Anda di halaman 1dari 12

Persiapan : 1.

Oxytocin 10 IU

2. Spuit 3 cc

3. Sarung tangan

Prosedur : 1. Palpasi abdominal untuk memastikan tidak ada janin kedua


2. Beri penjelasan pada ibu bahwa akan dilakukan injeksi pada paha
3. Injeksi oxytocin 10 IU IM pada bagian lateral dari paha ibu kira-kira 1/3 atas paha dalam waktu 2 menit dari kelahiran bayi
4. Pindahkan klem tali pusat diujung, tempatkan kira-kira 5-10 cm dari vulva
5. Lakukan penegangan tali pusat terkendali ( PTT ) dengan cara:
– Letakkan tangan kiri diatas symfisis
-Tegangkan tali pusat dengan tangan kanan
– Dorong uterus kearah dorso kranial pada saat ada his dan terlihat tanda-tanda pelepasan placenta, sementara tangan kanan
menegangkan tali pusat
– Bila dalam waktu 15 menit uterus tidak berkontraksi, ulangi pemberian oxytocin 10 IU
6. Keluarkan placenta
7. Setelah plasenta lahir,segera tangan kiri melakukan masase fundus uteri menggunakan palman dengan gerakan melingkar sampai
uterus berkontraksi
8. Sementara itu tangan kanan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
9. Tempatkan plasenta pada wadah yang telah disediakan,cuci tangan dengan larutan klorin
Keuntungan Manajemen Aktif Kala III
– Mengurangi jumlah kehilangan darah
– Mengurangi kejadian retensio plasenta
Yang harus dipantau pada kala III
– Kontraksi uterus
– Tanda pelepasan plasenta
– Perdarahan
Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama
1. Pemberian Suntikan Oksitosin
– Segera berikan bayi yg telah terbungkus kain kepada ibu utk diberi ASI
– Letakkan kain bersih diatas perut ibu
– Periksa uterus utk memastikan tdk ada bayi yg lain
– Memberitahukan pd ibu ia akan disuntik
– Selambat-lambatnya dlm wkt dua menit setelah bayi lahir, segera suntikan oksitosin 10 unit IM pd 1/3 bawah paha kanan bagian
luar.
Alasan : oksitoksin merangsang fundus uteri untuk berkontraksi dengan kuat dan efektif sehingga dapat membantu pelepaasan
plasenta dan mengurangi kehilangan darah. Aspirasi sebelum penyuntikan akan mencegah penyuntikan oksitoksin kepembuluh darah.
Catatan : jika oksitoksin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan simulasi puting susu atau menganjurkan ibu untuk menyusui
dengan segera. Ini akan menyebabkan pelepasan oksitoksin secara alamiah. Jika peraturan atau program kesehatan memungkinkan,
dapat diberikan misoprostol 600 mcg (oral/sublingual) sebagai pengganti oksitoksin.
2. Penegangan Tali Pusat Terkendali
– Berdiri disamping ibu
– Pindahkan klem kedua yang telah dijepit sewaktu kala dua persalinan pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva
– Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (alas dengan kain) tepat dibawah tulang pubis, gunakan tangan lain untuk meraba
kontraksi uterus dan menahan uterus pada saat melakukan peregangan pada tali pusat, tangan pada dinding abdomen menekan korpus
uteri ke bawah dan atas (dorso-kranial) korpus.

– tegangkan kembali tali pusat ke arah bawah bersamaan dengan itu, lakukan penekanan korpus uteri ke arah bawah dan kranial
hingga plasenta terlepas dari tempat implantasinya
– Jika plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya peregangan tali pusat dan tidak ada tanda-tanda yg menunjukkan lepasnya
plasenta, jangan teruskan penegangan tali pusat
– Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu utk meneran plasenta akan terdorong ke introitus vagina. Tetap tegang kearah bawah
mengikuti arah jalan lahir
– Pada saat plasenta terlihat pada introitus vagina, teruskan kelahiran plasenta dengan menggunakan kedua tangan. Selaput ketuban
mudah robek: pegang plasenta dengan kedua tangan rata dengan lembut putar plasenta hingga selaput terpilin
– Lakukan penarikan secara lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan selaput ketuban
– Jika terjadi selaput robekan pada selaput ketuban saat melahirkan plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan
seksama
3. Rangsangan Taktil (Pemijatan) Fundus Uteri
– Segera setelah kelahiran plasenta
– Letakkan telapak tangan pada fundus uteri
– Jelaskan tindakan ini kepada ibu dan mungkin merasa tidak nyaman
– Dengan lembut gerakkan tangan secara memutar pd fundus uteri Þ uterus berkontraksi (gambar 5-2) jika tdk berkontraksi dlm wkt
15 dtk, lakukan penatalaksanaan atonia uteri
– Periksa plasenta dan selaputnya utk memastikan keduanya lengkap dan utuh
– Periksa uterus setelah satu hingga dua mnt memastikan uterus berkontraksi dgn baik, jika blm ulangi rangsangan taktil fundus uteri
– periksa kontraksi uterus setiap 15 mnt selama satu jam pertama pascapersalinan dan setiap 30 mnt selama satu jam kedua
pascapersalinan

C.Penatalaksanaan Kala III Aktif


Penatalaksanaan aktif terdiri dari pemberian obat oksitosik, pengkleman tali pusat secara dini, dan pengeluaran plasenta
denganmenggunakan tarikan tali pusat. Cara ini berlangsung lebih cepat dari penatalaksanaan Pasif kala III, dengan pendarahan yang
lebih sedikit, namun demikian, obat oksitosik dapat menimbulakan epek samping yang tidak diinginkan. Prendville et al (1998)
berpendapat bahwa penatalaksaan aktif harus menjadi penatalaksaan pilihan pada persalinan pervaginam tunggal dirumah sakit karena
penatalaksaan aktif kala III termasuk dalam standar praktik penatalaksaan kala III. Secara tradisional, penatalaksaan aktif tidak
diperlukan menunggu tanda-tanda pelepasan plasenta sebelum melakukan penarikan tali pusat. Namun disarankan untuk menunggu
tanda-tanda tersebut, dengan alas an bila penarikan tali pusat dilakukan sebelum munculnya tanda-tanda pelepasan dan ternyata tidak
berhasil, kehilangan darah yang terjadi akan bertambah. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan perlu tidaknya
menunggu tanda-tanda pelepasan.
Penggunaan obat oksitosik terbukti berperan dalam menurunkan angka ketian ibu akibat perdarahan pascapartum, penatalaksanaan
aktif dianjurkan untuk digunakan pada ibu dengan resiko perdarahan pascapartum. Resiko tersebut antara lain :
Adanya riwayat perdarahan pascapartum
– Grande multipara
– Fibroid
– Kehamilan kembar
– Anemia
– Pre-eklampsia
– Perdarahan antepartum, baik akibat solusio placenta maupun plasenta praevia
– Pemberian obat tokolitik untuk persalinan praterm
– Induksi persalinan
– Persalinan dengan tindakan
– Persalinan lama
– Persalinan presipitas
– Anestisia umum
Obat oksitosik
Obat oksitosik adalah obat-obatan yang menstimulasi kontraksi uterus, mengandung oksitosin, dan ada dalam bentuk Syntocinon,
ergometrin atau kombinasi keduanya. Obat ini dapat diberikan secara profilaktik selama penatalaksanaan aktif untuk mengurangi
risiko perdarahan postpartum atau sebagai bagian dari penetaklaksaan kedaruratan terhadap perdarahan pascapartum untuk
menghentikan perdarahan.
Syntocinon
Syntocinon menyebabkan uterus berkontraksi secara teratur dan kuat, terutama uterus bagian atas, mengikuti kerja tubuh. Bila
diberikan secara intravena akan menimbulkan reaksi dalam 40 detik, sedangkan bila diberikan secara intramuscular memerlukan
waktu 2-3 menit. Efek samping utamanya adalah retensi cairan akibat pengaruh antidiuretiknya. Dosis bianya antara 5-10 unit.
Ergometrin
Ergometrin menyebabkan spasma uterus dan servik yang kontinu dan tidak fisiologis, selama lebih dari 2 jam, oleh karena itu,
biasanya digunakan pada perdarahan postpartum akibat atonia uteri. Ergometrin juga menimbulakan vasospasme yang dapat
meningkatkan tekanan darah, dan tidak boleh diberikan pada ibu penderita hipertensi. Juga dapat menimbulkan kontraksi otot polos
bronkiolus yang dapat menimbulkan masalah pada ibu menderita asma. Jika diberikan pada intravena, akan menimbulakan efeka
dalam 40 detik, secara intramuscular memerlukan waktu 5-7 menit. Dosis biasa adalah 0,25-0,5 mg. Efek sampingnya terutama
berkaitan dengan kontraksi otot polos dan meliputi tinnitus, nyeri kepala, nyeri dada, palpitasi, nyeri seperti kram pada punggung dan
kaki, mual dan muntah, peningkatan tekanan darah, penurunan kadar prolaktin dan bila ibu dianestensi umum, akan terjadi
peningkatan risiko edema paru atau edema otak akut setelah persalinan.
Syntometrine
Obat ini mengandung ergometrin 0,5 mg dan oksitosin 5 unit/ml. Obat ini memiliki efek gabungan dari kedua obat tersebut dan bianya
diberikan bila kala III ditatalaksanakan secara aktif, tetapi obat ini juga memiliki gabungan efek samping dari kedua obat trsebut. Bila
dibandingkan dengan Syntocinon, obat ini menurunkan resiko perdarahan postpartum jika darah yang keluar kurang dari 1000 ml.
Bila obat oksitosik digunakan secara profilaktik, biasanya diberikan secara intramuscular pada saat kelahiran baru anterior, hal ini
member cukup waktu bagi obat tersebut untuk breaksi sebelum pelahiran plasenta. Bila bayi yang dilahirkan lebih dari satu, obat
diberikan pada saat kelahiran bahu anterior bayi terakhir.

D.Prinsip Pentalaksanaan Aktif


– Pada saat interior lahir, obat oksitosik diberikan
– Klem dan potong tali pusat, pastikan bahwa kedua ujung tali pusat dalam keadaan baik, letakkan ujung tali pusat maternal (sering
diklem dengan klem arteri) di wadah steril , dan diletakkan didekay vulva.
– Bentangkan handuk steril diatas perut ibu, kemudian letakkan bagian nondominan di atas pundus uteri dan tunggu datangnya
kontraksi, biarkan tangan berada di tempatnya pada saat saat terjadi tanda-tanda terjadi pelepasan dan penurunan plasenta.
– Ketika uterus berkontraksi, letakkan tangan non-dominan di atas simfisis pubis ibu dengan ibu jari dan jari-jari lain direnggangkan
dan telapak tangan menghadap ke bawah.
– Pegang tali pusat dengan tangan dominana dan lakukan tarikasn kebawah (tarikan tali pusat terkendali), pad saat yang sama , dorong
uterus menuju umbilikalis menggunakan tangan kiri (untuk mencegah risiko inverse uterus).
– Tarikan tali pusat terkendali dapat dilakukan dengan baik bila bidan dapat memepertahankan letak tangan yang menarik tali pusat
tetap berada didekat vulva. Pandangan harus mantap dengan memegang forsep arteri pada tali pusat dekat dengan vulva, karena tali
pusat memanjang, klem harus digerakkan keatas supaya tetap dekat dengan vulva. Sebaliknya lilitkan tali pusat mengelilingi jari
tangan yang dominan, kemudian gerakkan mendekati vulva bila perlu
– Bila dirasakan ada tahanan, hentikan dan lepas tekanan dari tangan dominan dan dari tangan non-dominan (plasenta mungkin belum
terlepas) dan tunggu beberapa menit sebelum mencoba lagi, pastikan uterus berkontraksi .
– Bila plasenta tampak dari vulva, penarikan dilakukan kearah atas mengikuti lengkungan jalan lahir.
– Tangan non-dominan dipindahkan ke bawah untuk memebantu penerimaan plasenta, memeberi waktu pada selaput ketuban untuk
keluar secara perlahan.
– Bila terjadi kesulitan pelahiran selaput ketuban, tarikan harus dilakukan kea rah atas dan bawah (untuk membantu melakukannya
forsep arteri dapat dipasang pad selaput ketuban) atau dengan memilih plasenta sehinnga selaput ketuban berbentuk seperti tali, kedua
cara tersebut membantu pelepasan dan pengeluaran selaput ketuban.
– Observasi kondisi ibu, terutama untuk adanya perdarahan per vaginam.
– Catat waktu keluarnya plasenta dan selaput ketuban (sering dalam 5 – 10 menit).
– Kaji kondisi ibu, catat kondisi uterus, jumlah darah yang keluar, nadi dan tekanan darah setelah kala III berakhir, kondisi saluran
genitalia juga harus diperiksa, bila perlu lakukan penjahitan.
– Bantu ibu memperoleh posisi yang nyaman, ganti alat tenun yang kotor , bila hasil observasinya berada dalam bats normal beri
kesempatan pada ibu untuk bersama bayinya (bersama pasangan atau orang yang menemaninya pad saat melahirkan), dekatkan bel di
tempat yang mudah dijangkau ibu.
– Periksa plasenta dan catat jumlah darah yang keluar.
– Buang plasenta dan bereskan alat dengan benar.
– Dokumentasikan hasil dan lakukan tindakan yang sesuai.
Setelah penatalakanaan kala III selesai , catatan persalinan harus dilengkapi secara rinci, termasuk pemberitahuan kelahiran. Keluarga
diberi kesempatan untuk berkumpul, observasi tanda-tanda vital dilakukan, begitu juga uterus ibu dan kehilangan darah dalam bentuk
lokia yang dialami ibu. Ibu dan bayi dibersihkan dan perawatan bayi dilakukan, pemberian makan pada bayi harus dilakukan pada
masa ini.
E.Pemeriksaan Plasenta
Pemeriksaan plasenta setelah persalinan merupakan keterampilan yang sangat penting yang dilakukan oleh bidan untuk menurunkan
kemungkinan terjadinya perdarahan pascapartum dan infeksi.
Struktur dan tampilan
Plasenta adalah struktur berbentuk diskus yang memiliki dua permukaan yaitu permukaan maternal dan permukaan janin. Terkadang
plasenta berkembang dengan struktur dan tampilan abnormal seperti plasenta sirkumvalat. Plasenta melebar di bawah permukaan
endometrium dan kantong embrionik membesar di atasnya, endometrium di antara keduanya terdesak dan hancur, menyebabkan
terbentuknya membrane aseluler, dan dapat memengaruhi penempelan plasenta di desidua sehingga meningkatkan risiko terjadinya
abrupsio plasenta. Plasenta memiliki cincin tebal putih_abu-abu menonjol yang mengelilingi bagian tengah permukaan janin, cincin
tersebut terjadi akibat terlipatnya selaput janin ke arah belakang (Blackburn & Loper ,1992). Pada kehamilan cukup bulan, berat
plasenta sekitar 500-600 gr (kira-kira 1/6 berat badan bayi) , diameternya 15-20 cm dengan tebal 2-3 cm. pengekleman tali pusat yang
terlalu dini dapat menyebabkan plasenta menjadi lebih ringan. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah darah yang dialirkan dari plasenta
ke bayi pada saat kelahiran. Plasenta yang besar dapat berhubungan dengan ibu yang diabetes dan kehamilan kembar, plasenta yang
kecil berhubungan dengan terjadinya defisiensi pertumbuhan intrauterine kronis.
Pada bagian permukaan janin, plasenta tampak berkilau karena lempeng korion , membrane tipis yang bersambungan dengan korion,
dan amnion, yang menutupi permukaan.
Pada bagian permukaan janin terdapat 50-60 lobus atau kotiledon yang terbagi dalam 1-5 lobus. Terkadang plasenta terdiri atas dua
(bipartal atau tiga (tripartal) lobus yang berbeda dengan tali pusat berada disetiap lobusnya. Tali pusat tersebut sebenarnya hanya satu,
tetapi saat mendekati permukaan plasent a tali pusat tersebut mengalami percabangan dua atau tiga untuk mengalirkan darah ke setiap
lobus.
Pembuluh darah, cabang vena dan arteri umbilikalis tampak dengan jelas keluar dari titik insersi tali pusat, yangbiasanya terletak di
tengah atau agak kesamping . tali pusat tertanam di tepi plasenta insersi “battledore” biasanya tidak signifikan, perlekatannya rapuh,
meningkatkan resiko terlepas pada saat penarikan tali pusat terkendali, insersi “velamentosa” yaitu insersi tali pusat pada selaput janin,
dimana pembuluh darah mengalir menembus selaput janin menuju plasenta . perlekatannya sangat rapuh, dapat putus pada saat
penarikan tali pusat terkendali . pembuluh darah dapat berada di ostirium maupun artificial, akan menimbulkan perdarahan janin yang
massif.
Pada plasenta bagian permukaan maternal, plasenta terdiri dari 15 – 20 koti ledon (yang oleh septum) yang muncul dari 2 vili utama
atau lebih serta percabangannya. Selama trimester kedua dan ketiga, dapat terjadi penumpukan fibrin disekitar vili, yang menyebabkan
infark vili yang terpisah. Hal ini biasanya tidak signifikan kecuali jika kejadiannya berlebihan, memengaruhi pertukaran nutrisi dan
produk sisa antara sirkulasi ibu dan janin sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi pertumbuhan intrauterine. Klasifikasi akibat
penumpukan garam kapur pada permukaan dapat dirasakan seperti berpasir, hal ini tidak signifikan. Terkadang kotiledon berada di
selaput ketuban, terpisah dari plasenta, tetapi dihubungkan oleh pembuluh darah lobus “suksemturiata”. Bila tertinggal dalam uterus,
dapat mencetuskan perdarahan pasca partum dan infeksi seperti halnya jika selaput ketuban yang tertinggal didalam uterus. Selaput
plsenta harus diperiksa dengan cermat untuk adanya lobus yang hilang, dicurigai bila terdapat lubang yang tidak jelas penyebabnya
pada koriun, terutama bila pembuluh darah mengalir kearah lubang dan tiba-tiba berhenti mengalir.
Plasenta yang pucat dapat terjdi akibat pengkleman tali pusat yang terlambat sehingga darah yang tertinggal diplasenta hanya sedikit,
dapat pula mengindikasikan terjadinya anemia intrauterine. Mekonium juga dapat terlihat pada plasenta bagian permukaan janin, yang
merupakan tanda-tanda infeksi dan hiperbilirubinemia. Plasenta yang berbau busuk sering mengindikasikan adanya infeksi
intrauterine.
Prosedur pemeriksaan plasenta
 Jelaskan prosedur pada orang tua, dan tanyakan apakah nereka ingin mengopserpasi pemeriksaan
 Siapkan alat :
– Sarung tangan dan apron
– Kantong sekali pakai untuk plasenta
– Penutup pelindung sekali pakai
– Plasenta
 Cuci tangan dan pakai sarung tangan dan apron
 Letakkan plasenta diatas penutup (letakkan diatas permukaan datar) dengan permukaan janin menghadap keatas, cacat ukuran,
bentuk dan bahu serta warnanya.
 Periksa tali pusat, catat panjangnya, titik insersi dan kemungkinan adanya simpul
 Hitung jumlah pembuluh darah diujung potongan tali pusat (bila ujungnya sudah hancur, potong lagi sedikit tali pusat, dan hitung
jumlah pembuluh darah yang ada).
 Observasi permukaan janin untuk adanya ketidakteraturan
 Pegang tali pusat dengan tali tangan non-dominan, angkat plasenta dan periksa robekan selaput plasenta dan kembalikan
ketempatnya
 Buka membran plasenta ke arah luar, periksa adanya pembuluh darah atau lobus tambahan, atau adanya lubang yang tidak
penyebabnya
 Pisahkan amnion dan korion, tarik amnion ke arah belakang melewati dasar tali pusat
 Balik plasenta sehingga permukaan maternal berada diatas
 Periksa kotiledon, periksa kelengkapannya, catat ukuran dan jumlah area yang mengalami infark atau terdapat bekuan darah
 Timbang dan cuci plasenta bila diindikasikan
 Buang placenta dan bereskan alat dengan benar
 Cuci tangan
 Diskusikan hasilnya dengan orang tua
 Dokumentasikan hasilnya dan lakukan tindakan yang sesuai
Bila diperlukan darah tali pusat,mis; pada ibu dengan rhesus-negatif, maka dianjurkan agar darah tali pusat diambil dari plasenta
bagian permukaan janin pada saat pembuluh darah berkongesti dan dapat dilihat. Sampel harus diambil secepatnya sebelum darah
membeku dan biasanya dilakukan sebelum pemeriksaan plasenta.
Dibeberapa unit meternitas, plasenta dikumpukan dan bekukan untuk tujuan penelitian, yang dapat meliputi plasenta atau tali pusat.
Darah tali pusat dapat didonorkan ke London Cord Blood Bank dan digunakan untuk berbagai penyakit hematologis, seperti leukemia.
Penelitian histologi dapat diperlukan untuk situasi tertentu, seperti kelahiran kembar, kelahiran praterm, lahir mati, dan kecurigaan
infeksi.
Tanda pelepasan dan penurunan plasenta
– Perdarahan : 30-60 ml darah dapat keluar dari vagina ( hal ini juga dapat terjadi akibat pelepasan plasenta parsial, meskipun
perdarahan sering kali lebih banyak, atau akibat laserasi).
– Pemanjangan tali pusat : hal ini terjadi karena penurunan plasenta, tetapi dapat juga terjadi bila tali pusat bergulung dan kemudian
melurus.
– Uterus membulat, mengeras, meninggi, mobile dan terasa melengking : hal ini dikaji dengan mempalpasi pundus, hal ini harus
dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebatkan kontraksi yang tidak teratur, mengakibatkan pelepasan sebagian plasenta dan
selaput ketuban, dan perdarahan hebat. Fundus dapat teraba dibawah umbilikalis, dan teraba lebih lebar, sampai plasenta telepas dan
turun kebagian bawah uterus. Tinggi fundus bertambah, biasanya diatas umbilikalis, dengan fundus yang menyempit.
Pengendalian perdarahan
Perdarahan dari tempat pelepasan plasenta dapat terjadi banyak dan cepat, karena pada kehamilan aterm sirkulasi plasenta
diperkirakan sebesar 500-800 ml /menit. Mengendalikan perdarahan merupakan hal yang sangat penting.tubuh berupaya
mengendalikan perdarahan melalui 3 cara :
1. Serat oblik bagian tengah dari uterus berkontraksi dan beretraksi , sehingga terjadi komplikasi pembuluh darah yang mwngalir
disekitar nya. Hal ini menyebabkan kekusutan pembuluh darah sehingga aliran darah melambat dan berhenti, memungtkinkan
terbentuknya bekuan darah.
2. Dinding uterus mengecil, menimbulkan tekanan pada daerah plasenta.
3. Mekanisme pembekuan darah mulai bekerja pada daerah bekas plasenta, pada sinus dan pembuluh darah yang robek. Jaringan yang
rusak melepaskan trombokinase yang mengubah protrombin menjadi thrombin . hal ini dikombinasikan lagi dengan trombosit untuk
membentuk bekuan. Agar proses pembekuan darah berlangsung secara efisien diperlukan vitamin K, kalsium dan factor pembekuan
lainnya .

F.Pemeriksaan Selaput Ketuban


Amnion dan korion terdiri dari selaput janin, yang tampak menyatu sebenarnya tidak . menarik salah satunya dapat merusaknya,
amnion dapat ditarik kearah tali pusat. Amnion terasa halus, tembus cahaya dan liat, sedangkan karion lebih tebal, keruh dan rapuh.
Korion mulai terdapat di tepi plasenta dan melebar ke sekitar desidua. Setelah kelahiran, selaput ketuban akan berlubang karena
dilewati bayi. Bila selaput ketuban tampak tidak rata, kemungkinana ada bagian yang tertinggal di uterus. Hal ini dapat mempengaruhi
kontraktillitas uterus dan mencetuskan perdarahan pascapartum. Hal ini juga menjadi media tumbuhnya mikroorganisme, yang
menjadi pencetus infeksi. Bekuan pascapartum yang keluar harus diperiksa untuk adanya selaput ketuban.

G.Pemeriksaan Tali Pusat


Tali pusat terdiri dari dua arteri umbilikalis dan satu vena umbilikalis, dikelilingi oleh jeli warthon dan ditutupi oleh amnion. Tali
pusat dengan dengan jumlah pembuluh darah kurang dari tiga mengindikasikan adanya abnormalitas congenital, bayi harus di rujuk ke
dokter anak dan sampel tali pusat diperlukan dianalisis. Panjang tali pusat adalah 50 cm (berkisar 30 – 90 cm), diameter 1-2 cm dan
berbentuk spiral untuk melindungi pembuluh darah dari tekanan. Tali pusat yang pendek adalah tali pusat yang panjangnya kurang
dari 40 cm, dan hal ini biasanya tidak signifikan, kecuali jika terlalu pendek, karena pada saat anin turun kerongga panggul tali pusat
akan tertarik dan terjadi juga tarikan pada plasenta. Tali pusat yang terlalu panjang dapat melilit janin atau tersimpul, sehingga terjadi
penyumbatan pembuluh darah, risiko presentasi atau prolaps tali pusat mengalami peningkatan jika tali pusat terlalu panjang, terutama
bila bagian terendah janin tidak sesuai dengan serviks. Lilitan palsu dapat terjadi jika pembuluh darah lebih panjang dari tali pusat dan
memebentuk lingkaran di jeli wharton, hal ini tidak begitu bermakna. Tali pusat yang terlalu besar atau terlalu kecil akan sulit untuk
diklem setelah kelahiran.
Pengkleman tali pusat
Kebiasaan memotong tali pusat mulai diperkenal kan pada abat ke – 17, bersamaan dengan dilakukan nya praktik persalinan ditempat
tidur. Akibatnya, tempat tidur menjadi basah oleh darah dan kemudian pengkleman tali pusat mulai banyak dilakukan untuk
mengurangi hal tersebut.
Pelepasan plasenta tergantung pada kemampuan uterus untuk berkontraksi dan beretraksi, memeras plasenta. Bila tali pusat di klem,
terjadi tahanan balik di plasenta, memecah aliran darah kebayi. Ukuran plasenta tidak banyak berkurang dan dijaga agar tidak terjadi
kompresi. Hal ini dapat menghambat kontraksi dan retraksi, memperlambat proses pelepasan. Efek dari hal ini ada dua macam :
1. Penundaan pelepasan plasenta,yang berarti penundaan penutupan pembuluh darah ibu yang rupture, meningkatnya ukuran bekuan
retroplasenta dan meningkatnya resiko perdarahan.
2. Serviks dapat mengalami retraksi sebelum plasenta dikeluarkan, menyebabkan tertahanya plasenta, yang sering memerlukan
tindakan manual untuk mengeluarkan plasenta dan selaput janin dibawah anastesia epidural, spinal atau umum.
Pengkleman tali pusat dan isoimunisasi rhesus
Bila tali pusat sudah dijepit, akan lebih banyak darah janin yang tertinggal di plasenta, meningkatkan tekanan didalam plasenta. Pada
saat uterus berkontraksi, tekanan meningkat lagi dan permukaan pembuluh darah plasenta mengalami rupture. Sel darah janin
dilepaskan kedalam rongga uterus dan dapat masuk kesirkulasi ibu. Bila bayi memiliki rhesus positif sedangkan ibu mempunyai
rhesus negative, ibu akan memproduksi antibody yang berlawanan dengan sel darah dengan rhesus positif. Isoimunisasi rhesus dapat
mempengaruhi kehamilan berikutnya karena antibody cukup kecil untuk dapat menembus plasenta dan melakukan hemolisis terhadap
sel janin jika janin memiliki rhesus positif. Semua ibu dengan rhesus negative yang memiliki bayi dengan rhesus positif harus
mendapatkan anti immunoglobulin D pada saat persalinan untuk mengurangi risiko terjadinya isoimunisasi.
Pengkleman tali pusat dan dampaknya pada bayi
Pada persalinan kala III, selama tali pusat masih berdenyut, 75-125 ml darah masih dapat dialirkan dari plasenta ke bayi. Darah
tambahan ini diperlukan untuk sirkulasi paru yang baru terbentuk. Pengkleman tali pusat yang terlalu cepat akan mengurangi jumlah
darah yang dialirkan ke bayi, sehingga menimbulkan hipovolaemia. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya sindrom distres pernapasan
dan memburuknya kondisi bayi yang lahir dengan Hb rendah. Kinmond et al. (1993) menemukan bahwa memperlambat penjepitan
tali pusat memungkinkan terjadinya aliran darah ke bayi, dan memperbaiki kondisi bayi praterm.
Bila obat oksitosin diberikan dan tali pusat tidak dijepit, akan terjadi resiko aliran darah yang berlebihan dari plasenta ke bayi yang
masih dapat menerima setengah dari jumlah volume darah totalyang ada ditubuhnya. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya ikterik
dan bila sudah memburuk, dapat terjadi beban sirkulasi yang berlebihan. Oleh karena itu untuk mencegahnya, tali pusat harus diklem
sesegerra mungkin bila diberikan oksitosin.
Bila bayi ditempatkan 40 cm lebih rendah dari introitus, transpusi plasenta akan selesai secaraa fisiologis dalam waktu 30 detik, bila
bayi berada diatas 40 cm, proses transfusi plasenta terjadi lebih lambat. Bila diperlukan obat oksitosin, bayi dapat ditempatkan
dibawah introitus selama 30 detik (posisi tersebut ideal untuk posisi ibu tegak, all fours atau berjongkok, dan sulit bila posisi ibu
semirekumben atau miring kekiri). Setelah itu, barulah obat oksitosik dapat diberikan dan tali pusat diklem. Ujung tali pusat ibu dapat
dibiarkan tanpa diklem untuk mengurangi gangguan proses fisiologis.

Anda mungkin juga menyukai