Anda di halaman 1dari 36

SMF / BAGIAN ILMU MATA Laporan Kasus

RSUD PROF. DR. W.Z. JOHANNES KUPANG Januari 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

LAPORAN KASUS
SELULITIS ORBITA

Disusun Oleh :
Edwardus Thander Adar, S.Ked
(1308012050)

Pembimbing
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

SMF / BAGIAN ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG

RSUD PROF. DR. W.Z. JOHANNES KUPANG

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, tanpa mata manusia masih

dapat hidup, namun keberadaan mata sangatlah penting. Mata adalah jendela

kehidupan, tanpa mata manusia tidak dapat melihat apa yang ada di sekelilingnya.

Oleh karena itu pemeliharaan mata sangatlah penting.(1)

Salah satu penyakit mata yang dapat membahayakan serta dapat

mengakibatkan seseorang kehilangan penglihatannya adalah selulitis orbita.

Selulitis Orbita bakteri adalah infeksi yang mengancam nyawa dari jaringan lunak

di belakang septum orbital. Hal ini dapat terjadi pada segala usia tetap ilebih

sering terjadi pada anak-anak, organisme penyebab yang paling umum adalah

Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Staphylococcus pyogenes dan

Haemophilus influenza.(1)

Selulitis Orbita memiliki berbagai penyebab dan mungkin terkait dengan

komplikasi yang serius. Sebanyak 11% dari kasus-kasus Selulitis Orbita hilangnya

penglihatan. Diagnosis yang tepat dan pengelolaan yang tepat sangat penting

untuk menyembuhkan pasien dengan selulitis orbita.(1)


BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Ny. Naomi Amtaran
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 72 tahun
Tanggal Lahir : 19 – 12 – 1946
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Kristen
Status : Menikah
Alamat : Tenau
MRS : 25 Desember 2018
No. MR : 504777
2.2 Anamnesis (Autoanamnesis, 25 Desember 2018)
Keluhan Utama
Tampak bola mata kiri bengkak ±2 hari yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien rujukan RS. Boromeus dengan diagnosis DM tipe 2 dan hipertensi
grade 2 + glaukoma.
Pasien mengeluhkan bengkak pada mata kiri ± 2 hari SMRS. Keluhan
dirasakan makin memberat dan disertai kemerahan dan berair. Pasien juga
mengluhkan nyeri kepala sejak ± 1 hari yang lalu disertai demam. Pasien
sebelumnya sempat berobat ke puskesmas kemudian dirujuk ke poli mata RS
Kartini kemudian disana pasien diganti lensa kacamatanya dan mendapat obat
tetes mata namun keluhan tidak membaik. Pasien sehari setelahnya memeriksakan
gula darah dan tekanan darahnya di RS Boromeus dengan hasil GDS 497mg/dL
dan tekanan darah 200/100mmHg. Setelah mendapat perawatan pasien
mengeluhkan nyeri pada bola mata kiri disertai bengkak dan daya penglihatan
menurun sehingga pasien dirujuk ke RS. Johannes. Pasien juga mengeluhkan sakit
gigi dan bengkak pada gusi sejak ± 1 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
 Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
 Riwayat kencing manis diketahui ketika memeriksakannya di RS. Kartini
 Riwayat darah tinggi.
 Riwayat alergi obat disangkal.
Riwayat Trauma
Tidak ada.

2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 25 Desember 2018)


Status Generalikus
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/60 mmHg
Nadi : 87 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 38,1ºC
Keadaan Spesifik
 Kepala :
Simetris, alopecia (-)
 Mata :
Status Oftalmologis

Oculi Dextra Status oftalmologis Oculi Sinistra

5/60 Visus 1/15

Pergerakan Bola
Mata

Positif ke segala arah Positif ke segala arah


Edema (-) Palpebra Edema (+)
Hiperemis (-), Injeksi(-) , Hiperemis (+), Injeksi (+)
Conjungtiva
sekret (-) , sekret (+), kimosis (+)

Keruh (-), Sikatrik (-) Keruh (-), Sikatrik (-),


Cornea
Ulkus (-),Corpal (-) Corpal (-), Ulkus (-)
Dalam, Hipopion (-), Dalam, Hipopion (-),
COA
Hifema (-) Hifema (-)
Intak Iris Intak
Bulat, Sentral,Refleks Bulat, Sentral,Refleks
cahaya langsung (+), Pupil cahaya langsung (+),
diameter ɸ 3 mm Diameter ɸ 3 mm
Keruh(-), iris shadow (+) Lensa Keruh, iris shadow (+)
Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan

2.1 Tampak depan mata kiri pasien

 Telinga: Membran timpani intak ki/ka, secret (-/-)


 Hidung: Sekret (-/-), deformitas (-)
 Mulut
Sianosis (-), uvula di tengah, tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
 Leher :
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
thyroid (-)
 Kelenjar Getah Bening :
Tidak ada pembesaran KGB supraklavikular, axilaris, inguinalis
 Thorax :
o Paru :
 Inspeksi: Statis dan dinamis kanan-kiri.
 Palpasi: Stem fremitus kanan kiri sama.
 Perkusi: Sonor pada kedua lapangan paru.
 Auskultasi: Vesikular (+) normal, ronki (-), whezzing (-).
o Jantung
 Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat.
 Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
 Perkusi: Batas atas jantung ICS II batas kanan jantung ICS V linea
parasternalis sinistra, batas kiri jantung ICS V linea midaksilaris
anterior sinistra.
 Auskultasi: HR:82x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-), dan
gallop (-)
 Abdomen
o Inspeksi: datar
o Palpasi: lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
massa (-), defans muskular (-)
o Perkusi: Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Genitalia Eksterna :
Tidak ada kelainan
 Ekstremitas Superior:
Tidak ada kelainan
 Ekstremitas inferior Dextra et Sinistra:
o Inspeksi: tidak tampak kelainan
o Palpasi: rangsangan nyeri (+),
o Edema pretibial (-/-), CRT < 2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
(Tanggal 25 Desember 2018)
 Hematologi
Hemoglobin : 12,2 g/dl (13,2-17,3 g/dL)
Leukosit : 24,99/mm3 (4.500 - 11.000/ mm3)
Hematokrit : 35,231% (43-49%)
Trombosit : 233/µL (150.000 – 450.000/µL)
Differential count : 0/0/87,0/3,7/9,3/0,5` (0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-8)
 Elektrolit
Klorida darah : 94 mmol/L (96-111)
Calcium ion : 0,830 mmol/L (1.120 – 1.320)
Total calcium : 1,9 mmol/L (2,2 -2,55)
2.5.Diagnosis Kerja
Selulitis orbita dd Tumor orbita + HT grade 2 + DM tipe 2
2.6.Penatalaksanaan
o Pro Operatif

o Inj Ceftriaxon 2x1gr

o Gentamisin eo 3x1 OS

o Terapi SpPd

o IVFD NS 500ml /12Jam

o Aspar K 3x1

o Furosemid 3x20mg

o Lisinopril 1x1gr
o Amlodipin 1x 10mg

o Bisoprolol 1x2,5mg

o Ranitidin 2x1 tab

o Ketorolak 3x1 tab

o Paracetamol 3x500mg

o Levemir 10 IU /malam

o Novorapid 3x6 IU
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi

3.1.1 Anatomi Palpebra

Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata,

sertamengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan

kornea.Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi

bola mataterhadap trauma, paparan sinar, dan pengeringan bola mata.(1)

Kelopak mempunyai lapisan kulit yang tipis pada bagian depan

sedangkan pada bagian belakang ditutupi oleh selaput lendir tarsus yang disebut

konjungtiva tarsa.(1)

3.1 Anatomi Palpebra

Pada kelopak terdapat bagian-bagian :

a. Kelenjar : Kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat,

kelenjar Zeis pada pangkal rambut,dan kelenjar Meibom pada tarsus.

Dalam kelopak mata ada tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan

kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada


margo palpebra. Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada

rima orbita pada seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus,

terdiri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak

dengan kelenjar Meibom (40 buah di kelopak atas dan 20 pada kelopak

bawah).

b. Otot : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam

kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat

tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut M.

Rioland. M.orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N.

fasial. M.levator palpebra, yang berorigo pada annulus foramen orbita

dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M.

orbikularisokuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat

insersi M.levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot

ini dipersarafi oleh N. III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata

atau membuka mata.

c. Septum Orbita : Merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita

merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.

d. Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.

e. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal n.

V,sedangkan kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.

2.1.2 Orbita

Orbita adalah sebuah rongga berbentuk segi empat seperti buah pir yang

berada di antara fossa kranial anterior dan sinus maksilaris. Tiap orbita berukuran
sekitar 40 mm pada ketinggian, kedalaman, dan lebarnya. Orbita dibentuk oleh 7

buah tulang Os. Frontalis, Os. Maxillaris, Os. Zygomaticum, Os. Sphenoid, Os.

Palatinum, Os. Ethmoid dan Os. Lacrimalis.

Secara anatomis orbita dibagi menjadi enam sisi, yaitu:

1. Dinding medial, terdiri dari os maxillaris, lacrimalis, ethmoid, dan sphenoid.

Dinding medial ini seringkali mengalami fraktur mengikuti sebuah trauma.

Os ethmoid yang menjadi salah satu struktur pembangun dinding medial

merupakan salah satu lokasi terjadinya sinusitis etmoidales yang merupakan

salah satu penyebab tersering selulitis orbita.

2. Dinding lateral, terdiri dari sebagian tulang sphenoid dan zygomaticum.

3. Langit-langit, berbentuk triangular, terdiri dari tulang sphenoid dan frontal.

Defek pada sisi ini menyebabkan proptosis pulsatil.

4. Lantai, terdiri dari os. Palatina, maxillaris, dan zygomaticum. Bagian

posteromedial dari tulang maksilaris relatif lemah dan seringkali terlibat

dalam fraktur blowout.

5. Basis orbita, merupakan bukaan anterior orbita

Vaskularisasi Orbita

1. Arteri utama : Arteri Oftalmika yang bercabang menjadi :

a. Arteri retina sentralismemperdarahi nervus optikus

b. Arteri lakrimalismemperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata

atas

c. Cabang-cabang muskularis berbagai otot orbita


d. Arteri siliaris posterior brevis memperdarahi koroid dan bagian-

bagian nervus optikus

e. Arteri siliaris posterior longa memperdarahi korpus siliare

f. Arteri siliaris anterior memperdarahi sklera,

episklera,limbus,konjungtiva.

g. Arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata.

h. Arteri supraorbitais.

i. Arteri supratrokhlearis.

j. Arteri-arteri siliaris posterior longa saling beranastomosis satu dengan

yang lain serta dengan arteri siliaris anterior membentuk circulus

arterialis mayor iris.

2. Vena utama : Vena Oftalmika superior dan inferior.

Vena Oftalmika Superior dibentuk dari :

a. Vena supraorbitalis

b. Vena supratrokhlearis  mengalirkan darah dari kulit

c. Satu cabang vena angularis di daerah periorbita

Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dengan

sinus kavernosus sehingga dapat menimbulkan trombosis sinus

kavernosus yang potensial fatal akibat infeksi superfisial di kulit

periorbita.(2)

3.1.3 Bola Mata

Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat dengan

diameter anteroposterior sekitar 24,5 mm.


3.2 Anatomi Bola Mata

3.1.4 Konjungtiva

Membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan

anterior sklera(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit

pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di

limbus.(2)

1. Konjungtiva palpebralis : melapisi permukaan posterior kelopak mata

dan melekat erat ke tarsus. Ditepi superior dan inferior tarsus,

konjungtiva melipat ke posterior ( pada fornices superior daninferior )

dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.


2. Konjungtiva bulbaris : melekat longgar ke septum orbitae di fornices dan

melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.

3.1.5 Sklera

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar.Jaringan

ini padat dan berwarna putih serta bersambungandengan kornea di sebelah

anterior dan duramater nervus optikus di belakang.

Episklera merupakan lapisan tipis dari jaringan elastik halus, yang

membungkus permukaan luar sklera anterior, mengandung banyak pembuluh

darah yang memasok sklera.

3.1.6 Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding

dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sklera di limbus,

lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis.

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang di

lalui berkas cahaya menuju retina. Kornea bersifat tembus cahaya karena

strukturnya uniform, avaskuler, dan deturgesens. Detugesens, atau keadaan

dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif

pada endotel dan olehfungsi sawar epitel dan endotel.

Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat

transparan, sedangkan cedera epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat,

hilang pada saat epitel sudah beregenerasi.


3.1.7 Uvea

Uvea terdiri dari iris, korpus siliare, dan koroid.

1. Iris : perpanjangan korpus siliare ke anterior.

Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang

memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang masing-masing

berisi humor aquaeus. Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke

dalam mata.

2. Korpus siliaris: secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,

membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris ( + 6 mm ).

Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal,sirkuler, dan

radial. Fungsi serat-serat sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi

serat-serat zonula. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehinga

lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat

maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang.

3. Koroid: segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.

Koroid tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah koroid; besar,sedang, dan

kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid,semakin lebar

lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai khorio

kapilaris.

3.1.8 Lensa

Suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir transparan

sempurna, di belakang iris, lensa digantung oleh zonula, yang menghubungkannya

dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus di


sebelah posterior vitreus. Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum yang

dikenal sebagai zonula (zonula Zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari

permukaan korpus siliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa.

3.1.9 Humor Aquaeus

Humor Aquaeus diproduksi oleh korpus siliare. Setelah memasuki

kamera posterior, humor aquaeus melalui pupil dan masuk ke kamera anterior dan

kemudian ke perifer menuju ke sudut kamera anterior.

3.1.10 Sudut Kamera Anterior

Sudut kamera anterior terletak pada persambungan kornea perifer dan

akar iris.

3.1.11 Retina

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan, dan multil

apis yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata.. Di tengah-

tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan

sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal

(xantofil).

Di tengah makula, di sebelah lateral diskus optikus, terdapat fovea

yangmerupakan suatu cekungan yang memberi pantulan khusus bila dilihat

dengan oftalmoskop. Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi

fluoresens.

3.1.12 Vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang

membentuk 2/3 dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang
dibatasi oleh lensa,retina, dan diskus optikus.

3.2 Selulitis Orbita

3.2.1 Definisi

Selulitis orbita adalah peradangan supuratif jaringan ikat jarang intraorbita

di belakang septum orbita. Keadaan ini merupakan infeksi preseptal utama

dari jaringan adneksa dan orbital ocular.

3.2.2 Patofisiologi dan etiologi

Selulitis Orbita terjadi dalam 3 situasi berikut:

1. Perluasan infeksi dari struktur periorbital, paling sering dari sinus paranasal,

tetapi juga dari wajah, dan kantung lacrimalis.

2. Inokulasi langsung orbita setelah adanya trauma, operasi,dan infeksi kulit.

3. Penyebaran hematogen dari bacteremia, misalnya dari fokus- fokus seperti

otitis media dan pneumonia.(2)

Dinding medial orbital tipis dan berlubang tidak hanya oleh

banyak pembuluh darah tanpa katup dan saraf tetapi juga oleh berbagai

defek lainnya. Kombinasi tulang yang tipis, adanya foramen untuk jalur

neurovaskular, dan defek alami yang terjadi pada tulang memungkinkan jalur

yang mudah bagi bahan infeksius antara sel-sel udara ethmoidal dan ruang

subperiorbital dalam bagian medial orbita. Lokasi yang paling umum dari abses

subperiorbital adalah sepanjang dinding medial orbital. Periorbita adalah relatif

longgar melekat pada tulang dinding medial orbita, yang memungkinkan material

abses untuk dengan mudahnya berpindah ke lateral, superior, dan inferior dalam

ruang subperiorbital.(2)
Selain itu, ekstensi lateral selubung dari otot-otot luar mata,

septaintermuskularis, memperpanjang otot rektus dari satu ke yang berikutnya.

Bagian posterior orbita, fasia antara otot rektus adalah tipis dan sering secara tidak

lengkap memungkinkan perluasan mudah antara ruang orbitextraconal dan

intraconal.(2)

Drainase vena dari sepertiga tengah wajah, termasuk sinus paranasal,

terutama melalui vena orbita, yang tanpa katup, yang memungkinkan alur infeksi

baik anterograde dan retrograde. Bahan infeksius dapat masuk ke dalam orbit

secara langsung dari trauma kecelakaan atau trauma operasi melalui kulit atau

sinus paranasalis.(2)

Sinusitis ethmoid adalah penyebab paling umum dari orbital selulitis pada

semua kelompok usia dan bakteri aerobik non-spora adalah organisme yang

paling sering bertanggung jawab.(2)

Organisme yang sering menjadi penyebab adalah organisme yang sering

ditemukan di dalam sinus: Haemophilus Influenzae type B, Streptococcus

Pneumonia, Staphylococcus aureus yang resisten methicillin, streptokokus lainnya

dan stafilokokus lainnya. Jamur penyebab selulitis yang paling sering adalah

Mucor dan Aspergillus.(2)

Mucormycosis tersebar luas dalam distribusi yang sangat luas, sementara

aspergilosis lebih sering terlihat di iklim lembab/hangat. Mucormycosis memiliki

onset yang cepat (1-7 hari), sedangkan aspergilosis jauh lebih lambat (bulan

sampai tahun). Aspergillosis awalnya memberikan proptosis kronis dan visi

menurun, sementara mucormycosis memberikan sindrom apeks orbital


(melibatkan saraf kranial II, III, IV, V-1, dan VI, dan sympathetics orbital), dan,

lebih umum, disertai dengan nyeri, edema palpebra , proptosis, dan hilangnya

penglihatan. Sementara keduanya dapat mengakibatkan hidung dan langit-langit

nekrosis,mucormycosis juga dapat mengakibatkan arteritis thrombosis dan

nekrosis iskemik, sedangkan aspergilosis mengakibatkan fibrosis kronis dan

proses granulomatosa non nekrosis.(2)

Adapun beberapa bakteri penyebab, diantaranya :

a. Haemophilus influenzae

Merupakan bakteri yang bersifat gram negatif dan termasuk keluarga

Pasteuracella. Haemophilus influenzae yang tidak berkapsul banyak

diisolasi dari cairan serebrospinalis, dan morfologinya seperti Bordetella

pertussis penyebab batuk rejan, namun bakteri yang didapat dari dahak

besifat pleomorfik dan sering berbentuk benang panjang dan filament.(2)

3.3 Haemophilus influenza yang diperoleh dari dahak.

Haemophillus influenzae dapat tumbuh dengan media “heme” oleh karena

media ini merupakan media kompleks dan mengandung banyak prekursor-


prekursor pertumbuhan khususnya faktor X (hemin) dan factor V ( NAD dan

NADP ). Di laboratorium di tanam dalam agar darah cokelat yang sebelumnya

media tanam tersebut dipanaskan dalam suhu 80C Cuntuk melepaskan faktor

pertumbuhan tersebut. Bakteri dapat tumbuhdengan baik pada suhu 35 oC- 38oC

dengan PH optimal sebesar 7,6. Bakteri ini dapat tumbuh pada kondisi aerobik (

sedikit CO2). Bakteri ini sekarang sudah jarang untuk menyebabkan selulitis

akibat banyaknya tipe vaksinasi untuk strain ini.(2)

b. Staphylococcus aureus

Merupakan bakteri gram positif yang berkelompok seperti anggur dan

merupakan bakteri normal yang ada di kulit manusia terutama hidung dan

kulit. S aureus dapat menyebabkan berbagai penyakit kulit ringan

khususnya selulitis, impetigo, furunkel, karbunkel dan penyakit kulitl

lainnya. S aureus ini sangat bersifat fakultatif anaerobik yang tumbuh oleh

respirasi aerobik atau melalui fermentasi asam laktat. Bakteri ini memiliki

sifat katalase (+), dan oksidase (-) dan dapat tumbuh pada suhu antara 15-45

derajat celcius pada konsentrasi NaCl setinggi 15 persen. Oleh karena

bakteri ini memiliki enzim koagulase yang dapat menyebabkan gumpalan

protein yang berbentuk bekuan, maka bakteri ini memiki sifat pathogen

yang sangat potensial.(2)


3.4 Staphylococcus auereus gram negatif

c. Streptococcus pneumoniae

Merupakan bakteri gram positif yang berbentuk seperti bola yang secara

khas hidup berpasangan atau rantai pendek. Bagian ujung belakang setiap

sel berbentuk tombak ( runcing tumpul ), tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak, namun yang galur ganas memiliki kapsul, bersifat alpha hemolisis

pada agar darah dan akan terlisis oleh garam empedu. Streptococcus

pneumoniae ini merupakan bakteri penghuni normal pada saluran napas

bagian atas manusia yang sering menyebabkan sinusitis. Bakteri inilah yang

paling sering menyebabkan selulitis orbita melalui jalur sinusitis terlebih

dahulu. Kuman ini merupakan yang paling sering menyebabkan selulitis

pada anak-anak usia < 3 tahun yang lebih cenderung menyebar secara

bacteremia.(2)
3.5 Streptococus pneumonia

d. Streptococcus pyogenes

Merupakan bakteri gram positif yang berbentuk kokus berantai, tidak

bergerak, bersifat katalase negatif, fakultatif anaerobik, serta sangat

membutuhkan media untuk hidupnya berupa medium yang mengandung

darah. Streptokokus grup A biasanya memiliki sebuah kapsul yang terdiridari

asam hialuronat dan menunjukkan hemolisis beta pada agar darah.(2)

3.2.3 Epidemiologi

Peningkatan insiden selulitis orbita terjadi di musim dingin, baik nasional

maupun internasional, karena peningkatan insiden sinusitis dalam cuaca.

Ada peningkatan frekuensi selulitis orbita pada masyarakat disebabkan oleh

infeksi Staphylococcus aureus yang resisten methicillin dan beberapa faktor

lainnya :
a. Mortalitas / Morbiditas

Sebelum ketersediaan antibiotik, pasien dengan selulitis orbita

memiliki angka kematian dari 17%, dan 20% dari korban yang selamat buta di

mata yang terkena. Namun, dengan diagnosis yang cepat dan tepat penggunaan

antibiotik, angka ini telah berkurang secara signifikan; kebutaan terjadi

dalam 11% kasus. Selulitis orbita akibat S. aureus yang resisten terhadap

methicillin dapat menyebabkan kebutaan meskipun telah diobati

antibiotik.(3)

b. Ras

Selulitis orbita tidak dipengaruhi oleh rasial.(3)

c. Sex

Tidak ada perbedaan frekuensi antara jenis kelamin pada orang

dewasa, kecuali untuk kasus-kasus S. aureus yang resisten terhadap

methicillin, yang lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan

rasio 4:1. Namun, pada anak-anak, selulitis orbita telah dilaporkan dua kali

lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.(3)

d. Usia

Selulitis orbita, pada umumnya, lebih sering terjadi pada anak-

anak daripada di dewasa muda. Kisaran usia anak-anak yang dirawat

dirumah sakit dengan selulitis orbita adalah 7-12 tahun.(3)


3.2.4 Gambaran Klinis

Gambaran klinis selulitis orbita yaitu:

1. Gejala subjektif berupa demam, nyeri pergerakan bola mata, penurunan

penglihatan.

2. Gejala objektif berupa mata merah, kelopak sangat edema, proptosis,

kemosis, restriksi motilitas bola mata, exophtalmus, peningkatan tekanan

intraokular, rinore. Proptosis dan oftalmoplegi adalah tanda kardinal dari

selulitis orbita.(4)

3.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi pada pemeriksaan penunjang mencakup sebagai berikut:

a. Leukositosis lebih besar dari 15.000

b. Pemeriksaan kultur darah

c. Usap sekret hidung

d. Pap smear untuk Gram stain

e. CT Scan

Pandangan aksial untuk menyingkirkan kemungkinan pembentukan abses

otak dan abses peridural parenkim. Pandangan koronal sangat membantu

dalam menentukan keberadaan dan batas dari setiap abses subperiorbital.

Namun, pandangan koronal,yang membutuhkan hiperfleksi atau

hiperekstensi leher, mungkin sulitpada anak-anak tidak kooperatif dan pada

pasien yang akut.(5)


f. MRI

Membantu dalam mendefinisikan abses orbita dan dalam mengevaluasi

kemungkinan penyakit sinus kavernosa. Dan juga bermanfaat

untuk memutuskan kapan dan dimana melakukan drainase pada abses

orbita.(6)

3.2.6 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada selulitis orbita adalah

a. Okular Komplikasi meliputi keratopathy, tekanan intraokular

meningkat,oklusi dari arteri atau vena retina sentral, dan neuropati

optik endophthalmitis.(7)

b. Intrakranial Komplikasi yang jarang terjadi, termasuk meningitis, abses

otak dan trombosis sinus kavernosus. Yang terakhir adalah komplikasi

yang jarang namun sangat serius yang harus dicurigai bila ada bukti-

bukti keterlibatan bilateral, perkembangan proptosis yang sangat cepat

dan sumbatan pembuluh darah wajah, konjungtiva danretina.(8)

c. Abses Subperiosteal adalah yang paling sering terletak di sepanjang

dinding medialorbital. Merupakan masalah serius karena potensi

perkembangan yang cepat dan perluasan intracranial.(9)

d. Abses orbita relatif langka di selulitis orbital terkait sinusitis, tetapi

mungkin terjadi pada kasus paska-trauma atau paska operasi.(9)


3.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terhadap selulitis orbita meliputi :

1. Rawat inap rumah sakit

Pengawasan dan penilaian oleh ahli mata dan otolaryngological sangat

diperlukan. Pembentukan abses intrakranial mungkin memerlukan

drainase.(9)
2.
Terapi Antimikroba

a. Melibatkan ceftazidime 1g intramuskular setiap 8 jam dan oral

metronidazole 500mg setiap 8 jam untuk bakteri anaerob.

b. Antibiotik intravena dosis tinggi 1.5g oksasilin dikombinasikan

dengan satu juta unit penicillin G setiap 4 jam

c. Vankomisin intravena adalah alternatif yang berguna jika alergi

penisilin

d. Anak-anak usia sekolah dapat diterapi dengan oksasillinkombinasi

dengan cefuroxime, atau antibiotik ampisilin-sulbaktam.Bayi

sebaiknya diterapi dengan ceftriakson.(9)

4 Dekongestan hidung dan vasokonstriktor

Dapat membantu drainase sinus paranasalis.(9)

5 Pemantauan fungsi saraf optik.

Setiap 4 jam dipantau dengan pengujian reaksi pupil, ketajaman visual,

penglihatan warna dan apresiasi cahaya.(9)


6 Intervensi bedah

Tidak respon terhadap antibiotik, penurunan penglihatan, orbital atau

subperiosteal abses.(9)

7 Beberapa jenis antibiotik yang dapat digunakan dalam terapi selulitis

orbita yaitu :

a. Vankomisin (Vancocin)

Trisiklik glycopeptide antibiotik untuk pemberian intravena.

Diindikasikan untuk pengobatan strain staphylococcus methicillin-

resistant (tahan beta-laktam) pasien yang alergi penisilin.(9)

b. Klindamisin (Cleocin)

Menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom bakteri tuas,

mengikat dengan preferensi 50S subunit ribosom dan mempengaruhi

proses inisiasi rantai peptide.(9)

c. Sefotaksim (Claforan)

Semisintetik antibiotik spektrum luas untuk penggunaan parenteral.

Efektif terhadap gram positif aerob, seperti Staphylococcus aureus

(tidak mencakup methicillin-resistant strain), termasuk penisilinase

dan non-penisilinasestrain, dan Staphylococcus pyogenes , gram

negatif aerob (misalnya, Hinfluenzae), dan anaerob (misalnya , spesies

Bacteroides).(9)
d. Nafcillin (Unipen)

Efektif terhadap spektrum gram-positif yang luas,

termasuk Staphylococcus, pneumococci, dan grup A beta-hemolitik

streptokokussemisintetik penisilin.(9)

e. Ceftazidime (Fortaz, Ceptaz)

Semisintetik, spektrum luas, beta-laktam antibiotik untuk injeksi

parenteral. Memiliki spektrum yang luas dari efektivitas terhadap

gram negatif aerob seperti H. influenzae, gram positif aerob seperti

Staphylococcus aureus(termasuk penisilinase dan non-penghasil

penisilinase strain) dan S. pyogenes ,dan anaerob, termasuk

Bacteroides spesies.(9)

f. Kloramfenikol (Chloromycetin)

Efek bakteriostatik terhadap berbagai bakteri gram negatif dan

gram-positif dan sangat efektif terhadap H influenza.(9)

g. Tikarsilin (Ticar)

Penisilin semisintetik suntik yang bakterisida terhadap kedua

organisme gram positif dan gram negatif, termasuk H influenzae,

Staphylococcus S (non-penghasil penisilinase), beta-hemolitik

streptokokus (kelompok A), S.pneumoniae, dan organisme anaerob,

termasuk Bacteroides dan Clostridiumspesies.(9)

h. Cefazolin (Ancef, Kefzol, Zolicef)

Sefalosporin IM atau IV semisintetik. Memiliki efek bakterisidal

terhadapStaphylococcus S (termasuk strain yang memproduksi


penisilinase-), kelompok Astreptokokus beta-hemolitik, dan H

influenza.(9)
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang wanita usia 72 tahun dirawat dengan diagnosa

selulitis orbita. Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat

jarang intraorbita di belakang septum orbita. Keadaan ini merupakan infeksi

preseptal utama dari jaringan adneksa dan orbital ocular. Menurut studi

epidemiologi selulitis orbita sering terjadi pada cuaca dingin yang diakibatkan

karena peningkatan insiden sinusitis maka dari itu pada kasus ini perlu ditanyakan

apakah pasien memiliki riwayat sinusitis sebelumnya. Selain itu S. aureus yang

resisten terhadap methicilin dapat pula meningkatkan kejadian selulitis orbita.

Kejadian selulitis orbita akibat infeksi dari S. aureus terjadi lebih banyak pada

wanita yaitu dengan perbandingan 4:1.

Pada kasus ini diketahui pasien memiliki riwayat sakit gigi sejak ± 1 minggu

SMRS dan bengkak pada gusi. Menurut teori etiologi dari selulitis orbita biasanya

didahului dengan infeksi pada gigi maupun sinus. Organisme yang sering menjadi

penyebab adalah organisme yang sering ditemukan di dalam sinus maupun gigi:

Haemophilus Influenzae type B, Streptococcus Pneumonia, Staphylococcus

aureus yang resisten methicillin, streptokokus lainnya dan stafilokokus lainnya.

Jamur penyebab selulitis yang paling sering adalah Mucor dan Aspergillus. Pada

kasus ini dicurigai penyebab selulitis orbita dikarenakan infeksi dari S.aureus.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berkelompok seperti

anggur dan merupakan bakteri normal yang ada di kulit manusia terutama hidung

dan kulit. S aureus dapat menyebabkan berbagai penyakit kulit ringan khususnya
selulitis, impetigo, furunkel, karbunkel dan penyakit kulitl lainnya. S aureus ini

sangat bersifat fakultatif anaerobik yang tumbuh oleh respirasi aerobik atau

melalui fermentasi asam laktat. Bakteri ini memiliki sifat katalase (+), dan

oksidase (-) dan dapat tumbuh pada suhu antara 15-45 derajat celcius pada

konsentrasi NaCl setinggi 15 persen. Oleh karena bakteri ini memiliki enzim

koagulase yang dapat menyebabkan gumpalan protein yang berbentuk bekuan,

maka bakteri ini memiki sifat pathogen yang sangat potensial. Namun untuk

menentukan penyebab pastinya dibutuhkan pemeriksaan lanjutan.

Patofisiologi terjadinya selulitis orbita terjadi dalam 3 situasi berikut:

1. Perluasan infeksi dari struktur periorbital, paling sering dari sinus paranasal,

tetapi juga dari wajah, dan kantung lacrimalis.

2. Inokulasi langsung orbita setelah adanya trauma, operasi,dan infeksi kulit.

3. Penyebaran hematogen dari bacteremia, misalnya dari fokus- fokus seperti

otitis media dan pneumonia.

Pada kasus dicurigai pasien mengalami perluasan infeksi akibat dari infeksi

bakteri.

Gejala klinis dari selulitis orbita yaitu:

1. Gejala subjektif berupa demam, nyeri pergerakan bola mata, penurunan

penglihatan.

2. Gejala objektif berupa mata merah, kelopak sangat edema, proptosis,

kemosis, restriksi motilitas bola mata, exophtalmus, peningkatan tekanan

intraokular, rinore. Proptosis dan oftalmoplegi adalah tanda kardinal dari

selulitis orbita.
Pada kasus gejala subjektif yang pasien alami berupa demam, nyeri

pergerakan bola mata dan penurunan penglihatan, sedangkan gejala objektif

berupa edema dan hiperemis serta produksi sekret yang banyak.

Pada kasus ini pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:

1. Peningkatan jumlah leukosit sebagai tanda dari adanya infeksi.

2. Pemeriksaan kultur darah dan usap sekret hidung untuk menentukan bakteri

penyebab. Selain itu dapat pula dilakukan pap smear untuk Gram stain

3. CT Scan untuk menyingkirkan kemungkinan pembentukan abses otak dan

abses peridural parenkim.

4. MRI membantu dalam mendefinisikan abses orbita dan dalam mengevaluasi

kemungkinan penyakit sinus kavernosa dan juga bermanfaat

untuk memutuskan kapan dan dimana melakukan drainase pada abses

orbita.

Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hasil leukosit

meningkat yaitu 24.99/mm3 yang menandakan adanya infeksi dari bakteri

kemudian setelah diberi terapi antibiotik selama 6 hari hasil pemeriksaan leukosit

menurun menjadi 14,85/mm3.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi:

1. Rawat inap rumah sakit

2. Terapi Antimikroba

3. Dekongestan hidung dan vasokonstriktor

4. Pemantauan fungsi saraf optik.

5. Intervensi bedah
Pada kasus pasien perlu dirawat inap dan segera diberikan terapi antibiotik

dan terapi suportif lainnya. Penanganan yang tepat sangat dibutuhkan untuk

menghindari komplikasi bahaya yang dapat terjadi.


BAB V
KESIMPULAN

Salah satu penyakit mata yang dapat membahayakan serta dapat

mengakibatkan seseorang kehilangan penglihatannya adalah selulitis orbital.

Selulitis orbita bakteri adalah infeksi yang mengancam nyawa dari jaringan

lembut di belakang septum orbital. Hal ini dapat terjadi pada segala usia tetapi

lebih sering terjadi pada anak-anak, organisme penyebab yang paling

umumadalah Streptococcus Pneumonia, Staphylococcus Aureus,

Staphylococcuspyogenes dan Haemophilus influenza.

Peningkatan insiden selulitis orbita terjadi di musim dingin, baik nasional

maupun internasional, karena peningkatan insiden sinusitis dalam kondisi cuaca.

Ada peningkatan frekuensi selulitis orbita pada masyarakat disebabkan oleh

infeksi Staphylococcus aureus yang resisten methicillin.

Penegakan diagnosis selulitis orbita dengan gejala klinis yaitu gejala

subjektif berupa demam, nyeri pergerakan bola mata, penurunan penglihatan.

Gejala objektif berupa mata merah, kelopak sangat edema, proptosis,

kemosis, restriksi motilitas bola mata, exophtalmus, peningkatan tekanan

intraokular,rinore. Proptosis dan oftalmoplegi adalah tanda cardinal dari selulitis

orbita.

Penatalaksanaan pada selulitis orbita adalah rawat inap rumah sakit,

terapiantimikroba, dekongestan hidung dan vasokonstriktor, pemantauan fungsi

saraf optic, dan intervensi bedah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Asbury, Taylor. Rundaneva, Paul. Vaughan, Daniel P.Oftalmologi

Umum.Jakarta : Widya Medika. Hal. 1-5, 265-266.

2. Ilyas, S.Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Fakultas Kedokteran

UniversitasIndonesia. Jakarta.2014. Hal. 1-13, 101-102

3. Kanski J.Clinical Ophtalmology a Systemic Approach.Philadelphia

:Butterworth Heinemann Elsevier. Page : 175-176.

4. Anari S, Karagama YG, Fulton B, et al. Neonatal disseminated methicillin-

resistant Staphylococcus aureus presenting as orbital cellulitis. J Laryngol

Otol. Jan 2015;119(1):64-7.

5. Kloek CE, Rubin PA. Role of inflammation in orbital cellulitis. Int

Ophthalmol Clin. Spring 2008 46(2):57-68

6. Boden JH, Ainbinder DJ. Methicillin-resistant ascending facial and orbital

cellulitis in an operation Iraqi Freedom troop population. Ophthal Plast

Reconstr Surg. Sep-Oct 2014;23(5):397-9.

7. Doxanas MT, Anderson RL. Clinical Orbital Anatomy. Baltimore, Md:

Williams & Wilkins;2015.

8. Chiu ES, Capel B, Press R, et al. Successful management of orbital cellulitis

and temporary visual loss after blepharoplasty. Plast Reconstr Surg. Sep

2016;118(3):67e-72e.
9. Blomquist PH. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus infections of the

eye and orbit (an American Ophthalmological Society thesis). Trans Am

Ophthalmol Soc. 2016;104:322-45

Anda mungkin juga menyukai