Anda di halaman 1dari 38

1

LAPORAN LENGKAP PRAKTEK LAPANG


MANAJEMEN TATA LINGKUNGAN AKUAKULTUR (MTLA)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Mata Kuliah


Manajemen Tata Lingkungan Akuakultur

OLEH :

ARDANA KURNIAJI
I1A210 097

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepualauan yang mempunyai garis pantai kurang

lebih 81.000 km dengan luas perairan pantai 5,8 juta km2 merupakan potensi yang

sangat besar bagi pengembangan budidaya laut. Kondisi seperti ini merupakan

modal untuk pengembangan perekonomian, khususnya bagi sub sector perikanan.

Selama ini pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagian besar masih terbatas

psda usaha penangkapan atau pengumpulan dari alam. Usaha yang sepenuhnya

mengantungkan kepada hasil penangkapan atau pengumpulan dari alam tersebut

akan membawa pengaruh terhadap kontinuitas produksi. Kegiatan penangkapan

atau pengumpulan hasil laut yang tidak bijaksana atau penangkapan lebih (Over

Fishing) dapat berakibat menurunnya populasi dan kelestarian sumber itu sendiri.

Kegiatan budidaya udang merupakan jenis usaha perikanan yang hampir

semua proses produksinya dapat ditargetkan sesuai dengan keinginan, sejauh

manusia dapat memenuhi persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta

pertumbuhan udang yang optimal. Tingginya produksi menyebabkan Indonesia

sebagai salah satu negara dengan pengekspor udang besar di dunia. Kegiatan ini

biasa memanfaatkan lahan-lahan pesisir yang berbatasan langsung dengan pinggir

pantai.

Tambak merupakan wadah budidaya yang intens digunakan dalam

budidaya udang khususnya udang vaname. Pembesaran udang dalam tambak

merupakan hal yang telah sering dilakukan oleh pembudidaya baik skala ekstensif

atau konvensional hingga pada skala super intensif. Salah satu pembudidaya yang

melakukan budidaya udang secara intensif adalah pembudidaya yang berada di


3

Desa Bororo Kabupaten Konawe Selatan. Prosedur budidaya yang dilakukan telah

membuat kegiatan budidaya ini mampu menembus pasar ekspor. Oleh sebab itu

untuk mengetahui lebih jauh mengenai proses dan tata lingkungan yang diterpkan

dalam budidaya tambak pada pembudidaya yang dimaksud, dilakukanlah

praktikum ini guna mendapatkan informasi yang lebih mendetail.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk dapat mengetahui mengenai

penataan lingkungan yang baik untuk budidaya udang vanamei pada tambak

intensif.

Manfaat dari praktikum ini adalah agar dapat menjadi bahan informasi

tentang mahasiswa untuk dapat mengetahui cara budidaya udang vanamei secara

intensif.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Organisme Yang Dibudidayakan

2.1.1. Kalsifikasi

Udang Vaname merupakan udang jenis introduksi yang saat ini banyak

dibudidayakan di Indonesia, hal ini dikarenakan induk/benur udang vaname

berkualitas mudah didapat, mudah didomestikasi, tersedia. Namun seiring

perkembangan teknologi budidaya udang vaname di Indonesia dan terjadinya

penurunan kualitas lingkungan, maka berbagai masalah muncul dan mengancam

perkembangan udang ini (Rukyani, 2004).

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vaname

(Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Phylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei

Gambar 1. Udang Vannaemei (Litopenaeus vanname )


5

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) udang vannamei bersifat

noktural, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Proses perkawinan ditandai

dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat loncatan tersebut, betina

mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat besamaan, udang jantan mengeluarkan

sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung

sekitar 1 menit. Sepasang udang vannamei dapat menghasilkan 100.000-250.000

butir telur yang menghasilkan telur yang berukuran 0,22 mm.Siklus udang

vannamei meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva.

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), udang merupakan

golongan hewan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang

antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta, larva kerang,

dan lumut. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan

sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-

bulu halus (setae) yang terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit,

antena, dan maxillipied. Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang

menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dicapit

menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Selanjutnya,

pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan oesophagus. Bila

pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi

terlebih dahulu oleh maxillipied di dalam mulut.

2.1.2. Morfologi dan Anatomi

Bagian tubuh udang vanamei terdiri dari kepala yang bergabung dengan

dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vanamei terdiri dari

antenula , antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala udang vanamei juga
6

dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang

maxillae dan 3 pasang maxiliped. Perut udang vanamei terdiri dar 6 ruas dan juga

terdapat pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor) yang

membentuk kipas bersama-sama telson. Sift udang vanamei aktif pada kondisi

gelap dan dapat hidup pada kisaran salinitas lebar dan suka memangsa sesama

jenis (kanibal), tipe pemakan lambat tapi terus menerus (continous feeder) serta

mencari makan lewat organ sensor. Spesies ini memiliki 6 stadia naupli, 3 stadia

protozoa, 3 stadia mysis dan stadia post larva dalam siklus hidupnya. Stadia post

larva berkembang menjadi juvenil dan akhirnya menjadi dewasa (Haliman 2005

diacu dalam Pranoto 2007). Udang vanamei juga mempunyai nama F.A.O yaitu

whiteleg shrimp, crevette pattes blanches, dan camaron patiblanco.

Udang vanamei dapat tumbuh sampai 230 mm/9 inchi (Dore dan Frimodt

1987 diacu dalam Muzaki 2004). Udang vanamei menyukai dasar yang berpasir

dengan kedalaman sekitar 72 m dari permukaan laut (Dore dan Frimodt 1987

diacu dalam Muzaki 2004). Pada betina gonad pertama berukuran kecil, berwarna

coklat keemasan atau coklat kehijauan pada musim pemijahan Penaeus vannamei,

biasa juga disebut sebagai udang putih dan masuk ke dalam famili Penaidae.

Anggota famili ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur dikeluarkan

oleh udang betina. Udang Penaeid dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari

bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Penaeid vannamei memiliki 2 gigi pada

tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Anonim

, 2007). Penaeus vannamei memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat

udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan

densitas tinggi (100 udang/m2). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan
7

diatas berat tersebut, Penaeus vannamei tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1

gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et

al., 1991).

2.1.3. Habitat dan Penyebaran

Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40

ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan

darah isoosmotik. Rasa udang dapat dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas

yang tinggi dalam ototnya sehingga menghasilkan rasa lebih manis. Selama

proses post-panen, hanya air dengan salinitas tinggi yang dipakai untuk

mempertahankan rasa manis alami udang tersebut. Temperatur juga memiliki

pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang.

Penaeus vannamei akan mati jika tepapar pada air dengan suhu dibawah

15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada

15-22 oC dan 30-33oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus

vannamei adalah 23-30oC. Pengaruh temperatur pada pertumbuhan Penaeus

vannamei adalah pada spesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh

dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang

tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun (Wyban et al., 1991).

2.1.4 Siklus Hidup

Udang biasa kawin di daerah lepas pantai yang dangkal. Proses kawin

udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan ke udang betina.

Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur

dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor udang betina

mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam
8

waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran

mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius (Perry, 2008). Tahap nauplii tersebut

memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami

metamorfosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa

hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil

dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami

metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah

mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii

sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat alaminya,

postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah.

Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang

dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut (Anonim 2, 2008).

Gambar 2. Siklus hidup Udang Panaeid (Stewart, 2005)


9

2.1.5. Reproduksi Udang

Sistem reproduksi Penaeus vannamei betina terdiri dari sepasang

ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara

mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina.

Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan menjadi

dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material

kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991).

Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma,

dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak

terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama

perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam

cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et

al., 1991). Leung-Trujillo (1990) menemukan bahwa jumlah spermatozoa

berhubungan langsung dengan ukuran tubuh jantan.

Udang biasa kawin di daerah lepas pantai yang dangkal. Proses kawin

udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan ke udang betina.

Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur

dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor udang betina

mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam

waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran

mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius (Januri, 2008). Tahap nauplii tersebut

memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami

metamorfosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa

hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil
10

dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami

metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah

mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii

sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat alaminya,

postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah.

Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang

dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut (Anonim , 2008). Siklus

kidup udang vaname Udang yang dijadikan sebagai induk (broodstock) sebaiknya

bersifat SPF (Specific Pathogen Free). Udang tersebut dapat dibeli dari jasa

penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang tersebut

adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang,

seperti white spot, dan lain-lain. Udang tersebut didapat dari sejumlah besar famili

dengan seleksi dari tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi famili, seleksi

massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut adalah

keturunan dari kelompok famili yang diseleksi dan memiliki sifat pertumbuhan

yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam tinggi.

Karakteristik induk udang baik yang lain adalah udang jantan dan betina memiliki

karakteristik reproduksi yang sangat bagus. Spermatophore jantan berkembang

baik dan berwarna putih mutiara. Udang betina matang secara seksual dan

menunjukkan perkembangan ovarium yang alami. Berat udang jantan dan betina

sekitar 40 gram dan berumur 12 bulan.

Sistem reproduksi Penaeus vannamei betina terdiri dari sepasang ovarium,

oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari

epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Organ


11

reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan

apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi

dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui

vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan

melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991).

Proses kawin alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu

malam hari.Tetapi, udang Penaeus vannamei paling aktif kawin pada saat

matahari tenggelam. Spesies Penaeus vannamei memiliki tipe thelycum tertutup

sehingga udang tersebut kawin saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah

maturasi ovarium selesai, dan udang akan bertelur dalam satu atau dua jam setelah

kawin (Wyban et al., 2005). Peneluran terjadi saat udang betina mengeluarkan

telurnya yang sudah matang. Proses tersebut berlangsung kurang lebih selama dua

menit. Penaeus vannamei biasa bertelur di malam hari atau beberapa jam setelah

kawin. Udang betina tersebut harus dikondisikan sendirian agar perilaku kawin

alami muncul (Wyban et al., 1991).

2.2. Tata Letak dan Fasilitas Budidaya

2.2.1. Pengertian Tambak

Tambak adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air

dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur).Hewan yang

dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Penyebutan

“tambak” ini biasanya dihubungkan dengaair payau atau air laut. Kolam yang

berisiair tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan

salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan

budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum tambak
12

biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu,walaupun

sebenamya masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak,misalnya

ikan bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya (Ahmad, 2011).

Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai

tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara

umum tambak biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu,

walaupun sebenamya masih banyak spesies yand dapat dibudidayakan di tambak

misalnya ikan bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya. Tetapi

tambak lebih dominan digunakan untuk kegiatan budidaya udang windu. Udang

windu (Penaeus monodon) merupakan produk perikanan yang memiliki nilai

ekonomis tinggi berorientasi eksport. Tingginya harga udang windu cukup

menarik perhatian para pengusaha untuk terjun dalam usaha budidaya tambak

udang. Para pengusaha di bidang lain yang sebelumnya tidak pernah terjun dalam

usaha budidaya tambak udang windu secara beramai-ramai membuka lahan baru

tanpa memperhitungkan aturan-aturan yang berkenaan dengan kelestadan

lingkungan sehingga meninbulkan masalah (Khuri, 2009).

2.2.2. Fasilitas Budidaya

2.2.2.1. Pematang

Pematang utama/tanggul utama merupakan bangunan keliling tambak

yang gunanya untuk menahan air serta melindungi unit tambak dari bahaya banjir,

erosi dan air pasang. Oleh karena itu dalam konstruksinya pematang/tanggul harus

dibangun benar-benar kuat, bebas dari bocoran dan aman dari kemungkinan

longsor.
13

2.2.2.2. Pintu air

Dalam petakan tambak pintu air merupakan pengendali dan oengatur air

dalam operasional budidaya. Oleh karena itu dalam budidaya di tambak jumlah

pintu air tergantung tingkat teknologi yang diterapkan. Di petakan tambak

biasanya pintu air terdiri atas dua macam yaitu pintu air pemasukan dan

pembuangan.

2.2.2.3. Saluran air

Di dalam petakan tambak terdapat saluran air yang berfungsi untuk

memasukan air setiap saat secara mudah, baik untuk mengalirkan air dari laut

ataupun air tawar dari sungai/irigasi.

2.2.2.4. Konstruksi tambak

Kontruksi tambak dibangun dengan bentuk bujur sangkar dengan ukuran

panjang dan lebar masing-masing 50 meter, sehingga luas satu petak tambak

sebesar 2.500 m2. Untuk konstruksi tanggul tambak, digunakan harflek yaitu

lembaran dinding terbuat dari bahan asbestos berkadar asbes rendah yang

biasanya digunakan untuk dinding bangunan atau pagar. Harflek tersebut dipasang

memanjang pada dinding tambak bagian dalam dan pada setiap sambungan

diperkuat dengan pasangan batako semen. Sebelum harflek dipasang, maka dasar

dan dinding tambak dilapisi dengan plastik (ketebalan 0,6 mm). Pematang tambak

dibuat miring dengan perbandingan 1 : 1 sampai 1 : 1,5.

Sebelum bioseal dipasang, pematang pasir dipadatkan terlebih dahulu agar stabil.

Untuk memudahkan dan memperkuat konstruksi dinding, maka pada pada dasar

dinding terlebih dahulu diberi konstruksi “sepatu dinding” selebar 1 meter terbuat

dari plesteran.
14

Agar tambak mudah dikeringkan dan sisa pakan selama pemeliharaan dapat

dibersihkan, maka dasar tambak dibuat miring ke tengah dengan tingkat

kemiringan 1-2%. Selanjutnya di tengah dasar tambak dilengkapi dengan

konstruksi pengeluaran air (central drainage). Central drainage terdiri dari

bangunan tower, saringan air dan pipa pembuangan bawah tanah terbuat dari pipa

PVC 12″.

Selain konstruksi petakan tambak, perlu pula diperhatikan konstruksi

saluran pemasukan air (inlet) dan konstruksi pembuangan air (outlet). Saluran

pemasukan air dibuat di atas pematang tambak yang menghubungkan sumber air

sungai (yang dipompakan ke saluran) dengan petakan tambak. Konstruksi saluran

air tersebut terbuat dari pasangan bata merah selebar 0,5 m dan tinggi 0,5 m, yang

bagian dasarnya diperkuat dengan fondasi batu kali. Saluran pembuangan dibuat

di bawah tanah dan lebih rendah dari dasar tambak, terbuat dari buis beton yang

menampung air pembuangan yang berasal dari central drainage (Ahmad, 2011).
15

III. METODE PRAKTIKUM

3.1.Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan pada hari Minggu, tanggal 26 Mei 2013, pukul

09.00 WITA – 12.00 WITA yang bertempat di Bororo.

3.2.Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada tabel

1 sebagai berikut:

Tabel 1. Alat yang digunakan pada praktikum Manajemen Tata Lingkungan


Akuakultur beserta kegunaannya
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1. Alat :

- Alat Tulis Menulis Mencatat Hasil Wawancara


- Tambak Lokasi yang diamati

Bahan :
2. - Udang Vanamei Bahan yang diamati

3.3.Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum ini dibagi dalam dua

tahapan, yakni tahapan observasi dan tahapan wawancara (interview), adapun

prosedur kerjanya sebagai berikut:

3.3.1. Observasi

a. Melakukan persiapan peninjauan berupa alat tulis

b. Mensruvei seluruh kawasan tambak yang diamati

c. Mencatat hasil pengmatan berupa penggunaan fasilitas dan layout tambak

3.3.2. Wawancara

a. Mempersiapkan alat wawancara yang akan digunakan


16

b. Melist beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan tata lingkungan

tambak

c. Melakukan wawancara secara langsung dengan pembudidaya/teknisi

tambak

d. Mencatat semua hasil wawancara


17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil Pengamatan

Gambar 3. Lokasi Budidaya

4.2.Pembahasan

Tambak merupakan media atau wadah budidaya payau yang digunakan

dalam budidaya udang vaname. Proses budidaya ini memerlukan perhatian lebih

terutama pada tata lingkungan tambak, hal ini selain karena taknologi yang

digunakan adalah teknologi budidaya intensif, luasan petakan tambak juga

menyebabkan perlu dilakukan panataan lingkungan yang sesuai untuk kebutuhan

budidaya.

4.2.1. Tata Letak dan Fasilitas Budidaya (secara Makro)

Sistem penataan lingkungan yang dilakukan secara permanen dan mutlak

adanya merupakan sistem tata lingkungan makro yang harus dipenuhi guna

menunjang terselenggaranya kegiatan budidaya. Lingkungan yang digunakan

menjadi salah satu syarakt mutlak yang harus diperhatikan dan diolah sehingga
18

tidak menimbulkan kegagalan budidaya, adapun fasilitas makro dan sitem

penataan yang digunakan adalah sebagai berikut:

4.2.1.1. Petakan Tambak

Petakan adalah bagian-bagian tambak yang merupakan kesatuan unit

sistem budidaya, didalam petak terdapat fasilitas penunjang yang digunakan

dalam budidaya. Petakan tambak yang ada dalam kawasan tambak mencapai 32

petakan dengan setiap petak memiliki jumlah fasilitas penunjang berbeda-beda

tergantung dari luasan petakan. Dari 32 petakan tersebut dibagi dalam 1 kawasan

tambak seluas 17 hektar yang berada tepat ditepi pantai dengan kawasan hutan

mangrove disekeliling lokasi.

Masing-masing petak memiliki ketinggian yang berbeda-beda yakni antara

2-3 meter namun memiliki kedalam air yang sama yakni mencapai 120-150 cm

setiap petak. Jenis petakan berbeda-beda, beberapa petak tambak menggunakan

beton dan ada pula yang masih menggunakan jenis substrat lempung berpasir,

sehingga masih berbeda dalam skala produksinya. Saat dilakukan wawancara,

pada petakan tambak yang menggunakan beton, tambak lebih mudah dibersihkan

dan terhindar dari penumpukan senyawa berbahaya sehingga produksinya dapat

lebih tinggi dibadingkan dengan petakan yang menggunakan substrat lempung

berpasir.

Hanya saja dalam pembagian petakan ini tidak ditemukan penerapan

differentiation function pada masing-masing petak tambak. Padahal hal ini sangat

urgen untuk menunjang kegiatan budiaya setiap siklus produksi, dimana perlu

diadakan petakan tambak untuk nener, untuk gelondongan, untuk proses


19

aklimatisasi dan petakan pasca panen serta patak karantina saat udang terserang

penyakit.

Jika saja dapat disarankan, dalam pembuatan petakan untuk nener pada

umumnya dangkal, luasnya berkisar antara 500 -1.000 m 2 . Letak petakan nener

dekat dengan sumber air tawar maupun air asin. Selanjutnya pada petakan untuk

gelondongan mempunyai areal lebih besar (luas) dan lebih dalam (1.000 - 2.000)

m 2. Hal ini digunakan untuk menampung gelondongan dari petakan peneneran

tempat untuk menumbuhkan gelondonan kecil (pre fingerling) atau untuk

penyimpanan dan menahan gelondongan besar (post fingerling). Sedangkan untuk

petakan aklimatisasi atau yang biasa disebut ipukan/baby box merupakan petakan

kecil yang terbuat dalam penggelondongan dan bersifat hanya sementara. Ipukan

ini dibatasi oleh pematang yang relatif kecil (sempit dan rendah) dibangun

berdekatan dengan saluran air, agar mutu lebih baik dan memudahkan

pengelolannya. Ukuran luasnya tergantung kepada banyaknya nener yang akan

ditebarkan (stock). Pada musim kemarau temperatur udara dapat naik mencapai

33°C, ipukan dapat menampung 5.000 - 10.000 ekor per m 2 selama 3 hari,

meskipun dibawah periode yang relatif tenang. Dan diperlukan pula berupa

petakan kecil untuk penangkapan atau kanal yang sempit atau tempat untuk

mengumpulkan gelondongan dalam waktu singkat. Ikan-ikan dikumpulkan ke

tempat pengumpulan dengan cara pengaturan aliran air, dari air pada saat pasang

atau air dari petakan lain yang telah disiapkan sebelumnya. Aerasi dapat diatur

dengan aliran air dari tambak yang berdekatan atau dari tambak yang lain,

sehingga tidak terjadi efek yang merugikan karena kekurangan oksigen, walaupun

di dalam petakan tersebut padat dengan ikan. Dalam petakan ini ikan-ikan tersebut
20

mudah dijaring dan dipindahkan ke petakan yang lain dengan cara mengunakan

jaring untuk pemindahan gelondongan. Hal ini dipermudah dengan sifat ikan

bandeng yang senang menentang arus.

4.2.1.2. Saluran Air

Saluran air tambak merupakan hal terpenting dalam pengaturan sirkulasi

air pada suatu kawasan tambak. Saluran air yang sesuai akan menghasilkan sistem

sirkulasi air yang baik dan menghindarkan kontaminasi limbah hasil pembuangan.

Selain itu pula, saluran air juga menentukan secara spasial proses pemanenan

udang pada tambak, sehingga fungsi saluran air sangat urgen untuk sebuat sistem

budidaya intensif.

Berdasarkan hasil pengamatan pada kawasan tambak yang ada, saluran air

yang digunakan terbagi dalm dua siklus air, yakni pengairan inlet dan pengairan

outlet. Jenis saluran air yang digunakan juga dibagi dua, yakni dengan

menggunakan pipa paralon dan saluran air biasa. Sehingga dalam sistem saluran

air ini ditemukan saluran air utama yang biasa dengan ukuran yang lebih besar

untuk membawa air dari sumber air (laut) menuju kawasan tambak. Sedangkan

untuk cabang saluran menggunakan pipa paralon yang ukurannya berbeda-beda

sebagai saluran pemasukan air dari saluran utama ke dalam tambak.

Menurut Andriar (2012) bahwa saluran air untuk tambak dibagi dalam dua

bagian, yakni saluran suplai air yang menampung air dengan baku mutu air

standar, yang didistribusikan ke petak-petak pembesaran dan Saluran pembuangan

yang berasal dari petak pembesaran, berfungsi sebagai saluran pengendapan

lumpur/limbah. Selain saluran tambak, juga diperlukan pintu tambak untuk

mengatur jalannya siklus air dalam tambak. Pintu air dapat digongkan menjadi
21

beberapa bagian, yaitu pintu utama, yaitu pintu yang terletak pada saluran utama,

dimana fungsi dari pintu ini adalah untuk mengendalikan air didalam saluran. Pintu

tambak adalah berfungi untuk mengendalikan air dalam tambak. Pintu tambak dapat

terbuat dari PVC, Kayu, concrete, bahkan bambu

4.2.1.3. Kincir

Kincir merupakan salah satu fasilitas penunjang yang digunakan dalam

sistem budidaya tambak. Jika diamati, kincir yang terdapat dalam setiap petak

berkisar antara 8-12 kincir, dimana kincir tersebut diletakan disetiap sudut

tambak. Lain halnya dengan kincir air elektrik yang dioperasikan pada malam

hari, ini dimaksudkan untuk mensuplai lebih banyak oksigen pada malam hair

dimana kondisi kadar DO berangsur menurun. Sehingga operasional kincir pada

siang hari berbeda dengan operasional kincir pada malam hari. jumlah kincir yang

digunakan pada malam hari juga lebih banyak.

Pemahaman dasar terkait dengan peran dan fungsi kincir air dalam

operasional tambak udang sangat diperlukan, agar kincir air tersebut dapat

berperan secara optimal. Pemahaman yang kurang memadai tentang kincir air

hanya akan memfungsikan kincir air tersebut sebagai aksesoris suatu petakan

tambak. Dalam pelaksanaan di lapangan, banyak sekali dijumpai model-model

kincir air yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya (pada pembahasan ini tidak

akan diuraikan pengetahuan terkait model dan spesifikasi teknis dari kincir air).

Secara mendasar fungsi dari kincir air di dalam operasional tambak udang antara

lain sebagai berikut:

1. Sebagai penyuplai oksigen di dalam perairan tambak. Seperti telah

dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa di dalam suatu


22

ekosistem perairan tambak kebutuhan oksigen telah disuplay oleh

phytoplankton, tapi kebutuhan oksigen tersebut tidak akan mencukupi bagi

biota dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Oksigen di dalam

perairan tambak diperlukan tidak hanya dalam proses respirasi

(pernapasan) tapi juga dibutuhkan dalam proses-proses fisika, kimia dan

biologi yang terjadi di dalam perairan tersebut. Keberadaan kincir air

didalam tambak diharapkan dapat membantu dan mengantisipasi

terjadinya kekurangan oksigen yang dapat terjadi pada saat tertentu di

dalam perairan tersebut.

2. Membantu dalam proses pencampuran karakteristik antara perairan

tambak lapisan atas, dan bawah. Sebagai suatu perairan yang statis dan

memiliki ketinggian tertentu, maka suatu perairan tambak jika dalam

kondisi diam akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara lapisan

atas dan lapisan bawah. Perbedaan karakteristik perairan tersebut, jika

tidak segera diantisipasi dapat membahayakan kehidupan udang yang ada

didalamnya. Pengoperasian kincir diharapkan dapat membantu

mengantisipasi terjadinya perbedaan yang cukup menyolok antar lapisan

air tambak, sehingga kualitas air yang dihasilkan relative sama antar

lapisan air tambak.

3. Membantu dalam proses pemupukan air. Kegiatan pemupukan air

dilakukan sebagai upaya pembentukan kualitas air yang terkait dengan

kecerahan air dan warna air tambak dengan cara menstimulasi

pertumbuhan phytoplankton kea rah yang lebih stabil. Pengoperasian

kincir diharapkan dapat membantu proses penyebaran pupuk secara merata


23

di dalam perairan tambak sekaligus menstimulasi pertumbuhan plankton

melalui oksigen yang dihasilkannya.

4. Membantu dalam mengarahkan kotoran dasar tambak ke arah sentral

pembuangan, sehingga memudahkan dalam proses pembersihan dasar

tambak. Fungsi kincir air terkait hal ini sangat erat hubungannya dengan

tata letak kincir di dalam tambak.

5. Pada saat pengoperasian kincir air, putaran-putaran air yang dihasilkan

dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kestabilan kualitas air

di dalam tambak (telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya)

4.2.1.4. Instalasi Pengelolaan Limbah

Instalasi Pengelolaan Limbah yang diterapkembangkan dalam sistem

budidaya intensif pada tambak ini adalah sistem drainase yang menggunakan

sentral tepat ditengah tambak. Sehingga seluruh limbah akan terbuang keluar

melalui sistem ini. Tambak yang baik umumnya memiliki sistem pengelolaan

limbah yanb baik guna mengurangi efek lingkungan yang berbahaya, sehingga

untuk memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah

mengeluarkan limbahnya adalah tambak lingkaran atau bujur sangkar dengan sudut

melengkung. Namun pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada salah satu

wilayah kecil di tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi saluran tengah,

kolam tengah di dalam tambak dan yang paling berperan adalah peletakan kincir air

tunggal atau berangkai. Instalasi pengelolaan limbah yang ada pada kawasan tambak

ini memberikan dampak yang baik dalam pencegahan kontaminasi penyakit, yakni

perbedaan saluran dan letak pengambilan air untuk tambak. Sistem budidaya pada
24

tambak intensif ini pada khususnya tidak menggunakan sistem pengelolaan yang

intens dilakukan dibeberapa sistem budidaya.

Secara garis besar sistem pengolahan air limbah terdiri dari beberapa

tahap, yaitu pengolahan pendahuluan (pre treatment), pengolahan pertama

(primary treatment), pengolahan sekunder (secondary treatment), pengolahan

tersier (tersiary treatment), pembunuhan kuman dan pengolahan lanjutan.

4.2.1.4.1. Pengolahan Pendahuluan (pretreatment)

Sebelum mengalami proses pengolahan perlu dilakukan pembersihan-

pembersihan untuk memperlancar proses berikutnya. Kegiatan berupa

pengambilan benda terapung dan pengambilan benda yang mengendap seperti

pasir. Pengolahan pendahuluan dIgunakan untuk memisahkan padatan kasar,

mengurangi ukuran padatan, memisahkan minyak atau lemak, dan proses

menyetarakan fluktuasi air limbah pada bak penampung. Unit yang terdapat

dalam pengolahan pendahuluan adalah:

4.2.1.4.2. Pengolahan Pertama (primary treatment)

Pengolahan tahap pertama digunakan untuk mengurangi kandungan

padatan tersuspensi melalui proses pengendapan (sedimentation). Pada proses

pengendapan, partikel padat dibiarkan mengendap ke dasar tangki. Bahan kimia

biasanya ditambahkan untuk menetralisasi dan meningkatkan kemampuan

pengurangan padatan tersuspensi. Dalam unit ini, pengurangan BOD dapat

mencapai 35 5, sedangkan SS berkurang sampai 60 %. Pengurangan BOD dan

padatan pada tahap awal ini selanjutnya akan membantu mengurangi beban

pengolahan tahap kedua (secondary treatment).


25

4.2.1.4.3. Pengolahan Kedua (secondary treatment)

Pada umunya mencakup proses biologis, denagn tujuan untuk mengurangi

bahan organik melaluio mikroorganisme yang ada didalamnya. Dalam pengolahan

kedua banyak digunakan beberapa metoda seperti lumpur aktif (activated sludge),

lempeng biologi berputar, trickling filter, parit oksidasi, kolam oksidasi dan

laguna aerasi. Tapi metoda yang paling sering digunakan adalah lumpur aktif

(activated sludge) karena metoda pengolahan ini mempunayai beberapa kelebihan

yaitu tidak memerlukan lahan yang luas, effluen hasil perlakuan mempunyai

kualitas lebih tinggi dengan penurunan BOD sekitar 90-95 %, tidak timbul bau

yang mengganggu.

4.2.1.4.4. Pengolahan Ketiga (tersiary treatment)

Menurut Haryoto Kusnoputranto (1984, hlm.37) dalam Soeparman dan

Suparmin (2001), terdapat tiga jenis kolam yang digunakan, yaitu:

a. Kolam pengolahan pendahuluan secara anaerobik (Anaerobic pretretment

ponds) Kolam anaerobik beroperasi pada beban organik yang tinngi sebagai

unit pertama dari sistem kolam dan pencapaian pengurangan zat organik

semata-mata karena proses anaerobik. Fungsi kolam ini mirip dengan septic

tank terbuka. Periode tinggal adalah 1-5 hari dengan kedalam antara 2-4

meter. Desain beban kolam berkisar antara 100-400 gram BOD/m2/hari,

umumnya 250 gram BOD/m2/hari digunakan pada suhu diatas 200C. Kolam

fakultatif dioperasikan pada beban organik yang lebih rendah sehingga

memungkinkan pertumbuhan algae pada lapisan atas kolam.


26

Kolam fakultatif dapat digunakan sebagai unit pertama atau kedua dari

suatu rangkaian kolam. Kolam ini memerlukan oksigen untuk oksidasi biologis

dari bahan-bahan organik, terutama di dapat dari hasil fotosintesis ganggang hijau.

Periode tinggalnya (retention time) berkisar antara 5-30 hari, dengan kedalaman

1-1,5 meter. Desain beban kolam umumnya 100-400 kg BOD/ha/hari, tergantung

pada suhu kolam. Kolam pematangan yang dibuat kolam fakultatif adalah kolam

yang mengolah limbah cair, terutama secara aerobik karena sebagian zat organik

telah terambil pada unit-unit anaerobik dan fakultatif, sehingga beban organik

pada kolam pematangan menjadi rendah. kolam pematangan menerima effluen

yang berasal dari kolam fakultatif dan bertanggung jawab terhadap kualitas dari

effluen akhir. Periode tinggal berkisar antara 5-10 hari dengan kedalam kurang

lebih 1,5 meter. Umumnya, kolam ini didesain untuk pengurangan koliform yang

berasal dari tinja daripada untuk pengurangan BOD. Sejumlah besar koliform

akan dapat dihilangkan dalam waktu penahanan sekitar 5 hari.

4.2.1.4.5. Pembunuhan kuman (disinfektion)

Pengolahan ini bertujuan untuk mengurangi atau membunuh

mikroorganisme patogen yang ada dalam air limbah. Mekanisme pembunuhan

sangat dipengaruhi oleh kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu

sendiri.

4.2.1.5. Pengawasan

Pengawasan menyangkut pada tambak ini dilakukan secara tertutup

dengan penggunaan sistem keamanan berupa pemagaran pada setiap bagian

kawasan tambak. Selain itu juga dilibatkan 15 tenaga kerja yang secara intensif

mengawasi sistem operasional tambak untuk mnghindari kegagalan.


27

4.2.2. Tata Letak dan Fasilitas Budidaya (Secara Mikro)

Adapun sistem penataan letak dan fasilitas budidaya yang dikembangkan

dalam skala mikro yakni berupa teknisi pelaksanaan budidaya. Pelaksanaan

budidaya ini memiliki tahapan yang berbeda-beda disetiap waktu, namun

dilakukan secara terus menerus selama masa prouksi.

4.2.2.1. Sistem Pengeringan Tambak

Pengeringan tambak merupakan tahapan yang dilakukan pada saat akan

memulai siklus produksi atau biasanya pada pasca panen. Pengeringan tambak ini

bertujuan untuk mempersiapkan tambak yang akan digunakan terutama untuk

mencegah tersisanya senyawa berbahaya didasar tambak dan mikroorganisme

yang akan menganggu pertumbuhan udang nantinya. Pengeringan tambak

dilakukan hingga dasar tambak tambak kering dan tanahnya retak. Selanjutnya

akan dilakukan beberapa perlakuan berupa pemberian dolomit sebanyak 1

ton/hektar, pupuk Za sebanyak 2% dari dolomit. Hal ini bertujuan untuk

menumbuhkan plankton yang akan dimanfaatkan oleh bibit udang sebagai pakan

alami.

Setelah itu pemberian kapur sebanyak 1 ton 200 kg/hektar yang disinyalir

akan memperbaiki kualitas air nantinya. Kemudian pemberian atraktran yang

berfungsi untuk menumbuhkan kakaban dan menyuburkan lingkungan. Setelah

pengeringan dilakukan, maka dilakukan pula pengecekan fasilitas yang nantinya

akan digunakan. Hal ini dimasksudkan untuk mengantisipasi kerusakan pada

beberapa fasilitas yang ada.

Perlu juga dipahami bahwa pada pembesaran udang vannamei, dilakukan

penyemprotan air ke tanah guna membersihkan lumpur. Tanah sebagai dasar pada
28

persiapan satu kali siklus dibiarkan dalam kondisi terjemur matahari. Dalam

pengeringan ini, bertujuan untuk membunuh sisa-sisa bakteri pembusuk, sisa

kotoran dan pakan pada siklus sebelumnya, menghilangkan air-air yang tergenang

yang mengandung gas-gas beracun dan sisa plankton. Pengeringan dasar tambak

dilakukan selama ± 1 bulan sesuai dengan terik matahari hingga tanah menjadi

kering. Diharapkan, setelah dilakukan pengeringan tanah tambak, sinar UV yang

ada pada sinar matahari dapat membunuh bakteri pembusuk, menaikkan pH tanah,

serta memudahkan dalam renovasi kolam agar tidak licin dan berlumpur.

Pengapuran dilakukan setelah dilakukan pengeringan tanah dasar dan

penyesetan. Pemberian kapur ini bertujuan untuk menaikkan pH tanah dan

mempertahankannya dalam kondisi yang stabil. Selain itu, diharapkan, setelah

pemberian kapur tanah dasar menjadi subur, reaksi kimia yang terjadi didasar

tanah menjadi baik, gas-gas beracun dapat terikat secara kimiawi. Pada umumnya,

kapur yang digunakan dalam pengapuran untuk persiapan tambak adalah kapur

kaptan dan dolomite yang mengandung unsur magnesium dengan dosis 20 ppm.

4.2.2.2. Sistem Pemasukan Air

Tahapan selanjutnya setelah petakan tambak kering dan telah diberikan

beberapa treatment sebelumnya, maka dilakukan pemasukan air. Pemasukan air

tentu saja dilakukan secara bertahap melalui saluran inlet air, sehingga

memerlukan waktu yang lama. Setelah air tersebut berada pada petakan tambak,

maka dilakukan beberapa perlakuan untuk memberantas hama yang berasal dari

alam, yakni pemberian kaporit sebanyak 35% untuk air asin, dan sekitar 40-50%

untuk payau. Kemudian diberikan saponin sebanyak 15-30% untuk membunuh


29

organisme yang ikut masuk bersama dalam tambak utamnya organisme yang

memiliki hemoglobin seperti ikan-ikanan.

Setelah pemberian saponin, maka didiamkan beberapa waktu hingga

seluruh hama mati, dan kemudian dilakukan planktonisasi atau upaya untuk

menumbuhkan plnakton melalui pemberian pupuk TSP, setelah itu langkah

terakhir adalah pemberian probiotik yakni Pro 1, atau dapat pula tiger bac

triobactilus. Setelah semua perlakukan dilakukan, maka air yang dimasukan

dalam tambak siap untuk digunakan dalam satu siklus budidaya.

4.2.2.3. Penebaran Bibit

Benur merupakan bibit udang yang siap ditebar untuk usaha pembesaran.

Jenis benur sangat menentukan kualitas dari benur seperti ketahanan terhadap

penyakit dan virus. Menurut Soeseno (1993), benur yang baik selalu masih cerah

warnanya dan langsing, padat berisi, tidak bengkok kusam. Diciduk dengan

gayung bersama airnya dan dituang ketempat lain, selalu berusaha menempel

didasar gayung, tidak mau hanyut begitu saja. Sungutnya jelas kembang kempis.

Kalau sungut ini sudah tidak rapat lagi, tapi membentuk huruf V, itu tanda benur

sudah payah. Sebaiknya tidak dibeli.

Penebaran benur vaname harus segera dilakukan setelah petakan tambak siap

untuk pemeliharaan. Waktu penebaran dilakukan pada pagi hari sebelum jam

08.00 atau pada malam hari atau pada saat kondisi cuaca teduh. Karena pada

waktu tersebut kondisi fluktuasi suhu tidak mencolok, parameter air yang lain

seperti pH, salinitas tidak banyak berubah. Kondisi lingkungan demikian

mengurangi tingkat stress pada benih yang akan ditebar.


30

Benur yang telah didatangkan dari sumber pembibitan akan langsung ditebar

di tambak yang telah siap digunakan. Penebaran melalui proses aklimatisasi yaitu

proses adaptasi terhadap parameter kualitas air (suhu, salinitas, pH, dan parameter

kualitas lainnya) secara perlahan-lahan. Aklimatisasi benur dimaksudkan untuk

mencegah tingginya tingkat kematian (mortalitas) benur pada saat dan setelah

penebaran. Aklimatisasi benur dilakukan dengan cara menempatkan kantong yang

berisi benur pada permukaan selama ±15-30 menit. Setelah itu tali pengikat

kantong satu per satu kemudian dibuka dan memasukkan air tambak sedikit demi

sedikit ke dalam kantong benur tersebut sampai parameter kualitas air tambak

relatif sama atau mendekati parameter kualitas air pada kantong. Hal ini ditandai

dengan keluarnya benur dengan sendirinya saat kantong dimiringkan. Penebaran

dilakukan dengan kepadatan 100-150 ekor/meter2.

4.2.2.4. Sistem Pergantian Air

Sistem pergantian air ini dilakukan secara kontinyu setiap hari, pergantian

air dimakudkan untuk mengeluarkan senyawa-senyawa yang mengendap

diperairan ataupun bahan-bahan organik yang berpotensi menganggu parameter

air terutama DO dan pH.

Air diganti setiap hari sebanyak 10-20% dari total seluruh volume air yang

ada dalam setiap petakan tambak. Pergantian dilakukan dengan sistem siphonisasi

sehingga volume air akan tetap sama selama masa pergantian. Pada pemasukan air

ini digunakan pompa khsusus untuk memasukan air yang telah berada didalam

saluran air, atau bisa juga melalui pintu tambak. Selanjutnya untuk pembuangan

air, dditeruskan dipintu pengeluaran melalui sistem drainase center pada tengah

tambak, sehingga air akan tetap terjaga kualitanya.


31

4.2.2.5. Manajemen Pemberian Pakan

Pemberian pakan dilakukan secara terus menerus selama 24 jam, biasanya

dapat mencapai 4-5 kali pemberian tergantung dari hasil kontrol di anco. Menurut

Soeseno (1993), untuk benur dipakai pakan berbentuk crumble halus yang

butirannya rata-rata 0,5 mm. Sesudah umur 2 bulan, makanan diganti dengan yang

berbentuk crumble kasar yang butirannya rata-rata sebesar 2 mm. seudah 3 bulan,

pakan diganti lagi dengan yang berbentuk pellet seperti potongan obat nyamuk

bergaris tengah 3 mm sependek 2 cm itu. Sesudah berumur 3,5 bulan pelletnya

lebih kasar, bergaris tengah 1 cm dengan panjang potongan 5 cm.

Penerapan feeding ragim hendaknya disesuikan dengan tingkah laku

kultivan, serta siklus alat pencernaan guna memaksimalkan penggunaan pakan.

Selain itu juga memperhatikan hal-hal berikut ini:

1. ukuran pakan yang kita berikan

2. jumlah pakan yang diberikan

3. cara pemberian pakan

4. kontrol pakan ( di ancho )

5. sampling

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan ini adalah,

ukuran butiran pakan, dimana kuran pakan yang diberikan harus sesuai dengan

capit dan mulut udang karena sangat penting menyangkut efisiensi kestabilan

lingkungan.pakan yang terlalu kecil dan terlalu besar,akan berakibat rendahnya

efisiensi, dan akan cepat menurunkan kualitas air.

Jumlah pakan ditentukan oleh: jumlah tebar,nilai SR (survival rate)

,ukuran udang,dan tingkat feeding ratenya,lama cek ancho, kualitas air, fasilitas,
32

tetapi untuk udang yang berumur 1 – 30 hari masih memakai feeding program.

sedangkan kelanjutannya kita menggunakan kontrol ancho, dan cek saat sampling.

Adapun cara pemberian pakan pada saat pakan no. D 0 S pemberian pakan

harus dicampur dengan air agar pemberian pakan rata, cepat tenggelam, dan tidak

berhaburan karena angin.setelah pakan no D0 pakan dibasahi secukupnya.pakan

bisa ditebar keliling tanggul juga bisa dengan memakai rakit tergantung luas petak

dan ketrampilan anak feeder.yang penting pakan jangan sampai tercecer di

tanggul,dan harus tertebar merata di feeding area. Hindari penebaran pakan di

dead zone. Pemberian pakan diancho diberikan setelah pakan selesai ditebar

keseluruhan di petak atau kolam . Frekuensi pemberian pakan, awal kita berikan 3

kali sehari , kemudian 4 kali sehari dan 5 kali sehari. Jam pemberian

pakan.sebaiknya diberikan pkl 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, 23.00. diatas jam 23.00

jangan dilakukan pemberian pakan apapun alasannya karena saat itu kondisi

kualitas air menurun, suhu turun, DO turun, H2S meningkat daya racun karena pH

turun dan karyawan mengantuk.

Ancho adalah alat komunikasi harian antara teknisi dengan udang dalam

hal jumlah pakan, nafsu makan, ukuran udang,jumlah udang,kesehatan udang,

sehingga ancho harus bagus dan tempatnya yang datar, dan arusnya jangan terlalu

kencang.

Ancho berukuran 80 x 80 x10 cm.

-umur 10 hari ancho sudah diturunkan

-umur 20 hari ancho sudah diberi pakan sekedarnya

-umur 25 hari ancho diberi 0,3 % dikontrol 2-2,5 jam.


33

Apabila sampai umur 30 hari belum mau makan di ancho,makan pakan harus

dipotong sampai 40 %nya.biasanya 2 hari kemudian udang sudah mau makan di

ancho dan bisa dikontrol. Usahakan selang 3 – 4 hari setelah bisa dikontrol pakan

bertahap dinaikkan dan dikembalikan ke porsi pada saat udang umur 30

hari.kemudian jumlah pakan disesuaikan dengan kemampuan makan udang.

Bila umur 25 hari pakan sudah bisa di kontrol 2,5 jam penambahan pakan

jangan mengikuti program tetapi bisa ditambah max 10 %sehingga pada umur 30

hari kemampuan pakan udang sudah bisa seperti pada daftar.selanjunya pakan

diikuti sesuai kemampuan makan udang dengan lama kontrol dan persen

ancho.Setelah ancho bisa dikontrol selanjutnya mencari titik balance.pakan belum

balan dalam arti masih kurang apabila ke 5 kali pemberian pakan habis semua

pada jam kontrol.dan pakan sudah menunjukan balan bila pakan pada jam 23.00

sudah tidak habis.apabila kondisi sudah begini penambahan bisa dilakukan per 2

hari sekali.tetapi kontrol ancho tetap 5 kali sehari.

4.2.2.6. Sistem Monitoring

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam proses budiaya ini adalah

menjaga kualitas air yang setiap saat harus berada pada kondisi normal. Air yang

merupakan media hidup bagi udang vannamei, memiliki peran yang sangat vital

karena akan menentukan kelangsungan hidup udang yang akan dibudidayakan

karena mahluk hidup memiliki ambang toleransi terhadap beberapa zat-zat

sebagai kebutuhan hidup. Ada beberapa parameter yang selalu dijaga dan

dikontrol dalam pelaksanaan pembesaran, diantaranya adalah salinitas, pada

umumnya budidaya udang vannamei, air yang digunakan dalam tambak adalah air

payau, yaitu campuran air laut dan air tawar pada perbandingan tertentu. Tetapi
34

pada lokasi praktek kerja lapang ini hanya mengandalkan air payau dengan

salinitas dalam pemebesaran udang vannamei berkisar antara 20 – 25 ppt.

Oksigen pada air, yang sering disebut dissolved oksigen adalah oksigen

terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan biota perairan. Kuantitas DO dijaga

dengan pemberian kincir dengan jumlah mengikuti jumlah tebaran benur yang

ditebar. Hal ini dilakukan karena, akan menentukan seberapa besar jumlah

kebutuhan oksigen terlarut. Parameter ini dijaga hingga diatas 4 ppm, karena pada

kondisi dibawah angka itu, udang sudah tidah dapat lagi bertoleransi yang bisa

mengakibatkan kematian.

Menurut Tebbut (1992) dalam Effendi (2006) menjelaskan bahwa, kadar

oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia.

Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah

cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi antar

organisme.

· pH air

Pada pembesaran udang vannamei, parameter pH dilakukan pengecekan

setiap hari di pagi hari dan sore hari dengan menggunakan pH meter. Karena

menurut Effendi (2006), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan

pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses

biokimiawi perairan, misal proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah.

Selain pengontrolan kualita air perlu juga dilakukan sampling udang,

sampling untuk mengetahui biomassa udang dapat dilakukan ketika udang telah

berumur 40 hari. Alat yang disarankan untuk sampling adalah jala tebar dengan

ukuran mess size disesuaikan dengan besar udang. Waktu sampling pada pagi
35

atau sore hari, agar udang tidak mengalami tingkat stress yang tinggi, penentuan

titik sampling disesuaikan dengan luasan tambak, jumlah titik sampling 2 – 4 titik,

titik lokasi sampling berada di sekitar kincir dan di wilayah antara kincir.

Sampling dilakukan untuk mengetahui size udang yang akan di panen. Proses

sampling dilakukan dengan cara menjaring udang dengan menggunakan jala

sampling, setelah itu udang di timbang untuk mengetahui jumlah berat udang

yang terjala, kemudian dilakukan proses sampling untuk menghitung berapa

banyak udang yang terjala.

4.2.2.7. Proses Pemanenan

Panen dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 3-4 bulan. Pada umur

demikian ukuran udng berkisar antara 30-40 gram/ekor dan banding berkisar 500

gram/ekor. Pemanenan ikn atau udang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

panen sebagian (selektif) dan panen total. Dalam pelaksanaan panen baik

dilaksanakan panen total ataupun selektif, sebaiknyaaikan dipanen terlebih dahulu

kemudian udang.
36

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari hasil pengamatan dan perhitungan maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Penerapan teknologi yang dikembangkan dalam sistem budidaya pada

kawasan tambak tersebut adalah sistem budidaya intensif yang menerapkan

penataan lingkungan secara spasial dan intensif.

2. Secara Makro, Penataan dan penggunaan fasilitas tambak meliputi pengadaan

dan pengontrolan petakan tambak, saluran air, kincir dan pengadaan sistem

instalasi limbah serta pengawasan secara berkala.

3. Secara Mikro, penataan dan penggunaan fasilitas tambak meliputi sistem

pengeringan air secara periodic, pemasukan air harian, penebaran bibit,

pergantian air, manajemen pemberian pakan dan monitoring pertumbuhan

serta pemanenan.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat diajukan dalam praktikum kali ini sebaiknya

dilakukan pula observasi dan wawancara kepada pembudidaya yang menerapkan

sistem budidaya semi intensif dan sistem budidaya tradisional untuk

membandingkan penataan lingkungan dari ketiga teknologi tersebut.


37

DAFTAR PUSTAKA

Adiyodi, k.g. And r.g. Adiyodi, 1970. Endocrine control of reproduction in


decapod crustacea. Biol. Rev. 45: 121-165

Adiwidjaya D, dan Erik S. 2007. Aplikasi Pemberian Pakan Buatan Secara


Optimal pada Budidaya Udang Windu Intensif Berkelanjutan.
http://www.udang-bbbap.com. Diakses Pada Tanggal 17 Juni 2013.

Alex w. 2009. Penaeus vannamei. http://www.sellingurchins.info. Diakses pada


tanggal 17 Juni 2013.

Amri dan Iskandar. 2008. Budidaya Udang Vannamei. PT. Garamedia Pustaka
Utama. Jakarta

Aquacop, 1975. Maturation and spawning in captivity of penaeid shrimp: penaeus


Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development
Center (SEAFDEC). 2005. Regional Technical Consultation on the
Aquaculture of Penaeus vannamei and Other Exotic Shrimps in
Southeast Asia. www.seafdec.org.ph/pdf/P_vannamei.pdf

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 2009. Budidaya Udang
Windu. www.udang-bbbap.com. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2008. Budidaya Tambak


Berwawasan Lingkungan. http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Diakses pada
tanggal 17 Juni 2013.

Baliao D, dan Siri T. 2002. Manajemen Budidaya Ramah Lingkungan di Daerah


Mangrove. www.asianfisheriessociety.org. Diakses pada tanggal 17
Juni 2013.

Boone. 1931. Penaeus vannamei. http://www.fao.org. Diakses pada tanggal 17


Juni 2013.

Buwono, Ibnu Dwi. 1993. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola
Intensif. Kanisius. Yogyakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Budidaya Udang Vanname.


http://202.51.119.162/index.php. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.

DKP Provinsi Sulteng. 2009. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)


Teknologi Ekstensif Plus. DKP Provinsi Sulteng. Sulawesi Tengah.

Duronslet, m., a.i. Yudin, r.s. Wheller and w.h. Clark, jr. 1975. Light and fine
structural studies of natural and artificially induced egg growth of
penaeid shrimp. Proc. World marine culture. Soc. 6: 105-122

Eman. 2008. Vannamei. Universitas Kristen Petra http://digilib.petra.ac.id.


Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.
38

Ghufran, M. 2010. Pakan Udang: Nutrisi, Formulasi, Pembuatan, dan Pemberian.


Akademia. Jakarta.

Haliman, R.W. dan D. Adijaya S. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Harriet Perry. 2011. Litopenaeus vannamei . 2011. Litopenaeus vannamei. USGS


Nonindigenous Aquatic Species Database, Gainesville, FL. USGS non
pribumi Spesies Akuatik Database, Gainesville, FL.

Hameed, a.k. And s.n. Dwivedi, 1977. Acceleration of prawn growth by


cauterization of eye stalks and using actes indicus as supplementary
feed. J. India fish. Assoc. Bombay, 3-4 (1-2): 136-138

Kongkeo H. 1997. Perbandingan Sistem Budidaya Udang Intensif di Indoneisa,


Filipina,Taiwan dan Thailand. www.asianfisheriessociety.org. Diakses
pada tanggal 17 Juni 2013.

Kordi, Ghufron dan Tancung, Andi Baso. 2005. Pengelolaan Kualitas Air Dalam
Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta

Merguiensis (de man), p. Japonicus (bate), p. Aztecus (ives), metapenaeusensis


(de haan) and p. Semisulcatus (dehaan). Proc. World marine culture.
Soc. 6: 123- 132

Mustafa A. 2008. Disain, Tata Letak, dan Konstruksi Tambak.


http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.

Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia

Prihatman K. 2001. Saponin untuk Pembasmi Hama Udang.


http://isjd.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.

Ratnawati E. 2008. Budidaya Udang Windu (Panaeus monodon) Sistem Semi


Intensif pada Tambak Tanah Sulfat Asam. http://isjd.pdii.lipi.go.id.
Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.

Anda mungkin juga menyukai