Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi
secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya
(Dorlan, 2011 dalam Ramayanti, 2013). Kegawatdaruratan dapat
didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang
terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan
segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000
dalam Ramayanti, 2013). Kegawat-daruratan dalam obstetric adalah
suatu keadaan atau penyakit yang menimpa seorang wanita hamil/dalam
persalinan atau akibat komplikasi dari kehamilan/persalinan yang
mengancam jiwa ibu tersebut dan atau bayi dalam kandungannya
apabila tidak secepatnya mendapat tindakan yang tepat (Krisanty, 2011)
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat
penting agar pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan.
Mengingat manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan obstetri yang
berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut
tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan,
kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga
penolong. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus
dapat berakibat fatal. Dalam prakteknya, pada saat menerima setiap
kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat atau setidak-tidaknya
dianggap berpotensi gawatdarurat, sampai ternyata setelah pemeriksaan
selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawatdarurat (Ramayanti, 2013).
Dalam menanagani kasus kegawatdaruratan, penentuan
permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus
dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun
suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah.

1
Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan
dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien
dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan
(Ramayanti, 2013)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Atonia Uteri ?
2. Bagaimana konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Retensio Plasenta ?
3. Bagaimana konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Septik Shock ?
4. Bagaimana konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Infeksi Nifas ?
C. Tujuan
1. Mengetahui konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Atonia Uteri
2. Mengetahui konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Retensio Plasenta
3. Mengetahui konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
pada kasus Septik Shock
4. Mengetahui konsep keperawatan pada kegawatdaruratan maternal
padasus Infeksi Nifas

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ATONIA UTERI
1. Pengertian Atonia Uteri
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah
lahir). (Depkes Jakarta : 2002)
Atonia uteri adalah kegagalan serabut – serabut otot miometrium
uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab
perdarahan post partum yang paling penting dan bisa terjadi segera
setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjdainya
syok hipovolemik.
Diagnosis atonia uteri yaitu bila setelah bayi dan placenta lahir
ternyata pendarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada
palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan
kontraksi yang lebih lembek.
2. Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri
Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :
a. Umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)
b. Regangan Rahim berlebihan karena kehamilan gemeli,
polihidramnion , dan anak terlalu besar .
c. Kelelahan karena persalinan lama.
d. Kehamilan grande multi para (multiparitas > 5 anak).
e. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis,atau menderita
pemyakit menahun.
f. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi Rahim.
g. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
h. Persalinan yang terlalu cepat hingga rahim kelelahan dan tidak
dapat berkontraksi

3
i. Plasenta previa dan solusio plasenta.
j. Preeklampsi dan eklamsi
3. Manifestasi Klinis
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
4. Tanda dan gejala atonia uteri
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes.
Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar
disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu
lagi sebagai anti pembeku darah
b. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan
yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang
lainnya
c. Fundus uteri naik
d. Terdapat tanda-tanda syok
1) Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
2) Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
3) Pucat
4) Keringat/ kulit terasa dingin dan lembap
5) Pernafasan cepat frekuensi 30 kali/ menit atau lebih
6) Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
7) Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
5. Komplikasi
Kompilasi kehilangan darah yang banyak adalah syok hipovolemik
disetrai dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat.

4
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan
kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka
pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah
keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus
dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
7. Penatalaksanaan
a. Lakukan masase fundus uterii segera setelah lahirnya plasenta
(maksimal 15 detik).
Rasional : Masase merangsang kontraksi uterus. Saat dimasase
dapat dilakukan penilaian kontraksi uterus
b. Bersihkan bekuan darah dan atau selaput ketuban dari vagina,
pastikan tidak ada perlukaan jalan lahir yang berat.
Rasional : Bekuan darah dan selaput ketuban dalam vagina dan
saluran serviks akan dapat menghalang kontraksi uterus secara
baik.
c. Memastikan kandung kemih kosong. Jika penuh dan dapat di
palpasi, lakukan kateterisasi menggunakan teknik aseptic.
Kandung kemih yang penuh dapat menghalangi uterus
berkontraksi dengan baik.
Rasional : Kandung kemih yang penuh akan dapat menghalangi
uterus berkontraksi secara baik.

5
d. Lakukan kompresi bimanual interna selama satu sampai 2 menit.
Kompresi ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah
dinding uterus dan juga merangsang meometrium. Untuk
berkontraksi.
Rasional : Kompresi bimanual internal memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah dinding uterusdan juga
merangsang miometrium untuk berkontraksi.
e. Jika KBI tidak berhasil anjurkan keluarga untuk mulai membantu
melakukan Kompresi Bimanual Eksternal (KBE).
Rasional : Keluarga dapat meneruskan kompresi bimanual
eksternal selama penolong melakukan langkah-langkah
selanjutnya
f. Saat keluarga melakukan KBE, penolong segera memberikan
suntikan ergometrin 0,2 mg IM (pastikan pasien tidak memiliki
hipertensi) atau misoprostol 600 – 100 mc/rectal.
Rasional : Ergometrin dan misopostrol akan bekerja dalam 5-7
menit dan menyebabkan kontraksi uterus
g. Pasang infus menggunakan jarum 16 atau 18 dan berikan RL
500cc + 20 IU Oksitosin, Habiskan 500 cc pertama secepat
mungkin
Rasional : Jarum besar memungkinkan pemberian larutan IV
secara cepat atau tranfusi darah. RL akan membantu memulihkan
volume cairan yang hilang selama perdarahan.oksitosin IV akan
cepat merangsang kontraksi uterus.
h. Ulangi KBI, jika tidak berhasil. Segera rujuk ibu.
Rasional : KBI yang dilakukan bersama dengan ergometrin dan
oksitosin atau misopostrol akan membuat uterus berkontraksi

6
i. Selama dalam rujukan lanjutkan pemberian infus + 20 IU
oksitosin minimal 500cc /jam hingga mencapai tempat rujukan.
Rasional : RL dapat membantu memulihkan volume cairan yang
hilang akibat perdarahan. Oksitosin dapat merangsang uterus
untuk berkontraksi.
j. Lakukan KBE selama dalam rujukan.
Rasional : Kompresi uterus ini memberikan tekanan langung pada
pembuluh darah dinding uterus dan merangsang uterus
berkontraksi

B. RETENSIO PLASENTA
1. Pengertian Retensio Plasenta
Retensio plasenta (plasental retention) adalah plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta
(rest plasenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga
rahim yang dapat menimbulkan perdarahan post partum dini (early
postpartum hemorrhage) atau perdarahan postpartum lambat (late
postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalm 6-10 hari pasca
persalinan.
Istilah retensio plasenta dipergunakan jika plasenta belum lahir ½
jam sesudah anak lahir. (Sastrawinata, 2004)
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi
waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang
banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga
memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio
plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada
kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta
inkreta, plasenta perkreta. (Manuaba, 2007).

7
2. Etiologi
Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga
bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan
uterus.Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta
previa,bekas sekrio sesaria, pernah kuret yang berulang dan
multiparitas.Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam
uterus disebut rest plasenta dan dapat menimbulkan perdarahan
postpartum primer atau yang lebih sering sekunder.
3. Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi.
Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada
akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi,
melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi
yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan
kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan
mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan
plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta
yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.
Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua
spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi
di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara
serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-
serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini
mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan
pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif
baru tentang mekanisme kala tiga persalinan.

8
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
a. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas
tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat
masih tipis.
b. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
c. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom
yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya
plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif
dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta,
yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta.
Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
d. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat
plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan
sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini
menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan
menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas
dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda
lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin
padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang
telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar
lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya
maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan
plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina.
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya
tekanan interabdominal.

9
Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering
tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya,
dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan
kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan
dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada
tali pusat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta adalah:

a. kelainan dari uterus yaitu anomali dari uterus atau serviks


b. kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus
c. kontraksi yang kuat dari uterus
d. kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau
plasenta previa dan adanya plasenta akreta
e. kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari
uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik
yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks
kontraksi dan menahan plasenta
f. pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus
4. Komplikasi
Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya :
a. Perdarahan
Terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta yang terdapat
sedikit pelepasan hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian
yang melekat membuat luka tidak menutup.
b. Infeksi
Karena sebagai benda mati yang tertinggal didalam rahim
meingkatkan pertumbuhan bakteri dibantu dengan pot d’entre dari
tempat perlekatan plasenta.
c. Terjadi polip plasenta sebagai masa proliferative yang mengalami
infeksi sekunder dan nekrosis.

10
d. Terjadi degenerasi (keganasan) koriokarsinoma
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula
fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-dikariotik)
dan akhirnya menjadi karsinoma invasive, proses keganasan akan
berjalan terus.
Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan
yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini
merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang
berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan
kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan
keadaan pre kanker, yang bisa berubah menjadi kanker.
e. Syok haemoragik
Syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak yang
disebabkan oleh perdarahan antepartum
5. Penatalaksanaan
a. Sebelum memulai tindakan, lakukan nacrosis atau pembiusan
terlebih dahulu
b. Memasang infus NaCL 0,9%
c. Lakukan desinfektan pada tangann dan vulva termasuk pada
daerah disekitarnya
d. Labia dibuka dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan di
masukkan secara obstetric ke dalam vagina
e. Tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis
(robekan melintang pada bagian atas vagina)
f. Tangan kanan dengan posisi obstetric menuju ostium uteri dan
terus kelokasi plasenta,menyusuri tali pusat agar tidak salah jalan
g. Agar tali pusat mudah diraba,mintalah bantuan asisten untuk
meregangkan
h. Sebelah tangan menyentuh plasenta,pindahkan kepinggir lalu cari
bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang
pelepasan yang tepat

11
i. Dengan menggunakan tangan kanan bagian bawah kelingking
(ulner),plasenta dilepaskan dari bagian yang sudah terlepas dari
dinding rahim dengan gerakan yang sejajar f\dengan dinding
rahim.
j. Setelah seluruh plasenta terlepas,tarik plasenta keluar secara
perlahan-lahan
k. Pastikan plasenta keluar lengkap dan tidak ada yang tersisa(jika
pasenta tidak bisa dikeluarkan secara manual segera rujuk
kerumah sakit)
l. Anastesi dihentikan secepat mungkin untuk meminimalkan atonia
uteri dan perdarahan yang menyertainya. Oksitosin intravena (20
unit/ 1000 ml dextrosa 5% dalam latutan RL) diberikan dengan
cepat untuk memudahkan kontraksi uterus
m. Segera lakukan Kompresi Bimanual Uterus dan berikan suntikkan
Ergometrin 0,2 mg secara IM atau IV sampai kontraksi uterus
membaik
n. Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan
sesuai dengan prosedur tindakan pada atonia uteri

12
C. SEPTIK SHOCK
1. Pengertian Septik Shock
Syok septik adalah keadaan kolapsnya sirkulasi yang disertai
dengan diseminasi intravaskuler bakteri atau produknya. Walaupun
bakteriemia pada patogen gram-positif dan gran-negatif dapat
meninbulkan kolaps sirkulasi, organisme gram-negatif bertanggung
jawab atas sebagian besar kasus. Bakteri-bakteri ini (escherichia coli,
klebsiella, enterobacter, pseodononas, proteus, bacteroidus) terdiri atas
suatu kompleks hipopolisakarida (endotoksin) pada dinding sel mereka.
Bila bakteri mati, endotoksin akan dilepaskan ke aliran darah,
mengacaukan kontrol sirkulasi.
Sewaktu permulaan fase pirogenik kegalalan sirkulasi akut yang
menonjol adalah vasodilatasi arteri, dengan peningkatan tekanan nadi
dan curah jantung. Endotoksin menyebabkan spasme arteriol dan vena
yeng hebat, menyebabkan pengumpulan darah pada dasar kavasitas
vena. (Defek primer seluler mungkin bertanggung jawab akan
pengurangan ambilan oksigen).
Pada perfusi jaringan yang terganggu, terjadi anoksia stagman dan
metabolisme anaerob menyebabkan laktat darah meningkat. Asidosis
lokal meningkatkan relaksasi spfingter anaerob sedangkan venula tetap
konstriksi. Kumpulan datah pada dasar kapiler dan peningkatan
tekanan hidrostatik menyebabkan bocornya plasma kedalam ruang
intestinal. Hal ini sebaliknya akan menyebabkan penurunan yang hebat
pada volume darah sirkulasi efektif, curah jantung yang lebih rendah
dan hipotensi sirkulasi arteri sistemik. Bila perfusi organ organ vital
ridak efektif akan terjadi asidosis metabolik dan kerusakan parenkim
yang berat. Syok septik juga mempunyai komponen kardiogenik atau
hipovolemik atau keduanya.

13
2. Manifestasi Klinis
Menggigil kedinginan diikuti dengan demam meruapakan gejala
yang paling khas dari bakteriemia gram-negatif. Kebingunan dan
diaorientasi dapat mengurangi aliran darah ke serebral. Sinkope dan
koma berkaitan dengan kolaps sirkulasi lanjut.
3. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik
Hipotensi dan takikardia biasa ditemukan. Suhu cenderung
bervariasi, mula mula biasanya meninngkat dan kemudian menajdi
subfebril, karena adetoksin sering menyebabkan hipotermia.
Kulit mula-mula hangat dan kering: tampak sianosis perifer,
selanjutnya kulit menjadi dingin, pucat dan berminyak. Takipnea
atau hiperventilasi dapat disebabkan oleh asidosis. Pemeriksaan
abdomen dan pelvis dapat membentu memperjelas proses
penyakut yang mendasarinya.
b. Tes labolatorium
Hitung darah lengkap dengan apusan darah : hitung
leukosut biasanya meningkat (15.000-30.000), dengan
peningkatan jumlah bentuk batang imatur. Kadar hematokrit dapat
menunjukkan anemia atau hemokonsentrasi. Apusan darah dapat
mengungkapkan adanya hemolisis, dugaan sepsis klostridium.
Urunalis : pada kasus pielonefrisis, urin mengandung
sejumlah besar bakteri dan sel-sel pus. Keluaran urin cenderung
bervariasi, sering meningkat oada fase awal syok septik dan
kemudian menurun pada fase akhir.
Bakteriologi (Aerob dan Anaerob): Sediaan darah, urin, dan
rongga abses dikirim kelaboratorium bakteriologi untuk
pewarnaan Gram, biakan, dan pemeriisaan sensitivitas. Bila
dicurigai ada infeksi uterus, sediaan serviks dievaluasi akan
adanya Neisseria ganorrhoeae dan Clostridium

14
Gas darah arteri diukur untuk menilai keadekuatan perfusi
jaringan dan luasnya keterlibatan paru. Defisit basa 5 atau lebih
merupakan petunjuk asidosis metabolik; pO2 kurang dari 70 mm
Hg merupakan petunjuk anoksemia
Pemantauan keluaran urin dan urlnalisis membantu
menentukan luasnya perfusi ginjal. Bila osmolalitas urin lebih
besar dari 400 mOsm dan rasio osmoialitas urin dengan plasma
lebih besar dari 1,5 fungsi ginjal normal, dan oliguria biasanya
disebabkan oleh deplesi volume. Osmolalitas urin kurang dari 400
mOsm dan rasio urin-plasma kurang dari 1,5 menunjukkan gagal
ginjal.
Penentuan elektrolit darah (natrium, kalium, klorida dan
karbon diokaida) ian kimia darah (urea nitrogen darah. kreatinin,
glukosa, lakiat) membantu dalam evaluasi terapi penggantian
cairan dan fungsi ginjal. Bila kadar kreatinin meningkat, dosis
antibiotik harus disesuaikan.
Penentuan tekanan vena sentralis atau diastolik arteri
pulmonalis atau tekanan desakan pulmonal merupakan petunjuk
yang sangat membantu untuk terapi penggantian cairan.
Pemeriksaan koagulasi dapat memberikan kejelasan
kelainan koagulasi, pentingnya terapi penggantian cairan yang
tepat

Fase awal Fase lanjut

Suhu 101-105o Subfebril

Nadi Cepat Cepat

Tekanan darah Menurun Menurun

Status mental Waspada, khawatir Kelam pikiran

Kulit Merah, hangat Pucat, dingin, lembab

15
Keluaran urin Normal atau meningkat Menurun

Laktat darah Meningkat Meningkat

Ph darah Menurun Menurun

curah jantung Normal atau meningkat Menurun

Frekuensi pernafasan Meningkat Meningkat

4. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip Umum :
a. Infeksi harus dihilangkan dengan terapi antibiotik, dibantu
pembedahan bila ada indikasi
b. Homeostasis kardiovaskular dan respirasi harus dipertahankan.
1) Kekurangan volume intravaskuiar harus dikoreksi
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid.Volume
cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih.Secara klinis respon terhadap
pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan
darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda
kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl)
disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma,
koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC)
perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar
Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial
dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis
dipertahankan pada 8-10 g/dl

16
2) Oksigenasi harus adekuat
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai
akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena
gangguan ventilasi maupun perfusi.Transpor oksigen ke
jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik
dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah
jantung.Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun.Transpor
oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi
akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia.Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan
upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan
transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di
jaringan.
3) Perkusi jaringan harus direstorasi.
c. Tindakan-tindakan Khusus. Bantuan Pernapasan: Oksigen dan
jalan napas yang adekuat penting. Pengukuran gas darah yang
diulang menilai keperluan oksigen diperlunya intubasi endotrakea
dan ventilasi mekanik.
d. Bantuan Sirkulasi: Bila ada sepsis, banyak volume cairan terpisah
pada tempat peradangan. Selain itu, kekurangan cairan penting
lainnya berasal dari demam, vomitus, diare, dan perdarahan.
Cairan intravena, biasanya larutan Ringer laktat atau larutan garam
fisiologis. penting untuk menambah volume plasma. Pengukuran
tekanan vena sentralis atau tekanan desakan arteri pulmonalia
ditambah dengan keluaran urin merupakan suatu petunjuk untuk
penggantian cairan. Transfusi dengan sel darah merah padat
(packed red cell) atau whole blood dapat diindikasikan bila
hematokrit kurang dari 30.

17
e. Asidosis terjadi akibat kegagalan perfusi jaringan, akibat
terkumpulnya metabolit-metabolit asam. Keadaan ini dapat diobati
dengan penambahan volume intravaskuler, perbaikan perfusi
jaringan, daripada dengan pemberian natrium bikarbonat.
f. Antibiotik Intravena : Sebelum mengetahui organisme spesifik,
pilihan antibiotik dilakukan berdasarkan pada tempat dari infeksi,
apakah didapat dari rumah sakit terapi antibiotik sebelumnya,
penyakit pejamu yang mendasarinya, biakan dan tes sensitivitas
sebelumnya, dan antibiogram masing-masing rumah sakit.
1) Gentamisin (60-80 mg setiap delapam jam) sering dipilih,
karena efektif terhadap kebanyaka organisme gram-negatif.
Dosisnya harus disesuaikan bila ada tanda-tanda gagal ginjal.
2) Penisilin (3-5 juta unit setiap empat jam) atau ampisilin (2 g
setiap jam) dapat diberikan untuk menangani orgaisme gram-
positif.
3) Klindamisin (600 mg setiap delapan jam) sering dianjurkan
bila dicurigai ada infeksi Bacteroides.
4) Kortikosteroid dapat mencegah cedera seluler nonspesifik
dengan menstabilkan membran lisosom. Selain itu, obat-obat
ini telah memperbaiki perfusi jaringan, meningkatkan curah
jantung, dan menurunkan tekanan arteri perifer.

18
D. INFEKSI NIFAS
1. Pengertian Infeksi Post partum
Infeksi Post partum merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu
pasca bersalin. (Saifuddin, 2006). Infeksi post partum atau puerperalis
adalah semua peradangan yang disebabkan oleh masuknya kuman-
kuman ke dalam alat-alat genitalia pada waktu persalinan dan
perawatan masa post partum. Infeksi puerperalis adalah keadaan yang
mencakup semua peradangan alat-alat genitalia dalam masa post
partum (Prawirohardjo, 2007).
Jadi yang dimaksud dengan infeksi puerperalis adalah infeksi
bakteri pada traktus genitalia yang terjadi setelah melahirkan, ditandai
dengan kenaikan suhu 38oC. Infeksi post partum/puerperalis ialah
infeksi klinis pada saluran genital yang terjadi dalam 28 hari setelah
persalinan (Bobak, 2004).
2. Etiologi
Penyebab infeksi puerperalis ini melibatkan mikroorganisme
anaerob dan aerob patogen yang merupakan flora normal serviks dan jalan
lahir atau mungkin juga dari luar. Penyebab yang terbanyak dan lebih dari
50% adalah Streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak patogen sebagai
penghuni normal jalan lahir. Kuman-kuman yang sering menyebabkan
infeksi puerperalis antara lain :
a. Streptococcus haematilicus aerobic
Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang
ditularkan dari penderita lain, alat-alat yang tidak steril, tangan
penolong dan sebagainya.
b. Staphylococcus aurelis
Masuk secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan
sebagai penyebab infeksi di rumah sakit.
c. Escherichia coli
Sering berasal dari kandung kemih dan rectum menyebabkan infeksi
terbatas.

19
d. Clostridium welchii Kuman anaerobik yang sangat berbahaya,
sering ditemukan pada abortus kriminalis dan partus yang ditolong
dukun dari luar rumah sakit.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada infeksi post partum antara lain
demam, nyeri di daerah infeksi, terdapat tanda kemerahan pada daerah
yang terinfeksi, fungsi organ terganggu. Gambaran klinis infeksi post
partum adalah sebagai berikut:
a. Infeksi local
Warna kulit berubah, timbul nanah, bengkak pada luka, lokea
bercampur nanah, mobilitas terbatas, suhu tubuh meningkat.
b. Infeksi umum
Sakit dan lemah, suhu badan meningkat, tekanan darah menurun,
nadi meningkat, pernafasan meningkat dan sesak, penurunan
kesadaran hingga koma, gangguan involusi uteri, lokea berbau,
bernanah dan kotor.
4. Patofisiologi
Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah
luka dengan diameter kira-kira 4 cm. Permukaannya tidak rata,
terdapat benjolan-benjolan karena banyak vena yang ditutupi trombus.
Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman-
kuman dan masuknya jenis-jenis yang patogen dalam tubuh wanita.
Serviks sering mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga
vulva, vagina dan perineum yang semuanya merupakan tempat
masuknya kuman-kuman patogen. Proses radang dapat terbatas pada
luka-luka tersebut atau menyebar di luar luka asalnya. Adapun infeksi
dapat terjadi sebagai berikut :
a. Tangan pemeriksa atau penolong yang tertutup sarung tangan pada
pemeriksaan dalam atau operasi membawa bakteri yang sudah ada
dalam vagina ke dalam uterus.

20
Kemungkinan lain ialah bahwa sarung tangan atau alat-alat yang
dimasukkan ke dalam jalan lahir tidak sepenuhnya bebas dari
kuman-kuman.
b. Droplet infeksi. Sarung tangan atau alat-alat terkena kontaminasi
bakteri yang berasal dari hidung atau tenggorokan dokter atau
petugas kesehatan lainnya yang berada di ruang tersebut. Oleh
karena itu, hidung dan mulut petugas yang bekerja di kamar bersalin
harus ditutup dengan masker dan penderita infeksi saluran
pernapasan dilarang memasuki kamar bersalin.
c. Dalam rumah sakit terlalu banyak kuman-kuman patogen, berasal
dari penderita-penderita dengan berbagai jenis infeksi. Kuman-
kuman ini bisa dibawa oleh aliran udara kemana-mana, antara lain
ke handuk, kain-kain yang tidak steril, dan alat-alat yang digunakan
untuk merawat wanita dalam persalinan atau pada waktu post
partum.
d. Koitus pada akhir kehamilan tidak merupakan sebab infeksi penting,
apabila mengakibatkan pecahnya ketuban.
e. Infeksi intrapartum sudah dapat memperlihatkan gejala-gejala pada
waktu berlangsungnya persalinan. Infeksi intra partum biasanya
berlangsung pada waktu partus lama, apalagi jika ketuban sudah
lama pecah dan beberapa kali dilakukan pemeriksaan dalam.
Gejala-gejalanya antara lain, kenaikan suhu tubuh biasanya disertai
dengan leukositosis dan takikardi, denyut jantung janin dapat
meningkat pula. Air ketuban biasanya menjadi keruh dan berbau.
Pada infeksi intra partum kuman-kuman memasuki dinding uterus
pada waktu persalinan, dan dengan melewati amnion dapat
menimbulkan infeksi pula pada janin.

21
5. Jenis-Jenis Infeksi Post partum
a. Infeksi uterus
1) Endometritis
Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan
dalam dari rahim). Infeksi ini dapat terjadi sebagai kelanjutan
infeksi pada serviks atau infeksi tersendiri dan terdapat benda
asing dalam Rahim Endometritis adalah infeksi yang
berhubungan dengan kelahiran anak, jarang terjadi pada wanita
yang mendapatkan perawatan medis yang baik dan telah
mengalami persalinan melalui vagina yang tidak berkomplikasi.
Infeksi paska persalinan yang paling sering terjadi adalah
endometritis yaitu infeksi pada endometrium atau pelapis rahim
yang menjadi peka setelah lepasnya plasenta, lebih sering
terjadi pada proses kelahiran caesar, setelah proses persalinan
yang terlalu lama atau pecahnya membran yang terlalu dini.
Infeksi ini juga sering terjadi bila ada plasenta yang tertinggal
di dalam rahim, mungkin pula terjadi infeksi dari luka pada
leher rahim, vagina atau vulva (Anonym, 2008).
Tanda dan gejalanya akan berbeda bergantung dari asal
infeksi, yaitu sedikit demam, nyeri yang samar-samar pada
perut bagian bawah dan kadangkadang keluar nanah dari vagina
dengan berbau khas yang tidak enak, menunjukkan adanya
infeksi pada endometrium. Infeksi karena luka biasanya
terdapat nyeri tekan pada daerah luka, kadang berbau busuk,
pengeluaran kental, nyeri pada perut, susah buang air kecil.
Kadang-kadang tidak terdapat tanda yang jelas kecuali
peningkatan suhu tubuh.

22
Maka dari itu setiap perubahan suhu tubuh paska persalinan
harus segera dilakukan pemeriksaan (Anonym, 2008). Infeksi
endometrium dalam bentuk akut dengan gejala klinis yaitu
nyeri abdomen bagian bawah, mengeluarkan keputihan,
kadang-kadang terdapat perdarahan, dapat terjadi penyebaran
seperti meometritis (infeksi otot rahim), parametritis (infeksi
sekitar rahim), salpingitis (infeksi saluran tuba), ooforitis
(infeksi indung telur), dapat terjadi sepsis (infeksi menyebar),
pembentukan pernanahan sehingga terjadi abses pada tuba atau
indung telur (Anonym, 2008).
Terjadinya infeksi endometrium pada saat persalinan,
dimana bekas implantasi plasenta masih terbuka, terutama pada
persalinan terlantar dan persalinan dengan tindakan terjadinya
keguguran, saat pemasangan alat rahim yang kurang legeartis.
Kadang-kadang lokea tertahan oleh darah, sisa-sisa plasenta
dan selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokeametra dan
dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Uterus pada
endometritis akan terlihat membesar, serta nyeri pada perabaan
dan teraba lembek (Anonym, 2008).
Pada endometritis yang tidak meluas, penderita merasa
kurang sehat dan nyeri perut pada hari-hari pertama. Mulai hari
ke-3 suhu tubuh meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi
dalam beberapa hari suhu dan nadi menurun dan kurang lebih
dalam satu minggu keadaan sudah kembali normal. Lokea pada
endometritis biasanya bertambah dan kadang-kadang berbau.
Hal ini tidak boleh dianggap infeksinya berat. Malahan infeksi
berat kadang-kadang disertai oleh lokea yang sedikit dan tidak
berbau.

23
Untuk mengatasinya biasanya dilakukan pemberian
antibiotik dengan sesegera mungkin agar hasilnya efektif.
Dapat pula dilakukan biakkan untuk menentukan jenis bakteri,
sehingga dapat diberikan antibiotik yang tepat (Anonym, 2008).
2) Miometritis (infeksi otot rahim)
Miometritis adalah radang miometrium. Miometrium
adalah tunika muskularis uterus. Gejalanya berupa demam,
nyeri tekan pada uterus, perdarahan pada vagina dan nyeri perut
bagian bawah, lokea berbau.
3) Parametritis (infeksi daerah di sekitar rahim).
Parametritis atau disebut juga sellulitis pelvika adalah
radang yang terjadi pada parametrium yang disebabkan oleh
invasi kuman. Penjalaran kuman sampai ke parametrium terjadi
pada infeksi yang lebih berat. Infeksi menyebar ke parametrium
lewat pembuluh limfe atau melalui jaringan di antara kedua
lembar ligamentum latum. Parametrium dapat juga terjadi
melalui salfingo-ooforitis. Parametritis umumnya merupakan
komplikasi yang berbahaya dan merupakan sepertiga dari sebab
kematian karena kasus infeksi (Sarwono, 2007).
Penyebab parametritis yaitu kuman–kuman memasuki
endometrium (biasanya pada luka insersio plasenta) dalam
waktu singkat dan menyebar ke seluruh endometrium. Pada
infeksi setempat, radang terbatas pada endometrium. Jaringan
desidua bersama bekuan darah menjadi nekrosis dan
mengeluarkan getah berbau yang terdiri atas keping-keping
nekrotis dan cairan. Pada infeksi yang lebih berat batas
endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran
(Anonym, 2008).

24
b. Syok bacteremia
Infeksi kritis, terutama yang disebabkan oleh bakteri yang
melepaskan endotoksin, bias mempresipitasi syok bakteremia
(septik). Ibu hamil, terutama mereka yang menderita diabetes
mellitus atau ibu yang memakai obat imunosupresan, berada pada
tingkat resiko tinggi, demikian juga mereka yang menderita
endometritis selama periode post partum. Temuan laboratorium
menunjukkan bukti-bukti infeksi. Biakan darah menunjukkan
bakteremia, biasanya konsisten dengan hasil enterik gram negatif.
Pemeriksaan tambahan dapat menunjukkan
hemokonsentrasi, asidosis, dan koagulopati. Perubahan EKG
menunjukkan adanya perubahan yang mengindikasikan
insufisiensi miokard, bukti-bukti hipoksia jantung, paru-paru,
ginjal dan neurologis bias ditemukan.
Demam yang tinggi dan menggigil adalah bukti
patofisiologi sepsis yang serius. Ibu yang cemas dapat bersikap
apatis. Suhu tubuh sering kali sedikit menurun menjadi subnormal,
kulit teraba dingin dan lembab, warna kulit menjadi pucat dan
denyut nadi menjadi cepat, hipotensi berat dan sianosis peripheral
bisa terjadi, begitu juga oliguria. Penatalaksanaan terpusat pada
antimikrobial, demikian juga dukungan oksigen untuk
menghilangkan hipoksia jaringan dan dukungan sirkulasi untuk
mencegah kolaps vaskular.
Fungsi jantung, usaha pernafasan, dan fungsi ginjal
dipantau dengan ketat. Pengobatan yang cepat terhadap syok
bakteremia membuat prognosis menjadi baik. Morbiditas dan
mortalitas maternal diturunkan dengan mengendalikan distrees
pernafasan, hipotensi (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2004).

25
c. Peritonitis
Peritonitis post partum bisa terjadi karena meluasnya
endometritis, tetapi dapat juga ditemukan bersama-sama dengan
salpingo-ooforitis dan sellulitis pelviks. Kemungkinan bahwa
abses pada sellulitis pelviks mengeluarkan nanah ke rongga
peritoneum dan menyebabkan peritonitis.
Peritonitis yang bukan peritonitis umum, terbatas pada
daerah pelvis. Gejala-gejalanya antara lain penderita mengalami
demam, nyeri pada perut bagian bawah, tetapi keadaan umum
tetap baik, namun gejala-gejalanya tidak seberapa berat seperti
pada peritonitis umum.
Peritonitis umum disebabkan oleh kuman yang sangat
patogen dan merupakan penyakit berat. Tanda dan gejalanya
antara lain, suhu tubuh meningkat menjadi tinggi, nadi cepat dan
terlihat kecil, perut kembung dan nyeri. Muka penderita yang
mula-mula kemerah-merahan menjadi pucat, mata cekung, kulit di
daerah wajah teraba dingin. Mortalitas peritonitis umum tinggi.
d. Septikemia dan piemia
Infeksi nifas yang penyebarannya melalui pembuluh darah adalah
septikemia, piemia dan tromboflebitis. Infeksi ini merupakan
infeksi umum yang disebabkan oleh kuman patogen Streptococcus
Hemolitikus Golongan A. Infeksi ini sangat berbahaya dan
merupakan 50% dari semua kematian karena infeksi nifas Pada
septikemia kuman-kuman yang ada di uterus, langsung masuk ke
peredaran darah dan menyebabkan infeksi.
Adanya septikemia dapat dibuktikan dengan jalan
pembiakan kuman-kuman dari darah. Pada piemia terdapat dahulu
tromboflebitis pada vena-vena di uterus serta sinus-sinus pada
bekas tempat plasenta. Tromboflebitis ini menjalar ke vena uteri,
vena hipogastrika, dan vena ovary (tromboflebitis pelvika).

26
Dari tempat-tempat thrombus itu embolus kecil yang
mengandung kuman-kuman dilepaskan. Tiap kali dilepaskan,
embolus masuk ke peredaran darah umum dan dibawa oleh aliran
darah ketempat-tempat lain, antaranya ke paru-paru, ginjal, otak,
jantung, dan sebagainya mengakibatkan terjadinya abses-abses di
tempat-tempat tersebut.
Keadaan ini dinamakan piemia. Kedua-duanya merupakan
infeksi berat namun gejala-gejala septikemia lebih mendadak dari
piemia. Pada septikemia, dari permulaan penderita sudah sakit dan
lemah. Sampai tiga hari post partum suhu tubuh meningkat dengan
cepat, biasanya disertai rasa menggigil. Suhu tubuh berkisar antara
39 – 40°C, keadaan umum cepat memburuk, nadi menjadi cepat
(140 – 160X/menit atau lebih). Penderita meninggal dalam enam
sampai tujuh hari post partum. Jika ia hidup terus, gejala-gejala
menjadi seperti piemia.
Pada piemia, penderita post partum sudah merasa sakit,
nyeri perut, dan suhu agak meningkat. Akan tetapi gejala-gejala
infeksi umum dengan suhu tinggi serta menggigil terjadi setelah
kuman-kuman dengan embolus memasuki peredaran darah. Suatu
ciri khusus pada piemia ialah berulang-ulang suhu meningkat
dengan cepat disertai menggigil, kemudian diikuti oleh turunnya
suhu. Ini terjadi pada saat dilepaskannya embolus dari
tromboflebitis pelvika. Lambat laun timbul gejala abses pada paru-
paru, pneumonia dan pleuritis. Embolus dapat pula menyebabkan
abses-abses di beberapa tempat lain (Saifuddin, Abdul Bari, 2006).

27
6. Komplikasi
a. Peritonitis (peradangan selaput rongga perut)
b. Tromboflebitis pelvika (bekuan darah di dalam vena panggul),
dengan resiko terjadinya emboli pulmoner.
c. Syok toksik akibat tingginya kadar racun yang dihasilkan oleh
bakteri di dalam darah. Syok toksik bias menyebabkan kerusakan
ginjal yang berat dan bahkan menyebabkan kematian.
7. Pencegahan Infeksi Nifas
a. Masa Kehamilan
1) Mengurangi atau mencegah faktor-faktor predisposisi seperti
anemia, malnutrisi dan kelemahan serta mengobati penyakit-
penyakit yang diderita ibu.
2) Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau tidak ada indikasi
yang perlu.
3) Koitus pada hamil tua hendaknya dihindari atau dikurangi dan
dilakukan hati-hati karena dapat menyebabkan pecahnya
ketuban. Kalau ini terjadi infeksi akan mudah masuk dalam
jalan lahir.
b. Selama Persalinan
Usaha-usaha pencegahan terdiri atas membatasi sebanyak
mungkin masuknya kuman-kuman dalam jalan lahir :
1) Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama/menjaga
supaya persalinan tidak berlarut-larut.
2) Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin.
3) Perlukaan-perlukaan jalan lahir karena tindakan baik
pervaginam maupun perabdominam dibersihkan, dijahit sebaik-
baiknya dan menjaga sterilitas.
4) Mencegah terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah
yang hilang harus segera diganti dengan tranfusi darah.

28
5) Semua petugas dalam kamar bersalin harus menutup hidung
dan mulut dengan masker, yang menderita infeksi pernafasan
tidak diperbolehkan masuk ke kamar bersalin
6) Alat-alat dan kain-kain yang dipakai dalam persalinan harus
suci hama.
7) Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada
indikasi dengan sterilisasi yang baik, apalagi bila ketuban telah
pecah.
c. Selama Nifas
1) Luka-luka dirawat dengan baik jangan sampai kena infeksi,
begitu pula alat-alat dan pakaian serta kain yang berhubungan
dengan alat kandungan harus steril.
2) Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam
ruangan khusus, tidak bercampur dengan ibu sehat.
3) Pengunjung-pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari
pertama dibatasi sedapat mungkin.
8. Pengobatan Antibiotika Infeksi Post Partum
Infeksi post partum dapat diobati dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian Sulfonamide – Trisulfa merupakan kombinasi dari
Sulfadizin 185 gr, Sulfamerazin 130 gr, dan Sulfatiozol 185 gr.
Dosis 2 gr diikuti 1 gr 4-6 jam kemudian peroral.
b. Pemberian Penisilin – Penisilin-prokain 1,2 sampai 2,4 juta satuan
IM, penisilin G 500.000 satuan setiap 6 jam atau metsilin 1 gr
setiap 6 jam IM ditambah ampisilin kapsul 4x250 gr peroral.
c. Tetrasiklin, eritrimisin dan kloramfenikol
d. Hindari pemberian politerapi antibiotika berlebihan
e. Lakukan evaluasi penyakit dan pemeriksaan laboratorium.

29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Kegawatdaruratan
dalam bentuk obstetri dapat muncul dalam beberapa bentuk, diantaranya:
1. Atonia Uteri
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah
lahir). (Depkes Jakarta : 2002)
2. Retensio Plasenta
Retensio plasenta (plasental retention) adalah plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta
(rest plasenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga
rahim yang dapat menimbulkan perdarahan post partum dini
3. Septik Syok
Syok septik adalah keadaan kolapsnya sirkulasi yang disertai
dengan diseminasi intravaskuler bakteri atau produknya. Yang
disebabkan ileh bakteriemia pada patogen gram-positif dan gran-
negatif dapat meninbulkan kolaps sirkulasi
4. Infeksi Nifas
Infeksi post partum atau puerperalis adalah semua peradangan
yang disebabkan oleh masuknya kuman-kuman ke dalam alat-alat
genitalia pada waktu persalinan dan perawatan masa post partum

30
B. Saran
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat
perhatian yang begitu besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak
memberikan kontribusinya dalam merespon kasus kegawatdaruratan ini.
Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan
mempelajari dengan sungguh-sungguh kasus-kasus kegawatadaruratan dan
memaksimalkan keterampilan dalam melakukan penanganan
kegawatdaruratan yang berada dalam koridor wewenang keperawatan

31
DAFTAR PUSTAKA
Puspita Eka,2013,Asuhan Kegawatatdaruratan Maternal dan
Neonatal,Jakarta,CV.Trans Info Media.
DepKes RI (2007) Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta, DepKes RI
Supriyadi Teddy,1994.Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan
Ginekologi.Jakarta : Perpustakaan Nasional Katalog dalam Terbitan

32

Anda mungkin juga menyukai