PENDAHULUAN
Ulkus kornea dapat terjadi akibat adanya trauma pada oleh benda asing, dan
dengan air mata atau penyakit yang menyebabkan masuknya bakteri atau jamur ke
dalam kornea sehingga menimbulkan infeksi atau peradangan. Ulkus kornea
merupakan luka terbuka pada kornea. Keadaan ini menimbulkan nyeri, menurunkan
kejernihan penglihatan dan kemungkinan erosi kornea.2
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat
terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan
yang tepat dan cepat untuk mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi
berupa descematokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang
sembuh akan menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan penyebab kebutaan
nomor dua di Indonesia.2
Di Amerika, ulkus kornea merupakan penyebab tersering kebutaan dengan
insidensi 30.000 kasus pertahun. Sedangkan di California, insidensi terjadinya ulkus
kornea dilaporkan sebesar 27,6/100.000 orang pertahun, dengan perkiraan sebanyak
75.000 orang yang mengalami ulkus kornea setiap tahunnya. Faktor predisposisi
terjadinya ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian lensa kontak, riwayat operasi
kornea, penyakit permukaan okular, pengobatan topikal lama dan penyakit
imunosupresi sistemik.3
Di Indonesia, Insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5 persen dengan
prevalensi tertinggi di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan
Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua
Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi kekeruhan kornea pada laki‐laki
cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi
kekeruhan kornea yang paling tinggi (13,6%) ditemukan pada kelompok responden
yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi kekeruhan kornea
tertinggi (9,7%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Prevalensi kekeruhan kornea
yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan
dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat
pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.4
Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa perforasi, endoftalmitis,
cumhipopion, prolaps iris, sikatrik kornea, katarak dan glaukoma sekunder.1,5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam:
1. Lapisan epitel
Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal
didepannya melalui desmosom dan macula okluden, ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Jaringan Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan sususnan kolagen yang sejajar satu dengan
yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40 µm.
4
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 µm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula
okluden.4
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan diantara. Daya regenerasi
saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.4
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous,
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam, avaskularitasnya dan
deturgensinya.1
5
2.2. DEFINISI2,4
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea
bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai
stroma.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya. Insidensi ulkus
kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan
predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian
lensa kontak, dan kadang-kadang tidak di ketahui penyebabnya. Walaupun infeksi
jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 tetapi baru mulai periode 1950
keratomikosis diperhatikan. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka
kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal,
penggunaan obat imunosupresif dan lensa kontak. Singapura melaporkan selama 2.5
tahun dari 112 kasus ulkus kornea 22 beretiologi jamur. Mortalitas atau morbiditas
tergantung dari komplikasi dari ulkus kornea seperti parut kornea, kelainan refraksi,
neovaskularisasi dan kebutaan. Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih
banyak menderita ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian
yang dilakukan di India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan
karena banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko
terjadinya trauma termasuk trauma kornea.3
2.4. ETIOLOGI1,4,5,6
a. Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat
mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
Infeksi Jamur
6
Disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan spesies
mikosis fungoides.
Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil di lapisan epitel yang bila pecah
akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila
mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster,
variola, vacinia (jarang).
Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di dalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga
biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah
yang tercemar.
b. Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan
organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali
antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida
dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan merusak
epitel kornea.
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film
7
air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel
yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan
lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas
dengan flurosein.
Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari
makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh
tubuh.
Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya kortikosteroid, IDU
(Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
Pajanan (exposure)
Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis
2.5. PATOFISIOLOGI
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil. 5
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka
badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
8
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya
baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear
(PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin,
kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.6
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit
juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada
kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang
meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung
saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris.1
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat
sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar
kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial
maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi
jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk
jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.5
9
b. Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
c. Ulkus cincin (ring ulcer)
10
Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam.
Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan
gambaran karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel
yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan
sering terlihat ulkus yang menggaung dan di daerah ini terdapat banyak kuman.
Ulkus ini selalu di temukan hipopion yang tidak selamanya sebanding dengan
beratnya ulkus yang terlihat. Diagnosa lebih pasti bila ditemukan dakriosistitis.
11
Ulkus Kornea Herpes Zoster : Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan
perasaan lesu. Gejala ini timbul satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada
mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea
keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk
dendrit yang bentuknya berbeda dengan dendrit herpes simplex. Dendrit herpes zoster
berwarna abu-abu kotor dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi tetapi dengan
rasa sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya disertai dengan infeksi sekunder.
Ulkus Kornea Herpes simplex : Infeksi primer yang diberikan oleh virus herpes
simplex dapat terjadi tanpa gejala klinik. Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda
injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel
kornea disusul dengan bentuk dendrit atau bintang infiltrasi. Terdapat hipertesi pada
kornea secara lokal kemudian menyeluruh. Terdapat pembesaran kelenjar preaurikel.
Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulceratif, jelas diwarnai dengan fluoresin dengan
benjolan diujungnya.
Gambar 5.a Ulkus Kornea Dendritik Gambar 5.b Ulkus Kornea Herpetik
12
Gambar 6. Ulkus Kornea Acanthamoeba
b. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral.ulkus
mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui.Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori hipersensitivitas
13
tuberculosis, virus, alergi dan autoimun. Biasanya menyerang satu mata. Perasaan
sakit sekali. Sering menyerang seluruh permukaan kornea dan kadang meninggalkan
satu pulau yang sehat pada bagian yang sentral.
c. Ring Ulcer
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus.Di kornea terdapat ulkus yang
berbentuk melingkar dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam,
kadang-kadang timbul perforasi.Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang dapat
menjadi satu menyerupai ring ulcer. Tetapi pada ring ulcer yang sebetulnya tak ada
hubungan dengan konjungtivitis kataral. Perjalanan penyakitnya menahun.
14
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
Silau
Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
Gejala Objektif
Injeksi siliar
Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
Hipopion
15
Respon reflek pupil
Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram atau
Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic
acid Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar sabouraud atau agar ekstrak
maltosa.
16
Gambar 10 a.Pewarnaan gram ulkus kornea Gambar 10 b.Pewarnaan gram ulkus
korneaherpes simplex herpes zoster
Gambar 11.aPewarnaan gram ulkus kornea bakteri Gambar 11.bPewarnaan gram ulkus kornea
bakterI akantamoeba
17
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya;
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang;
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih;
d. Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat memperpanjang proses
penyembuhan luka.13
b. Penatalaksanaan Medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat
dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab.
adapun obat-obatan antimikrobial yang dapat diberikan berupa:
A. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang5 mg, Tobramisin 3
mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg, Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg,
Polimisin B 10.000 unit.
B. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial
yang tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi:
a. Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal, Natamicin, Imidazol
b. Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin 0,1% tetes mata
c. Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
C. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal untuk
mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas untuk infeksi sekunder,
analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral topikal berupa salep aciclovir 3% tiap 4
jam.
18
D. Anti acanthamoeba
Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat atau salep
klorheksidin glukonat 0,02%.
Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan yaitu:
a. Sulfas atropin sebagai salep atau larutan. Kebanyakan dipakai sulfas atropin karena
bekerja lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas atropin:
1. Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
2. Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
3. Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga
mata dalam keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi
midriasis sehingga sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan dapat mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru.12
b. Skopolamin sebagai midriatika.
c. Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau tetrakain
tetapi jangan sering-sering. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa pemberian
nerve growth factor (NGF) secara topikal menginisiasi aksi penyembuhan luka pada
ulkus kornea yang disebabkan oleh trauma kimia, fisik dan iatrogenik serta kelainan
autoimun tanpa efek samping.16
3. Penatalaksanaan bedah:
a. Flap Konjungtiva21
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan sejak
tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana terapi medis atau bedah mungkin
gagal, kerusakan epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap
konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk penyakit permukaan
mata persisten. Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas
19
permukaan kornea yang terganggu dan memberikan metabolisme serta dukungan
mekanik untuk penyembuhan kornea. Flap konjungtiva bertindak sebagai patch
biologis, memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh jaringan ikat vaskularnya.
Indikasi yang paling umum penggunaan flap konjungtiva adalah dalam
pengelolaan ulkus kornea persisten steril. Hal ini mungkin akibat dari denervasi
sensorik kornea (keratitis neurotropik yaitu, kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah ke
keratitis paparan, anestesi kornea setelah herpes zoster oftalmikus, atau ulserasi
metaherpetik berikut HSK kronis) atau kekurangan sel induk limbal. Penipisan
kornea dekat limbus dapat dikelola dengan flap konjungtiva selama kornea tidak
terlalu menipis.
b. Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak berhasil.
Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan, kekeruhan
kornea yang menyebabkan kemunduran tajam penglihatan, serta memenuhi beberapa
kriteria yaitu :
1. Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
2. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
3. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.
20
Ada dua jenis keratoplasti yaitu:
A. Keratoplasti penetrans, berarti penggantian kornea seutuhnya. Karena sel endotel
sangat cepat mati, mata hendaknya diambil segera setelah donor meninggal dan
segera dibekukan. Mata donor harus dimanfaatkan <48 jam. Tudung korneo sklera
yang disimpan dalam media nutrien boleh dipakai sampai 6 hari setelah donor
meninggal dan pengawetan dalam media biakan jaringan dapat tahan sampai 6
minggu.18
Telah dilakukan penelitian tentang pendonoran jaringan kornea manusia dari sisik
ikan (Biocornea). Penelitian dilakukan pada kelinci dan menunjukkan hasil bahwa
Biocornea sebagai pengganti yang baik memiliki biokompatibilitas tinggi dan
fungsi pendukungan setelah evaluasi jangka panjang.19
B. Keratoplasti lamelar, berarti penggantian sebagian dari kornea. Untuk keratoplasti
lamelar, kornea dapat dibekukan, didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es
selama beberapa minggu.18
Selama dekade terakhir, tatalaksana bedah untuk penyakit endotel telah
berkembang dengan cepat ke arah keratoplasti endotel, atau transplantasi jaringan
selektif. Keratoplasti endotel menawarkan keuntungan yang berbeda dalam hal
hasil visual dan sayatan lebih kecil.6,18
Sebuah penelitian terkini menyatakan bahwa pemberian terapi tambahan berupa
fototerapi laser argon sangat berguna dalam pengobatan ulkus kornea.20
Gambar 7. Ulkus kornea perforasi, jaringan iris keluar dan menonjol, infiltrat pada
kornea ditepi perforasi.
21
2.10. PENCEGAHAN 7
Pencegahan terhadap ulkus dapat dilakukan dengan segera berkonsultasi kepada
ahli mata setiap ada keluhan pada mata. Sering kali luka yang tampak kecil pada
kornea dapat mengawali timbulnya ulkus dan mempunyai efek yang sangat buruk
bagi mata.
- Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata
- Jika mata sering kering, atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup
sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah
- Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan merawat
lensa tersebut.
2.11. KOMPLIKASI 7
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
Prolaps iris
Sikatrik kornea
Katarak
Glaukoma sekunder
22
penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan
resistensi.
Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan dengan
pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode, migrasi
sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan pembentukan pembuluh
darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat sembuh dengan cepat
melalui metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah
agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk jaringan granulasi dan kemudian
sikatrik.
23
BAB III
LAPORAN KASUS
24
pengobatan tetapi penglihatan kiri pasien sudah kabur terlebih
dahulu. Pasien juga mengatakan tidak pernah sakit mata
seperti ini sebelumnya. Pasien mengatakan tidak
memiliki riwayat tekanan darah tinggi maupun diabetes
melitus.
D. Riwayat penyakit Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan
keluarga yang sama dengan pasien
E. Pekerjaan Pasien sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan.
Pasien jarang menggunakan pelindung mata saat sedang
bekerja.
II. PEMERIKSAAN
A. INPEKSI OD OS
1. Palbera Edema (-) Edema (-)
Apparatus
2. Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Lakrimalis
3. Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Hiperemis (+),
Hiperemis (-), anemis (-), anemis (-), Corpus
4. Konjungtiva Corpus alienum (-), Sekret (-) alienum (-), Sekret
Ikterik(-) (+)
Ikterik(-)
5. Bola Mata Normal Normal
Mekanisme
6.
Muscular
25
Warna cokelat, bentuk
9. Iris Sulit dievaluasi
normal
miosis (∅ 3 𝑚𝑚), bulat,
10. Pupil Sulit dievaluasi
RCL/RCTL (+)
11. Lensa Jernih Sulit dievaluasi
B. PALPASI OD OS
1. Tensi Okular : Normal Normal
2. Nyeri Tekan : Tidak ada ada
3. Massa Tumor : Tidak ada Tidak ada
Glandula Pre- Normal Normal
4. :
Aurikuler
C. TONOMETERI Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D. VISUS OD OS
VOD 6/6 0
Kor - sAX - - sAX -
Menjadi - -
Lihat dekat
Koreksi - Menjadi - - Menjadi -
E. CAMPUS VISUAL
26
Gambar 8. Foto Kasus
L. LABORATORIUM :
Hemoglobin : 13,2g/dl
Eritrosit : 4,72 x 106/mm3
Hematokrit : 40,8%
Platelet : 311 x 103/mm3
Leukosit ; 11,8 x 103/mm3
27
III. RESUME
Pasien laki-laki umur 37 tahun, dengan keluhan utama mata kiri tidak bisa melihat.
Gangguan mata dialami sejak tahun 2003. Awalnya mata kiri merah, bengkak, silau
jika melihat, muncul bercak putih dan penglihatan mulai kabur hingga sekarang
tidak dapat melihat lagi dengan mata kiri. Pasien juga pasien mengeluhkan nyeri
pada mata kiri (+) dan perih (+), nyeri merambat ke kepala bagian kiri dan ke bahu
kiri.
Pada pemeriksaan oculi sinistra, konjunctiva hiperemis, kornea keruh (+),
hipopion(+), pupil dan lensa sulit dievaluasi. VOD 6/6, VOS 0
Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.
V. TERAPI
- IVFD RL 12 tpm
- Inj Ceftriaxone 1 gr/12 j/iv
- Inj Ketorolac 30 mg/8 j/iv
- Inj. Ranitidin 50 mg/12j/iv
- Cendo levofloxacin 6x1 gtt OS
- Methyl prednisolon 3 x 4 mg
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki umur 37 tahun, dengan keluhan utama mata kiri tidak bisa
melihat. Keluhan pertama kali dialami pada tahun 2003. Awalnya mata kiri merah
bengkak, merasa silau jika melihat, muncul bercak putih pada mata pasien dan
penglihatan mulai kabur hingga sekarang tidak dapat melihat lagi. Pasien juga pasien
mengeluhkan nyeri pada mata kiri dan perih. Nyeri dirasakan merambat ke kepala
bagian kiri dan ke bahu kiri. Hal ini didukung dari hasil pemeriksaan status
oftalmologi, didapatkan visus mata kiri 0, serta dengan terlihat ulkus berbatas tegas.
Refleks pupil tidak dapat dievaluasi.
29
di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila
letaknya di daerah pupil. Pada pasien ini ulkus terletak di sentral sehingga
menyebabkan pasien tidak dapat melihat lagi.
Penatalaksanaan dari ulkus kornea pada pasien ini diberikan IVFD RL 12
tpm. Karena pada kasus ini jenis bakteri yang menjadi penyebab belum diketahui
sehingga antibiotik yang diberikan adalah ceftriaxon 1 gram/12jam/iv yang
merupakan golongan sefalosforin yang merupakan antibiotik spektrum luas yang
aktif pada bakteri gram positif dan negatif. Pemberian obat ini bertujuan untuk
mengatasi infeksi pada ulkus. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv diberikan untuk mengatasi
nyeri yang dirasakan pasien. Pasien ini juga diberikan Ranitidin 50 mg/12 jam/iv,
tetes mata Cendo levofloxacin 6x1 gtt OD dan Methyl prednisolon 3 x 4 mg.
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Pasien ini memiliki ulkus yang luas, sehingga
memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat
avaskular. Ulkus pasien terletak di sentral sehingga sangat menganggu kemampuan
pengelihatan pasien sehari-hari. Proses penyembuhan dipengaruhi oleh kepatuhan
pasien dalam berobat. Apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada
penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi
30
DAFTAR PUSTAKA
31
aeruginosa and Streptococcus pneumoniae corneal ulcers. Pone Journal. 2013
Jun;8(6):867.
11. Hartley, C. Aetiology of corneal ulcers assume FHV-1 unless proven otherwise. J
Feline Med Surg. 2010 Jan;12(1):24-35.
12. Kunwar M, Adhikari, R.K., Karki, D.B. Microbial flora of corneal ulcers and
their drug sensitivity. MSJBH.2013;12(2):14-16.
13. Jetton, J.A., Ding, K., Stone, DU. Effects of tobacco smoking on human corneal
wound healing. Cornea. 2014 May;33(5):453-6.
14. Matsumoto, Y., Dogru, M., Goto, E., Fujishima, H., Tsubota, K. Successful
topical application of a new antifungal agent, micafungin, in the treatment of
refractory fungal corneal ulcers: report of three casesand literature review.
Cornea. 2005 Aug;24(6):748-53.
15. Lalitha, P., Sun, C.Q., Prajna, N.V., Karpagam, R., Geetha, M., O’Brien, K.S., et
al. In vitro susceptibi-lity of filamentous fungal isolates from a corneal ulcer
clinical trial. Am J Ophtalmol. 2014 Feb;157(2):318- 26.
16. Aloe, L., Tirassa, P., Lambiase, A. The topical application of nerve growth factor
as a pharmacological tool for human corneal and skin ulcers. Pharmacol Res.
2008 Apr;57(4):253-8.
17. Droutsas, K., Ham, L., Dapena, I., Geerling, G., Oellerich, S., Melles, G. Visual
acuity following Descemet-membrane endothelial keratoplasty (DMEK): first
100 cases operated on for Fuchs endothelial dystrophy. Klin Monatsbl
Augenheilkd. 2010 Jun;227(6):467-77.
18. Yum, H.R., Kim, M.S., Kim, E.C. Retrocorneal membrane after Descemet
endothelial keratoplasty. Cornea. 2013 Sep;32(9):1288- 90.
19. Yuan, F., Wang, L., Lin, C., Chou, C., Li, L A cornea substitute derived from
fish scale: 6- month follow up on rabbit model. J Ophthalmol. 2014
Jun;91(10):40.
32
20. Khater, M.M., Selima, A.A., El-Shorbagy, M.S. Role of argon laser as an
adjunctive therapy for treatment of resistant infected corneal ulcers. Clin
Ophthalmol. 2014;23(8):1025-30.
21. Edward J. H. Ocular Surface Disease: Cornea, Conjunctiva and Tear Film 1st
Edition. Elsevier. USA. 2013.
33