Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK


ASMA ANAK

Dosen Pengampu : Opstaria Saptarini, M.Si., Apt.

Disusun oleh:
Kelompok A2-4

DESI MULYAWATI (1720333588)


DESTY ERZA ANDRIANA (1720333589)
DEWI ANGGRIANI (1720333590)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Saat ini di seluruh dunia tengah terjadi epidemi asma, yaitu peningkatan
prevalens dan derajat asma terutama pada anak-anak, baik di negara maju maupun
negara berkembang.. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan
penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami
mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang
menjadi asma saat dewasanya.
Akibat ketidakjelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan,
sehingga untuk menyusun diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami
kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under /overdiagnosis maupun under /
overtreatment. Untuk mengatasi hal itu perlu adanya alur diagnosis dan tata laksana
asma yang disepakati bersama. Secara internasional untuk saat ini panduan
penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA)
yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood Institute Amerika yang
bekerjasama dengan WHO, dan dipublikasikan pada bulan Januari 1995. GINA juga
menyebutkan bahwa asma pada anak sulit didiagnosis. Prevalens asma anak di
Indonesia untuk kelompok usia sekolah lanjutan sudah ada, namun sayangnya belum
ada data mengenai under /overdiagnosis maupun under/overtreatment.
Untuk anak-anak, GINA tidak dapat sepenuhnya diterapkan, sehingga Pediatric
Asthma Consensus Group dalam pertemuan ketiganya pada bulan Maret 1995
mengeluarkan suatu pernyataan tentang Konsensus Internasional III Penanggulangan
Asma Anak (selanjutnya disebut Konsensus Internasional saja) yang dipublikasikan
pada tahun 1998. Konsensus adalah kesepakatan bersama bukan suatu SOP (standard
operating procedure). Selain GINA dan Konsensus Internasional, banyak negara
yang mempunyai konsensus nasional di negara masing-masing misalnya Konsensus
Australia.
Di Indonesia sudah ada Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun
oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi IDAI pada bulan Desember 1994 di
Jakarta dan ditetapkan dalam KONIKA (Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak) X
di Bukitinggi pada bulan Juni 1996. Pada acara Simposium Respirologi Anak Masa
Kini 11-12 Desember 1998 di Bandung, materi Tinjauan Ulang ini telah disajikan.
Selanjutnya pada pertemuan UKK Pulmonologi IDAI 12-13 Desember 1998, materi
ini mendapat masukan dari peserta pertemuan dan telah disetujui bersama (Sari
Pediatri Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan
konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma
ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan.
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk
anak tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus Internasional
dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama yaitu: Mengi
berulang dan/ atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling
mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan.
Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis ini dalam batasan
operasionalnya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak
kecil, dengan bertambahnya umur, khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis
asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk anak di atas umur 6 tahun definisi
GINA dapat digunakan.
B. Etiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab
atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari.
Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Depkes 2007).
C. Patofisiologi
1. Obstruksi saluran nafas disebabkan oleh banyak faktor seperti
bronkospasme, edema, hipersekresi bronkus, hiperesponsif bronkus dan
inflamasi.
2. Serangan asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui atau
tidak diketahui. Faktor-faktor ini meliputi terpapar allergen, virus , polutan
atau zat-zat lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau konstriksi
bronkus.
3. Terlepasnya mediator kimiawi yang terbentuk pada saat cidera jaringan,
mast sel dan leukosit di saluran pernafasan. Mediator-mediator tersebut
mengakibatkan timbulnya gejala-gejala dan komplikasi asma. Meditor
tersebut adalah : histamine, eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis
(ECF-A), bermacam-macam derivate prostaglandin (leukotriene dan slow
reacting substances of anaphylaxis), Tumor Necrosis Factor (TNF) dan
beberapa mediator sitokin (interleukins)
4. Kontraksi otot polos bronkus dan sekresi mucus dipengaruhi oleh system
simpatik dan parasimpatik. Perangsangan parasimpatik melalui nervus vagus
menyebabkan bronkokontriksi dan sekresi mucus. Stimulasi nerves vagus
dapat terjadi karena rangsangan oleh berbagai zat pada saluran pernafasan.
D. Manifestasi klinik
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan atau
melalui pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :
a. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
b. Batuk yang produktif, sering pada malam hari/
c. Nafas atau dada seperti tertekan.
Gejalanya bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan
memburuk pada malam hari. Klasifikasi asma berdasarkan keberbahayaan yang
ditimbulkan adalah sebagaimana dalam tabel berikut.

Keberbahayaan Gejala-gejala Simptom Fungsi paru-paru


Malam hari
Intermitten ringan  Simtom ≤2 x/minggu ≤2x / bulan  FEV1 atau PEF
 PEF normal diantara ≥80 %
serangan  Fev1 / FVC >85
 Eksaserbasi singkat (jam- %
hari), intensitas bervariasi  Variasi PEF <20
%
Persisten ringan  Simtom >2x/minggu >2x/bulan  FEV1 atau PEF
tetapi kurang dari 1x/hari ≥80%
 Eksaserbasi mungkin  FEV1/FVC >
mempengaruhi aktivitas 80%
 Variasi PEF 20-
30%
Persisten sedang  Simtom setiap hari >1x/minggu  FEV1 , PEF >60-
 Setiap hari menggunakan <80%
inhalasi 𝛽-agonis  FEV1/FVC = 75-
 Eksaserbasi 80%
mempengaruhi aktivitas  Variasi PEF
dan ≥2x/minggu >30%
Persisten berat  Simtom kontinyu sering  FEV1 atau PEF ≤
 Aktifitas fisik terbatas 60%
 Sering eksaserbasi  FEV1/FVC <
75%
 Variasi PEF
>30%

E. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan varibiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Riwayat penyakit / gejala :
1. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi
asma, riwayat keluarga, riwayat alergi dan gejala klinis.
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium : jumlah eosinophil darah dan sputum.
4. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk menetukan
adanya obstruksi saluran pernafasan.
5. Pemeriksaan lain misalnya foto toraks, uji bronkodilator (atas indikasi) dan
analisis gas darah (atas indikasi).

Bagan 2. Alur diagnosis asma anak


F. Klasifikasi
GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma persisten
ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dasar pembagiannya adalah
gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit. Dalam
klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.1 Konsensus
Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat
menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75% populasi anak asma,
aasma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi, dan asma persisten (asma
berat) meliputi 5% populasi.2 Konsensus Nasional juga membagi asma anak menjadi 3
derajat penyakit seperti halnya Konsensus Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih
lengkap seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Lihat Tabel 1.
G. Tujuan terapi
a. Asma kronik
 Memelihara kemampuan aktivitas normal,termasuk olahraga.
 Memelihara kemampuan paru-paru normal atau endekati normal.
 Mencegah terjadinya gejala seperti batuk dan sesak nafa pada malam hari,
pagi atau setelah berolahraga.
 Mencegah timbulnya asma lebih berat.
 Memberikan terapi obat dengan dosis efektif minimal tanpa efek samping
yang berarti.
 Memberdayakan keluarga untuk proses perawatan dan penyembuhan

b. Asma akut dan berat


 Menghilangkan obstruksi saluran nafas dengan cepat (dalam menit)
 Memperbaiki hipoksia yang terjadi
 Mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
 Mengurangi kemungkinan kambuhnya serangan asma berat
 Membuat perencanaan tertulis jika terjadi kegawatan dimasa yang akan
datang.
H. Penatalaksanaan Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
1. Farmakologi
 Asma Intermiten
 Umumnya tidak diperlukan pengontrol
 Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat
diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral,
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral
atau antikolinergik inhalasi
 Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama
tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma
persisten ringan

 Asma Persisten Ringan


Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan:
 Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus
atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
Budenoside : 200–400 μg/hari
Fluticasone propionate : 100–250 μg/hari
 Teofilin lepas lambat
 Kromolin
 Leukotriene modifiers
 Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat
diberikan bila perlu

 Asma Persisten Sedang


Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan:
 Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis
β-2 kerja lama inhalasi
 Budenoside: 400–800 μg/hari
 Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin
lepas lambat
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis
β-2 kerja lama oral
 Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah
leukotriene modifiers
Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
 Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari,
atau
 Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
 Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
 Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita
telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2
kerja lama inhalasi.

 Asma Persisten Berat


Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin,
faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal
mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin
 Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat
mengontrol asma, dengan pilihan: • Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama
inhalasi
 Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
 Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan
leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis
β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi
 Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena
dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas
(GINA, 2015)
2. Non Farmakologis
 Edukasi pasien
 Pengukuran peak flow meter
 Pemberian oksigen
 Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
 Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
 Pola hidup sehat (berhenti merokok, menghindari kegemukan, senam
asma) (PDGI, 2010)
STUDI KASUS

FORM DATA BASE PASIEN UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An Marcus No Rek Medik : -
Tempt/tgl lahir : - Dokter yg merawat : -
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
BB/TB : 100 cm / 25 kg
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :-

Riwayat masuk Rumah Sakit


Marcus Nate datang ke gawat darurat karena terjadi eksaserbasi asma.
Ibunya melaporkan dia telah memiliki infeksi saluran pernapasan atas selama
dua hari terakhir, akibat serangan virus flu dan telah menggunakan inhaler
albuterol-nya lebih sering dari seharusnya. Hari ini, ia telah menerima
perawatan terapi nebulizer albuterol setiap 3 jam, tetapi masih mengeluh sesak
napas dan sering batuk.
Obat controller-nya adalah Flovent® (fluticasone) 110 mcg 1 puff
BID. Ibunya ke apotek untuk memverifikasi obat telah diisi ulang pada
interval yang tepat.
Marcus datang ke rumah sakit dalam keadaan cemas dan gelisah, ia
duduk di tepi tempat tidur bersandar ke depan. Dia memiliki retraksi
interkostal moderat. Ketika Marcus diminta untuk memberitahu nama dan
kegiatan favoritnya di sekolah, dia harus berhenti dan mengambil napas
setelah 4 kata.
Deskripsi penyakit
Marcus datang ke rumah sakit dalam keadaan cemas dan gelisah, ia duduk di
tepi tempat tidur bersandar ke depan. Dia memiliki retraksi interkostal
moderat. Ketika Marcus diminta untuk memberitahu nama dan kegiatan
favoritnya di sekolah, dia harus berhenti dan mengambil napas setelah 4 kata.

Riwayat penyakit terdahulu :


Ia telah mengidap asma semenjak bayi
Riwayat Sosial : -

Kegiatan
Pola makan/diet
- Vegetarian tidak
Merokok tidak
Meminum Alkohol tidak
Meminum Obat herbal tidak

Riwayat Alergi :-

 Data pengamatan
TB/BB : 100 cm / 25 kg
Denyut jantung (N) : 44
Tingkat pernapasan (RR) : 44
SaO2 : 93% pada FiO2 0.21
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Suhu : 37.0

Bunyi napas : Samar, Hilang timbul dengan mengi ekspirasi


sangat samar di seluruh bidang paru-paru.
Menurut pedoman EPR-3, Marcus mengalami eksaserbasi moderat.

B. KELUHAN/TANDA UMUM

1. Data Subyektif dan Data Obyektif


tanggal subyektif obyektif
Masuk IGD Sesak nafas
Batuk
cemas
gelisah
mengambil napas setelah 4 kata retraksi interkostal
(berbicara) moderat
MRS Bunyi napas: samar, Hilang timbul TB/BB : 100 cm / 25 kg
dengan mengi ekspirasi sangat Denyut jantung (N) : 144
samar di seluruh bidang paru-paru. Tingkat pernapasan (RR) :
44
SaO2: 93% pada FiO2
0.21
Tekanan darah: 90/60
mmHg
Suhu: 37.0

2. Data Laboratorium
Parameter Nilai Normal Pemeriksaan Keterangan

SaO2 SaO2 95 % atau lebih SaO2: 93% pada FiO2 Hipoksemia


0.21

Tingkat pernapasan 14 ‒ 20 44 Takipnea (napas


(RR) cepat)
Denyut jantung (N) 60 – 100 kali per menit 144 Takikardi
3. Riwayat penyakit dan pengobatan
Diagnosis
Tanggal/Tahun Nama Obat
Ia telah mengidap asma semenjak bayi Flovent® (fluticasone) 110 mcg 1 puff BID
dahulu
eksaserbasi moderat asma Sebelum MRS, albuterol-nya digunakan lebih sering dari
seharusnya
retraksi interkostal moderat

Perawatan saat masuk IGD nebulizer albuterol setiap 3 jam


Flovent® (fluticasone) 110 mcg 1 puff BID

C. Daftar Obat yang Digunakan Saat Ini

OBAT YANG DIGUNAKAN SAAT INI

No Nama Obat Indikasi Dosis Rute Interaksi ESO Outcome Terapi


Pemberian
1 albuterol bronkodilator albuterol Inhalasi - Flushing; berkeringat; Menyembuhkan asma
setiap 3 jam (nebulizer) anoreksia; perubahan
sensorik yang tidak biasa
2. Flovent® kortikosteoid 110 mcg 1 Inhalasi efek samping terjadi pada Menyembuhkan asma
(fluticasone) puff BID 3% atau lebih pasien
110 mcg 1 puff seperti sakit kepala,
BID faringitis, kongesti hidung,
sinusitis, rhinitis, infeksi
D. ASSESMENT
PROBLEM
S.O TERAPI ANALISIS DRP PLAN
MEDIK
Asma Subyektif : Nebulizer Albuterol Albuterol dan inhalasi agonis β2 selektif aksi Albuterol tanpa Memberikan dosis yang tepat
Sesak napas dan pendek lain diindikasikan untuk penanganan dosis untuk pasien
sering batuk. episode bronkospasme ireguler dan merupakan
Objektif : pilihan pertama dalam penanganan asma
Denyut jantung paraakut. Obat ini hanya digunakan untuk
(N): 44 mengatasi gejala (ISO farmakoterapi jilid 1)
(RR) : 44
SaO2 : 93% Flovent® Meningkatkan jumlah resptor B2 adrenergik dan
pada FiO2 0.21 (fluticasone) 110 meningkatkan respon resptor terhadap stimulasi
mcg BID b2 adrenergik, yang mengakibatkan produksi
mucus dan hiposkresi, mengurangi responsivitas
bronkus serta mengembalikan perbaikan jalur
nafas. (ISO Farmakoterapi jilid 1)
E. PLAN

a. Albuterol
Menyarankan kepada Dokter untuk memberikan Albuterol nebulizer dengan dosis 0,15
mg/kg BB setiap 20 menit sebanyak 3 dosis, kemudian ditingkatkan 0,15 sampai 0,3
mg/kg BB sampai 10 mg setiap 1-4 jam sesuai keperluan, atau 0,5 mg/kg per jam dengan
nebulisasi kontinyu.

b. Kombinasi Fluticasone dan Salmeterol


Untuk terapi rutin penyakit penyumbatan saluran napas reversible termasuk asma dimana
penggnaan kombinasi bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi mencukupi untuk terapi
penyumbatan saluran napas kronik sedang sampai berat. Fluticasone 110 mcg 1 puff 2
kali sehari dan Salmaterol 50 mcg 2 kali 2 inhalasi.

Kombinasi long-acting ß2-agonist (LABA) dengan kortikosteroid inhalasi (ICS)


menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi. Global Initiative for Asthma (GINA)
merekomendasikan kombinasi dua obat tersebut untuk terapi terbaik.

Long–acting bronchodilators (LABD) atau LABA memiliki aksi panjang hingga 12 jam.
Obat ini memberikan efek meredakan gejala (digunakan pagi dan malam). Salmeterol
bekerja pada reseptor beta-2, salmeterol tidak membuka saluran napas secepat short-
acting beta- 2 agonist (SABA) seperti salbutamol atau terbutaline namun menyebabakan
saluran napas terbuka lebih lama.

Kortikosteroid adalah hormon yang diproduksi secara alami oleh kelenjar adrenal dan
digunakan untuk mengurangi peradangan di paru. Fluticasone adalah kortikosteroid
sintetis yang cara kerjanya mencegah pelepasan zat kimia tertentu yang terlibat dalam
memproduksi kekebalan dan alergi yang mengakibatkan peradangan.

Kombinasi ICS dan LABA kini banyak digunakan dan kombinasi yang paling sering
digunakan saat ini yaitu fluticasone/salmeterol (Seretide).

F. TERAPI NON FARMAKOLOGI

1. Edukasi pasien

Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
- meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
Bentuk pemberian edukasi
 Komunikasi/nasehat saat berobat
 Ceramah
 Latihan/training
 Supervisi
 Diskusi
 Tukar menukar informasi (sharing of information group)
2. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus
Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
 Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien
di rumah.
 Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
 Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di
atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang
sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk
mendapat serangan yang mengancam jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan
seperti :
a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b. Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau
penghentian obat
d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
 Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
 Pemberian oksigen
 Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
 Kontrol secara teratur
 Pola hidup sehat

G. MONITORING TERAPI
Monitoring respiratory rate
Moitoring SaO2

Jawaban Pertanyaan

1. Rekomendasi terapi untuk pasien :


a. Albuterol
Menyarankan kepada Dokter untuk memberikan Albuterol nebulizer dengan dosis 0,15
mg/kg BB setiap 20 menit sebanyak 3 dosis, kemudian ditingkatkan 0,15 sampai 0,3
mg/kg BB sampai 10 mg setiap 1-4 jam sesuai keperluan, atau 0,5 mg/kg per jam dengan
nebulisasi kontinyu.

b. Kombinasi Fluticasone dan Salmeterol


Untuk terapi rutin penyakit penyumbatan saluran napas reversible termasuk asma dimana
penggnaan kombinasi bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi mencukupi untuk terapi
penyumbatan saluran napas kronik sedang sampai berat. Fluticasone 110 mcg 1 puff 2
kali sehari dan Salmaterol 50 mcg 2 kali 2 inhalasi.

Alasan : menurut ISO Farmakoterapi jilid 1 pada eksaserbasi moderat, pengobatan utama
dilakukan dengan menggunakan kombinasi dari inhalasi kortikosteroid dan inhalasi
β-2 agonis kerja panjang. Agonis β-2 kerja panjang terdiri dari salmeterol dan
formoterol, dipilih salmeterol karena formoterol kontraindikasi dengan anak <12
tahun
2. Yang dimonitor :
a. Monitoring efek samping penggunaan Kortikosteroid Inhalasi dalam jangka panjang, dan
respon yang timbul apakah membaik atau buruk
b. Monitoring efek samping penggunaan albuterol
c. Monitoring Respiratory Rate (RR)
d. Monitoring SaO2, tekanan darah, denyut jantung
3. Terapi non farmakologi untuk pasien :
a) Istirahat yang cukup
b) Menjaga kebersihan lingkungan dan tempat tinggal, termasuk menghindari polusi udara
baik berupa asap kendaraan dan rokok
c) Makan makanan yang bergizi
4. Edukasi kepada orangtua pasien :
a) Menjelaskan cara penggunaan Kortikosteroid dan salmeterol inhalasi
b) Mengingatkan untuk kumur-kumur dengan air setelah menggunakan inhaler yang
mengandung kortikosteroid untuk meminimalisasi pertumbuhan jamur di mulut dan
tenggorokan serta absorpsi sistemik dari kortikosteroid
c) Menginformasikan kepada orangtua pasien untuk selalu memperhatikan kesehatan anak,
kebersihan, dan makanan.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro J.T et al. 2015. Pharmacoterapi Handbook 9th edition. Mc Graw Hill Education.
NewYork

Dirjen Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Dirjen Bina Kefarmasian dan alat kesehatan
2007. Pharmaceutical care untuk penyakit asma. DEPKES RI

GINA. 2015. Pocket Guide For Asthma Management and Prevention. Global Initiative for
Asthma.

TIM ISO FARMAKOTERAPI 1 . 2013. ISO FARMAKOTERAPI 2. Jakarta Barat. PT ISFI


Penerbitan

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). ASMA. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Revisi 2010.

Anda mungkin juga menyukai