Anda di halaman 1dari 2

Di Indonesia, penanganan nyeri kronik maupun kanker menggunakan teknik intervensi

dianggap masih relatif baru. Berbagai teknik intervensi seperti implant, stimulasi pada saraf tulang
belakang, penyuntikan atau pemanasan ablasi menggunakan alat Radio Freqwency. Cara itu tepat
dilakukan di bagian saraf yang menjadi sumber nyeri, dengan cara itu hasilnya akan meredakan dan
menghilangkan nyeri, sehingga dapat mengurangi ketergantungan.1

Bebas nyeri adalah hak asasi setiap manusia. Itulah prinsip yang semestinya menjadi acuan
seorang dokter dalam mengupayakan kesembuhan bagi para pasien penderita nyeri akut, nyeri kronis
maupun nyeri kanker. Saat ini, di sejumlah institusi rumah sakit telah terjadi perubahan pengelolaan
nyeri pasien. Jika awalnya tanggung jawab utama pengelolaan diserahkan kepada seorang dokter
bedah atau Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), maka sekarang pengelolaan nyeri menjadi
tanggung jawab bersama yang terintegrasi dalam sebuah tim bernama Acute Pain Service (APS).
Artinya, tim APS akan bekerjasama dengan dokter bedah atau DPJP merawat para pasien nyeri. 1,2

Beroperasi di dalam rumah sakit, tim APS yang terdiri dari dokter anestesi, dokter operator/
dokter bedah, dokter dari bidang lain, perawat dan farmasis serta didukung oleh staf sekretariat ini
bergerak menangani kasus nyeri akut. Baik itu kasus bedah maupun non bedah. Seperti penanganan
nyeri pasca pembedahan, pasca persalinan, penanganan nyeri tindakan prosedur medik, dan
konlusktasi nyeri akut. Tugas tim APS secara keseluruhan adalah menentukan semua kebutuhan, alat-
alat yang diperlukan, infrastruktur , pedoman, panduan SPO pengelolaan APS. Peran dari APS
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan keamanan dalam pengelolaan nyeri akut.selain itu
dibutuhkan dukungan dari rumah sakit da kerjasama lintas bagian.2,3

Salah satu model APS yang efektif dan telah berhasil diterapkan adalah nurse based-
anesthetist supervised model. Dalam hal ini peran perawat dan farmasis sangat menentukan hasil APS.
Perawat berperan langsung kepada pasien, mengkoordinir, memonitor, dan mengevaluasi. Perawat
juga bertindak sebagai penghubung antar anggota tim APS lainnya. Sedangkan Farmasis berperan
mengelola pemberian obat-obatan. Modalitas pengobatannya bervariasi. mulai dari pemberian obat
secara oral, obat anti inflamasi non steroid, pemberian obat intra vena, atau pengelolaan nyeri
interventional. Setiap dokter anggota APS harus mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan (
CPD). Minimum 50 persen CPD points, meliputi klinis, akademik, dan managerial. Pasien juga perlu
dibekali pemahaman tentang penanganan nyeri. Pasien dikenalkan metode pengelolaan nyeri,
keuntungan,efek samping dan resiko. 3

DAFTAR PUSTAKA
1. Articles, S. (2004). Practice guidelines for acute pain management in the perioperative
setting: An updated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on
Acute Pain Management. Anesthesiology, 100(6), 1573–1581.
2. Petpichetchian, W., Chongchareon, W., & Java, C. (2012). Acute postoperative pain of
Indonesian patients after abdominal surgery. Nurse Media Journal of Nursing, 2(2),
409–420.
3. Zhang, M., Li, R., Chen, H., Zhou, J., & Zhang, Y. (2018). Application and efficacy
evaluation of an NBASS-APS pain management model in postoperative analgesia for
gastric cancer patients. Journal of B.U.ON., 23(5), 1426–1431.

Anda mungkin juga menyukai