Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan


membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50
tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-
20 tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering
pada wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua.
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di
Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika
Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit
tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio
laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu
pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan.
Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens apendisitis
akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari
keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi ‘junk food’
daripada makanan berserat.
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan
tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT-scan. Tingkat akurasi diagnosis
apendisitis akut berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis akut adalah
pembedahan, apendiktomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik
perioperatif yang spektrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi
dan pembentukan abses intraabdominal.

3
4

Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,


termasuk dalam tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut. Berdasarkan latar
belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi pada
apendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas dalam suatu kajian
ilmiah dalam bentuk laporan kasus.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Apendiks
1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang
mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang
apendiks vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat
pada permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm di bawah junctura
iliocaecal dengan lainnya bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh
yang tidak mempunyai posisi anatomi yang konstan. Lumennya melebar di
bagian distal dan menyempit di bagian proksimal.. Namun demikian, pada
bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens
apendisitis pada usia itu.
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di
regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen
pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior
superior dan umbilicus yang di sebut titik McBurney. Apendiks didarahi
oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri tanpa kolateral dan vena
appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari cabang-cabang saraf
simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior.
Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke
nadi mesenterici superiors.
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya
berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks
ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang
berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak
tertutup oleh peritoneum viserale.
6

Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari


yang secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir
ke sekum. Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks
vermiformis berperan dalam patogenesis apendisitis. GULT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan, termasuk
apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin
sekretoar. IgA sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi
karena jumlah jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna menyebabkan
pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh.

Gambar 1. apendiks
7

B. Definisi dan Klasifikasi Apendisitis


1. Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan
bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat . Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing.
Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis
dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
2. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.
a. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis kronik.
Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli
bedah menemkan banyak kasus dimana pasien dengan nyeri abdomen
kronik, sembuh setelah apendektomi. Para ahli bedah sepakat bahwa
ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi sebagian oleh barium saat
barium enema dengan keluhan nyeri abdomen kanan bawah yang
bersifat kronik intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat
mungkin. Apendisitis kronis lebih jarang terjadi dari pada apendisitis
8

akut dan lebih sulit untuk didiagnosis, insdensnya hanya 1% di Amerika


serikat. Untuk mendiagnosis apendisitis kronis paling tidak harus
ditemukan 3 hal yaitu (1) pasien memiliki riwayat nyeri kuadran kanan
bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif
diagnosis lain; (2) setelah dilakukan apendiktomi, gejala yang di alami
pasien tersebut hilang ; (3) secara histopatologik, gejalanya dibuktikan
sebagai akibat dari inflamasi kronis aktif pada dinding apendiks atau
fibrosis pada apendiks. Menurut crabbe M et al, pada tahun 1986 studi
dilakukan pada pasien 205 pasien yang telah menjalani apendiktomi, 21
pasien yaitu (10%) memenuhi kriteria apendisitis rekuren, sementara 3
pasien (1,5%) memenuhi kriteria apendisitis kronis atau rekuren
berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan temuan histopatologi dari
infiltrasi limfosit dan eosinofil pada dinding apendiks dan terdapat
fibrosis banyak apendiks yang diperiksa dengan otopsi atau diangkat
secara selektif berukuran kecil, tanpa lumen, dan secara histologis,
mukosa dan jaringan limfoidnya atrofik dan submukosa sering
digantikan dengan jaringan fibrosis dan lemak. Sulit untuk memutuskan
apakah perubahan ini adalah merupakan hasil dari atropi fisiologis atau
berasal dari inflamasi akut sebelumnya. Penelitian yang
membandingkan apendiks dari pasien dengan gejala yang menunjukan
apendisitis dengan apendiks yang diangkat tanpa gejala, telah
menunjukan perbedaan yang sangat sedikit pada gambaran patologi.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
Gejala yang dialami pasien dengan apendisitis kronis tidak jelas
dan progresinya bersifat lambat. Terkadang pasien mengeluh nyeri pada
9

kuadran kanan bawah yang interminten atau persisten selama


berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pada apendisitis kronis,
sumbatan hanya bersifat partial dengan sedikit invasif bakteri.
Sekalipun gejala dan progresi tidak sehebat apendisitis akut, apendisitis
kronis tetaplah berbahaya jika dibiarkan tanpa ditangani. Mekanisme
pastinya tidak jelas, walaupun obstruksi luminal juga dapat terjadi.
Penyakit seperti colitis ulseratif, sarcoidosis, poliarteritis nodosa,
penyakit crohn, tuberkulosis dan lain-lain yang dapat berhubungan
dengan apendisitis kronis.
3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis.
Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan jarang
ditemukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden
apendisitis menurun, tapi apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu.
Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan
perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai
pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan
perempuan. Sekitar 20-30% kasus apendisitis perforasi terjadi di
Afrika, sedangkan di Amerika sebanyak 38,7% insidensi apendisitis
perforasi terjadi pada laki-laki dan 23,5% pada wanita.
Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di indonesia
pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena penyakit apendiks pada
tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada diurutan keempat setelah
dispepsia, gastritis dan duodenitis dan penyakit saluran cerna lainnya. Satu
dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insidens
tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia
15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis dari pada wanita
pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi
pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun.
4. Etiologi
10

Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi


lumen apendiks vermiformis. Fekalit adalah penyebab utama terjadinya
obstruksi apendiks vermiformis. Disamping hiperplasia jaringan limfoid,
tumor apendiks vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Erosi mukosa apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica
merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan apendisitis.
Pada tahun 1970, Burkitt mengatakan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan kandungan lemak serta gula yang tinggi pada orang Barat,
serta pengaruh konstipasi, berhubungan dengan timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks vermiformis dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
apendisitis akut.

5. Patofisiologi
Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam
pertama. Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus
(lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi
mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60
cmH2O, yang seharusnya hanya berkapasitas 0,1-0,2 mL.
Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan
menginvasi dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya
pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan
intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler melampaui batas, terjadi
iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi. Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri
11

yang berlebihan di dalam lumen dan invasi bakteri ke dalam mukosa dan
submukosa menyebabkan peradangan transmural, edema, stasis pembuluh
darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan apendisitis kataralis. Jika
proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti pembuluh
darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding apendiks
vermiformis serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis
flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut
apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang terjadi
gangren pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan perforasi. Bila
semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna
tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah.Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
6. Gejala Klinis
Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis. Perlu diingat bahwa
nyeri perut bisa terjadi akibat penyakit – penyakit dari hampir semua organ
tubuh. Tidak ada yang sederhana maupun begitu sulit untuk mendiagnosis
apendistis. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah
ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
12

letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada


nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi.
Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau
diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila
apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah
lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui
hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan
ujungapendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan
bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya
kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing
dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah.
Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus
atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala
sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks
lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
7. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-
38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi.
13

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan


membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi
perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada
apendikuler abses.
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah:
• Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
• Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness
(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah
saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
• Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
• Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah,
hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena
iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
• Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
• Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan
luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks
terletak pada daerah hipogastrium.
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak
14

membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah


terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada
pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-
12.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor
Alvarado, yaitu:
8. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan
jumlah leukosit (sel darah putih).Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan
penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih.Pada pasien wanita,
pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung
telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan).
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram)
dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala)
didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan
bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau
penyakit lainnya di daerah rongga panggul.
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan
diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan
CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis.
Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit
dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak.

9. Diagnosis Banding
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama
dengan appendisitis, diantaranya:
- Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering
ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
appendisitis akut.
- Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.
16

- Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan


diperoleh hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan
hematokrit yang meningkat.
- Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
appendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
- Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus
menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu
24 jam.
- Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di
luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di
pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
- Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
appendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada appendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama.
- Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
- Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai appendisitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria, dan terjadi demam atau leukositosis.

10. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan.Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk
membatasi aktivitasfisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan
untukmengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
17

menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah


anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi
yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan
bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera
menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.

11. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi
secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam
dengan suhu 37,7C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri
tekan abdomen yang kontinyu.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan,
obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan
kematian.Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif.
Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi
prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai,
seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik,
fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium
apendiks.

12. Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan
tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda
atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan
lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia
18

pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes


mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10
sampai 28 hari. Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan
peritonitis di dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu
akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.

C. ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3
syarat (Trias Anestesi), yaitu:
a. Hipnotik : hilang kesadaran
b. Analgetik : hilang perasaan sakit
c. Relaksan : relaksasi otot-otot
2. Anestesi Regional
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat
anestesi disekitar saraf sehingga area yang dipersarafi teranestesi. Anestesi
regional dibagi menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural. Spinal
anestesi adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid sedangkan
epidural di lakukan suntikan ke ruang ekstradural. Anestesi regional terbagi
menjadi :

a. Anestesi Spinal
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu
teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi
19

setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat


memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok
sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf,
mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB dan komplikasi yang
dapat ditimbulkannya.
Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi
penyuntikan, sehingga untuk mendapatkan blockade sensoris yang luas,
obat harus berdifusi ke atas. Hal ini tergantung banyak faktor antara lain
posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis
obat. Berat jenis obat lokal anestesi dapat diubah–ubah dengan
mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi
mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan
serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun
apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik.
Tulang belakang (columna vertebralis) manusia terdiri dari :
a) 7 vertebra servikal
b) 12 vertebra thorakal
c) 5 vertebra lumbal
d) 5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
e) 4 vertebra coxygeal ( menyatu pada dewasa )
Unsur ligamen tulang belakang memberikan dukungan struktural
dan bersama-sama dengan otot pendukung membantu menjaga bentuk
yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan disk intervertebralis
terhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior.
Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum
supraspinata memberikan tambahan stabilitas. Dengan menggunakan
teknik median, jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan melalui ruang
oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang berdekatan.
Untuk mencapai cairan cerebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus: kulit, subkutis, ligament supraspinosum, ligament
20

interspinosum, ligament flavum, ruang epidural, durameter, ruang


subarachnoid.
1) Indikasi anestesi spinal:
a) Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh
darah dan tulang.
b) Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan
dindingnya atau pembedahan saluran kemih.
c) Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi
peritoneal.
d) Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e) Diagnosa dan terapi
2) Kontra indikasi anestesi spinal:
1. Absolut
a) Pasien menolak
b) Infeksi tempat suntikan
c) Hipovolemik berat, syok
d) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intracranial yang meninggi
f) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme
kompensasi
g) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
2. Relatif
a) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
b) Kelainan neurologis
c) Kelainan psikis
d) Pembedahan dengan waktu lama
e) Penyakit jantung
f) Nyeri punggung
g) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
21

3) Persiapan anestesi spinal


Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi
umum, daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya kelainan anatomis tulang punggung atau pasien
gemuk sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
di perhatikan hal-hal dibawah ini :
a) Izin dari pasien (Informed consent)
b) Pemeriksaan fisik:
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
c) Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time)
dan PTT (Partial Thromboplastine Time).
d) Obat-obat anestesi lokal
Salah satu faktor yang mempengaruhi anestesi spinal adalah
barisitas (Baric Gravity) yaitu rasio densitas obat anestesi spinal yang
dibandingkan dengan densitas cairan spinal pada suhu 37oC. Barisitas
penting diketahui karena menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan
ketinggian blok karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan
hiperbarik akan cenderung ke bawah. Densitas dapat diartikan sebagai
berat dalam gram dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas
berbanding terbalik dengan suhu.
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di
golongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat
anestesi lokal benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas
paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. Contoh: Bupivakain
0,5%.
Bupivacaine memiliki waktu paruh tiga setengah jam, sehingga
bupivacaine lebih banyak digunakan untuk mendapatkan efek anestesi
22

yang lebih panjang. Cara kerjanya adalah dengan memblok saluran


kalsium yang berada di ujung membran presinaptik. Ketika potensial
aksi mendepolarisasi membran presinaptik dan saluran kalsium
terhambat, maka tidak ada substansi transmiter yang dilepaskan dari
terminal presinaptik ke synaptic cleft sehingga tidak ada impuls yang
disampaikan.
2. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat
lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan
serebrospinal pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui
variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit
hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya.
Contoh: tetrakain, dibukain.
3. Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila
densitasnya sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu
370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas cairan serebrospinal,
maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya
berada pada rentang standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. Contoh:
levobupikain 0,5%.

4) Prosedur spinal anestesi


Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan
nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh
peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,
anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan
terbuka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian
meningkatkan kenyamanan pasien.
23

Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut:


1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan
ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat
tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien
tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2. Posisi pasien :
a) Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk.
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin
akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone.
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan.
Semakin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum
tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala
(PDPH=post dural puncture headache), dianjurkan dipakai jarum kecil.
Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor
bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor
harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan.
Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang
keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi
stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi
lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang
24

mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi


lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing.
5. Teknik penusukan:
a) Teknik Median (metode midline)
Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur
agar tegak lurus dengan lantai. Ini untuk memastikan jarumnya
dimasukkan secara paralel dengan lantai dan akan tetap pada posisi
garis tengah walaupun penusukan lebih dalam. Processus spinosus
vertebrae di lokasi yang akan digunakan dipalpasi, dan akan
menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan dan
menganestesi kulit seperti di atas, jarum dimasukkan ke garis
tengah. Mengingat bahwa arah processus vertebra mengarah ke
bawah, maka setelah jarum masuk langsung diarahkan perlahan ke
arah kranial. Jaringan sub kutan akan memberikan sedikit tahanan
terhadap jarum. Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum akan
memasuki ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan terasa
meningkat kepadatan jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat
tertanam.
Jika terasa jarum menyentuh tulang, berarti jarum mengenai
bagian bawah processus spinosus. Kontak dengan tulang pada
tusukan yang lebih dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi
garis tengah dan menyentuh processus spinosus atas atau berada di
posisi lateral dari garis tengah dan mengenai lamina. Dalam kasus
seperti ini jarum harus diarahkan kembali. Saat jarum menembus
ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang meningkat. Pada titik
inilah prosedur anestesi spinal dan epidural dibedakan. Pada
anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan jarum
menembus ligamentum flavum dan memasuki ruang epidural.
Untuk anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi hingga menembus
membran dura-subarachnoid dan ditandai dengan adanya aliran
LCS.
25

b) Teknik Paramedian
Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm
lateral ke prosesus spinosus superior dari tingkat yang ditentukan.
Karena teknik lateral ini sebagian besar menembus ligamen
interspinous dan otot paraspinous, jarum akan menghadapi
perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak tampak berada
di jaringan kuat. Jarum diarahkan dan lanjutan pada 10-25 ° sudut
ke arah garis tengah. Identifikasi ligamentum flavum dan masuk ke
dalam ruang epidural sering kali lebih halus dibanding dengan
teknik median.
Jika tulang dijumpai pada kedalaman yang dangkal dengan
teknik paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan dengan bagian
medial lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan terutama ke
atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang
ditemukan lebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian
lateral lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan hanya sedikit
ke atas, lebih ke arah garis tengah.

5) Keuntungan dan kerugian spinal anestesi


Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah,
sederhana, dan penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak
menggunakan obat-obatan yang mudah terbakar, pasien sadar saat
pembedahan, reaksi stres pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak
ada, perdarahan relatif sedikit, setelah pembedahan pasien lebih segar
atau tenang dibandingkan anestesi umum. Selain itu, perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi
terhadap jantung, paru, otak dapat diminimalisir, tromboemboli
berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok
sedang pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman et al,2006).
Kerugian dari penggunaan teknik ini adalah waktu yang dibutuhkan
untuk induksi dan waktu pemulihan lebih lama, adanya resiko kurang
26

efektif block saraf sehingga pasien mungkin membutuhkan suntikan


ulang atau anestesi umum, selalu ada kemungkinan komplikasi neurologi
dan sirkulasi sehingga menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik, dan
pasien mendengar berbagai bunyi kegiatan operasi dalam ruangan
operasi.

6) Komplikasi spinal anestesi


Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan
bicara, batuk kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah
operasi, retansi urine dan kerusakan saraf permanen.

7) Efek spinal anastesi


Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi
regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam
ruang subarachnoid dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia
setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002).
Penyuntikan obat anestetik local pada ruang subarachnoid diantara konus
medularis dan bagian akhir dari ruang subarachnoid adalah untuk
menghindari adanya kerusakan pada medulla spinalis. Pada orang
dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang
subarachnoidantara L2 dan L5(biasanya antara L3 dan L4). Untuk
mendapatkan blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke
atas, dan hal ini tergantung kepada banyak factor, antara lain posisi
pasien dan berat jenis obat (Sunaryo, 2005).

D. Pre-operasi
a) Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif.
27

Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.

b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan
penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ,
dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat
pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan
buruk, dan riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan
untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan
pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf,
respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier,
urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka.
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin.
Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang
menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus
sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap,
pemeriksaan radiologi
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
28

Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait


bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan
berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu,
pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis
fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada
kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang resusitasi IRD
5. Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American
Society of Anesthesiologist (ASA).

Tabel 1. Klasifikasi ASA


Kelas Definisi
ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
ASA 2
sistemikringan sampai sedang
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
ASA 3 sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
ASA 4 sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
ASA 5 sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal.
pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi
ASA 6
organ untuk donor.
Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status
E
pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
29

samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5


kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit
yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi
terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi,
terutama teknik monitoring.
c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.
2. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena
terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa
dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan
waktu puasa.
3. Premedikasi
30

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi


anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat
pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa
jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan
antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral
ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi
mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg
untuk profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting).
Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi
sekresi kelenjar. Pemilihan metokloperamide dikarenakan obat ini
mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna,
meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat
31

pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga


efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-
kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier
atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek
memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada
sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah
pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan
ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2
sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko 4.

E. Durante Operasi
a. Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk
mengatur suhu pendingin ruangan.
b. Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan
menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg
bersama dengan bupivacaine 0.5% dengan dosis 12.5 mg.
c. Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
32

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang


digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian
dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika
kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan
elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling
umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan
kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan
secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam
darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc
sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran
tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang
sebelum dan sesudah terendam oleh darah.

d. Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu
dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard
monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut
ini adalah standard minimal monitoring):
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun
pada kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan.
33

Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang


merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa
kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini
mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari
metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan
klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi
selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan
memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi,
dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama
anestesi adalah:
- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata,
aktivitas reflek palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
F. Postoperatif
1. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia
care unit (PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini,
pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level
nyerinya. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan
pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah
letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap
kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan
34

tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah
regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga
tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan
dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang
telah dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga.
Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera
setelah pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, pakaian pasien
yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan
pakaian yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan
transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut
dan siku serta side railharus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko
injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan
dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani
dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien
ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh
dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek, monitoring
adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan
lancar.

2. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room


Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi
hilang dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum
efek anestesi benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat
masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia
pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas
individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat
35

ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis


anestesi diketahui.
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-
benar pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan
pemantauan seperangkat alat berikut :
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu

1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:


a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan
kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali
pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi
Intensif pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan
pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu
menjaga respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu
juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot
sehingga pasien dapat kembali pulang.
2) Ruang Pulih
a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara
kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan
sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi,
memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri
pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien
36

dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada
ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang
akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan
kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi
(tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing,
fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi
pasien, pemantauan pasca anesthesia dan criteria pengeluaran yakni
dengan menggunakan Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari
pengaruh anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat,
saturasi oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
Tabel 2. Aldrete Score

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.


Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor
10 atau minimal 9.
37

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien


untuk dikeluarkan dari PACU adalah:
a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam kontrol
g. Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai
adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas
motorik. Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ±
60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan
general anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade
sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan
operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda.
Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang
seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol
menurunkan insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin)
receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-
anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini
38

merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan


manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin
ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics.
Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan
dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang
refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk
postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk
mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa
dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).
39

BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
• Nama : Bungaria Br. Sibarani
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Umur : 65 Tahun
• Agama : Protestan
• Alamat : Jln. Kapt. Selamat Ketaren no. 34
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Status Perkawinan : Menikah
• No RM : 33.05.30
2. ANAMNESA
• Keluhan Utama : Sakit perut kanan bawah
• Telaah :Pasien datang ke RS Haji Medan
dengan keluhan nyeri pada perut sebelah kanan yang dialami sejak 1 bulan
dan semakin terasa sakit semenjak sehari yang lalu. Nyeri ini lebih terasa
pada perut sebelah kanan bawah, pada saat dipalpasi pasien terasa
kesakitan. Keluhan disertai demam, batuk, sakit kepala serta tidak selera
makan. Riwayat operasi usus sebelumnya tidak ada, tidak ditemukan
riwayat penyakit diabetes mellitus, asma.
• RPT : Hipertensi
• RPO : Amlodipin
• RPK : (-)
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
• Keadaan Umum : tampak sakit sedang
• Sensorium : Compos Mentis
• Tinggi Badan : 150 cm
• Berat Badan : 60 kg
40

Vital Sign
• Tekanan Darah : 140/ 80 mmHg
• Nadi : 64 kali/ menit
• RR : 20 kali/ menit
• Suhu : 37,2 0C
Pemeriksaan Umum
• Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor
menurun (-)
• Kepala : Normocepali
• Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Edema
palpebra (-/-)
• Mulut : Hiperemis faring (-), Pembesaran
tonsil (-)
• Leher :Pembesaran KGB (-)
Thorax
-Paru
• Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe
pernafasan abdomino torakal,
retraksi costae (-/-)
• Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
• Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
• Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru,
suara napas tambahan (-)
-Jantung
• Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
• Palpasi : Iktus kordis teraba
• Perkusi :
Batas jantung kiri atas : ICS 2 parasternal sinistra
Batas jantung kiri bawah : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas jantung kanan atas : ICS 2 linea parasternal dextra
Batas jantung kanan bawah : ICS 4 linea parasternal dextra
41

• Auskultasi : S1-S2 reguler, suara tambahan (-)


-Abdomen
• Inspeksi : Datar, Simetris
• Palpasi : Nyeri tekan (+) di regio inguinalis
dextra, Hepar dan Lien tidak teraba
• Perkusi : Nyeri Ketok (-)
• Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
• Ekstremitas : Edema -/-
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
• Hasil Laboratorium
Darah Rutin
• Hb : 13,2 g/dl
• HT : 38,0 %
• Eritrosit : 3,9 /µL
• Leukosit : 13.370 /µL
• Trombosit : 274,000 /µL
Metabolik
• KGDS : 105 mg/dl
Fungsi Ginjal
• Kreatinin :-
• Ureum :-
• Diagnosis : Appendicitis akut
5. RENCANA TINDAKAN
• Tindakan : Appendictomi
• Anesthesi : RA-SAB
• PS-ASA : II
• Posisi : Supinasi
• Pernapasan : Spontan dengan nasal kanul
42

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
• Airway : Clear
• RR : 20 kali/ menit
• SP : Vesikuler kanan = kiri
• ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
• Akral : H/M/K
• TD : 140/ 80 mmHg
• HR : 64 kali/ menit
B3 (Brain)
• Sensorium : Compos Mentis
• Pupil : Isokor, kanan = kiri 3 mm/ 3 mm
• RC : (+) / (+)
B4 (Bladder)
• Urine Output :-
• Kateter : Tidak terpasang
B5 (Bowel)
• Abdomen :Nyeri tekan di regio abdomen dextra
• Peristaltik : Normal (+)
• Mual/Muntah : (+)(-)
B6 (Bone)
• Oedem : (-)
7. PERSIAPAN OBAT RA-SAB
Premedikasi
Tidak ada
Medikasi
• Bupivacaine : 20 mg
• Fentanyl : 100 mcg
• Ondansetron : 8 mg
43

• Ranitidin : 50 mg
• Ephedrin : 50 mg
• Ketorolac : 30 mg
Jumlah Cairan
• PO : RL 200 cc
• DO : RL 400 cc dan Voluven 100 cc
• Produksi Urin :-
8. PERDARAHAN
• Kasa Basah :-
• Kasa 1/2 basah : 3 x 5 = 15 cc
• Suction :-
• EBV : 60 x 65
• EBL : 3900 cc
• 10 % : 390
• 20 % : 780 cc
• 30 % : 1170 cc
9. DURASI OPERATIF
• Lama Anestesi : 11.40 - selesai WIB
• Lama Operasi : 11.50 - 12.15 WIB
• Teknik Anastesi : RA-SAB
• Sitting – Position – Identifikasi L3L4 – Desinfeksi dengan povidon iodine
dan bersihkan dengan alkohol 70% – Insersi – Spinocain 25G , SFF (+)
Darah (-) – Injeksi Bupivacain – Blok setinggi T6

10. POST OPERASI


• Operasi berakhir pukul : 12.15WIB
• Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
• Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
• Pergerakan :2
• Pernapasan :2
44

• Warna kulit :2
• Tekanan darah :2
• Kesadaran :2
11. PERAWATAN POST OPERASI
 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, makan dan minum sedikit demi sedikit apabila pasien
sudah sadar penuh dan peristaltik normal
12. TERAPI POST OPERASI
• Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
• IVFD RL 32 gtt/menit
• Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltik (+) Normal
• Injeksi Ketorolac 30 mg / 8 jam IV
• Injeksi Ondansetron 4 mg/8 jam IV bila mual/muntah
45

BAB IV
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendiktomi
(pembedahan untukmengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi
umum atau spinal.
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi
disekitar saraf sehingga area yang dipersarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi
menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural. Spinal anestesi adalah
suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid sedangkan epidural di lakukan
suntikan ke ruang ekstradural.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat
minimal.
46

DAFTAR PUSTAKA

Boulton T., Blogg C. 2014. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.


EGC. Jakarta. pp:229-231

Dobson, Michael B. 20144. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC

Elizabet J. Corwin. 2010. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta

Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 147–
200

Kumar V. 2012. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, De Jong,. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC.

Snel, R.S., 2016. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto

Anda mungkin juga menyukai