswa
yang diajarkan di sekolah, dan yang terakhir komunikasi guru dengan orang tua
mengenai belajar anak di rumah maupun disekolah.
21

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Permasalahan pokok pendidikan di Indonesia terbagi menjadi empat
bagian yaitu yang berkaitan dengan pemerataan pendidikan, mutu pendidikan,
efisiensi pendidikan, dan relevansi pendidikan. Keempat masalah pokok tersebut
merupakan kesepakatan nasional yang perlu di prioritaskan penanggulangannya
(Elfachmi, 2016:73). Berkaiatan dengan peserta didik, problematika dapat dilihat
dari kacamata umum dan khusus. Problematika umum peserta didik yang ada di
Indonesia yaitu berkaitan dengan masih adanya peserta didik yang putus sekolah
dan rendahnya mutu peserta didik dilihat dari hasil PISA, TIMSS, dan PIRLS.
Sementara itu, problematika khusus pada peserta didik adalah problematika yang
terjadi dari dalam diri peserta didik itu sendiri. Problematika khusus dalam peserta
didik ini adalah permasalahan – permasalahan yang dilakukan oleh siswa itu
sendiri. Berkaitan dengan kegiatan pembelajaran maka masalah-masalah yang ada
cenderung mengarah kepada masalah belajar dan pembelajaran.
Beberapa solusi yang dapat menjadi alternatif dalam penanganan peserta
didik yang putus sekolah yaitu penguatan sekolah gratis yang telah berkembang,
kegiatan bimbingan dan konseling, penguatan lingkungan pendidikan (tri pusat
pendidikan). Alternatif lain yang dapat dilakukan yaitu dengan pemanfaatan dan
penggunaan fasilitas pendidikan, penggunaan berbagai model pembelajaran yang
alternatif dan menarik minat siswa, dan penguatan sistem zonasi yang sudah ada.
Sementara itu, beberapa rekomendasi yang perlu diajukan dalam hubungannya
dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, berdasar hasil studi yang
dilakukan oleh Tjalla (2010) adalah sebagai berikut memperlihatkan perlunya
dilakukan pembenahan secara sistemik dalam hubungannya dengan permasalahan
pendidikan, perlunya pemberian kesempatan yang luas kepada para guru untuk
dapat mengembangkan kompetensinya, pada pengembangan kurikulum, perlu
dilakukan penyeimbangan dalam hubungannya dengan aspek konten, kognitif,
motorik, dan sikap serta aspek konteks, standard dan praktek penilaian hasil

21
22

belajar siswa secara nasional yang dilakukan dengan memperhatikan berbagai


kompetensi siswa, perlunya diupayakan pengadaan buku teks dan fasilitas kelas.
Solusi dalam problematika khusus dari peserta didik yaitu penanganan
masalah belajar dan degradasi moral, yaitu berawal dari pembentukan karakter
peserta didik dan harus ada peran serta orang tua dalam pembentukan karakter
anak, berikutnya adalah perlunnya lingkungan yang baik bagi anak agar tidak
mempengaruhi sifat atau sikap dari seorang anak, dan yang terakhir adalah
pembentukan karakter yang dilakukan guru kepada siswa.

B. Saran
Permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran
berkaiatan dengan peserta didik sangatlah banyak dan kompleks. Makalah ini
menyajikan tentang gambaran masalah umum dan khusus. Masalah umum
berkaitan dengan posisi sentral peserta didik dalam sistem pendidikan, sedangkan
masalah khusus berkaitan dengan hasil observasi di sekolah. Dengan adanya
masalah ini diharapkan dapat dijadikan landas tumpu jika ada masalah serupa.
Sedangkan bagi penulis lain, diharapkan dapat memberikan perspektif lain dalam
penanganan masalah tersebut.
23

DAFTAR RUJUKAN

Alhadza, A. 1998. Masalah Menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan. (online),


(http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/38/MASALAH_MENYONTEK_DI_
D UNIA_%20PENDIDIKAN.htm.), diakses tanggal 9 Maret 2019,

Bagoe, Rizal. 2013. Faktor – Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah di Desa Suka
Damai Kecamatan Bulango Utara Kabupaten Bone Bolango. (online),
(http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIS/articel/viewFile /3054/3030.pdf.),
diakses tanggal 9 Maret 2019.

Burhannudin, 2008. Penetaan Anak Tidak dan putus Sekolah di Kota Mataram
dan Kabupaten Sumbawa Besar Usia 5-12 Tahun. (online),
(http://www.puslitjaknov.org/data/file /2008/makalah_peserta/30_Burhan
udin_Pemetaan.pdf/), diakses tanggal 1 Maret 2019.

Corsini, Raymond J. 2003. Concise Encyclopedia of Psychology. New York:


Wiley Interscience Publication

Depdiknas. 2005. Rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-


2009. Jakarta: Pusat Informasi dan Humas Depdiknas.

Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Driscoll, Marcy P. 2005. Psychology of Learning for Instruction Third Edition.


Arlington Street, Boston: Pearson Education, Inc.

Elfachmi, Amin Kuneifi. 2016. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Erlangga

Ginsburg, H. dan Opper, S. 1988. Piaget’s Theory of Intellectual Development.


Third Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Gunawan, Ary H. 2010. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang


Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rinekea Cipta

Hasibuan, J.J. dan Moedjiono. 2012. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Kemdikbud. 2018. Data Jumlah Siswa Mengulang Menurut Tingkat Tiap


Propinsi. Online, (http://statistik.data.kemdikbud.go.id/), diakses tanggal 9
Maret 2019.

Kemdikbud. 2018. Data Jumlah Siswa Putus Sekolah Menurut Tingkat Tiap
Propinsi. Online, (http://statistik.data.kemdikbud.go.id/index.php/page/sd),
diakses tanggal 9 Maret 2019.

23
24

Maliki. 2016. Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar Suatu Pendekatan


Imajinatif. Jakarta: Kencana.

Martin, Michael O., Mullis, Ina V., dan Chrostowski, Steven J. 2008. TIMSS
2007:International Science Report. Chestnut Hill, MA: Boston College.

Martin, Xavier Sala., dkk. 2008. The Competitiveness Index: Measuring the
Productive Potential of Nations. Dalam The Global Competitiveness
Report 2008-2009. Dari
http://www.weforum.org/pdf/gcr/2008/rankings.pdf. Tanggal 9 Oktober
2008.

Muthohar, Sofa. 2016. Antisipasi degradasi moral di era global. Nadwa, 7 (2):
321-334.

OECD. 2004. Learning for Tomorrow’s World: First Results from PISA 2003.
Paris, France: OECD.

OECD. 2005. PISA 2003 Data Analysis Manual. Paris, France: OECD.

OECD. 2006. PIRLS. Paris, France: OECD.

OECD. 2007. PISA 2006 Science Competencies for Tomorrow’s World. Volume
1. Paris, France: OECD.

OECD. 2007. PISA 2006. Volume 2. Paris, France: OECD.

Ormrod, Jeanne Ellis. 2011. Educational Psychology: Developing Learners


Seventh Edition. Boston, MA: Pearson Education, Inc.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung.

Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Tjalla, Awaluddin 2010. Potret Mutu Pendidikan Indonesia Ditinjau dari Hasil-
Hasil Studi Internasional. Makalah diseminarkan dalam Temu Ilmiah
Nasional Guru II: Membangun Profesionalitas Insan Pendidikan Yang
Berkarakter dan Berbasis Budaya, 24–25 November 2010, Tangerang
Selatan.

Tunggal, Hadi Setia. 2006. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Beserta


Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: HARVARINDO.

Willis, Sofyan S. 2005. Remaja dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.


25

Woolfolk, Anita. 2007. Educational Psychology Tenth Edition. Boston, MA:


Pearson Education, Inc.

Anda mungkin juga menyukai