Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara
praktis. Di Amerika Serikat Pragmatisme mendapat tempatnya yang tersendiri di dalam
pemikiran filsafati. William James (1842-1910) orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan
pragmatisme kepada dunia. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini
bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-
pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai
berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.
Pragmatisme adalah bagian dari salah satu aliran filsafat. Pragmatisme merupakan salah
satu pemberontakan umum dalam melawan sistem idealisme yang terlalu menonjolkan
intelektual dan tertutup. Pemberontakan dalam bidang filsafat ini terjadi dalam abad XIX. Pada
saat itu, para penganut idealisme mengembangkan pengalaman pikiran subyektif manusia
sehingga pengalaman tersebut menjadi prinsip metafisika untuk menjelaskan kosmos. Bagi
penganut idealisme, semua realitas adalah satu susunan, dan realitas tersebut tersusun dari
bagian-bagian yang melekat satu sama lain berdasarkan atas hubungan internal yang saling
menunjang. Realitas ini sering diinterpretasikan dalam kategori-kategori intelektual tertentu dan
abstrak.
Dua aliran filsafat yang sangat mempengaruhi pragmatisme pada awal berdirinya adalah
Empirisme Inggris dan Filsafat Jerman Modern. Pada Empirisme Inggris, karya-karya yang
mempengaruhi pragmatisme ditulis oleh John Stuart Mill, Alexander Bain, dan John Venn.
Empirisme Inggris menekankan peran pengalaman dalam terbentuknya pengetahuan. Tokoh lain
sangat dominan dalam terbentuknya pragmatisme adalah George Berkeley, seorang penganut
idealisme empiris, dan Pierce yang menyebut dirinya sebagai peletak dasar bagi pragmatisme.
Pengaruh lain yang perlu ditambahkan adalah pengalaman sosial bangsa Amerika pada abad
XIX. Pengaruh tersebut adalah ekspansi industri dan perdagangan yang cepat dan optimisme
yang merakyat yang berasal dari teologi puritanisme, terutama yang berhubungan dengan kerja
keras dan kebajikan (Suparman, 2003:49-50).
Bagi pragmatisme, filsafat adalah alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari-hari
maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknik. Dalam
segalanya itu pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting dan bukan pendapat atau teori
yang hipotesis dan sepihak. Untuk menilai bermanfaat tidaknya ilmu pengetahuan, anggapan-
anggapan hidup malahan filsafat sendiri pun, perlu diperhatikan segala hasil dan kesimpulan atau
akibat yang terjadi atas dasar hipotesis-hipotesis itu. Yang pokok adalah bahwa manusia berbuat
dan bukan berpikir. Pikiran atau teori merupakan alat yang “hanya berguna” untuk
memungkinkan timbulnya pengalaman yang semakin ikut mengembangkan hidup manusia
dalam praktik pelaksanaannya.
Pragmatisme banyak hubungannya dengan nama seperti Charles S. Peirce (1839-1934),
Willam James (1842-1910), John Dewey (1859-1952) dan George Herberrt Mead (1863-1931).
Walaupun pragmatisme sebagai filsafat yang sistematis adalah baru jika dibandingkan dengan
yang lain, namun sikap dan ide-ide yang serupa dapat ditemukan dalam karangan pemikir-
pemikir yang terdahulu. Sebagai contoh, kata pragmatis dipakai oleh Kant untuk menunjukkan
pemikiran yang sedang berlaku dan ditetapkan oleh maksud-maksud dan rencana-rencana. Ia
menggunakan kata pragmatis sebagai kebalikan dari kata praktikal yang menunjukkan kepada
bidang etika. Kant mengajak untuk mendapatkan watak moral khususnya rasa kewajiban, dan
kemauan untuk menegakkan kebenaran beberapa keyakinan seperti: kemerdekaan kemauan,
Tuhan dan kelangsungan jiwa. Prinsip Kant tentang lebih pentingnya akal praktis telah
merintis jalan bagi pragmatisme.
1. Charles S. Pierce
Charles S. Pierce, yang terkenal sebagai pendiri pragmatisme, mendapat pengaruh
dari Kant dan Hegel. Pierce mengatakan bahwa problema-problema termasuk persoalan-
persoalan metafisik dapat dipecahkan jika kita memberi perhatian kepada akibat-akibat
praktis dari mengikuti bermacam-macam pikiran. Orang mengatakan bahwa pragmatisme
muncul pada tahun 1878 ketika Pierce menerbitkan makalanya yang berjudul How To
Make Our Ideas Clear.
Walaupun ia tidak pernah menulis suatu buku tentang filsafat atau menyusun
pikirannya dalam suatu bentuk yang sistematis, namun kegiatannya dalam sastra
berlangsung bertahun-tahun. Dengan diterbitkan tulisan-tulisannya dalam dasawarsa
terakhir, perhatian kepada filsafat Pierce bertambah dan diakui sebagai intelektual yang
luar biasa. Ia merupakan suatu gabungan yang langka antara seorang ilmuwan fisika
dengan kebiasan-kebiasaan memikir tentang laboratorium, seorang peminat filsafat, dan
seorang yang mempunyai keyakinan moral yang kuat.
Pierce merupakan seorang ahli logika yang mementingkan problema teknis dari
logika dan epistemologi serta metoda sains dalam laboratorium. Perhatiannya dalam
logika mencakup penyelidikan sistem deduktif, metodologi dalam sains empiris dan
filsafat yang ada di belakang metoda dan teknik yang bermacam-macam. Logikanya
mencakup teori alamat (signs dan symbols) dan karyanya dalam hal tersebut merupakan
karya perintis. Ia memandang logika sebagai alat komunikasi atau usaha kooperatif atau
umum. Pendekatan semacam itu memerlukan penelitian yang kritis dan memerlukan
bantuan orang lain dalam usahanya yang terus menerus untuk menjelaskan pikiran-
pikiran. Pierce berhasrat untuk mendirikan filsafat atas dasar ilmiah dan untuk
menganggap teori-teori sebagai hipotesa yang berlaku. Ia menamakan pendekatan-
pendekatannya itu pragmatisme.
Salah satu sumbangan Pierce yang paling penting bagi filsafat adalah teorinya
tentang arti. Pada hakekatnya ia membentuk satu dari teori-teori modern tentang arti
dengan mengusulkan suatu teknik untuk menjelaskan pikiran. Hal itu dapat ditemukan
dengan baik jika kita menempatkan pikiran tersebut dalam ujian eksperimental dan
mengamati hasilnya. Ukurannya tentang berarti adalah dengan memperhatikan
bagaimana suatu benda akan bertingkah jika ia mempunyai suatu sifat atau termasuk
dalam suatu jenis. Jika benda itu keras ia akan menggores benda-benda lain, dan jika ia
bersifat seperti bensin, ia akan menguap dengan cepat, dan lain-lain.
Empirisme Pierce lebih bersifat intelektual daripada voluntaris (segi kemauan);
ini berarti bahwa ia menekankan kepada intelek dan pemahaman lebih daripada kemauan
dan aktivitas. Rasa tidak enak karena sangsi mendorong kita mencari keyakinan. Hasil
dari pencarian tersebut, yang maksudnya adalah untuk menghilangkan kesangsian, adalah
pengetahuan. Dengan begitu maka ia tidak menekankan kepada rasa indrawi atau
kemauan seperti yang dilakukan oleh bentuk-bentuk terakhir dari pragmatisme umum.
Di satu pihak, Pierce bersifat kritis terhadap intuisionisme dan prinsip-prinsip a
priori. Walaupun ia setuju dengan sebagian dari pandangan-pandangan a priori, ia
tidak menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa empirisme memerlukan
pengingkaran terhadap kemungkinan metafisik.
Dalam bidang metafisik dan lain-lainnya, kita harus menjauhkan diri dari rasa
telah mencapai tujuan akhir. Pierce setuju dengan faham fallibilism. Orang yang sangat
pandai pun dapat salah juga. Penyelidikan yang progresif akan membawa kita kepada
perubahan yang terus menerus. Pierce percaya kepada chance (nasib), karena walaupun
alam itu bertindak secara teratur menurut hukum alam, ia berpendapat bahwa keteraturan
alam itu tak pernah sempurna. Nasib dan kebiasaan memegang peran dalam kejadian-
kejadian di dunia. Fallibilisme dan hari kemudian yang terbuka menggantikan
skeptisisme dan absolutisme, dan pragmatisme menggantikan sistem kepercayaan yang
tetap dalam filsafat dan sains. Walaupun Pierce sangat memperhatikan logika dan
metodologi, tulisan-tulisannya menunjukkan secara jelas bahwa ia memberi tempat
kepada idealisme evolusioner yang menekankan kebutuhan kepada prinsip cinta,
sebagai kebalikan dari individualisme yang sempit dalam urusan-urusan manusia.
2. William James
Perkembangan pragmatisme yang cepat adalah disebabkan oleh tanah yang subur
yang ditemukan di Amerika dan oleh penyajian yang sangat menarik dari William James.
Dalam bukunya Pragmatism, James mempertentangkan rasionalis yang lunak yang
biasanya mempunyai pandangan yang idealis dan optimis, dengan empiris yang keras,
yang suka kepada fakta, dan yang biasanya merupakan seorang materialis dan pesimis.
Kepada mereka itu James berkata: "Aku menyajikan pragmatisme, suatu aliran yang
namanya aneh, sebagai suatu filsafat yang dapat memuaskan dua macam kebutuhan.
Pragmatisme dapat tetap bersifat religius seperti rasionalisme, tetapi pada waktu
yang sama, ia sangat memperhatikan fakta sebagaimana aliran empirisme".
a. Empirisme Radikal
James mendefinisikan istilah empirisme radikal sebagai berikut: "Aku
mengatakan empirisme oleh karena empirisme merasa puas untuk menganggap hasil
pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah menurut
pengalaman di kemudian hari". James juga pernah berkata: "Untuk menjadi radikal
suatu empirisme harus tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang tidak
dialami secara langsung, atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami
secara langsung". James menganggap hubungan (relation) seperti "lebih besar
daripada" sebagai salah satu dari unsur-unsur yang dialami secara langsung.
Pragmatisme sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah tindakan menengok
terhadap hasil-hasil dari fakta-fakta, dan bukan terhadap prinsip-prinsip dan kategori.
Ia menerima pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari sebagai
dasar. Realitas adalah hal yang dialami, apakah itu merupakan benda atau
perubahan keadaan. Oleh karena pengalaman itu terpisah-pisah, maka kelompok
pragmatis mendapatkan benda-benda ada yang disambung dan ada yang perlu dipisah
serta menerima apa adanya. Sebagai akibat, mereka berpendapat bahwa realitas itu
banyak (pluralitas) dan tidak satu (monistis) atau dua (dualistic). Terdapat paham
yang kita terima, yakni data rasa yang dibawakan dari luar diri kita sebagai stimulus
(daya perangsang). Kemudian ditambah dengan unsur interpretatif yang diberikan
oleh makhluk yang sadar. Pengalaman kita yang kreatif yang terdiri atas bahan yang
kita terima serta unsur interpretatif merupakan realitas yang kita ketahui. Dengan
begitu, maka pengetahuan didasarkan atas persepsi indrawi atas pengalaman
yang membentuk kesadaran yang terus menerus.
3. John Dewey
Makin besar dan kuatnya pragmatisme secara terus menerus adalah berkat tulisan-
tulisan John Dewey. Dewey mencapai kemasyhuran dalam logika, epistimologi, etika,
estetika, filsafat politik ekonomi dan pendidikan. Bagi Deweydan pengikut-pengikutnya
istilah instrumentalisme dianggap lebih tepat dari istilah pragmatisme, akan tetapi
kedua-duanya tetap dipakai.
Dewey adalah seorang yang bersifat kritis secara serius dan terus menerus
terhadap jenis-jenis filsafat klasik dan tradisional dengan usaha untuk mencari realitas
yang tertinggi dan menemukan zat yang tetap (immutable). Dewey mengatakan bahwa
filsafat-filsafat semacam itu telah memperkecil atau menganggap rendah pengalaman
manusia. Dewey mengatakan bahwa manusia telah memakai dua metoda untuk
menghindari bahaya dan mencapai keamanan.
Metoda pertama adalah dengan melunakkan atau minta damai kepada
kekuatan-kekuatan di sekitarnya dengan upacara-upacara keagamaan, korban,
berdoa, dan lain-lain. Metoda kedua adalah dengan menciptakan alat untuk
mengontrol kekuatan-kekuatan alam bagi maslahat manusia. Ini adalah jalannya
sains, industri, dan seni, dan cara inilah yang disetujui Dewey.
Tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia
secara lebih baik, untuk di dunia, dan sekarang. Perhatian dialihkan dari problema
metafisik tradisional kepada metoda, sikap, dan teknik untuk kemajuan ilmiah dan kema-
syarakatan. Metoda yang diperlukan adalah penyelidikan eksperimental yang diarahkan
oleh penyelidikan empiris dalam bidang nilai.
b. Metode Kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori instrumental tentang ide-
ide dan menggunakan intelegensia (kecerdasan) sebagai metoda. Memikir adalah
biologis, ia mementingkan persesuaian antara suatu organisme dengan lingkungannya.
Semua pemikiran dan semua konsep, doktrin, logika, dan filsafat merupakan alat
pertahanan bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
Penilaian yang reflektif terjadi jika terdapat suatu problema, atau jika adat
kebiasaan kita terhalang dalam krisis-krisis tertentu. Intelegensi adalah alat untuk
mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan yang dicari oleh individual atau masyarakat.
Tidak ada bahan tertentu yang terpisah dalam otak dan mempunyai daya berpikir. Akal
dimanifestasikan dalam kemampuan kita untuk menanggapi apa yang tidak jelas atau
problematik dalam pengalaman. Mengerti dan bertindak, keduanya bersifat terus
menerus. Mengetahui terjadi dalam alam dan faktor-faktor indrawi serta rasional tidak
lagi berlomba-lomba, malahan bersama-sama sebagai bagian-bagian dari proses bersatu.
Ide adalah rencana tindakan yang harus dilakukan. Teori ilmiah, seperti alat-alat yang
lain dibuat oleh manusia dalam mencari tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yang
khusus. Tujuan dan pemikiran adalah untuk membentuk kembali realitas yang telah
dialami dengan peraturan teknik eksperimen.
Positivisme Logis
Abad XIX ditandai oleh optimisme besar terhadap datangnya zaman baru yang lebih
baik, para sarjana ilmu alam berkeyakinan lahirnya industrialisasi yang dapat menciptakan
kemakmuran manusia. Para ilmuan sosial juga mempunyai pandangan yang sama bahwa mereka
akan mampu menemukan hukum-hukum sosial yang dapat diterapkan dalam masyarakat.
Optimisme yang besar tersebut ternyata tidak serta merta terealisasi karena pada abad XIX
terjadi revolusi Francis, dan kekhawatiran-kekhawatiran-pun telah menyelimuti masyarakat.
August Comte (1798-1857) sebagai bapak Positivisme, meramalkan bahwa abad XIX
merupakan abad industri dan terbentuknya orde sosial baru. Pada saat ini agama bukan lagi
menjadi kekuatan yang melembaga semua bidang masyarakat, melainkan berdasarkan
kecerdasan manusia. Masyarakat baru akan dibangun atas dasar suatu perencanaan rasional yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Veeger, 1993:7-8).
Positivisme dapat dimasukkan sebagai pendukung pemikiran yang mengutamakan empiris
daripada rasio. Berbeda dengan Descartes yang meng-agungkan logika berpikir deduktif,
positivisme justeru sebaliknya, menggemakan logika berpikir induktif. Pengetahuan manusia
menurut positivisme tidak boleh melampaui fakta-fakta (Shidarta, 2004:73).
Positivisme mengisyaratkan filsafat dari kerja spekulatifnya mencari-cari hakikat
ontologis maupun metafisis yang telah dijalaninya selama ribuan tahun. Menurut positivisme,
filsafat tidak punya kerja lain selain cara kerja sains, filsafat bertugas menemukan prinsip-prinsip
umum yang sama untuk semua ilmu dan menggunakan prinsip tersebut sebagai pemandu untuk
perilaku manusia serta dasar untuk pengaturan sosial masyarakat. Positivisme yakin bahwa
masyarakat akan mengalami kemajuan apabila menghargai sains dan teknologi (Adian, 2006:24).
Terlepas dari apa pun juga, pada abad kontemporer banyak filsuf di abad XX kemudian
mengambil sikap kritis terhadap positivisme (Hardiman, 2004:208).
Berbeda dengan positivisme, positivisme logis adalah aliran filsafat ilmu pengetahuan
yang timbul pada awal abad XX, persisnya sekitar tahun 1920-an di Wina, Austria. Positivisme
logis dikembangkan oleh sekelompok intelektual yang sering disebut dengan sebutan Der
Wiener Kreis (kelompok Wina). Anggota awal kelompok Wina terdiri dari beberapa intelektual,
seperti M. Schlick (guru besar filsafat Universitas Wina), Rudolph Carnap (ahli logika), Ph
Frank (ahli ilmu pasti), V. Kraft (ahli sejarah), H. Feigl dan F. Waismann (ahli filsafat).
Timbulnya aliran positivisme logis perlu dilihat dalam konteks perkembangan
masyarakat di Eropa pada awal abad XX. Perang Dunia I yang memakan banyak korban dan
menimbulkan banyak kerugian material yang demikian besar, menimbulkan permasalahan sosial,
ekonomi, politik yang cukup berat. Hal ini memancing para intelektual untuk memikirkan
kembali bagaimana menata masyarakat dari puing-puing kehancurannya. Positivisme logis dan
positivisme klasik memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaan antara keduanya adalah
keduanya sama-sama menjunjung tinggi sains dan metode ilmiah dalam mendapatkan
pengetahuan yang objektif-rasional. Sedangkan perbedaannya adalah apabila positivisme klasik
lebih menaruh perhatian pada bidang pengaturan sosial masyarakat secara ilmiah dan adanya
gerak kemajuan evolutif dalam alam, maka positivisme logis lebih memfokuskan diri pada
logika dan bahasa sains. Filsafat menurut positivisme logis harus bertindak sebagai hamba sains.
Fungsi pokok filsafat adalah melakukan kajian tentang metodologi sains dan melakukan
penjernihan istilah-istilah yang dipakai (clarification of concepts), sehingga kerancuan dalam
pemakaian bahasa dapat dihindarkan.
Aliran positivisme logis atau empirisme logis dikenal juga dengan nama Lingkaran Wina
karena dibentuk oleh sekelompok pemikir dari Universitas Wina pada awal Abad XX. Menurut
kelompok intelektual ini, hanya pengalaman nyata (fakta) dapat disusun dalam proposisi empiris
dan dapat dijelaskan oleh akal budi secara logis serta dapat dibuktikan secara matematis. Apa
yang dapat dipikirkan tetapi tidak dapat disusun dalam proposisi empiris tidak bisa dijelaskan
oleh akal budi secara logis dan oleh sebab itu tidak dapat dibuktikan secara matematis. Dengan
kata lain, hanya pernyataan-pernyataan mengenai pengalaman empiris dapat diuji kebenarannya
secara ilmiah. Sebaliknya, pernyataan-pernyataan spekulatif dalam filsafat dan teologi tidak
dapat diuji kebenarannya secara ilmiah menurut hukum-hukum logika dan matematika.
Komunitas intelektual yang bergabung dalam Lingkaran Wina meyakini bahwa hanya
pernyataan empiris bersifat nyata sehingga dapat diuji benar atau salah. Dengan kata lain,
proposisi empiris menciptakan makna pengetahuan (make sense), masuk akal. Lain halnya
dengan proposisi metafisis tidak memberi makna pengetahuan yang pasti karena sifatnya yang
spekulatif dan ambigu (nonsense). Kemampuan akal budi mempertimbagkan pengalaman
empiris berdasarkan hukum-hukum logika dan membuktikannya secara matematis sehingga ada
kepastian mengenai kebenaran yang diklaim sebagai pengetahuan.
Karena hukum-hukum logika dan matematika bersifat universal maka dapat digunakan
untuk menguji kebenaran pengetahuan dari setiap pengalaman
yang berulang terjadi dalam kehidupan manusia dengan hasil yang sama. Dengan menerapkan
hukum-hukum akal budi yang bersifat universal maka pengalaman dapat memberi manusia
pengetahuan yang bermakna (meaningful) dan berguna dalam memajukan kehidupannya.
Sebaliknya, apa yang diklaim sebagai kebenaran pengetahuan tanpa pengujian yang didasarkan
pada hukum-hukum universal sebagai prosedur pembuktian tidak bermakna (meaningless)
sebagai pengetahuan yang benar. Benar atau salah adalah hasil pembuktian dan bukan spekulasi.
Filsafat dan teologi tidak memproduksi ilmu pengetahuan karena tidak membuktikan benar atau
salah isi pengetahuan menurut hukum-hukum logika dan matematika. Untuk itu, Lingkaran Wina
mematok batasan bagi apa yang diklaim sebagai ilmu pengetahuan harus dipertimbangkan secara
rasional menurut hukum-hukum pemikiran yang bersifat logis, matematis, dan universal. Posisi
ini ditetapkan sebagai konten utama dalam manifesto mereka tentang prosedur atau syarat untuk
mengklaim ilmu pengetahuan sebagai a unified science yakni, bertolak dari pengalaman empiris
dan dipertimbangkan menurut hukum-hukum universal yang bersifat
logis dan dapat dibuktikan secara matematis.
Kuatnya pengaruh positivisme logis, melalui manifestonya tentang a
unified science tidak hanya membuat pemikiran filsafat dan teologi kehilangan
massa tetapi juga mengkondisikan lahirnya sebuah “rezim” yang mengarahkan cara berpikir dan
bertindak manusia yang dikendalikan oleh hukum-hukum formal dalam interaksi politik,
ekonomi, dan sosial. Di balik kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial adalah “rezim” cara
berpikir empiris semakin nyata memegang kendali maka timbul reaksi pro dan kontra mengenai
hakikat positivisme logis dan implikasi pengaruh di masyarakat dewasa ini.
Pemikiran yang Memengaruhi Positivisme Logis
Ada dua arab pemikiran yang memengaruhi positivisme logis. Pertama, empirisme dan
positivism serta pengaruh metodologi ilmu-ilmu empiris yang dikembangkan sejak abad ke-19.
Empirisme, sebagaimana dikembangkan oleh pemikir Renaisans dan Pencerahan, seperti:
Francis Bacon, John Locke dan David Hume, menjadi asas bagi positivisme logis. Prinsipnya
adalah bahwa pengalaman (observasi) dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya
bagi ilmu pengetahuan (menggantikan akal sehat dan otoritas gereja). Kedua, perkembangan
logika simbolik dan analisis bahasa yang dikembangkan oleh Gottlob Frege, Whitehead Bertrand
Russell serta Wittgenstein I (Verhaak, 1989). Aliran positivisme logis menonjol dalam
pandangan dan sikapnya bahwa hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan atas
pengalaman dan dapat di kemukakan dalam bahasa logis dan matematis. Gottlob Frege (1848-
1925), ahli matematika, menyatakan bahwa matematika adalah bagian dari logika dan keduanya
merupakan proyeksi kemampuan kita untuk berpikir secara jelas. Frege melahirkan satu revolusi
dalam logika (logika Aristoteles dan geomerti Euclides), dengan mendirikan logika modern yaitu
dengan menerapkan logika matematik pada bahasa. Logika modern atau logika bahasa Frege itu
sekarang lebih dikenal dengan "filsafat analitik" (Osborne, 2001: 144). Logika bahasa (paduan
matematika, logika dan bahasa) menurut Frege dapat digunakan untuk mengemukakan
pernyataan secara ketat dan bebas dari kekacauan bahasa sehari-hari dan bahasa metafisika.
Pemikiran Frege ini memengaruhi Wittgenstein dan Russell.
Eksistensialisme
Eksistensialisme yang berkembang pada abad ke 20 di Perancis dan Jerman, bukan
sebagai akibat langsung dari suatu keadaan tertentu, tetapi lebih disebabkan oleh respon yang
dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai tatanan di dunia Barat yang sebelumnya
dianggap stabil. Meletusnya perang dunia pertama telah menghancurkan keyakinan atas
keberlanjutan kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan. Kemudian dengan
melemahnya banyak struktur eksternal kekuasaan, seperti struktur ekonomi, politik serta
kekuasaan pada saat itu yang sudah kehilangan legetimasinya, dan kuasa atas individu jadi
terasa sudah tidak lagi ditolerir karena ditentang dan dianggap tidak memiliki peran yang berarti,
dan pada saat itu manusia perorangan hanya bisa tunduk pada kekuasaan internal atas
dirinya sendiri. Kondisi seperti itu telah mengantarkan para eksistensialis kembali pada diri
manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang
berlegitimasi.
Dalam sejarah perkembangannya, eksistensialisme jelas mengacu pada fenomena
kemanusiaan kongkret yang tengah terjadi. Sebagaimana diketahui, filsafat eksistensialisme
berkembang pesat pasca perang dunia kedua, yang seolah membenarkan permenungan filosofis
pada kenyataan (kemanusiaan) yang kongkret tersebut. Oleh karena itu, permenungan
rasionalitas Descartes yang menegaskan Cogito Ergo Sum ”Saya berpikir maka saya ada”,
dibalik secara ekstrem oleh eksistensialis dengan pernyataan: “Saya ada, maka saya
berpikir”.2Aliran ini lebih menekankan perhatiannya pada subyek, bukan pada obyek, hal ini
tentu saja berbeda dengan fenomenologi yang lebih menekankan hubungan subyek dan obyek
pengetahuan dengan intensionalitasnya, maupun dengan filsafat bahasa yang lebih menyoroti
obyek.
Eksistensialisme tidaklah sekedar menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus, karena
setelah melalui berbagai perkembangan, istilah ini telah meresapi banyak bidang di luar filsafat,
seperti psikologi, seni, sastra, drama, dan sebagainya. Terdapat perbedaan- perbedaan yang besar
antara bermacam-macam filsafat yang biasa diklasifikasikan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi
meskipun demikian terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan
eksistensialis, antara lain misalnya. Pertama, eksistensialis merupakan suatu tantangan yang
kuat terhadap filsafat tradisional dengan segala bentuknya, sebab filsafat tradisional
mengarahkan perhatiannya pada wujud dan pengenalannya kepada sebab-sebab yang jauh bagi
wujud tersebut serta dasar-dasar prinsip pertama, kedua, eksistensialisme adalah suatu
protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep ‘akal’ dan ‘alam’ yang ditekankan
pada periode pencerahan abad ke 18. “Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan
terhadap kemampuan sesuatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak
puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
semua itu adalah pokok dari eksistensialisme”. Ketiga, Eksistensialisme juga merupakan
pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern
atau zaman teknologi, serta pemberontakan massa pada zaman sekarang. Dan keempat,
eksistensialisme juga merupakan suatu protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan
fasis, komunis, dan lain-lain yang cenderung menenggelamkan perorangan di dalam
kolektif atau massa.
Pengakuan atas ‘keberadaan’ manusia sebagai subyek yang bereksistensi terletak pada kesadaran
yang langsung dan subyektif, yang tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam suatu
abstraksi. Tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Itulah sebabnya,
kaum eksistensialis sangat percaya bahwa kebenaran adalah pengalaman subyektif tentang
hidup, yang konsekuensi logisnya menentang segala bentuk obyektivitas dan impersonalitas
mengenai manusia.
Tidak berlebihan bila kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi,
sesuatu yang selalu menjadi perbincangan menarik para filsuf. Eksistensi berarti keadaan
yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; dan bereksistensi yaitu menciptakan dirinya
secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan.6 Sedangkan esensi merupakan sesuatu yang
membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan
benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam
benda. Yang pertama adalah esensi baru kemudian muncul eksistensi. Asumsi ini ditolak oleh
kaum eksistensialis, utamanya Sartre yang justru mengatakan bahwa ‘eksistensi sebelum esensi’
atau eksistensi mendahului esensi.
Kaum eksistensial berusaha menemukan kebebasan dengan menunjukkan suatu fakta,
betapa benda-benda (obyek) tidak mempunyai makna tanpa keterlibatan pengalaman manusia.
Manusia merupakan suatu titik sentrum dari segala relasi, sebagai subyek dengan
pengalamannya. Justru dengan kesadaran ‘keberadaannya’, eksistensi manusia diakui, yang oleh
Sartre, cara berada manusia melalui dua cara yaitu l’etre-en-soi (berada pada dirinya ) dan l’etre-
pour-soi (berada untuk dirinya).
Eksistensi berasal dari kata eksistensi dari kata exist. Kata exist itu sendiri berasal dari
Bahasa ex: keluar, dan sister: berdiri. Jadi,eksistensi berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Sensia membuat benda, tumbuhan,
binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh
esensia kursi menjadi kursi, pohon manga menjadi pohon manga. Harimau menjadi harimau.
Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja segala yang ada belum tentu berada.
Kita dapat membayangkan kursi, pohon, harimau, manusia. Namun belum pasti apakah
semuanya ada, sungguh tapil, sungguh hadir.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada,
eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon manga dapat tertanam, tumbuh,
berkembang. Harimaudapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti,
dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada
dapat ada, hidup, tampil dan hadir. Tanpanya segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan
berperan.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi
berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini herarti bahwa dia tidak sekadar berada dan
eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinaan yang dapat
dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai
hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan; Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup
dapat ditanggapi secara balk. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan
kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus disesuaikan atau, bila perlu,
dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib. peraturan, hukum dengan sendirinya sudah
tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang
terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik
kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdakaan
sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptimal mungkin. Untuk
menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan atas norma
kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup.
Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena
adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian cita-cita proyek
hidup. Sebagai ganti tata tertib, peraturan dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab
pribadi. Mereka tidak memedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing
akan saksi-saksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung
segala konsekuensi yang datang dari segala masyarakat, Negara, atau lembaga agama. Satu-
satunya hal yang diperhatikan adalah situasi.
Dalam menghadapi perkaran yang menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu,
pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling baik yang menurut pertimbangan dan tanggung
jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu. Yang baik adalah yang baik menurut
pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkaranya dan norma masyarakat, Negara,
atau agama. Segi positif yang merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis adalah
pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya
tentang masa depan. Eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus
diterima seperti adanya dan dapat diubah, bahkan harus dirubah. Berpandangan eksensialis
dalam hidup tidak mudah menyerah mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Faktor penting
untuk memperbaiki hidup adalah tanggung jawab. Bagi kaum eksensialis yang memahami hidip
belum selesai, setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap
situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi
kemajuan hidup. Dengan demikian gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis,
penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.
Beberapa kelemahan ekseistensialis , pertama etika eksistensialis terperosok ke dalam
pendirian yang individualis, dimana hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena ang
baik ditentukan sendiri bukan menurut norma. Cara memandang kebaikan yang individualis ini
dapat merugikan sesame, masyarakat dan dunia. Kedua, dengan mengabaikan tata tertib,
peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia yang anti sosila. Ketiga, dengan
mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan sebagai tidak
terbatas.
Jean-Paul Sartre (1905 -1980 M)
Jean-Paul Sartre lahir di Paris Prancis, 21 Juni 1905 - 15 April 1980 M. Ia berasal dari keluarga
cendikiawan. Ayahnya seorang perwira mengajar angkatan laut Prancis. Ibunya anak seorang
guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika masih kecil ayahnya
meninggal sehingga ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan di rumah kakeknya. Di bawah
pengaruh kakeknya, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahua.n
dan balcatabakat Sartre dikembangkan secara maksimal.
Mesti Sartre dididik secara agamis oleh kakeknya dan bahkan dibaptis, dalam
perkembangan usia dan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apa pun dan bahkan tidak
percaya terhadap Tuhan. Ia hidup seranjang dengan Simon de Beauvoir tanpa nikah. Baginya
pernikahan adalah suatu lembaga Bourjois saja. Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru
filsafat di Laon dan Paris, dan ia bertemu dengan Husserl. Sementara itu ia mendalam
fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensinya.
Ia adalah filsuf sekaligus pengembang aliran eksistensiallisme. Menurut Strate eksistensi
lebih dulu ada disbanding esensi. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama
hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu
menurut Sartre, satu-satunya landasan ini adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1964 ia diberi nobel sastra, namun Jeal Paul Sarte menolak. Ia meninggal
dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussai (Paris). Upacara pemakamannya
dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya dalah seorang filsuf wanita yang bernama
Simone de beauvior. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being
and Nothingness atau ada dan Ketiadaan.
- Kilas Balik Filsafat Sartre
Pengertian yang menentukan segalanya mengenai kebebbasan dan tanggung jawab
pribadi yang tak kenal kompromi terletak di jantung filsafat Sartre. Dalam kondisi
tertindas saat pendudukan nazi dan selama bertahun-tahun siaga perang menyusul perang
dunia kedua, Sartre menegaskan bahwa setiap ornag bertanggung jawab terhadap apa
yang dilakukan dan mau jadi apa dia? Tak peduli dalam kondisi apapun, perang atau
malah akan menghadapi kematian sekalipun.
Menurut Sartre, eksestensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini sangat
janggal karena biasanya sesuatu harus ada esensinya terlebih dahulu sebelum
keberadaannya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada manusia di dunia.
Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema
sentral pembahasannya. Cara ini hanya ada khusus pada panusia karena manusialah yang
bereksistensi, binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat
disebut bereksistensi karena mereka tidak mempunyai kesadaran tentang dirinya atau
kesadaran kesekelilingnya.
Bagi Sartre, manusia atau keadaan kebebasan untuk membentuk dirinya dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti
bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan, keluruhan
budi dan keberanian dan dia dapat membentuk masyarakat. Karena memiliki ciri seperti
ini manusia dapat menangani masalahnya sendiri dan mengandalkan pilihan dan
tindakannya supaya dapat hidup di dunia.
Sebagai seorang murid Heggel dan Karls Mark, Sartre berusaha menaklukan jiwa
ringkihnya akibat penderitaan yang di rasakannya pada masa perang dengan memberikan
kontribusi dan menyebarkan ajaran-ajaran gurunya melalui berbagai cara, termasuk
melalui karya tulis.
Fenomenologi
1. Hakekat Fenomenologi
Menurut Salam (2008 : 204) fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran
manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan
pada suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau keinginan).
Sedangkan menurut Surajiyo (2012 : 162) kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon, yaitu suatu
yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang didalam bahasa Indonesia disebut gejala. Sehingga fenomenologi
adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau gejala sesuatu yang menampakkan diri.
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran.
Fenomenologi merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya
dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang
terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia
mampu berpikir secara kritis, (Khalilah, 2013).
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di
sekitarnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui
sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar
oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia,
(Wattimena, 2009).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-
gejala (fenomena) apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Adapun gejala-gejala yang tampak berdasarkan kehidupan sehari-hari
misalnya kejadian siang dan malam.