Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

HIV

Disusun Oleh :

MUHAMAD IRSYAD (2014730058)

Dokter Pembimbing :

dr. H. SUKIMAN, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
kepada kita, terutama kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan. Dalam
laporan kasus ini penulis mengangkat judul “HIV dan Pengobatannya” yang sekaligus
merupakan tugas kepaniteraan dibagian Ilmu Penyakit Dalam untuk proses belajar di RSIJ
Sukapura

Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dan juga banyak menemui berbagai macam hambatan dan kesulitan karena
masih terbatasnya ilmu pengetahuan yang penulis miliki, namun berkat adanya bimbingan,
bantuan serta pengarahan dari berbagai pihak maka, penulis dapat menyelesaikan laporan
ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu dengan terselesaikannya penyusunan laporan
kasus ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini
terutama kepada yang terhormat dr. H. Sukiman, Sp.PD, selaku tutor pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, bantuan, serta pengarahan.

Semakin penulis mempelajari kasus dan literatur mengenai masalah ini,


semakin penulis sadar bahwa banyak sekali yang belum penulis ketahui. oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna menyempurnakan laporan
ini.

Jakarta, Maret 2019

Muhamad Irsyad
1. Identitas Pasien

Nama Lengkap : Tn.S


Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Oktober 1988
Umur : 31 tahun
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Jl.tipar, kecamatan cakung, Jakarta timur
Tanggal Pemeriksaan : 5 maret 2019

2. Anamnesis
A. Keluhan Utama
BAB Cair 5-7x/hari sejak 2 minggu SMRS

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang ke IGD RSIJ sukapura dengan keluhan BAB Cair sejak 4


minggu SMRS, konsistensi cair sedikit ampas, menyemprot, bau busuk,
berwarna kuning pekat, tidak berlendir dan tidak disertai darah. Demam sejak 1
minggu SMRS yang datang secara tiba-tiba, hilang setelah minum obat dan
muncul lagi setelah efek dari obat habis. Pasien mengukur demam berkisar 38-
39 derajat celcius. Batuk sejak 1 minggu SMRS, tidak berdahak dan muncul
secara tiba-tiba. Nyeri ulu hati sejak 1 minggu SMRS. Mual tidak muntah sejak
1 minggu SMRS Penurunan BB sejak 2 minggu terakhir sebanyak 10kg (64kg-
>54kg) Lidah terasa pahit sehingga terjadi penurunan berat badan

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi(-)
Riwayat Asma, TB (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat DM , Hipertensi, Jantung disangkal

E. Riwayat Pengobatan
Pengobatan metformin 3x500mg & injeksi insulin 20IU (pasien lupa nama
obatnya)

F. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap makanan, minuman, udara, cuaca
maupun obat obatan.

G. Riwayat Psikososial
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol, obat obatan terlarang, merokok. Pasien
mengaku suka makan pedas-pedas dan tidak suka sayur-sayuran. Pasien juga
jarang olahraga.

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit, regular, sedikit lemah
Laju Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 37,2⁰C

Antropometri
Berat badan : 55 kg ; Tinggi badan : 176 cm ; IMT : 17,7 (BB Kurang)

Status Generalis
Pemeriksaan Kepala

Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, reflek cahaya (+/+)
Telinga : Normal, Sekret (-), tidak ada perdarahan.
Hidung : Napas cuping hidung (-), epistaksis (-), Sekret (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), Faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-)
Pemeriksaan Thorax
Paru Paru
Inspeksi : Simetris, hemithorax kanan-kiri, retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus simetris, krepitasi (-),nyeri


tekan(-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikular +/+, wheezing -/-, rhonki
-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus Cordis teraba di linea midclavicularis kiri


ICS VI

Perkusi : Batas-batas jantung normal


Auskultasi : Bunyi jantung S1,S2 regular, Gallop (-),Murmur
(-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, lesi (-), distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
pembesaran hepar (-)
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen

Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik
Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik

4. RESUME
OS datang ke IGD dengan keluhan BAB Cair sejak 4 minggu SMRS,
konsistensi cair sedikit ampas, menyemprot, bau busuk, berwarna kuning pekat.
Demam sejak 1 minggu SMRS yang datang secara tiba-tiba, hilang setelah minum
obat dan muncul lagi setelah efek dari obat habis, demam berkisar 38-39 derajat
celcius. Batuk sejak 1 minggu SMRS, tidak berdahak dan muncul secara tiba-tiba.
Pusing(+) Batuk Nyeri ulu hati (+) Mual (+) Penurunan BB (+) Lidah terasa pahit
(+). Bercak putih di selaput mukosa disertai eritema (+) Pada pemeriksaan VCT
didapatkan hasil Reaktif.
A. DEFINISI

Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah Virus yang
menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).

Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu
kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh
masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.

Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang
telah terinfeksi virus HIV.

Yang dimaksud berisiko adalah kelompok populasi kunci ; Pekerja seks (PS) Pengguna
narkoba suntik (Penasun), Lelaki seks lelaki (LSL), Waria dan kelompok khusus:
pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan serodiskordan, pasien TB, pasien Infeksi Menular
Seksual (IMS), dan Warga Binaan Permasyarakatan (WBP).

B. ETIOLOGI

Adapun struktur HIV yaitu bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’
dan di bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE), sebagai berikut:
1. Envelope.HIV bergaris tengah 1/10.000 mm
dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.
Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri
dari dua lapisan molekul lemak yang disebut
lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia
ketika partikel virus yang baru terbentuk
dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel
tersebut.Selubung virus terisi oleh protein yang
berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan Gambar struktur virus HIV-
WHO. TB/ HIV: A
(rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol ClinicalManual; 2004. Diakses dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.
dari permukaan selubung. Protein ini disebut pdf. Accessed on: 25 October 2013.
env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari
3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul
gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus.7
2. Inti atau CORE. Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang
berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya,
P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9
gen dari virus. Tiga diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan
untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode
protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang
merupakan komponen env. Tiga buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan,
vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang
mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau
menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat
melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu
berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga
mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah
enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu:
REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya
adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope.
C. PATOFISIOLOGI

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,
horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung
dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau
secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada
kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak
paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik
terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi
mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi
penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat
dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu.
Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus
meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan
dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun
waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang
menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa
masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4
ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit,
astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor
yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan
CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas
peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV
termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target.
Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim
reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis
DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase
untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai provirus.
Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host rndengan perantara
enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk
melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut
sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel
host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka
sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR
(Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen
pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF
cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain.,
misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang
paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA
mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan
RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk
tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease
menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan
glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan
matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya.
Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan
jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme:
 Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak
terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
 Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV
dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
 Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat
menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal
sekitarnya.
 Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.
 Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan
reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan
kematian sel melalui apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit
T-CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3
atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system
imun, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah
dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium
AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis
sesuai jenis infeksi sekundernya.
Gambar Patogenesis Infeksi HIV
Sumber Gambar: HIV/ AIDS. Available at:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.Accessed on: 22 Ocotober 2013.

Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis
kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai
saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan
terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor
lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh
HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini
bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase
ini disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang
terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.9
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi
positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis
infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam,
diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang
lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi
HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian
kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase
asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali
mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring
dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di
dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan
limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase
infeksi klinisnya mungkin laten.9
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya
telah turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan
imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit
terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori
klinis ini

Bagan Perjalanan Penyakit HIV/ AIDS

D. CARA PENULARAN

A. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun


heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi
(penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling utama diseluruh dunia, yang
berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV). Risiko seorang wanita
terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika dibandingkan seorang laki-
laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif. Penularan ini berhubungan dengan
semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap
infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang
yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok
manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

B. Transmisi Parenteral
 Transmisi ini sebagai akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk
lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
penyalahgunaan narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih
dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Hal ini
terkait penyalah guna obat-obat intravena. Penggunaan jarum suntik secara
bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan prevalensi HIV/AIDS
pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika jarum
suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan
transmisi vertikal kepada anak mereka.
 Darah atau Produk Darah.Transfusi darah dan produk darah. HIV dapat
ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan
faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena
sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes
antibodi dilakukan pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV
tersebut tidak dapat terdeteksi. Transmisi melalui transfusi atau produk
darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun
1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah
donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV
lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
C. Transmisi Transplasental
Maternofetal. Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi
dari darah ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara
berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS
terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu
pertiga (20-50%) anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi
HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu.
Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal.
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko
rendah.
D. Pemberian ASI
Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%.
Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI
kepada bayinya.
E. Petugas Kesehatan
Sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan
data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas kesehatan,
didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan
perkutan lainnya sebesar 0,32% atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498
paparan, dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09%.

E. DIAGNOSIS HIV
1) Konseling dan Tes HIV
Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka klien/pasien harus
melalui tahapan konseling dan tes HIV (KT HIV). Secara global diperkirakan
setengah ODHA tidak mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya mereka yang
tahu sering terlambat diperiksa dan karena kurangnya akses hubungan antara
konseling dan tes HIV dengan perawatan, menyebabkan pengobatan sudah pada
stadium AIDS. Keterlambatan pengobatan mengurangi kemungkinan
mendapatkan hasil yang baik dan penularan tetap tinggi.
Tujuan konseling dan tes HIV adalah harus mampu mengidentifikasi
ODHA sedini mungkin dan segera memberi akses pada layanan perawatan,
pengobatan dan pencegahan. KT HIV merupakan pintu masuk utama pada
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan
dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk
mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting 3 zeroes.
Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati
secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent;
confidentiality; counseling; correct test results; connections to care, treatment
and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua
model layanan Konseling dan Tes HIV.
1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau
wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan
secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.
2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara
klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak
akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien.
Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan
menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi
penyakit pasien.
3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien
atau pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan
keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali
dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan
lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV
dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus
mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
5. Connections to, care, treatment and prevention services. yang
didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
Penyelenggaraan KT HIV,adalah suatu layanan untuk mengetahui
adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. KT HIV didahului dengan
dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan
memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan meningkatkan kemampuan
pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.
2) Tes Diagnosis HIV
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes
HIV, yaitu:
1. Tes serologi
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi
yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi
terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada
jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui
hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan
oleh tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi
antigenantibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus
yang sulit. Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV
yang tampak sehat dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk
dilakukan tes serologis pada umur 9 bulan (saat bayi dan anak
mendapatkan imunisasi dasar terakhir).
3) Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)

Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur


kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari
darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan
menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir
dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada umur 6
minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya
positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis kedua.

Tes virologis terdiri atas:

 HIV DNA kualitatif (EID)


Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan
antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
 HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV
DNA tidak tersedia.
F. INDIKASI MEMULAI ART
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait
HIV dalam populasi.

 Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan


dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB.
Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai
dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan
meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan
kriptokokus.

 Dengan memperhatikan kepatuhan.


 Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan
penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila
hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
G. ART LINI PERTAMA

 Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit,
atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
 Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi

 Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

H. DIAGNOSIS KEGAGALAN TERAPI ARV

Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,
imunologis, dan klinis. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak
dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak
menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya
lebih dini. ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan
gagal terapi dalam keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik
atau berhenti minum obat, penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali
secara teratur minimal 3-6 bulan.
I. ART LINI KEDUA

Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Paduan


OAT yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan 4HE
dengan evaluasi rutin kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang
perlu tetap menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan
dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg 2x sehari atau 2 x 2 tablet.
J. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSAZOL

Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV.


Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol
sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa, wanita hamil dan anak untuk
Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri, manfaat untuk
profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol. Pada tabel 25 berikut
dapat dilihat rekomendasi pemakaian kotrimoksazol untuk berbagai kelompok usia.
 Kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom
StevensJohnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau HIV
negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat,
penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.

 Pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada pelayanan
dengan prevalensi HIV tinggi, kematian bayi tinggi akibat penyakit-penyakit
infeksi, atau pelayanan dengan infrastruktur terbatas.
 Jika inisiasi awal untuk profilaksis Pneumocystis pneumonia atau
toksoplasmosis

 pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria,
batasan CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3

Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200
sel/mm3, dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal
tersebut berguna untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan menyingkirkan
efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat
bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol.
DAFTAR PUSTAKA

a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014


tentang Pedoman Pengobatan Retroviral
b. Consolidated Guidelines On The Use of Antiretroviral Drugs For Treating And
Preventing HIV Infection, WHO 2016
c. Consolidated Guidelines On HIV Prevention, Diagnosis, Treatment And Care
For Key Population, WHO 2016
d. WHO Case Definitions Of HIV For Surveillance And Revised Clinical Staging
And Immunological Classification Of HIV Related Disease In Adults And
Children, WHO 2007

Anda mungkin juga menyukai