Anda di halaman 1dari 29

Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan ( 37 – 42 minggu )

lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada
ibu maupun pada janin (Prawirohardjo, 2001).
teori sbab mulatjd prsalinan:
a.Teori penurunan hormonal
1 – 2 minggu sebelum partus mulai terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron bekerja sebagai
penenang otot-otot polos rahim dan akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila
kadar progesteron turun.
b. Teori plasenta menjadi lebih tua
Yang akan menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesteron sehingga menyebabkan kekejangan
pembuluh darah. Hal ini akan menimbulkan kontraksi rahim.
c. Teori distensi rahim
Rahim yang menjadi besar dan meregang menyebabkan iskemia otot-otot sehingga mengganggu sirkulasi utero
placenta.
d. Teori iritasi mekanik
Dibelakang serviks terletak ganglion servikale (Frankenhauser). Bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya
oleh kepala janin akan timbul kontraksi uterus.
e. Induksi partus (Induction of labour)
Partus dapat pula ditimbulkan dengan jalan : rangsang laminaria, amniotomi, dan oksitosin drips.
(Rustam Mochtar, 1998).
TAHAPAN PERSALINAN (KALA I, II, III,IV)
·Kala I
Kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan
0 – 10 cm (pembukaan lengkap). Lamanya kala I pada primigravida 12 jam, sedangkan pada multi gravida
sekitar 8 jam.
Kala Pembukaan dibagi 2 fase :
1.Fase Laten : dimana pembukaan servik berlangsung lambat sampai pembukaan 3 cm berlangsung + 7-8 jam.
2.Fase Aktif
Berdasarkan selama 6 jam dibagi 3 subfase :
a. Akselerasi : Berlangsung selama 2 jam pembukaan menjadi 4 cm.
b. Dilatasi maksimal : Selama 2 jam pembukaan cepat menjadi 9 cm menjadi 10 cm atau lengkap.
c. Diselerasi : Berlangsung lambat dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap
·Kala II
Kala II adalah kala yang dimulai dari pembukaan lengkap sampai pengeluaran janin, ditandai dengan :
1. Dorongan meneran
2. Tekanan pada usus
3. Perineum menonjol
4. Vulva membuka
Pada primigravida kala II berlangsung 1 ½ – 2 jam dan pada multigravida kala II berlangsung ½ – 1 jam.
·Kala III
Kala III adalah waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Seluruh proses biasanya berlangung 5 – 30 menit setelah bayi lahir.
·Kala IV
Kala IV adalah kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama
terhadap bahaya perdarahan postpartum.
IV.TUJUAN ASUHAN PERSALINAN
Memberikan asuhan yang memadai selama kehamilan dalam upaya mencapai pertolongan yang bersih dan
aman dengan memberikan aspek sayang ibu dan bayi.
V.TANDA-TANDA PERSALINAN
Pada permulaan persalinan (Preparatory stage of labor) yang terjadi beberapa minggu sebelum terjadi
persalinan, dapat terjadi tanda-tanda sebagai berikut :
· Lightening atau setting / deopping, yaitu kepala turun memasuki pintu atas panggul terutama pada
primigravida.
· Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun.
· Perasaan sering kencing ( polikisuria ) karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
· Perasaan sakit diperut dan dipinggang karena kontraksi ringan otot rahim dan tertekannya fleksus
frankenhauser yang terletak pada sekitar serviks (tanda persalinan false-false labour pains).
· Serviks menjadi lembek, mulai mendatar karena terdapat kontraksi otot rahim.
. Terjadi pengeluaran lendir, dimana lendir penutup serviks dilepaskan dan bisa bercampur darah (Bloody
show).
VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSALINAN
a.Passage
Adalah jalan lahir yang harus dilewati oleh janin terdiri dari rongga panggul, dasar panggul, serviks dan vagina.
Agar janin dan plasenta dapat melalui jalan lahir tanpa ada rintangan, maka jalan lahir tersebut harus
normalterdiri dari :
· Jalan lahir keras yaitu tulang pinggul (os coxae, os sacrum / promontorium, dan os coccygis)
· Jalan lahir lunak : yang berperan dalarn persalinan adalah segmen bahwa rahim, seviks uteri dan vagina, juga
otot-otot, jaringan ikat dan ligamen yang menyokong alat urogenital.
. Power
adalah kekuatan atau tenaga untuk melahirkan yang terdiri dari his atau kontraksi uterus dan tenaga meneran
dari ibu
· His adalah kontraksi otot-otot rahim pada persalinan.
· Tenaga mengejan: setelah pembukaan lengkap dan setelah ketuban pecah tenaga yang mendorong anak keluar
selain his, terutama disebabkan oleh kontraksi otot-otot dinding perut yang mengakibatkan peninggian tekanan
intra abdominal.
c.Passanger
Passanger terdiri dari janin dan plasenta
· Janin merupakan passanger utama, dan bagian janin yang paling penting adalah kepala, karena kepala janin
mempunyai ukuran yang paling besar, 90% bayi dilahirkan dengan letak kepala
Kelainan-kelainan yang sering menghambat dari pihak passanger adalah kelainan ukuran dan bentuk kepala
anak seperti hydrocephalus ataupun anencephalus, kelainan letak seperti letak muka atau pun letak dahi,
kelainan kedudukan anak seperti kedudukan lintang atau pun letak sungsang
· Plasenta
adalah suatu organ dalam kandungan pada masa kehamilan. Pertumbuhan dan perkembangan plasenta penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. Fungsi plasenta adalah pertukaran produk-produk metabolisme dan
produk gas antara peredaran darah ibu dan janin, serta produksi hormon.
· Air ketuban
Air ketuban memiliki beberapa peranan yang penting diantaranya melindungi bayi dari trauma, terjepitnya tali
pusat, menjaga kestabilan suhu dalam rahim, melindungi dari infeksi, membuat bayi bisa bergerak sehingga
otot2nya berkembang dengan baik serta membantu perkembangan saluran cerna dan paru janin.
Rongga-rongga panggul yang normal adalah : pintu atas panggil hampir berbentuk bundar, sacrum lebar dan
melengkung, promontorium tidak menonjol ke depan, kedua spina ischiadica tidak menonjol kedalam, sudut
arcus pubis cukup luas.
Ukuran – ukuran Panggul Dalam dan Luar
I. Bagian keras: tulang-tulang panggul
II. Bagian lunak : otot,jaringan,dan ligamen
Tulang panggul terdiri atas 4 buah tulang
· 2 tulang pangkal paha (os coxae)
· 1 tulang klangkang (os sacrum)
· tulang tungging (os coccygis)
Pintu Atas Panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium, sayap sacrum, linea
innominata, ramus superior ossis pubis dan pinggir atas symphisis.

Conjugata vera (ukuran muka belakang pintu atas panggul yaitu dari bawah symphisis ke promontorium)
ialah 11 cm.
Diameter transversa (ukuran melintang yaitu antara linea innominta kanan dan kiri) 12,5-13 cm.
Diameter oblique ( Ukuran serong dari articulatio sacro iliaca ke tuberculum pubicum dari belahan panggul
yang bertentangan ) 13 cm.

Pada persalinan ujung tulang dapat ditolak sedikit kebelakang sehingga PBP bertambah besar Empat bidang
panggul
1. Pintu atas panggul
· Pinggir atas symphisis ke promontorium.
· Jarak terjauh garis melintang PAP
· Garis dari articulatio sacro iliaka ke titik persekutuan antara diameter transversa, konjugata vera
diteruskan ke linea innominata.
· Konjugata Diagonalis 12 – 13 cm
2. Bidang luas panggul
· Antara pertengahan symphisis, pertengahan acetabulum dan pertemuan antara ruas sacral II dan III.
· Terdapat 2 ukuran :
a. Ukuran muka belakang 12,75 cm
b. Ukuran melintang 12,5 cm
3. Bidang sempit panggul
· Antara setinggi pinggir bawah symphisis, kedua spina ichiadica dan memotong sacrum ± 1-2 cm di ujung
sacrum.
· Terdapat 3 ukuran :
a. Ukuran muka belakang 11,5 cm
b. Ukuran melintang 10 cm
c. Diameter sagitalis posterior: dari sacrum ke pertengahan antara spina ischiadica 5 cm
4. Pintu bawah panggul
Terdiri dari 2 segitiga dasar yang sama : garis yang menghubungkan kedua tuber ischiadicum kiri dan kanan.
Segitiga depan, arcus pubis, pincak dari segitiga belakang adalah ujung os sacrum, sisinya adalah ligamentum
sacro tuberosum kiri dan kanan.
Terdapat 3 ukuran :

a. Ukuran muka belakang 11,5 cm, dari pinggir bawah symphisis pubis ke ujung sacrum.
b. Ukuran melintang 10,5 cm, antara tuber ischiadikum kiri dan kanan sebelah dalam.
c. Diameter sagitalis posterior 7,5 cm, dari ujung sacrum ke pertengahan ukuran melintang

UKURAN PANGGUL LUAR


Distansia Spinarum (Jarak antara spina iliaka anterior superior sinistra dan dekstra ). 24 – 26 cm.
Distansia Cristarum ( Jarak yang terpanjang antara dua tempat yang simetris pada Crista iliaka sinistra dan
dekstra) 28-30cm.
Distansia Oblique Eksterna ( Jarak antara spina iliaka posterior kiri dan spina iliaka anterior superior kanan dan
dari spina iliaka posterior kanan ke spina iliaka anterior superior kiri). Bila tidak normal ukuran keduanya beda.
Distansia Intertrokanterika ( Jarak antara kedua trochanter mayor)
Distansia Boudeluque ( Jarak antara bagian atas symphisis ke lumbal 5 ) 18 – 20 cm.
Distansia Tuberum ( Jarak antara tuber ischii kanan dan kiri)

Ukuran – ukuran Kepala Janin


Kepala janin Merupakan bagian tubuh yang paling besar dan paling keras yang akan dilahirkan.
Besar dan posisi kepala janin akan sangat menentukan dan mempengaruhi jalannya persalinan.
Trauma pada kepala bayi selama persalinan dapat mempengaruhi kehidupannya : hidup sempurna, cacat,
atau meninggal. Kepala secara garis besar dapat dibagi menjadi tulang-tulang tengkorak (kranium), tulang-
tulang dasar tengkorak (basis kranii) dan tulang-tulang muka. Tulang tengkorak (kranium)
bayi paling menentukan keberhasilan proses persalinan pervaginam, karena daerahnya relatif paling luas dan
mengalami kontak langsung dengan jalan lahir.
Ukuran-ukuran diameter kepala bayi yang menentukan di antaranya :
1. Presentasi Belakang Kepala, Kepala melewati vulva dengan diameter sub mentobregmantika ( 9,5 cm ).
2. Presentasi Puncak Kepala, Diameter yang berperan Diameter Oksipito Frontalis ( ±11,5cm).
3. Presentasi Dahi, Diameter Oksipitomentalis ( ±13 cm).
4. Presentasi Muka, Diameter Submentobregmantika ( 9,5 cm).
5. Diameter Biparietalis, Ukuran lintang antara os parietal kanan / kiri.
6. Diameter Bitemporalis, Ukuran lintang terkecil antara 2 temporalis (±8cm)

Ukuran-ukuran sirkumferensia / lingkar kepala bayi :


1. Sirkumferensia Suboksipito-bregmatika ( 32 cm)
2. Sirkumferensia Oksipito-frontalis ( 34 cm)
3. Sirkumferensia Mento oksipitalis ( 35 cm)
4. Sirkumferensia Submento-bregmatikus ( 32 cm)
Bidang Hodge
Hodge, menemukan bidang-bidang lain dalam panggul untuk mengetahui seberapa jauh penurun kepala pada
panggul yang dikenal dengan Bidang Hodge. Beliau juga mengajarkan pelajaran kebidanan tentang letak
verteks/letak belakang kepala, mekanisme letak sungsang, pemasangan forsep, dan mengubah letak kepala
dengan tangan sebelum memasang cunam.

Bidang Hodge dipelajari untuk menentukan sampai di mana bagian terendah janin turun ke dalam panggul
pada persalinan dan terdiri atas empat bidang:

1. Bidang Hodge I: bidang yang dibentuk pada lingkaran PAP dengan bagian atas symphisis dan
promontorium.

2. Bidang Hodge II: bidang ini sejajar dengan bidang Hodge I terletak setinggi bagian bawah symphisis.

3. Bidang Hodge III: bidang ini sejajar dengan bidang Hodge I dan II, terletak setinggi spina isciadika kanan
dan kiri.

4. Bidang Hodge IV: bidang ini sejajar dengan bidang Hodge I, II, dan III, terletak setinggi os koksigeus.

Sutura
Sutura adalah batas antara 2 tulang, sedangkan fontanella merupakan antara sudut – sudut tulang terdapat ruang
ditutup dengan membran.

Beberapa sutura pada tengkorak :

Sutura Sagitalis Superior, yang menghubungkan kedua ossis parietalis kiri dan kanan
Sutura Koronaria, yang menghubungkan os parietalis dengan os frontalis
Sutura Lamboidea , yang menghubungkan os parietalis dengan os oksipitalis
Sutura Frontalis, yang menghubungkan kedua ossis frontalis.

Terdapat 2 fontanella ( Ubun – ubun) yaitu :

Fontanella Minor ( Ubun-ubun Kecil), berbentuk segitiga, dan terdapat ditempat sutura sagitalis superior
bersilang dengan sutura lamboidea.
Fontanella Mayor (Ubun-ubun Besar), berbentuk segiempat panjang, terdapat ditempat sutura sagitalis superior
dan sutura frontalis bersilang dengan sutura koronaria.

Molase Kepala Janin

Adalah perubahan bentuk kepala sebagai akibat penumpukan tulang tengkorak yang saling
overlapping satu sama lain karena belum menyatu dengan kokoh dan memungkinkan terjadinya pergeseran
sepanjang garis sambungnya. Molase (Molding) melibatkan seluruh tengkorak kepala, dan merupakan hasil dari
tekanan yang dikenakan atas kepala janin oleh struktur jalan lahir ibu. Sampai batas-batas tertentu, molase akan
memungkinkan diameter yang lebih besar bisa menjadi lebih kecil dan dengan demikian bisa sesuai melalui
panggul ibu.

Molase ( penyusupan ) adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala janin dapat
menyesuaikan diri dengan bagian atas panggul ibu. Tulang kepala yang saling menyusup / tumpang tindih
menunjukan kemungkinan adanya disproporsi tulang panggul ( Chepalo Pelvic Disproportion ) CPD.

Setiap kali melakukan pemeriksaan dalam, nilai penyusupan kepala janin, temuan dicatat pada partograf
dengan lambang :
0 : Tulang – tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dipalpasi.
1 : Tulang – tulang kepala janin tumpang tindih, tetapi masih dapat dipisahkan.
2 : Tulang – tulang kepala janin hanya saling bersentuhan.
3 : Tulang – tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan.

MEKANISME PERSALINAN NORMAL”


Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian gerakan untuk melewati panggul – “seven cardinal
movements of labor” yang terdiri dari :
Engagemen
Fleksi
Desensus
Putar paksi dalam
Ekstensi
Putar paksi luar
Ekspulsi
Gerakan-gerakan tersebut terjadi pada presentasi kepala dan presentasi bokong.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan janin dapat mengatasi rintangan jalan lahir dengan baik sehingga
dap[at terjadi persalinan per vaginam secara spontan.
Engagemen
Suatu keadaan dimana diameter biparietal sudah melewati pintu atas panggul.
Pada 70% kasus, kepala masuk pintu atas panggul ibu pada panggul jenis ginekoid dengan oksiput melintang
(tranversal)
Proses engagemen kedalam pintu atas panggul dapat melalui proses normal sinklitismus , asinklitismus anterior
dan asinklitismus posterior :
o Normal sinklitismus : Sutura sagitalis tepat diantara simfisis pubis dan sacrum.
o Asinklitismus anterior : Sutura sagitalis lebih dekat kearah sacrum.
o Asinklitismus posterior: Sutura sagitalis lebih dekat kearah simfisis pubis (parietal bone presentasion
Fleksi
Gerakan fleksi terjadi akibat adanya tahanan servik, dinding panggul dan otot dasar panggul.
Fleksi kepala diperlukan agar dapat terjadi engagemen dan desensus.
Bila terdapat kesempitan panggul, dapat terjadi ekstensi kepala sehingga terjadi letak defleksi (presentasi dahi,
presentasi muka).
Desensus
Pada nulipara, engagemen terjadi sebelum inpartu dan tidak berlanjut sampai awal kala II; pada multipara
desensus berlangsung bersamaan dengan dilatasi servik.
Penyebab terjadinya desensus :
Tekanan cairan amnion
Tekanan langsung oleh fundus uteri pada bokong
Usaha meneran ibu
Gerakan ekstensi tubuh janin (tubuh janin menjadi lurus)
Faktor lain yang menentukan terjadinya desensus adalah :
Ukuran dan bentuk panggul
Posisi bagian terendah janin
Semakin besar tahanan tulang panggul atau adanya kesempitan panggul akan menyebabkan desensus
berlangsung lambat.
Desensus berlangsung terus sampai janin lahir.
Putar paksi dalam- internal rotation
Bersama dengan gerakan desensus, bagian terendah janin mengalami putar paksi dalam pada level setinggi
spina ischiadica (bidang tengah panggul).
Kepala berputar dari posisi tranversal menjadi posisi anterior (kadang-kadang kearah posterior).
Putar paksi dalam berakhir setelah kepala mencapai dasar panggul.
Ekstensi
Aksis jalan lahir mengarah kedepan atas, maka gerakan ekstensi kepala harus terjadi sebelum dapat melewati
pintu bawah panggul.
Akibat proses desensus lebih lanjut, perineum menjadi teregang dan diikuti dengan “crowning”
Pada saat itu persalinan spontan akan segera terjadi dan penolong persalinan melakukan tindakan dengan
perasat Ritgen untuk mencegah kerusakan perineum yang luas dengan jalan mengendalikan persalinan kepala
janin.
Episiotomi tidak dikerjakan secara rutin akan tetapi hanya pada keadaan tertentu.
Proses ekstensi berlanjut dan seluruh bagian kepala janin lahir.
Setelah kepala lahir, muka janin dibersihkan dan jalan nafas dibebaskan dari darah dan cairan amnion. Mulut
dibersihkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembersihan hidung.
Setelah jalan nafas bersih, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat sekitar leher dengan jari telunjuk.
Lilitan talipusat yang terjadi harus dibebaskan terlebih dahulu. Bila lilitan talipusat terlalu erat dapat dilakukan
pemotongan diantara 2 buah klem.
Putar paksi luar- external rotation
Setelah kepala lahir, terjadi putar paksi luar (restitusi) yang menyebabkan posisi kepala kembali pada posisi
saat engagemen terjadi dalam jalan lahir.
Setelah putar paksi luar kepala, bahu mengalami desensus kedalam panggul dengan cara seperti yang terjadi
pada desensus kepala.
Bahu anterior akan mengalami putar paksi dalam sejauh 450 menuju arcus pubis sebelum dapat lahir dibawah
simfisis.
Persalinan bahu depan dibantu dengan tarikan curam bawah pada samping kepala janin .
Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas untuk melahirkan bahu posterior.
Traksi untuk melahirkan bahu harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari cedera pada pleksus
brachialis.
Setelah persalinan kepala dan bahu, persalinan selanjutnya berlangsung pada sisa bagian tubuh janin dengan
melakukan traksi pada bahu janin.
Setelah kelahiran janin, terjadi pengaliran darah plasenta pada neonatus bila tubuh anak diletakkan dibawah
introitus vagina.
Penundaan yang terlampau lama pemasangan klem pada talipusat dapat mengakibatkan terjadinya
hiperbilirubinemia neonatal akibat aliran darah plasenta tersebut.
Sebaiknya neonatus diletakkan diatas perut ibu dan pemasangan dua buah klem talipusat dilakukan dalam
waktu sekitar 15 – 20 detik setelah bayi lahir dan kemudian baru dilakukan pemotongan talipusat diantara
kedua klem.
Gambar-gambar “MEKANISME PERSASLINAN NORMAL”
Engagement: Terjadi ketika diameter terbesar dari presentasi bagian janin (biasanya kepala) telah memasuki
rongga panggul. Engagement telah terjadi ketika bagian terendah janin telah memasuki station nol atau lebih
rendah. Pada nulipara, engagement sering terjadi sebelum awal persalinan. Namun, pada multipara dan
beberapa nulipara, engagement tidak terjadi sampai setelah persalinan dimulai (Cunningham et. al, 2013;
McKinney, 2013).
Descent: Descent terjadi ketika bagian terbawah janin telah melewati panggul. Descent/ penurunan terjadi
akibat tiga kekuatan yaitu tekanan dari cairan amnion, tekanan langsung kontraksi fundus pada janin dan
kontraksi diafragma serta otot-otot abdomen ibu pada saat persalinan, dengan sumbu jalan lahir:
Sinklitismus yaitu ketika sutura sagitalis sejajar dengan sumbu jalan lahir
Asinklistismus anterior: Kepala janin mendekat ke arah promontorium sehingga os parietalis lebih rendah.
Asinklistismus posterior: Kepala janin mendekat ke arah simfisis dan tertahan oleh simfisis pubis (Cunningham
dkk, 2013; McKinney, 2013).
Proses Descent (Sinklitismus, Asinklitismus anterior, dan Asinklitismus posterior), Sumber: Cunningham et. al.
William Obstetrics 23rd Edition
Fleksi (flexion): Segera setelah bagian terbawah janin yang turun tertahan oleh serviks, dinding panggul, atau
dasar panggul, dalam keadaan normal fleksi terjadi dan dagu didekatkan ke arah dada janin. Fleksi ini
disebabkan oleh:
Persendian leher, dapat berputar ke segala arah termasuk mengarah ke dada.
Letak leher bukan di garis tengah, tetapi ke arah tulang belakang sehingga kekuatan his dapat menimbulkan
fleksi kepala.
Terjadi perubahan posisi tulang belakang janin yang lurus sehingga dagu lebih menempel pada tulang dada
janin .
Kepala janin yang mencapai dasar panggul akan menerima tahanan sehingga memaksa kepala janin mengubah
kedudukannya menjadi fleksi untuk mencari lingkaran kecil yang akan melalui jalan lahir (Cunningham dkk,
2013; McKinney, 2013).
4. Putaran paksi dalam (internal rotation): Putaran paksi dalam dimulai pada bidang setinggi spina
ischiadika. Setiap kali terjadi kontraksi, kepala janin diarahkan ke bawah lengkung pubis dan kepala berputar
saat mencapai otot panggul (Cunningham dkk, 2013; McKinney, 2013).
Ekstensi (extension): Saat kepala janin mencapai perineum, kepala akan defleksi ke arah anterior oleh
perineum. Mula-mula oksiput melewati permukaan bawah simfisis pubis, kemudian kepala keluar mengikuti
sumbu jalan lahir akibat ekstensi.
Putaran paksi luar (external rotation): Putaran paksi luar terjadi ketika kepala lahir dengan oksiput anterior,
bahu harus memutar secara internal sehingga sejajar dengan diameter anteroposterior panggul. Rotasi eksternal
kepala menyertai rotasi internal bahu bayi.
Ekspulsi: Setelah bahu keluar, kepala dan bahu diangkat ke atas tulang pubis ibu dan badan bayi dikeluarkan
dengan gerakan fleksi lateral ke arah simfisis pubis.
Definisi Manajemen Aktif Kala III
Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta/uri. Rata-rata lama kala III berkisar 15-30 menit, baik
pada primipara maupun multipara. Risiko perdarahan meningkat apabila kala tiga lebih dari 30 menit, terutama
antara 30-60 menit. (Sumarah, 2009)
Pentalaksanaan aktif didefinisikan sebagai pemberian oksitosin segera setelah pelahiran bahu anterior,
mengklem tali pusat, segera setelah pelahiran bayi, dan menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk
pelahiran plasenta. Penelitian selanjutnya mengonfirmasi kehilangan darah yang jauh lebih sedikit pada
penatalaksanaan aktif kala III, bahkan pada populasi yang beresiko rendah mengalami perdarahan post-partum.
(Varney, 2007)
Penelitian Prevention of Postpartum Hemorrhage Intervention-2006 tentang praktik menejemen aktif kala tiga
(Active Managemen of Third Stage of Labour/AMTSL) di 20 rumah Sakit di Indonesia menunjukkan bahwa
hanya 30% Rumah sakit melaksanakan hal tersebut. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan praktik
menejemen aktif ditingkat pelayanan kesehatan primer (BPS atau Rumah Bersalin) di daerah intervensi APN
(Kabupaten Kuningan dan Cirebon) dimana sekitar 70% melaksanakan manajemen aktif kala tiga bagi ibu-ibu
bersalin yang ditangani. Jika ingin menyelamatkan banyak ibu bersalin maka sudah sewajarnya jika menejemen
aktif kala tiga tidak hanya dilatihkankan tetapi juga dipraktikkan dan menjadi standart asuhan persalinan. (APN,
2008)

B. Fisiologi Kala III


Dimulai segera setelah bayi sampai lahirnya plasenta yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Setelah bayi
lahir uterus teraba keras dengan fundus uteri agak diatas pusat beberapa menit kemudian uterus berkontraksi
lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 menit – 15 menit setelah bayi
lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta, disertai dengan
pengeluaran darah. Komplikasi yang dapat timbul pada kala II adalah perdarahan akibat atonia uteri, ratensio
plasenta, perlukaan jalan lahir, tanda gejala tali pusat.
Tempat implantasi plasenta mengalami pengerutan akibat pengosongan kavum uteri dan kontraksi lanjutan
sehingga plasenta dilepaskan dari perlekatannya dan pengumpulan darah pada ruang utero-plasenter akan
mendorong plasenta keluar.
Otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume ronnga uterus setelah lahirnya bayi.
Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta karena tempat perlekatan
menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat, menebal dan
kemudian lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau kedalam vagina (Depkes RI 2007).
Pada kala III, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah
lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena
tempat perlekatan menjadi semkin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka pasenta akan terlipat,
menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus
atau ke dalam vagina. Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan
permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
Keuntungan-keuntungan manajemenaktif kala III
Tujuan Manajemen Aktif Kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga
dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah kala III persalinan jika
dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis. Sebagian besar kasus kesakitan dan kematian ibu di Indonesia
disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan dimana sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri dan retensio
plasenta yang sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala III. (APN, 2008)
Keuntungan-keuntungan Manajemen Aktif kala III:
a. Persalinan kala III yang lebih singkat
b. Mengurangi jumlah kehilangan darah
c. Mengurangi kejadian Retensio Plasenta

Cara-cara Pelepasan Plasenta :


a) Metode Ekspulsi Schultze
Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah (sentral) atau dari pinggir plasenta. Ditandai oleh makin panjang
keluarnya tali pusat dari vagina (tanda ini dikemukakan oleh Ahfled) tanpa adanya perdarahan per vaginam.
Lebih besar kemungkinannya terjadi pada plasenta yang melekat di fundus.
b) Metode Ekspulsi Matthew-Duncan
Ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan tidak
melebihi 400 ml. Bila lebih hal ini patologik.Lebih besar kemungkinan pada implantasi lateral.
Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot uterus segera berkontraksi, pembuluh-pembuluh darah akan terjepit,
dan perdarahan segera berhenti. Pada keadaan normal akan lahir spontan dalam waktu lebih kurang 6 menit
setelah anak lahir lengkap.

1. Tanda – tanda pelepasan plasenta.


Adapun tanda – tanda pelepasan plasenta yaitu :
a. Perubahan bentuk dan tinggi fundus.
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus
biasanya di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk
segitiga atau seperti buah pear atau alpukat dan fundus berada di atas pusat.
Tali pusat memanjang.
b. Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva.
c. Semburan darah mendadak dan singkat.
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar di bantu oleh gaya
gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplasental pooling) dalam ruang di antara dinding uterus dan permukaan
dalam plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersembur keluar dari tepi plasenta yang terlepas.
Tanda ini kadang – kadang terlihat dalam waktu satu menit setelah bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.

2. Pengawasan Perdarahan
Empat prasat yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
a. Prasat Kustner
Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila
tali pusat ini masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Bila tetap atau
tidak masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta lepas dari dinding uterus. Prasat ini hendaknya
dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.
b. Prasat Strassman
Perasat ini dilakukan dengan mengetok-ngetok fundus uterus dengan tangan kiri dan tangan kanan
meregangkan tali pusat sambil merasakan apakah ada getaran yang ditimbulkan dari gerakan tangan kiri, jika
terasa ada getaran berarti plasenta sudah lepas.
c. Prasat Klien
Untuk melakukan perasat ini, minta pasien untuk meneran, jika tali pusat tampak turun atau bertambah panjang
berarti plasenta telah lepas, begitu juga sebaliknya.

d. Prasat Manuaba
Tangan kiri memegang uterus pada segmen bawah rahim, sedangkan tangan kanan memegang dan
mengencangkan tali pusat. Kedua tangan ditarik berlawan.

C. Manajemen Aktif Kala III


Manajemen aktif III: Mengupayakan kontraksi yang adekuat dari uterus dan mempersingkat waktu kala III,
mengurangi jumlah kehilangan darah, menurunkan angka kejadian retensio plasenta.
Tiga langkah utama manajemen aktif kala III:Pemberian oksitosin/uterotonika segera mungkin, melakukan
penegangan tali pusat terkendali(PTT), Rangsangan taktil pada dinding uterus atau fundus uteri (Masase
Fundus Uteri).
Penegangan tali pusat terkendali: Berdiri disamping ibu, pindahkan jepitan semula tali pusat ketitik 5-20 cm
dari vulva dan pegang klem penjepit tersebut, lrtakan telapak tangan ( alas dengan kain ) yang lain, pada
segmen bawah rahim atau diding uterus dan suprasimpisis, pada saat terjadi kontraksi, tegangkan tali pusat
sambil tekan tali uterus ke dorsokranial, ulangi kembali perasat ini bila plasenta belum dapat dilahirkan ( jangan
dilakukan pemaksaan).

D. Pemeriksaan Pada Kala III


Pemeriksaan Plasenta,Selaput Ketuban dan Tali Pusat
1. Plasenta
Pastikan bahwa seluruh plasenta telah lahir lengkap dengan memeriksa jumlah kotiledonnya (rata-rata 20
kotiledon). Periksa dengan seksama pada bagian pinggir plasenta apakah kemungkinan masih ada hubungan
dengan plasenta lain (plasenta suksenturiata. Amati apakah ada bagian tertentu yang seperti tertinggal atau tidak
utuh, jika kemungkinan itu ada maka segera lakukan eksplorasi untuk membersihkan sisa plasenta.

2. Selaput Ketuban
Setelah plasenta lahir, periksa kelengkapan selaput ketuban untuk memastikan tidak ada bagian yang tertinggal
di dalam uterus. Caranya dengan meletakkan plasenta di atas bagian yang datar dan pertemukan setiap tepi
selaput ketuban sambil mengamati apakah ada tanda-tanda robekan dari tepi selaput ketuban.
Jika ditemukan kemungkinan ada bagian yang robek, maka segera lakukan eksplorasi uterus untuk
mengeluarkan sisa selaput ketuban karena sisa selaput ketuban atau bagian plasenta yang tertinggal di dalam
uterus akan menyebabkan perdarahan dan infeksi.
3. Tali Pusat
Setelah plasenta lahir, periksa mengenai data yang berhubungan dengan tali pusat.
a. Panjang tali pusat
b. Bentuk tali pusat (besar,kecil, atau terpilin-piliin)
c. Insersio tali pusat
d. Jumlah vena dan arteri pada tali pusat
e. Adakah lilitan tali pusat

E. Pemantauan Kala III


1. Kontraksi
Pemantauan kontraksi pada kala III dilakukan selama melakukan manajemen aktif kala III ( ketika Ptt), sampai
dengan sesaat setelah plasenta lahir. Pemantauan kontraksi dilanjutkan selama satu jam berikutnya dalam kala
IV.
Penanganannya:
Memberikan oksitosin dengan segera
Lakukan penengan tali pusat ( PTT ) dengan cara: satu tangan diletakan pada korpus uteri tepat diatas
simfisis phubis. Selama berkontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerakan dorsol kranial tangga
yang satu memengang tali pusat dengan klem 5 - 6 cm di depan vulva jaga tahanan ringan pada tali pusat dan
tunggu adanya kontraksi kuat ( 2-3 menit) selama kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang
terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan uterus.
PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi tangan pada uterus merasakan kontraksi ibu dapat juga
memebritahu petugas ketika iya merasakan kontraksi ketika uterus sedang tidak berkontraksi tangan petugas
dapat tetap berada pada uterus tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi langkah-langkah PTT pada setiap kontraksi
sampai plasenta terlepas.
Pemijatan uterus ketika plasenta lahir.
Setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan masase fundus agar menimbulkan kontraksi untuk menggurangi
pengeluaran darah mencegah perdarahan.

2. Robekan Jalan Lahir


Selama melakukan PTT ketika tidak ada kontraksi, bidan melakukan pengkajian terhadap robekan jalan lahir
dan perinium. Pengkajian yang dilakukan seawal mungkin sehingga bidan dapat segera menentukan derajat
robekan dan teknik jahitan yang tepat yang akan digunakan sesuai dengan kondisi pasien. Bidan memastikan
jumlah darah yang keluar adalah akibat robekan jalan lahir atau karena pelepasan plasenta.
Robekan yang terjadi bisa ringan ( lecet , laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan
sampai ruptur perinei totalitas ( sfingter ani terputus) robekan pada dinding vagina, forniks teri, serfviks, daerah
sekitar klitoris dan uretra dan bahkan terberat ruptura teri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah
dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terajadi pada
kontraksi uterus baik, biasanya, karena adanya robekan atau sisanya plasenta.pemeriksaan dapat dilakukan
dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan servis, dengan memakai spekulum untuk mencari
sumber perdarahan dengan irik warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai dengan denyut nadi.
Perdarahan karena ruptura teri dapat diduga pada persalina macet atau Asep, atau uterus dengan lokus minoris
resisntensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan terbuka
harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitancat- gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
Teknik pejahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta spekulum dan
memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat
anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan homeostasis.

3. Robekan perinium
Robekan perinium di bagi atas 4 tingkat :
Tingkat 1 : robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perinium.
Tingkat 2 : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak
mengenai sfingter ani.
Tingkat 3 : robekan menganai perinium dengan otot sfingter ani.
Tingkat 4 : robekan mengenai perinium sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rectum.

Robekan perineum yang melebihi derajat 1 harus di jahit dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan
pembersihan luka dengan cairan anti septic dan luas robekan ditentukan dengan seksama.
Pada derajat 2, setelah diberi anastesi local otot-otot diafragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah dengan
jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan
dibawahnya.
Pada derajat 3 dilakukan dengan teliti : dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal
ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Lakukan penutupan robekan.
Sedangkan pada derajat 4 dilakukan rujukan.
Tingkat episotomi menurut Manuaba (2007) antara lain :

Tingkat Jaringan terkena Keterangan


episiotomy
Pertama · Fourchette · Mungkin tidak perlu
· Kulit perineum dijahit
· Mukosa vagina · Menutup sendiri
Kedua · Fascia + · Perlu dijahit
muskulus badan
perineum
Ketiga · Ditambah · Harus dijahit legeartis
dengan sfincter ani sehingga tidak menimbulkan
inkontinensia
Keempat · Ditambah · Teknik menjahit
dengan mukosa khusus sehingga tidak
rektum menimbulkan fistula

Penjahitan

4. Tanda –tanda vital dan Hygiene


Tanda vital ibu diperiksa :
2 sampai 3 kali dalam 10 menit pertama, setiap 15 menit pada satu jam pertama, setiap 20 sampai 30 menit
pada jam ke dua.
Hygiene :
Menjaga kebersihan tubuh pasien terutama didaerah Genetalia sangat penting dilakukan untuk menggurangi
kemungkinan kontaminasi terhadap luka robekan jalan lahir dan kemungkinan infeksi intrauterus. Pada kala III
kondisi pasien sangat kotor akibat pengeluaran air ketuban, darah, atau feces saat proses kelahiran janin.
Setelah plasenta lahir lengkap dan dipastikan tidak ada perdarahan, segera keringkan bagian bawah pasien dari
air ketuban dan darah. Pasang pengalas bokong yang sekaligus berfungsi sebagai penampung dara ( underped)
jika memang dipertimbangkan untuk menampung darah yang keluar untuk kepentingan penghitungan volume
darah, maka pasang bengkok dibawah bokong pasien.

Memberikan Asuhan pada Ibu Bersalin Kala IV


Satu jam segera setelah kelahiran membutuhkan observasi yang cermat pada pasien. Tekanan darah, kecepatan
denyut nadi, dan kehilangan darah harus dipantau dengan cermat. Selama waktu inilah biasanya terjadi
perdarahan masa nifas,biasanya karena relaksasi rahim, tertahannya fragmen plasenta, atau laserasi yang tidak
terdiagnosis. Perdarahan yang samar (misalnya pembentukan hematoma vagina) dapat munul sebagai keluhan
nyeri pelvic. Oleh karena itu bidan tidak boleh meninggalkan pasien pada masa ini.
2.1.1 Fisiologi Kala IV dan Kebutuhan Persalinan Kala IV
Persalinan kala IV dimulai dengan kelahiran plasenta dan berakhir 2 jam kemudian. Periode ini merupakan saat
paling kritis untuk mencegah kematian ibu, terutama kematian disebabkan perdarahan. Selama kala IV, bidan
harus memantau ibu setiap 15 menit pada jam pertama dan 30 menit padajam kedua setelah persalinan. Jika
kondisi ibu tidak stabil, maka ibu harus dipantau lebih sering.

2.1.2 Evaluasi Uterus ; Konsistensi, Atonia


Setelah pengeluaran plasenta, uterus biasanya berada pada garis tengah dari abdomen kira-kira 2/3 antara
symphysis pubis dan umbilicus. Uterus yang dijumpai berada di atas umbilicus merupakan indicator adanya
penggumpalan darah didalam uterus. Uterus yang dijumapai berada diatas umbilicus dan agak menyamping,
biasanya kekanan, menunjukan bahwa kandung kemih sedang penuh. Dalam hal kandung kemih tersebut harus
dikosongkan. Kandung kemih yang penuh mendorong uterus tergeser dari posisinya dan menghalanginya untuk
berkontraksi sebagaimana mestinya, dengan demikian memungkinkan perdarahan lebih banyak. Uterus
seharusnya terasa keras (kaku) bila diraba. Uterus yang lembek, berayun menunjukan bahwa uterus dalam
keadaan tidak berkontraksi dengan baik, dengan kata lain mengalami atonia uteri. Atonia uterus merupakan
penyebab utama dari perdarahan segera setelah persalinan. Apabila kontraksi uterus, otot uterus akan menjepit
pembuluh darah untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat mengurangi kehilangan darah dan mencegah
perdarahan post partum. Pemeriksaan fundus uteri dilakukan setiap 15 menit pada jam pertama setelah
persalinan dan 30 menit pada jam kedua setelah persalinan.

2.1.3 Pemeriksaan Serviks, Vagina dan Perenium


Segera setelah bidan merasa yakin bahwa uterus telah berkontraksi dengan baik, ia harus memeriksa perenium,
vagina bagian bawah, serta servik apakah ada cedera, perdarahan, benjolan haemotama, laserasi dan luka
berdarah, serta mengevaluasi kondisi dari episiotomy jika memang ada. Laserasi di kalasifikasikan berdasarkan
luasnya robekan.
Klasifikasi laserasi :
1. Derajat Satu
Luasnya robekan mengenai mukosa vagina, fourchette posterior, dan kulit perineum.
2. Derajat dua
Seperti derajat satu dan juga mengenai otot perineum.
3. Derajat tiga
Pada derajat tiga ini seperti derajat dua ditambah dengan otot spingter ani eksternal.
4. Derajat empat
Derajat tiga ditambah dengan dinding rectum anterior.
Apabila pada saat pemeriksaan jalan lahir Nampak perdarahan sebagai tetesan yang terus-menerus atau
memancar, perlu dicurigai adanya laserasi vagina atau serviks atau adanya pembuluh darah yang tidak adekuat.

2.1.4 Pemantauan dan Evaluasi Lanjut


Selama sisa waktu dalam kala IV persalinan, tanda-tanda vital, uterus, kandung kemih, lochia, serta perineum
ibu harus dipantau dan di evaluasi, sehingga semuanya berjalan stabil dalam batas-batas normal.
a. Tanda-tanda vital
Pemantauan tanda vital ibu antara lain tekanan darah, denyut jantung dan pernafasan dilakukan selama kala IV
persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta. Seterusnya kemudian di evaluasi lagi setiap 15 menit sekali
hingga keadaannya stabil seperti pada persalinan, atau jika ada indikasi perlu di monitor lebih sering lagi. Suhu
ibu diukur sedikitnya sekali dalam kala IV dan dehidrasinya juga harus di evaluasi.
Denyut nadi biasanya berkisar 60 sampai 70 x/menit. Apabila denyut nadi lebih dari 90 x/menit, perlu
dilakukan pemeriksaan dan pemantauan yang terus-menerus.
Jika ia menggigil tetapi tidak ada infeksi (ingat bahwa peningkatan suhu dalam batas 2 adalah normal) hal
tersebut akan berlalu jika bidan mengikuti beberapa langkah dasar:
Berilah kehangatan dengan menyelimuti tubuh ibu dengan selimut hangat.
Berikan rasa kepastian dengan memberikan penjelasan mengapa ia menggigil dan juga memberi pujian
yang melimpah tentang kinerjanya dalam persalinan.
Ajari si ibu untuk mengendalikan pernafasannya serta teknik-teknik relaksasi progresif. Kadang-kadang
suhu dapat lebih tinggi dari 37,2 C akibat dehidrasi atau persalinan yang lama.
b. Kontraksi uterus
Pemantauan kontraksi uterus harus dilakukan secara simultan. Jika uterus lembek, maka wanita itu bisa
mengalami perdarahan. Untuk mempertahankan kontraksi uterus dapat dilakukan rangsangan taktil (pijatan)
bila uterus mulai melembek atau dengan cara menyusukan bayi kepada ibunya, tetapi si bayi biasanya tidak
berada di dalam dekapan ibu berjam-jam lamanya dan uterus mulai melembek lagi.
c. Lochea
Jika uterus berkontraksi kuat, lochea kemungkinan tidak lebih dari menstruasi. Dengan habisnya efek oksitosik
setelah melahirkan, jumlah lochea akan bertambah karena myometrium sedikit banyak berelaksasi.
d. Kandung kemih
Kandung kemih harus di evaluasi untuk memastikan kandung kemih tidak penuh. Kandung kemih yang penuh
mendorong uterus ke atas dan menghalangi uterus berkontraksi sepenuhnya.
Jika kandung kemih penuh, bantu ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya dan anjurkan untuk
mengosongkan kandung kemihnya setiap kali diperlukan. Ingatkan ibu bahwa keinginan untuk berkemih
mungkin berbeda-beda setelah dia melahirkan bayinya. Jika ibu tidak dapat berkemih, bantu ibu dengan cara
menyiramkan air bersih dan hangat ke perineumnya. Atau masukan jari-jari ibu kedalam air hangat untuk
merangsang keinginan berkemih secara spontan. Jika setelah tindakan-tindakan ii ibu tetap tidak dapat
berkemih secara spontan, mungkin diperlukan kateterisasi. Jika kandung kemih penuh atau dapat di palpasi,
gunakan teknik aseptic pada saat memasukkan kateter nelaton disinfeksi tingkat tinggi atau steril untuk
mengosongkan kandung kemih. Setelah mengosongkan kandung kemih, lakukan rangsangan taktil (pemijatan)
untuk merangsang uterus berkontraksi lebih baik.
e. Perineum
Perineum di evaluasi ntuk melihat adanya edema atau hematoma. Bungkusan keping es yang dikenakan
perineum mempunyai efek ganda untuk mengurangi ketidaknyamanan dan edema bila telah mengalami
episiotomy atau laserasi.

2.1.5 Perkiraan Darah yang Hilang


Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah secara tepat karena darah sering kali bercampur dengan
cairan ketuban atau urin dan mungkin terserap dihanduk, kain atau sarung. Tak mungkin menilai kehilangan
darah secara akurat melalui penghitungan jumlah sarung karena ukuran sarung bermacam-macam dan mungkin
telah diganti jika terkena sedikit darah atau basah oleh darah. Meletakan wadah atau pispot dibawah bokong ibu
untuk mengumpulkan darah bukanlah cara yang efektif untuk mengukur kehilangan darah dan bukan
merupakan cerminan asuhan sayang ibu karena berbaring diatas wadah atau pispot sangat tidak nyaman dan
menyulitkan ibu untuk memegang dan menyusui bayinya.
Satu cara untuk menilai kehilangan darah adalah dengan cara melihat volume darah yang terkumpul dan
memperkirakan berapa banyak botol 500ml dapat menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi
dua botol, ibu telah kehilangan satu liter darah. Jika darah bisa mengisi setengah botol, ibu kehilangan 250 ml
darah. Memperkirakan kehilangan darah hanyalah salah satu cara untuk menilai kondisi ibu. Cara tak langsung
untuk mengukur jumlah kehilangan darah adalah melalui penampakan gejala dan tekanan darah.
Belum ada metode yang akurat, meletakkan penampung darah dibawah bokong ibu, selain tidak nyaman juga
tidak menjamin pengukuran yang tepat, pengukuran dengan gelas ukur dapat terganggu dengan tambahan
cairan lain atau jumlah yang hilang akibat mineral penyerap (kain, kasa, pakaian, dsb).
Apabila perdarahan menyebabkan ibu lemas, pusing dan kesadaran menurun serta tekanan darah sistolik turun
lebih dari 30 mmHg dari kondisi sebelumnya maka telah terjadi perdarahan 500-1000 ml. bila ibu mengalami
syok hipovolemik maka ibu telah kehilangan darah 50% dari total jumlah darah ibu (2000-2500 ml). penting
untuk selalu memantau keadaan umum dan meniali jumlah kehilangan darah ibu selama kala IV melalui tanda
vital, jumlah darah yang keluar dan kontraksi uterus.

2.1.6 Pemantauan Selama Kala IV


a. Keadaan umum dan kesadaran
Sebagian besar kejadian kesakitan dan kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan terjadi
selama 4 jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena alasan ini sangatlah penting untuk memantau ibu secara
ketat segera setelah persalinan. Jika tanda – tanda vital dan kontraksi uterus masih dalam batas normal selama 2
jam pertama pasca persalinan, mungkin ibu tidak akan mengalami pendarahan pasca persalinan.
Selama 2 jam pertama pasca persalinan :
1. Pantau tekanan darah, nadi, tinggi fundus, kandung kemih dan darah yang keluar selama 15 menit selama
1 jam pertama dan setiap 30 menit selama 1 jam kedua.
2. Masase uterus untuk membuat kontraski uterus menjadi baik setiap 15 menit selama 1 jam pertama dan
setiap 30 menit selama jam kedua
3. Pantau temperature tubuh setiap jam
4. Nilai perdarahan, periksa perineum dan vagina setiap 15 menit pertama dan setiap 30 menit selama jam
kedua
5. Ajarkan pada ibu dan keluarga bagaimana menilai kontraksi uterus dan jumlah darah yang keluar dan
bagaimana melakukan masase jika uterus menjadi lembek
6. Minta anggota keluarga untuk memeluk bayi. Bersihkan dan bantu ibu mengenakan pakaian atau sarung
bersih dan ekring kemudian atur posisi ibu agar nyaman. Jaga agar bayi diselimuti dengan baik berikan bayi
kepada ibu untuk disusukan
7. Lakukan asuhan esensial bagi bayi baru lahir.
Jangan gunakan kain pembalut perut selama 2 jam pertama pasca persalinan atau hingga kondisi ibu mulai
stabil. Kain pembalu perut menyulitkan penolong untuk menilai kontraksi uterus . jika kandung kemih penuh
bantu ibu untuk mengosongkannya.

b. Tanda – tanda vital


Pemantauan tanda – tanda vital pada persalinan kala IV antara lain:
1. Kontraksi uterus harus baik
2. Tidak ada perdarahan dari vagina atau alat genitalia lainnya.
3. Kandung kencing harus kosong.
4. Plasenta dan selaput ketuban harus lahir lengkap.
5. Luka-luka pada perineum harus terawat dengan baik dan tidak terjadi hematoma.
6. Bayi dalam keadaan baik.
7. Ibu dalam keadaan baik.
Pemantauan tekanan darah pada ibu pasca persalinan digunakan untuk memastikan bahwa ibu tidak mengalami
syok akibat banyak mengeluarkan darah. Adapun gejala syok yang diperhatikan antara lain nadi cepat, lemah
(110 kali/menit atau lebih), tekanan rendah (sistolik kurang dari 90 mmHg) pucat, berkeringat atau dingin, kulit
lembab, nafas cepat (lebih dari 30 kali/menit), cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar serta produksi urin
sedikit sehingga produksi urin menjadi pekat dan suhu yang tinggi perlu diwaspadai juga kemungkinan
terjadinya infeksi dan perlu penanganan lebih lanjut.

c. Tonus uterus dan TFU


Pemantauan adanya kontraksi uterus sangatlah penting dalam asuhan persalinan kala IV dan perlu evaluasi
lanjut setelah placenta lahir yang berguna untuk memantau terjadinya perdarahan. Kalau kontraksi uterus baik
dan kuat kemungkinan terjadinya perdarahan sangat kecil. Pasca melahirkan perlu dilakukan pengamatan
secara seksama mengenai ada atau tidaknya kontraksi uterus yang diketahui dengan meraba bagian perut,
karena saat kelahiran tinggi fundus akan berada 1 – 2 jari dibawah pusat dan terletak agak sebelah kanan
sampai akhirnya hilang.

d. Kandung kemih
Yakinkan bahwa kandung kencing kosong. Hal ini untuk membantu involusio uteri. Jika kandung kemih penuh
maka bantu ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya dan ibu dianjurkan untuk selalu mengosongkannya
jika diperlukan.
Jika ibu tidak dapat berkemih bantu dengan menyiramkan air bersih dan hangat pada perineumnya atau
masukkan jari-jari ibu kedalam air hangat untuk merangsang keinginan berkemih secara spontan. Kalau upaya
tersebut tidak berhasil dan ibu tidak dapat berkemih secara spontan maka perlu dipalpasi dan melakukan
kateterisasi secara aseptik dengan memasukkan kateter Nelaton DTT atau steril untuk mengosongkan kandung
kemih ibu setelah kosong segera lakukan masase pada fundus untuk menmbantu uterus berkontraksi dengan
baik.

e. Perdarahan
Jumlah perdarahan vagina harus minimal jika rahim dikontraksi dengan baik. Jika kontraksi buruk maka
perdarahan akan cenderung sedang, dan banyak yang menyebabkan perdarahan yang berlebihan. Amati
perineum setiap peningkatan perdarahan atau pengeluaran bekuan darah ketika dilakukan masase uterus.
Perdarahan yang normal setelah kelahiran selama 6 jam pertama mungkin hanya akan sebanyak satu pembalut
perempuan per jam atau seperti darah haid yang banyak. Jika perdarahan lebih banyak dari in, ibu hendaknya
diperiksa lebih sering dan penyebab-penyebab perdarahan berat harus diidentifikasi. Apakah ada laserasi pada
vagina atau serviks apakah uterus berkontraksi dengan baik apakah kandung kencingnya kosong.
1. Perdarahan akibat laserasi jalan lahir
Inspeksi cermat jalan lahir
Bila terjadi rupture uteri dilakukan histerektomi
Jika terjadi laserasi servik maka penjahitan dengan menggunakan forcep cincin
Laserasi perineum

Satu cara untuk menilai kehilangan darah adalah melihat volume darah yang terkumpul dan memperkirakan
berapa banyak botol 500 ml yang menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi dua botol, ibut
telah kehilangan satu l liter darah. Jika hanya setengah botol, ibu kehilangan 250 ml darah. Memperkirakan
kehilangan darah adalah salah satu cara menilai kondisi ibu

Pemantauan Kala IV
Observasi 2 Jam PostPartum
1. Melakukan pemantauan kontraksi uterus dan perdarahan pervaginam :
2-3 kali dalam 15 menit pertama pascapersalinan
Setiap 15 menit pada 1 jam pertama pascapersalinan
Setiap 20-30 menit pada jam kedua pascapersalinan
Jika uterus tidak berkontraksi dengan baik, laksanakan perawatan yang sesuai
untuk menatalaksana atonia uteri
Jika ditemukan laserasi yang memerlukan penjahitan, lakukan dengan
anesthesia local dan menggunakan teknik yang sesuai.
2. Perdarahan : mengevaluasi kehilangan darah, banyak atau tidak, rata-rata dalam
batas normal jumlah perdarahan 250cc, biasanya 100-300cc. Bila perdarahan
lebih 500cc sudah dianggap abnormal.
3. Kandung kencing : harus kosong, kalau penuh ibu disuruh kencing dan kalau
tidak bisa lakukan kateter. Jika kandung kencing tidak kosong, kontraksi uterus
tidak baik.
4. Luka-luka : jahitannya baik atau tidak, ada perdarahan atau tidak.
5. Uri dan selaput ketuban harus lengkap, jika tidak lengkap bisa menyebabkan
perdarahan.
6. Memeriksa temperature tubuh ibu sekali setiap jam selama dua jam pertama
pascapersalinan.
7. Memeriksa tekanan darah (<140/90), nadi dan keadaan kandung kencing setiap
15 menit selama satu jam pertama pascapersalinan dan setiap 30 menit selama
jam kedua pascapersalinan

2.1.7 Melakukan Penjahitan Luka Episiotomi / Laserasi


1. Tujuan
Yaitu untuk menyatukan kembali jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah yang tidak
perlu (memastikan hemostasis). Depkes RI 2007, ingat setiap kali jarum masuk ke jaringan tubuh, jaringan
tubuh akan terluka dan menjadi lambat potensial untuk timbulnya infeksi, oleh sebab itu pada saat menjahit
laserasi gunakan benang yang cukup panjang dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan
pendekatan dan hemostasis.
2. Macam-macam penjahitan
Menjahit luka episiotomy medialis
Mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia di jahit dengan
beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan, lalu lender vagina dijahit pula dengan
beberapa jahitan. Terakhir kulit perenium dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara
terputus-putus (interrupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit
otot, fasia dan selaput lender adalah catgut chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
Menjahit luka episitomymediolateralis
Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kearah belakang dan samping. Arah
insisi ini dapat dilakukan kea rah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya,
panjang insisi kira-kira 4cm, teknik menjahit sama pada luka episiotomy medialis. Penjahitan dilakukan
sedimikian rupa sehigga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.
Menjahit luka episiotomy lateralis
Pada teknik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam,
teknik ini sering tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi, teknik penjahitan sama
dengan luka episotomy mediolateralis (Phawirohardjo 2000)
Menjahit luka episotomy menurut derajat luka
Luka derajat I dapat dilakukan hanya dengan catgut yang dijahitkan secara jelujur. Menjahit luka episiotomy
(continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight).
Luka derajat II, sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika
dijumpai pinggir robeka yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan
terlebih dahulu, pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian
digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan, mula-mula otot dijahit dengan
caygut. Kemudian selaput vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur, penjahitan lender
vagina dimulai dari puncak robekan sutura secara terputus-putus.
Tingkat III mula-mula dinding bagian depan rectum yang robek dijahit. Kemudian perineal dan fasia septum
rektovaginal dijahit dengan catgut chromic, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot spingter ani yang
terpisah oleh karena robekan diklem dengan pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik
sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti robekan perineum tingkat II.

Persiapan dan langkah melakukan penjahitan


Atur posisi ibu secara lithotomi, kemudian arahkan lampu, bersihkan daerah vulva dan perineum, petugas
mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan sendiri, lalu pasang duk steril dibawah bokong pasien.
Rabalah seluruh daerah luka dengan ujung jari, lihat dan perhatikan letak ujung luka, pasang vagina tampon
bila perlu, jepit jarum jahit dengan naldvoeder, pasang benang jahit pada jarum, pegang pincet anatomis dengan
tangan kiri, naldvoeder dengan tangan kanan, pastikan obat anastesi telah bereaksi dengan bantuan pinset,
tempatkan jahit pertama 1cm diatas ujung luka, tarik jarum dengan bantuan pinset, ikat ujung jahitan dengan
simpul mati 2x dan potong sisa benang kira-kira 1cm diatas simpul.
Jahitlah mukosa vagina dengan teknik jelujur hingga mencapai lingkaran hymen, tusukan jarum menembus
mukosa vagina dibelakang hymen hingga ujung jarum mencapai luka pada daerah perineum, lalu periksa tepi
luka, lanjutkan melakukan penjahitan hingga ujung kaudal luka, pastikan bahwa setiap jahitan padatiap sisi
memiliki ukuran yang sama dan otot yag berada dibagian dalam sudah tertutup.
Setelah mencapai ujung luka, arahkan jarum ke kranial dan mulai melakukan penjahitan lapisan ke dua secara
jelujur untuk jaringan subkutikulair, masukan jarum dari daerah perineum kea rah vagina, ujung jarum harus
keluar dibelakang lingkaran hymen, setelah selesai jahitan subkutikulair, masukan jarum dari daerah perineum
kea rah vagina, ujung jarum harus keluar dibelakang lingkaran hymen, ikat benang dengan simpul mati 3 kali,
potong ujung benang kira-kira 1,5 cm dari atas simpul.
Tempelkan kasa steril yang telah diberi betadin solution pada jahitan perineum dan agak dorong sedikit
kedalam vagina kemudian pasang pembalut dan celana dalam.
Beritahukan kepada pasien bahwa tindakan telah selesai dilakukan, bersihkan pasien, ganti pakaiannnya dengan
yang bersih, buatlah pasien merasa nyaman.
Rendam semua alat-alat yang telah dipakai dalam larutan klorin 0,5%, sebelum membuka sarung tangan,
elupkan tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, bersihkan tempat tidur menyemprotkan larutan klorin 0,5%
diatasnya setelah selesai rendam rapihkan alat, buka sarung tangan dan rendam dalam larutan klorin 0,5%
selama 10 menit kemudian lakukan pemrosesan alat dan rapikan alat-alat yang lain, mencuci tangan dan
membuka skort dan kaca mata pelindung.

BAB III
Deteksi Dini Penyulit Persalinan pada Ibu Hamil – Persalinan adalah suatu proses pengeluaran
hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar.
Persalinan dibagi menjadi 4 kala yaitu :
- Kala 1
Dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan servik sampai pembukaan lengkap yaitu 10 cm.
- Kala 2
Dimulai ketika pembukaan sudah lengkap sampai bayi lahir.
- Kala 3
Dimulai setelah lahirnya bayi dan berkhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
- Kala 4
Dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir setelah 2 jam setelah itu

2.2 DETEKSI DINI PADA KALA I


INERSIA UTERI
a. TANDA DAN GEJALA
His tidak adekuat
< 2 kali dalam 10 menit
< 20 detik
b. MANAJEMEN
Nutrisi cukup
Mobilisasi / ubah posisi
Upayakan kandung kemih/rectum kosong
Rangsang putting susu

2. DENYUT JANTUNG JANIN


a. TANDA DAN GEJALA
< 120 kali dalam 1 menit
> 160 dalam 1 menit
b. MANAJEMEN
Beri Oksigen
Ibu berbaring miring kekikiri
Pantau DJJ tiap 15 menit
Bila dalam 1 jam tidak normal rujuk

3. DILATASI SERVIK
a. TANDA DAN GEJALA
Fase laten > dari 8 jam
Dilatasi serviks dikanan garis waspada pada partograf
b. MANAJEMEN
Rujuk

4. CAIRAN KETUBAN
a. TANDA DAN GEJALA
Bercampur mekonium
Air ketuban hijau kental
Berbau
b. MANAJEMEN
Beri oksigen
Beri antibiotik
Rujuk dengan ibu miring kekiri
5. TEKANAN DARAH
a. TANDA DAN GEJALA
Bila TD naik hingga > 160/110 mmHg
Pusing yang hebat
Mata berkunang – kunang
Kejang
b. MANAJEMEN
Infus cairan RL
Rujuk

6. BANDEL RING
a. TANDA DAN GEJALA
Nyei yang hebat pada perut bagian bawah
Kontraksi hipotonik
Muncul tanda-tanda pre syok
Foetal distress
b. MANAJEMEN
Infus cairan RL
Rujuk

7. SUHU
a. TANDA DAN GEJALA
Suhu . 38 C
b. MANAJEMEN
Istirahat baring
Minum banyak Kompres untuk menurunkan suhu
Bila dalam 4 jam suhu tidak turun, beri antibiotik à rujuk
8. NADI
a. TANDA DAN GEJALA
Nadi > 100 x/menit
Nadi > 100 x/menit + urine pekat
Nadi > 100 x/menit + suhu > 38
b. MANAJEMEN
Beri minum banyak / cukup
Pantau 2 jam
Bila tidak ada perbaikan beri antibiotic, pasang infus RL
Rujuk

2. 3. DETEKSI DINI PADA KALA II


1. TALI PUSAT MENUMBUNG
a. TANDA DAN GEJALA
Teraba tali pusat saat pemeriksaan dalam
b. MANAJEMEN
Bila DJJ + rujuk degan posisi terlentang dan kepala janin ditahan oleh 2 jari penolong dari dalam vagina
atau
Ibu dengan posisi sujud bokong lebih tinggi dari kepala
Bila DJJ – beritahu ibu / keluarga tentang kondisinya dan penatalaksananya sesuai persalinan kala I

2. PERUBAHAN DAN POLA DENYUT JANTUNG JANIN


a. TANDA DAN GEJALA
Takikardi ( DJJ > 160 dalam 10 menit )
Bradikardi ( DJJ < 100 dalam 10 menit )
b. MANAJEMEN
Pantau DJJ tiap 15 menit
Beri O2
Ubah posisi ibu dengan miring kekiri
Periksa adanya prolap tali pusat
Pastikan lama persalinan yang diharapkan
Bila tidak ada perbaikan rujuk

3. KELELAHAN MATERNAL
a. TANDA DAN GEJALA
Ibu tampak lemah
Apatis
Dehidrasi
Dehidrasi
Suhu dan nadi meningkat
b. MANAJEMEN
Pencegahan adalah cara yang terbaik
Koreksi ketidak seimbangan cairan/elektrolit
Rujuk bila keadaan menurun

4. DISTOSIA BAHU
Adalah kepala janin telah dilahirkan tetapi bahu tersangkut tidak dapat dilahirkan.

5. DISPROPORSI SEFALOPELVIK
Adaah ketidak seimbangnya antara ukuran bayi dengan ukuran panggul sehingga terjadi partus macet

6. PARTUS MACET
Adalah tidak ada kemajuan pada kala II dalam hal :
Penurunan bagian bawah janin
Putaran paksi dalam
His adekuat

2.4. DETEKSI DINI PADA KALA III


1. Tidak adanya tanda – tanda pelepasan plasenta
2. Plasenta tidak lepas dalam 15 menit setelah bayi lahir dan pemberian oksitosin
3. Uterus tidak kontraksi
4. Perdarahan yang abnormal

KOMPLIKASI PERSALINAN
1.Atonia uteri
Adalah Suatu kondisi dimana miometrium tidak
dapat berkontraksi dan bila ini terjadi
maka darah yang keluar dari bekas
implantasi tidak dapat terkendali

Predisposisi perdarahan pascapersalinan


disebabkan atonia uteri :
♣Over distensi uterus (kehamilan)
–Polihidramnion
–Gemeli
–Janin besar (makrosomia)
♣Kala satu/dua yang memanjang♣Persalinan cepat (partus presipitatus)♣Persalinan yang
diinduksi/dipercepat dengan oksitosin
(augmentsi)

Penatalaksanaan Atonia Uteri yaitu:


Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan taktil
(masase) fundus uteri

2. Retensio Plasenta
Adalah Plasenta belum lahir setelah 30 menit .
Jika plasenta masih dalam uterus
& perdarahan minimal,berikan
oksitosin 10 unit IM,pasang infus
menggunakan jarum besar (16/18)
berikan RL

–Rujuk
–Dampingi ibu

3.PERLUKAAN JALAN LAHIR


Laserasi serviks dan vagina
Menyebabkan :
–Perdarahan
–Jaringan parut
–Infeksi
–Nyeri saat bersenggama
–Kematian
omplikasi Awal
1. Perdarahan
Pembuluh darah yang tidak terikat dengan
baik.Pastikan bahwa perdarahan tidak berasal
dari uterus yang atonik
2. Hematoma
Mengumpulnya darah pada dinding vagina yang
biasanya terjadi akibat komplikasi luka pada
vagina. Terlihat pembengkakan

A. DETEKSI DINI KOMPLIKASI MASA POST NATAL (MASA NIFAS).

1. Perdarahan pervagina
Perdarahan pervagina atau perdarahan postpartum atau post partum hemorargi atau hemorargi post
partum atau PPH adalah kehilangan darah sebanyak 500 cc atau lebih dari traktus genetalia setelah
melahirkan.

Hemorargi post partum primer adalah mencakup semua kejadian perdarahan dalam 24 jam setelah
kelahiran.

Penyebab:
a. Uterus atonik (terjadi karena misalnya: plasenta atau selaput ketuban tertahan).
b. Trauma genetalia (meliputi penyebab spontan dan trauma akibat pelaksanaan atau gangguan, misalnya
kelahiran yang menggunakan peralatan termasuk sectio caesaria, episiotomi).
c. Koagulasi intravascular disetaminata.
d. Inversi uterus.

Hemorargi post partum sekunder adalah mencakup semua kejadian PPH yang terjadi antara 24 jam setelah
kelahiran bayi dan 6 minggu masa post partum.

Penyebab:
1. Fragmen plasenta atau selaput ketuban tertahan.
2. Pelepasan jaringan mati setelah persalinan macet (dapat terjadi di serviks, vagina kandung kemih,
rectum).
3. Terbukanya luka pada uterus (setelah sectio caesaria, ruptur uterus).

Penatalaksanaan:
Hemorargi post partum primer.
Hemorargi post partum atonik.
1. Pijat uterus agar berkontraksi dan keluarkan bekuan darah.
2. Kaji kondisi pasien (denyut jantung, tekanan darah, warna kulit, kesadaran, kontraksi uterus) dan
perkirakan banyaknya darah yang sudah keluar. Jika pasien dalam kondisi syok, pastikan jalan nafas
dalam kondisi terbuka, palingkan wajah hilang.
3. Berikan oksitosin (oksitosin untuk 10 iu IV dan ergometrin 0,5 IV. Berikan melalui IM apabila tidak bisa
melalui IV).
4. Siapkan donor untuk tranfusi, ambil darah untuk cross cek, berikan NaCl 11/15 menit apabila pasien
mengalami syok), pada kasus syok yang parah gunakan plasma ekspander.
5. Kandung kemih selalu dalam kondisi kosong.
6. Awasi agar uterus tetap berkontraksi dengan baik. Tambahkan 40 iu oksitosin dalam 1 liter cairan infus
dengan tetesan 40 tetes/menit. Usahakan tetap menyusui bayinya.
7. Jika perdarahan persisten dan uterus tetap relaks, lakukan kompresi bimanual.
8. Jika perdarahan persisten dan uterus tetap berkontraksi dengan baik, pastikan laserasi jalan lahir.
9. Jika ada indikasi mungkin terjadi infeksi maka berikan antibiotik.
10. Lakukan pencatatan yang akurat.

Penatalaksanaan lanjutan:
Pantau kondisi pasien selama24-48 jam.

Hal yang harus di hindari:


1. Jangan pernah meninggalkan pasien sendiri sampai perdarahan telah terkendali dan keadaan umum
telah stabil.
2. Pada kasus PPH atonik jangan pernah memasukkan pack vagina.
3. Jika penolong berada si rumah perlu dilakukan rujukan.
Hemorargi post partum traumatik
1. Pastikan asal perdarahan.
2. Ambil darah untuk cros check dan lakukan sek kadar HB.
3. Pasang infus IV, NaCl atu Rl jika pasien mengalami syok.
4. Pasien dalam posisi litotomi dan penerangan yang cukup.
5. Perkirakan darah yang hilang.
6. Periksa denyut nadi, tekanan darah dan kondisi umum.
7. Jahit robekan.
8. Berikan antibiotik.
9. Membuat catatan yang akurat.

Hemorargi post partum sekunder


Prioritas dalam penatalaksanaan hemorargi post partum sekunder (sama dengan penatalaksanaan
hemorargi post partum primer).
1. Masukkan pasien ke rumah sakit sebagai salah satu kasusu kedaruratan.
2. Lakukan massase uterus, jika uterus masih teraba.
3. Berikan oksitosin.
4. Siapkan donor untuk transfusi.
5. Awasi uterus agar tetap berkontraksi dengan baik.
6. Berikan antibiotik.
7. Jika mungkin siapkan pasien untuk pemeriksaan segera dibawah pengaruh anastesi.

2. Infeksi masa nifas.


Infeksi masa nifas atau sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genetalia yang terjadi pada setiap saat
antara awitan pecahan ketuban atau persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau abortus dimana
terdapat dua atau lebih dari hal-hal berikut ini:
a. Nyeri pelvik.
b. Demam 38,5 0C atau lebih.
c. Rabas vagina yang abnormal.
d. Rabas vagina yang berbau busuk.
e. Keterlambatan dalam penurunan uterus.

Bakteri penyebab sepsis puerpuralis:


1. Streptokoccus.
2. Stafilokoccus.
3. E. Coli.
4. Clostridium tetani.
5. Clostridium welchi.
6. Clamidia dan gonocokkus.

Bakteri endogen.
Bakteri ini secara normal hidup di vagina dan rectum tanpa menimbulkan bahaya. Bahkan jika tekhnik
steril di gunakan dalam persalinan, infeksi ini masih dapat terjadi akibat bakteri endogen. Bakteri endogen
dapat membahayakan dan menyebabkan infeksi jika:
a. Bakteri ini masuk kedalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui instrumen pemeriksaan pelvik.
b. Bakteri terdapat dalam jaringan yang memar, robek/ laserasi atau jaringan mati.
c. Bakteri masuk sampai kedalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang lama.
Bakteri eksogen.

Bakteri ini masuk kedalam vagina dari luar yaitu:


a. Malalui tangan dan alat yang tidak steril.
b. Melaluui substansi.
c. Malalui aktivitas seksual.

Tanda dan gejala sepsis puerpuralis.


a. Demam.
b. Nyeri pelviks.
c. Nyeri tekan di uterus.
d. Lokia berbau menyengat.
e. Terjadi keterlambatan dalam penurunan uterus.
f. Pada laserasi terasa nyeri., bengkak dan mengeluarkan darah.

Faktor terjadi sepsis puerpuralis.


a. Anemia/kurang gizi.
b. Higieneyang buruk.
c. Tekhnik asptik yang buruk.
d. Manipulasi yang sangat banyak pada jalan lahir.
e. Adanya jaringan mati pada jalan lahir.
f. Inersi tangan, instrumen atau pembalutyang tidak steril.
g. Ketuban pecah lama.
h. Pemeriksaan vagina yang sering.
i. Kielahiran melalui SC.
j. Laserasi vagina/serviks yang tidak di perbaiki.
k. PMS yang di derita.
l. Hemorragi post partum.
m. Tidak imunisasi tetanus.
n. Diabetes mellitus.

Faktor resiko di masyarakat.


a. Tidak adanya transportasi dan sarana lain.
b. Jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan.
c. Status kesehatan wanita yang rendah.
d. Kurangnya pengetahuan tentang sepsis puerpuralis.

Faktor di pelayanan kesehatan.


a. Pemantauan suhu badan yang tidak adekuat setelah persalinan lama dan kelahiran.
b. Tidak adanya asepsis selama persalinan.
c. Pemeriksaan bakteriologis yang tidak adekuat dengan antibiotik yang tepat atau intervensi operatif
selanjutnya.
d. Ketidaktersediaan antibiotik yang tepat.

3. Kelainan payudara.
1. Bendungan air susu ibu.
Selama 24-48 jam pertama sesudah terlihatnya sekresi lakteal, payudara sering mengalami distensi menjadi
keras dan berbenjol-benjol. Keadaan ini yang disebut bendungan air susu atau “caked breast”, sering
menyebabkan rasa nyeri yang cukup hebat dan bisa disertai dengan kenaikan suhu. Kelainan tersebut
menggambarkan aliran darah vena normal yang berlebihan dan penggembungan limfatik dalam payudara,
yang merupakan prekuser regular untuk terjadi laktasi. Keadaan ini bukan merupakan overdestensi sistem
lakteal oleh susu.

Penatalaksanaan:
a. Keluarkan ASI secara manual/ASI tetpa diberikan pada bayi.
b. Menyangga payudara dengan BH yang menyokong.
c. Kompres dengan kantong es.
d. Pemberian analgesik.

2. Mastitis.
Inflamasi perinkimatosa glandula mammaemerupakan komplikasi ante partum yang jarang terjadi tetapi
kadang-kadang dijumapi dalam masa nifas dan laktasi.
Gejala mastitis supuratif jarang terlihat sebelum akhir minggu pertama masa nifas dan umumnya baru
ditemukan setelah minggu ketiga atau keempat. Bendungan yang mencolok biasanya mendahului inflamasi
dengan keluhan pertamanya berupa menggigil atau gejala grigor yang sebenarnya, yang segera di ikuti oleh
kenaikan suhu tubuh dan peningkatan frekuensi denyut nadi. Payudara kemudian menjadi keras serta
kemerahan, dan pasien mengeluhkan rasa nyeri.

Gejala mastitis.
a. Gejala mastitis non-infeksius adalah:
1) Ibu memperhatikan adanya “bercak panas”, atau area nyeri tekan yang akut.
2) Ibu dapat merasakan bercak kecil yang keras didaerah nyeri tekan tersebut.
3) Ibu tidak mengalami demam dan merasa baik-baik saja.

b. Gejala mastitis infeksius adalah :


1) Ibu mengeluh lemah dan sakit pada otot seperti flu.
2) Ibu dapat mengeluh sakit kepala.
3) Ibu demam.
4) Terdapat area luka yang terbatas atau lebih luas pada payudara.
5) Kulit pada payudara dapat tampak kemerahan atau bercahaya.
6) Terjadi pembengkakan pada payudara.

Penatalaksanaan.
Bila payudara tegang dan kemerahan maka:
a. Berikan kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
b. Sangga payudara.
c. Kompres dingin.
d. Bila diperlukan, berikan paracetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
e. Ibu harus di dorong menyusui meskipun ada pus.
f. Jika bersifat infeksius, berikan analgesik non narkotik, antipiretik untuk mengurangi demam dan nyeri.
g. Pantau suhu tubuh akan adanya demam. Jika ibu demam tinggi (>39 0C), periksa kultur susu terhadap
kemungkinan adanya infeksi streptokokal.
h. Pertimbangkan pemberian antibiotik antistafilokokus kecuali jika demam dan gejala berkurang.
i. Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan

Anda mungkin juga menyukai