Anda di halaman 1dari 8

I.

Pendahuluan
Abses leher dalam (DCA) didefinisikan dengan adanya pus di ruang
dan fasia kepala dan leher. DCA dapat dikategorikan ke dalam retrofaringeal,
peritonsillar, masseteric, pteropalatine maxillary, parapharyngeal,
submandibular, parotid dan abses dasar mulut. Meskipun terdapat perbaikan
dalam tes diagnostik dan ketersediaan terapi antibiotik modern, infeksi tersebut
terus menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan, terutama
ketika tidak ada perawatan dini.2 Infeksi tersebut terjadi dengan frekuensi yang
besar, keparahannya serta perluasannya yang mungkin diremehkan,
membuatnya menjadi tantangan diagnostik untuk dokter di IGD, dokter anak,
ahli THT dan ahli bedah kepala dan leher, karena tanda-tanda dan gejala klinis
sering tumpang tindih dengan gambaran klinis umum penyakit lainnya (yaitu
faringitis, radang amandel dan tortikolis), terutama pada anak-anak, di mana
pemeriksaan fisik mungkin lebih sulit daripada pada orang dewasa. Namun,
tampaknya,3 pada orang dewasa lebih mudah untuk memiliki keterlibatan di
lebih dari satu tempat dan menyebabkan komplikasi serta insidensi penyakit
yang lebih serius daripada pada anak-anak.4 Selain itu, penggunaan obat
analgesik dan anti-inflamasi dapat menutupi gejala klinis. Kadang-kadang sulit
untuk menemukan asal DCA karena sumber utama infeksi dapat terjadi lebih
dulu dalam waktu beberapa minggu sebelumnya.5
DCA berpotensi fatal dan memerlukan manajemen diagnostik dan
terapeutik yang agresif untuk menghindari komplikasi yang mengancam jiwa,
seperti obstruksi jalan nafas, fasiitis nekrotik serviks, trombosis vena jugularis,
empiema koagulasi intravaskular diseminata, mediastinitis, pneumonia aspirasi
atau trombosis / aneurisma arteri karotis. Biasanya polymicrobial, DCA terjadi
dari infeksi yang tidak terkendali sebelumnya seperti tonsilitis, infeksi gigi,
pembedahan, atau trauma pada limfadenitis kepala dan leher setelah infeksi
saluran udara bagian atas.2,6 Perlu dilakukan penyelidikan faktor risiko seperti
infeksi, benda asing, trauma, imunosupresi dan kecanduan obat intravena.
Penyakit bersamaan seperti kista dan fistula kongenital, TB, diabetes mellitus,
HIV, tumor, keadaan defisiensi, dan sebagainya juga harus dipertimbangkan.7
Manifestasi klinisnya beragam dan tergantung pada daerah leher yang terkena.
Selain itu, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat mengubah gambaran
klinis infeksi, membuatnya sulit dipahami.4 Pasien mungkin datang dengan
gejala ringan dan gejala demam serta nyeri, atau mengalami gejala yang lebih
berat dan mengancam jiwa seperti obstruksi saluran napas seperti dispnea. dan
syok septik.
Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan pengalaman klinis kami
tentang infeksi leher dalam dengan mendeskripsikan 101 pasien yang
terdiagnosis dalam 6 tahun terakhir.
II. Metode
Kami meninjau rekam medis dari 101 pasien yang didiagnosis dengan
infeksi ruang leher yang ditangani oleh Ahli THT dan Bedah Kepala dan Leher
dari Brazilian Hospital of Medical School periode Januari 2007 hingga Januari
2013. Semua pasien menandatangani dokumen yang mengesahkan penggunaan
data dari catatan rekam medis mereka (prosedur standar rumah sakit).
Pada semua kasus, pasien menjalani prosedur bedah untuk
mengeluarkan nanah. Diagnosis abses leher dalam dicurigai berdasarkan
riwayat klinis dan dikonfirmasi oleh Computed Tomography (CT) atau operasi.
Analisis ini mengeksklusikan pasien dengan infeksi leher yang tidak
memerlukan operasi, seperti selulitis, dan infeksi superfisial terbatas. Semua
pasien diberikan terapi antibiotik dan jika mungkin, diambil sampel untuk
kultur serta uji sensitivitas.
Kami menganalisis dan membandingkan aspek klinis antara lain
adalah: usia, jenis kelamin, gejala klinis, jumlah leukosit daerah serviks yang
terkena dampak, kebiasaan dan gaya hidup, penggunaan antibiotik,
komorbiditas, etiologi, kultur bakteri, lama perawatan, kebutuhan untuk
trakeostomi, dan komplikasi.
Semua data deskriptif dilaporkan dalam bentuk persentase. Evaluasi
statistik dilakukan dengan uji-t 2 sisi yang dikoreksi untuk ketidaksamaan
varian dan derajat kebebasan. Fisher Exact Test dan x2 test digunakan untuk
membandingkan variabel kategorik. SPSS (13.0, SPSS Inc, Chicago, IL)
digunakan untuk menganalisis data dan nilai p<0.05 dianggap signifikan secara
statistik.
III. Hasil
1. Populasi
Dari 101 pasien, 56 adalah pria dan 45 wanita, masing-masing
55,5% dan 44,5%. Usia mereka berkisar dari 1 hingga 81 tahun dengan
usia rata-rata 28,1 tahun. Sebagian besar pasien masih muda, kelompok
usia 2 dan 4. Di antara anak-anak, usia rata-rata adalah 8,4 tahun, dengan
sedikit dominasi laki-laki (57% pasien). (Gambar 1).

Gambar 1 Distribusi Subjek Sesuai dengan Usia

2. Gejala dan Waktu untuk Diagnosa


Gejala yang paling umum pada diagnosis adalah demam (86,1%)
dan nyeri leher (81,1%). Gejala lain adalah odinofagia (75,2%), edema
serviks (60,3%) dan trismus (47,5%). Tiga belas pasien (12,8%) memiliki
gejala obstruksi jalan napas, delapan pria dan lima wanita dengan usia
rata-rata 31,3 tahun. Lima belas pasien (14,8%) memiliki tanda-tanda
bakteremia pada saat diagnosis, dan dilakukan kultur darah. Waktu rata-
rata dari awal gejala hingga datang untuk mendapatkan perawatan adalah 8
hari (kisaran 2 - 20 hari).

3. Gaya Hidup dan Komorbiditas


Sembilan belas pasien (18,8%) adalah perokok, 24 pasien (23,7%)
pecandu alkohol dan 10 pasien (9,9%) pengguna narkoba. Komorbiditas
yang paling umum adalah hipertensi (19 pasien, 18,8%), diabetes mellitus
(DM) (13 pasien, 12,8%). Komorbiditas lain yang kurang lazim adalah
obesitas (10 pasien, 9,9%), hipotiroidisme (4 pasien, 3,9%) dan hepatitis C
(3 pasien, 2,9%). Pada dua pasien ada hubungan dengan HIV (%). Pasien
dewasa menunjukkan lebih banyak komorbiditas daripada anak-anak (p
<0,01) (Tabel 1).

Tabel 1 Perbandingan anak-anak dan orang dewasa.

4. Etiologi
Tonsilitis bakteri adalah penyebab paling umum dari abses serviks
(32 pasien, 31,68%), diikuti oleh infeksi odontogenik (24 pasien, 23,7%).
Pada 15 pasien (14,8%), penyebabnya tidak dapat diidentifikasi. Etiologi
lain adalah: pasca infeksi saluran napas, limfadenitis dan kemasukan
benda asing (masing-masing 9 pasien, total 17,8%), adenitis
(submandibulitis: 6 kasus, 5,9% dan gondong: 2 kasus, 1,9%) dan fascitis
(4 pasien, 3,96%). Dalam 58,3% kasus dengan etiologi terkait dengan
infeksi odontogenik, terdapat riwayat manipulasi gigi baru-baru ini
(Gambar 2).

Gambar 2 Etiologi Abses Leher Dalam


5. Area dan Limfonodi Servikal
CT Scan leher dilakukan untuk mendiagnosa serta menentukan
tingkat infeksi dari 71,2% pasien. Sementara perluasan penyakit dari
pasien lainnya terdeteksi ketika operasi. Area peritonsillar merupakan area
yang paling sering terpengaruh pada 26,7% kasus (27 pasien). Area lain
yang terpengaruh antara lain: submandibular/dasar mulut (23 pasien,
22,7%), parapharingeal (19 pasien, 18,8%), retropharyngeal (18 pasien,
17,8%), chewing (8 pasien, 7,92%) dan area jugular-carotid (4 pasien,
3,96%) (Gambar 3).

Gambar 3 Perluasan Infeksi Abses Leher Dalam

Seperti yang tertera pada tabel 2, area yang paling umum terlibat
pada kelompok anak-anak adalah area peritonsillar (10 pasien, 37%),
diikuti dengan area parapharyngeal (9 pasien, 33,3%), area submandibular
pada 4 pasien (14,8%) dan area retropharingeal pada 4 pasien (14,8%).
Pada kelompok usia dewasa, area yang paling sering terlibat meliputi
multiarea (31 pasien, 41,8%), diikuti oleh area submandibular pada 19
pasien (25,6%), peritonsiller pada 17 pasien (22,9%). Pada kelompok usia
dewasa lebih sering berkembang menjadi infeksi multispace dibanding
pada kelompok anak-anak (p<0,01) (Tabel 1)
Terdapat beberapa kemunculan penyakit pada beberapa tempat
pada 33 pasien (32,7%). Limphadenopathy paling sering mwncapai level
II dan III. Terdapat perluasan pada mediastinum superior pada 2 pasien
(1,9%).
Tabel 2. Distribusi Area Abses Leher Dalam

6. Bakteriologi dan Leukogram


Semua pasien menerima terapi antimikrobial. Amoxicillin+
clavulanate merupakan antibiotik yang paling sering digunakan sebagai
first-line terapi (82,1% kasus), diikuti dengan kombinasi ceftriaxone dan
metronidazole. Perubahan antibiotik tergantung kepada hasil kultur atau
hasil terapi.
Sampel kultur diambil dari 72,6% pasien. Pada 14,5% kasus
didapatkan hasil tidak ada pertumbuhan bakteri. Pada 18,8% pasien
terdapat pertumbuhan polimikrobial dengan Streptococcus pyogenes dan
Streptococcus pneumoniae sebagai bakteri yang paling sering ditemukan.
S. Pyogenes merupakan mikroorganisme tersering yang ditemukan (25
pasien, 23,3%). Prevalensi mikroorganisme lain adalah sebagai berikut:
Streptococcus intermedius (20 pasien, 18,6%), Streptococcus constelattus
(16 pasien, 14,9%), Staphylococcus aureus (13 pasien, 12,1%),
Streptococcus viridans (9 pasien, 8,4%), Streptococcus pneumonia (8
pasien, 7,4%) dan Neisseria spp. (7 pasien, 6,5%). Mikroorganisme lain
(Corynebacterium spp., Eikenella corrodens, Enterococcus faecium,
Klebsiella pneumoniae dan Streptococci lain) memiliki angka kejadian
yang sangat jarang, total pada 12 pasien (11,8%). Tujuh belas pasien
mengalami gejala sepsis pada saat kedatangannya ke IGD, kemudian di tes
darah, hasilnya positif pada 13 pasien (12,8% dari total), dengan
mikroorganisme yang paling sering ditemukan juga Streptococcus
pyogenes.(Gambar 4).

Gambar 4. Kultur Pertumbuhan Bakteri pada Abses Leher Dalam

7. Komplikasi, trakeostomi, dan mortalitas


Komplikasi abses leher dalam dapat dilihat pada tabel 3.
Komplikasi ditemukan pada 48 pasien (8 anak-anak, 40 dewasa). Diantara
8 kasus pada anak-anak dengan komplikasi, 3 pasien mengalami
pneumonia, 3 pasien mengalami syok sepsis, dan 2 pasien harus menjalani
operasi. Komplikasi utama dari abses servikal meliputi sepsis (17 pasien,
16,8%), pneumonia (11 pasien, 10,8%), mediastinitis (2 pasien, 1,9%) dan
trombosis vena jugularis (1 pasien, 0,9%). Operasi penyesuaian dibutuhka
pada 9 pasien (8,9%), mungkin disebabkan karena reorganisasi dari
infeksi. Pada pasien dewasa, komplikasi lebih sering berkembang
dibanding pasien anak-anak (p=0,005). (Tabel 1).

Tabel 3. Komplikasi dari Abses Leher Dalam


Obstruksi saluran pernapasan bagian atas dan tidak mungkin
dilakukannya intubasi membuat harus dilakukannya trakeostomi pada 17
pasien (16,8%). Diantaranya, 8 pasien (7,9%) harus dilakukan trakeostomi
darurat karena gagal nafas.
Terdapat 2 kejadian kematian pasien (1,9% ). Kasus pertama
terjadi pada seorang wanita usia 19 tahun dengan abses servikal yang luas
disertai mediastinitis dengan etiologi yang tidak dapat dijelaskan. Pasien
meninggal pada hari ketiga setelah operasi, pasien mengalami sepsis
dengan hasil laboratorium positif untuk Streptococcus pyogenes. Kasus
kedua terjadi pada seorang pria usia 49 tahun yang merupakan penderita
diabetes dengan angina ludwig yang meluas ke area submandibular atau
area dasar mulut dan area parapharingeal dengan etiologi odontogenik.
Pasien menunjukkan gejala sepsis dengan hasil kultur darah menunjukkan
keterlibatan lebih dari satu mikroorganisme (Streptococcus viridans +
Neisseria spp.)
Rata-rata lama perawatan pasien adalah 9,7 hari dengan variasi
antara 2:45 hari perawatan. Komplikasi abses memperpanjang lama
perawatan pasien sekitra 5 hari (dengan rata-rata 14,8 hari).

Anda mungkin juga menyukai