Anda di halaman 1dari 13

Clinical Science Session

*Kepanitraan Klinik Senior/G1A217092


** Pembimbing

ROSASEA : EPIDEMIOLOGI, PATOGENESIS, DAN TATALAKSANA

Asa Shafira Ananda* dr. Dewi Lastia Sari, Sp. DV**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Clinical Science Session
ROSASEA : EPIDEMIOLOGI, PATOGENESIS, DAN TATALAKSANA

Oleh:
Asa Shafira Ananda, S.Ked (G1A217092)

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, Maret 2019


Pembimbing

dr. Dewi Lastia Sari, Sp. DV


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Rosasea : Epidemiologi, Patogenesis, dan Tatalaksana”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr. Dewi Lastia Sari, Sp. DV selaku pembimbing yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Jambi, Maret 2019

Penulis
ROSASEA : EPIDEMIOLOGI, PATOGENESIS, DAN TATALAKSANA

Barbara M. Rainer, Sewon Kang, and Anna L. Chien

ABSTRAK

Rosasea merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan prevalensi


tinggi pada individu dengan kulit putih di Eropa Utara. Dengan gejala klinis dan
tingkat keparahan yang variatif, terkadang muncul diantara periode eksaserbasi dan
remisi. Berdasarkan dari karakteristik morfologi, rosasea diklasifikasikan menjadi
empat subtype mayor, eritematotelengiektasis, papulopustular, phymatous, dan
ocular. Faktor lingkungan dan endogenic menjadi pemicu dari respon imun bawaan
dan disregulasi neurovascular, namun pathogenesis rosasea tersendiri masih belum
jelas. Pendekatan evidence based penting dalam menggambarkan perbedaan diantara
tatalaksana yang tersedia. Karena gejala klinis yang beragam dari rosasea, pendekatan
dalam tatalaksana harus berdasarkan individual based dari tingkat keparahan
penyakit, implikasi kualitas hidup, komorbiditas, factor pencetus, dan komitmen
pasien terhadap terapi.

PENDAHULUAN
Rosasea (L. rosaceus, rosy) adalah penyakit umum kronis kulit yang
menjangkit sekitar 10% dari total populasi. Gejala klinis beragam kombinasi dan
keparahan, terkadang muncul diantara episeode eksaserbasi dan remisi.
Berdasarkan karakteristik morfologis, rosasea diklasifikasikan menjadi empat
subtype mayor, eritematotelengiektasis, papulopustular, phymatous, dan ocular.
Rosasea eritematotelengiektasis dikarakteristikan dengan eritem fasial temporer,
bersamaan dengan eritem sentrifasial persisten, dan dengan gejala telengiektasis pada
pasien. Definisi klinis menjadi tantangan karena temuan klinis tumpang tindih pada
kerusakanaktinisma dalam individu dengan kulit putih (dermatoheliosis). Rosasea
papulopustular memiliki intensitas beragam dari eritem sentral facial, sejumlah
eritema papul dan pustule kecil. Rosasea phymatous (Gr. Phyma, growth) lebih sering
terjadi di hidung (rhinophyma) dengan temua klinis berupa manifestasi jaringan
hipertropi penebalan kulit dan hyperplasia glandula sebasea. Gejala dari rosasea
ocular terdiri dari keluhan non spesifik seperti kering, sensasi seperti pasir, gatal, dan
kering, timbulnya hordeolum. Rosasea ocular yang lebih aktif akan menimbulkan
blefaritis, terjadang dengan injeksi konjungtiva, telengiektasia margin kelopak mata,
pembentukan chalazion dan hordeolum.

Pada praktek sehari-hari, pasien terkadang memiliki lebih dari satu subtype
roasea dan dengan complain beragam dari peningkatan sensitivitas kulit dengan
gejala sensasi terbakar, tersengat, dan gatal. Manifestasi klinis yang beragam
akhirnya menjadikan patofisiologi rosasea sulit dipahami. Stimulus lingkungan yang
beragam dan factor endogen merangsang respon imun bawaan (innate) dan sinyal
neurovakular abnormal. Kelanjutan dari mediator yang bervariasi ini menyusum efek
vascular dan inflamasi yang mencirikan penyakit. Disini, kami menelaah pengetahuan
umum tentang epidemiologi, patofisiologi, dan tatalaksana dari rosasea dengan
menekankan dari literature terbaru.

Epidemiologi
Ras kaukasia dengan kulit sensitive matahari (kulit dengan fototipe I dan II)
memiliki resiko lebih tinggi terhadap rosasea. Tidak diketahui faktor seperti
kemerahan pada seluruh muka dengan banyak pigmen kulit, efek proteksi dari
melanin dengan radiasi ultraviolet (factor eksaserbasi untuk rosasea), atau perbedaan
genetic dalam kerentanan rosasea dengan diagnosis penyakit ini pada individu
berkulit gelap. Estimasi dari prevalensi rosasea dalam populasi berkulit putih sekitar
2%-22%. Penelitian prospektif terbaru dari Jerman melaporkan prevalensi rosasea
secara keseluruhan 12% dengan subtype eritematotelengiektasis (9%) dan
papulopustular (3%). Rasio prevalensi keterlibatan ocular pada pasien dengan rosasea
<10% - >50%. Rosasea cutaneous memiliki factor predominan perempuan, dengan
pengecualian rosasea phymatous, dan biasanya didiagnosis pada umur >30 tahun.
Penyakit Terkait
Rosasea dipertimbangkan sebagai penyakit kulit, namun beberapa bukti
menunjukkan hubungan antara rosasea dengan komorbiditas sistemik.
Studi case control terbaru (n = 130) menunjukkan bahwa pasien dengan
rosasea secara signifikan memiliki alergi (udara ataupun makanan), penyakit
respirasi, penyakit gastrointestinal, hipertensi, penyakit metaboli, penyakit urogenital,
dan ketidakseimbangan hormone pada wanita dengan umur, kelamin, dan ras sesuai
control subjek tanpa rosasea. Rosasea sedang hingga berat memiliki hubungan
dengan hiperlipidemia, hipertensi, metabolic, cardiovascular, dan penyakit
gastrointestinal. Penelitian cohort berdasarkan population based mengkonfirmasi
temuan ini dan melaporkan asosiasi lebih lanjut dari rosasea dan diabetes mellitus
tipe 1, penyakit celiac, sclerosis multiple, rheumatoid arthritis, penyakit Parkinson,
dan migraine. Dengan tambahan dari komorbiditas fisik, roassea memiliki hubungan
dengan tingkat keparahan penuakit, meningkatkan resiko dari gangguan depresi dan
ansietas. Karena itu menaksir dari factor resiko kardiocaskular, gastrointestinal, dan
morbiditas psikiatri pada pasien dengan rosasea harus bijaksana terutama dengan
tingkat keparahan yang lebih berat.

Dampak Psikososial
Rosasea lebih sering terjadi pada wajah sehingga dapat menganggu dari
penampilan fisik pasien. Dalam survey yang dilakukan oleh National Rosacea
Society dengan lebih dari 400 peserta, sekitar 75% pasien rosasea memiliki
kepercayaan diri yang rendah, 70% merasa malu, dan 69% merasa frustasi. Pada
pasien dengan gejala berat 88% mengeluhkan bahwa penyakit ini mempengaruhi
interaksi professional mereka, dan 51% sering tidak masuk kerja karena kondisi yang
dialami. Sebagai tambahan 41% mengalami ansietas dan 25% mengalami depresi,
bergantung kepada kosmetik, sensasi nyeri dan terbakar, serta penurunan kualitas
hidup.
Rosasea Genetik
Telah diteliti bahwa idnividu dengan riwayat penyakit keluarga memiliki
rosasea akan lebih memungkinkan untuk mengidap rosasea. Studi yang dilakukan
terhadap pasien kembar menunjukkan 46% memiliki kontribusi genetic, dimana
sesuai dengan studi cross sectional dengan hasil riwayat penyakit keluarga dengan
rsasea pada 50% pasien. Akhir-akhir ini, studi hubungan genom mengidentifikasi tiga
alel antigen leukosit manusia (Human Leucocyte Antigen/HLA) dan dua polimorfism
rantai tunggal nukleotida (Single-Nucleotide Polymorphisms/SNP) memiliki
hubungan dengan rosasea. Menariknya, rosasea pada gen HLA memiliki hubungan
dengan penyakit autoimun termasuk Diabetes Mellitus tipe I dan penyakit celiac.
Penelitian terbaru membantu dalam hipotesa dari komponen genetic rosasea, namun
penelitian kedepan dibutuhkan untuk menginvestigasi dari factor genetic spesifik
yang memiliki hubungan dengan resiko rosasea, dan untuk mengindentifikasi
hubungan mekanik antara variasi fen dan fenotip rosasea.

Konsep Integrasi dari Patofisiologi Rosacea


Mekanisme molecular pasti dari patofisiologi rosasea belum diketahui, dan
etiologi muktifaktor dengan predisposisi genetic sangat mungkin. Adanya bukti
akumulatif yang memulai mikroba, radiasi sinar UV, nuttrisi, suhu ekstrim, gangguan
barrier kulit, stress psikososial, dan hormone mungkin menstimulasi respon tubuh
bawaan dan atau disregulasi neurovascular. Tipe sel multiple telah terlibat dalam
kejadia rosasea, termasuk keratinosit, sel mast, neuron, sel endotel, makrofag,
fibroblast, dan sel Th1/Th17. Akumulasi bukti terhadap aktivasi reseptor pola sel
seperti TLR 2 (toll like receptor) dan kanal ion TRP (transient receptor potential), dan
pelepasan mediator inlamasi kedalam kulit menjadi langkah penting dalam merujuk
manifestasi klinis dari rosasea. Namun, pengaruh pasti dari disregulasi system (imun,
vascular, nervus) masih belum diketahui.
Aberrant Innate Immune Response and Antimicrobial Petides
Sistem imun non spesifik melindungi permukaan epitel dari infeksi, trauma
fisik atau mekanik. Dari system deteksi multiple, TLR merespon kepada komponen
microba, trauma fisik dan kimia, termasuk pada jaringan yang rusak, dan sel
apoptosis karena sinar UV. Aktivasi dari TLR memulai sinyal kaskade anti pathogen
termasuk sekresi peptida anti microbial (AMP) seperti cathelicidin, dan produksi dari
sitokin dan kemokin proinflamasi. Salah satu anggota dari TLR, TLR 2 sering didapat
pada rosasea kulit, dimana berhubungan dengan aktivasi stimulus ekstrinsik.
Konsisten dengan temuan ini, pasien dengan rosasea memiliki peningkatan dari AMP
katelisidin, dan kallokrein (KLK) 5 yang bergungsi dalam protease serin untuk
membelah katelisidim ke LL-37, dan bentuk aktif peptide. Efek dari LL-37 termasuk
kemotaksis leukosit, angiogenesis, aktivasi dari NF-kB yang memiliki korelasi
dengan karakteristik morgologi dari rosasea seperti eritema wajah, telengiektasis, dan
papul pustule.
Sebagai tambahan reseptor imun bawaan dan molekul, disregulasi neuron
termasuk disfungsi vascular dan pelepasan neuropeptide proinflamasi memiliki
kontribusi dalam patofisiologi rosasea.

Inflamasi Neurogenic dan Hipereaktivitas Vascular


Konsep dari neurobiology kulit merupakan jaringan kompleks yang terdiri
dari jalur mono dan atau bireksional yang menghubungkan kulit dengan saraf, imun,
dan system endokrin. Jaringan ini meregulasi beberapa fungsi fisiologis dan
patofisiologi termasuk perkembangan sel, pertumbuhan, diferensiasi, vasoregulasi,
pruritus, dan proses imunoligis dan leukosit atau inflamasi neurogenik. Mediator
yang terlibat dalam proses ini seperti neuropeptide, neurotransmitter, neurotropin, dan
neurohormon, dimana menargetkan banyak sel kulit seperi keratinosit, sel mast, sel
Langerhans, sel endotel vascular, fibroblast, dan sel infiltrasi imun. Stressor seperi
radiasi UV, antigen microba, trauma stress emosional, hormone endogen dapat
menstimulus pengeluaran neurotransmitter dan berkontribusi terhadap vasodilatasi,
dan peningkatan sensitivitas kulit, rasa tersengat, dan gatal pada pasien dengan
rosasea. Menariknya, densitas neuron meningkat pada rosasea
eritematotelengiektasis. TRP tipe vanilloid (TRPV)1 dan 4, dan TRP ankyrin 1
saluran ion (TRPA) terdapat pada saraf, sel vascular dan imun dalam setiap subtype
rosasea. TRPV berpengaruh pada fungsi imun local, regulasi vascular, nosiseptor, dan
integritas barrier epidermis.
Aktivasi dari TRP menghasilkan pelepasan vasoaktif neuropeptide, seperti
substansi P, calcitoningene-related peptide (CGRP), vasoaktif intestinal peptide
(VIP), dan pituitary adenylate cycase-activating polypeptide (PACAP), dimana
meningkat pada individu dengan rosasea. Substansi P terlibat dalam regulasi
penyebaran darah local dan memulai degranulasi sel mast sehingga terjadinya
peningkatan level sitokin proinflamasi, kemokin, dan factor nekrosis tumor,
mengusulkan bahwa proses inflamasi neurogenic biasanya aktif pada rosasea.

Tatalaksana Terbaru dari Rosasea


Menurut sejarah, rosasea dapat diobati dengan pengeluaran darah dan
penggunaan lintah pada kulit yang terjangkit rosasea. Terapi rosasea telah berubah
namun pendekatan pengobatan kuratif belum berkembang sempurna. Kutipan
Thomas Bateman “Satu-satunya pengobatan sempurna pada rosasea, adalah tidak
pernah terjangkit”.
Pengobatan rosasea terfokus pada penekanan gejala untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien, untuk mencegah progresi, dan untuk memperpanjang remisi.
Kebanyakan dari guidline terbaru berdasarkan identifikasi dari subtype rosasea untuk
terapi yang tepat. Namun, dalam kenyataannya terkadang gejala klinis yang
ditemukan tumpang tindih antar subtype pada pasien, sehingga memerlukan beberapa
strategi terapi untuk hasil yang optmal. Karena itu tidak ada satu cara terbaik untuk
mengobati rosasea pada semua pasien. Biasanya beberapa intervensi dibutuhkan
seperti menghindari factor pencetus, penggunaan regimen produk kulit, penggunaan
terapi sistemik atau topical, dan modalitas fisik. Pesan utama dalam manajemen
rosasea dijelaskan pada table 1. Dalam artikel ini kami meninjau dari tatalaksana
rosasea berdasarkan dari bukti yang tersedia.
Ukuran Umum
Penting dalam mengedukasi pasien pada konsultasi awal terhadap keadaan
kronis relaps pada kelainan ini dan adanya eksaserbasi dan memberi masukan kepada
pasien untuk mengetahui dan menghindari pencetus. Sepengetahuan kami, tidak ada
studi control yang telah dilakukan untuk merekomendasi produk kulit spesifik
terhadap pasien dengan rosasea. Rekomendasi umum termasuk regimen produk kulit
yang lembut untuk memelihara kelembaban dan fungsi barrier, dan fotoprotektor
(menghindari paparan matahari dan sunscreen dengan SPF >30). Sebagai tambahan,
bedak dapat membantu untuk meningkatkan dampak psikososial pada pasien dengan
rosasea. Karena dampak psikososial pasien sering di remehkan oleh dokter, isu ini
harus di perhatikan dalam rencana terapi pasien dengan rosasea. Beberapa obat
topical seperti metronidazole, asam azelaic, ivermectin, dan tartrate brimonidine telah
disetujui oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat. Pengobatan oral yang
di setujui untuk rosasea adalah doksisiklin dosis rendah. Kebanyakan pengobatan
efektif dalam menghambat jalur inflamasi yang timbul pada rosasea.
Terapi Topikal
Dengan rosasea ringan hingga sedang, terapi topical dipertimbangkan sebagai
lini pertama pengobatan. Metronidazole 0,75% (gel, krim, dan losion; pengaplikasian
dua kali dalam sehari), metronidazole 1% (gel dan krim; pengaplikasian sekali
sehari), asam azelaic 15% (gel, dua kali sehari), dan ivermectin 1%(krim, satu kali
sehari) disetujui oleh FDA untuk mengurangi lesi inflamasi dari rosasea dan secara
umum dapat ditoleransi oleh pasien. Berdasarkan penelitian dengan Cochrane pada
tahun 2015, metronidazole topical, asam azelaic, dan ivermectin dibandingkan
dengna placebo dimana semuanya memiliki perbaikan terutama pada rosasea
papopustular. Ivermectin topical sedikit lebih efektif dibandingkan dengan
metronidazole topical pada rosasea papopustular.
Gel tartate brimonidine 0,33% (sekali sehari) disetujui oleh FDA sebagai
medikasi awal untuk tatalaksana topical dari eritem fasial persisten berhubungan
dengan rosasea. Gel brimonidine merupakan selektif reseptor agonis α2-adrenergic
dengan aktifitas vasokonstriktor, dimana merujuk terhadap penurunan dari eritem
fasial pada mayoritas pasien. Berdasarkan peninjauan sistematis, gel topical
brimonidine tartate berhubunan dengan perbaikan eritema wajah pada 114 dari 227
peserta (50%) dibandngkan dengan 54 dari 276 pasien (20%). Gel topical
brimonidine tartate lebih dapat ditoleransi, efek samping yang paling umum
berhubungan dengan kulit, termasuk sensasi terbakar, dermatitis kotak, dan eritema
rebound.

Namun, penggunaan harus berhati-hati pada pasien dengan depresi


concomitant, penyakit kardiovaskular, fenomena Raynaud, dan hipotensi ortostatik.

Meskipun sodium sulfaceamid 10% dengan atau tanpa sulphur 5%, formula
(cleanser, krim, gel, losion) telah lama digunakan untuk mengkontrol rosasea
papulopustular, tidak disetujui oleh FDA karena kurangnya keabsahan data. Terapi
topical lain yang digunakan dalam menangani rosasea seperti makrolid dan analog
makrolid, permetrin, retinoid, inhibitor calcineurin topical, dan lain-lain, biasanya
hanya berupa bukti anekdot. Terapi non FDA dapat membantu pada spesifik pasien
berdasarkan dari penilaian dokter.

Terapi Sistemik
Meskipun luasnya penggunaan dari tetrasiklin oral dan doksisiklin dalam
variasi dosis regimen untuk tatalaksana rosasea, agen oral yang hanya di setujui oleh
FDA untuk mengobati lesi inflamasi rosasea adalah dengan modified-release
doksisiklin (40mg sekali sehari), yang disetujui tahun 2006. Dosis ini menyediakan
anti inflamasi tanpa efek antimikroba, dalam studi microbiologis in
vivomendemonstrasikan tidak adanya efek jangka panjang dalam flora bakteri pada
mulut, kulit, traktus intestinal, dan vagina. Berdasarkan dari bukti terbaru, tetrasiklin
oral (bukti kualitas sedang) dan doksisiklin (bukti kualitas tinggi) dimana keduanya
berhubungan dengan perbaikan pada rosasea papulopustular dibandingkan dengan
placebo. Tidak ada perbedaan dalam efektifnya obat antara 100mg dan 40 mg
doksisiklin, namun terdapat bukti dalam efek merugikan (adverse effect) dalam dosis
rendah. Sebagai catatan, tetrasiklin oral dibandingkan dengan metronidazole topical
tidak memiliki perbedaan yang signifikan diantara kedua pengobatan. Pada pasien
dengan rosasea inflamasi yang tidak dapat menggunakan tetrasiklin, azitromicin oral
dapat menjadi alternative, meskipun data meliputi keamanan dan ke efektifan masih
sedikit.
Pada kasus yang persisten atau berat dari rosasea papulopustular dan
phymatous awal, isotretinoin dosis rendah (0,3 mg/kg perhari) menunjukkan
perbaikan pada rosasea papulopustular dibandingkan dengan doksisiklin 50-100 mg.
Namun, relaps setelah pengobatan berhenti sering terjadi, tidak seperti tretinoin pada
acne vulgaris.

Rosasea Ocular
Pasien dengan rosasea sedang terkadang mengeluhkan adanya pasir ada mata,
dan dapat ditatalaksana dengan higenitas kelopak dan pemberian lubrikasi tetes mata.
Pasien dengan rosasea ocular berat yang mengeluhkan sensasi terbakar dan sengatan
pada mata, atau terbentuknya hordeolum atau chalazion, biasanya membutuhkan
antibiotic topical atau sistemik, atau siklosporin.
Topical siklosporin 0,05% emulsi oftalmik menunjukkan manfaat daripada air
mata buatan pada pengobatan rosasea ocular. Dalam rosasea ocular yang berat harus
dirujuk kepada spesialis mata.

Modalitas Fisik
- Telangiektasia
Penurunan dari telengiektasia tidak dapat diharapkan pada agen topikal untuk
rosasea. Namun, penggunaan ini mempengaruhi psikologis pasien dan
menyebabkan dampak pada kualitas hidup.
Kerusakan dari dilatasi pembuluh darah dengan laser atau cahaya intense
menjadi terapi utama untuk mengurangi telangiectasia. Energy cahaya
diabsopsi oleh haemoglobin di pembuluh kutaneus, sehingga pembuluh
menjadi panas dan terjadi koagulasi. Tatalaksana yang sering dilakukan pada
pasien rosasea eritem dan telangiectasia adalah dengan pulsed dye lase dan
intense pulse light. Berdasarkan dari tinjauan sistematis Cochrane terbaru,
terapi ini menunjukkan perbaikan dari eritema dan telangiectasia tanpa adanya
perubahan antara pengobatan.
- Rosasea phymatous
Rinophyma dapat bereaksi dengan tatalaksana sistemik pada penggunaan
isotretinoin. Isotretinoin ini mengecilkan glandula sebasea, namun remisi
jangka panjang tidak terjadi ketika isotretinoin tidak dilanjutkan. Penyakit
yang lebih parah diikuti dengan deformitas berespon terhadap eksisi bedah,
elektrosurgery, dan terapi laser CO2. Namun, trial randomized-control untuk
tatalaksana phymatous rosasea masih sedikit.

Kesimpulan
Rosasea merupakan penyakit inflamasi kulit dengan karakteristik disfungsi
imun dan disregulasi neurovascular. Secara rasional memilih diantara intervensi
potensial, dokter dapat membantu pasien dalam mengurangi gejala rosasea, namun
tidak ada pengobatan yang kuratif.
Adanya peningkatan jumlah penelitian yang menunjukkan hubungan antara
rosasea dengan penyakit sistemik, namun hubungan patofisiologi masih belum
diketahui. Kemungkinan hubungan ini termasuk dalam mekanisme yang mendasari
kondisi inflamasi seperti inflamasi sitokin, dan metaboli, imun , dan perubahan
endokrin. Hubungan antara rosasea dan penyakit intestinal, respirasi, reproduksi,
urinary, dan kulit meningkatkan kecurigaan bahwa beberapa bentuk dari disbiosis
berkontribusi dalam perkembangan rosasea. Riset lebih lanjut dibutuhkan untuk
menginvestigasi bagaimana perubahan keadaan jaringan pada pasien dengan rosasea.

Penatalaksanaan dan pemahaman akan hubungan antara komorbid fisik dan


kelainan mental pada rosasea penting dan dibutuhkan untuk menyediakan tatalaksana
adekuat dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan rosasea.

Anda mungkin juga menyukai