Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Sainsmat, Maret 2014, Halaman 1-11 Vol. III, No.

1
ISSN 2086-6755
http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat

Pembelajaran Fisika melalui Pemrosesan Top Down


Berbasis Scaffolding untuk Melatihkan Keterampilan
Berpikir Kritis
Physics Learning through Top Down Processing based on Scaffolding
to Train Critical Thinking Skills
Muhammad Aqil Rusli1)*, Prabowo2), Wahono Widodo3), Usman1)
1)
Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Makassar, Jl. Daeng Tata Raya Makassar
2)
Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Surabaya, Jl. Ketintang, Surabaya
3)
Program Studi Pendidikan Sains Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Surabaya, Jl. Ketintang, Surabaya

Received 1st October 2013 / Accepted 29th October 2013

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan hasil implementasi pengembangan perangkat pembelajaran
fisika melalui pemrosesan top down berbasis scaffolding untuk melatihkan keterampilan
berpikir kritis. Hasil implementasi pengembangan ini dideskripsikan melalui hasil belajar
fisika dan keterampilan berpikir kritis yang dicapai siswa kelas XI IPA setelah mengikuti
proses pembelajaran. Penelitian ini menggunakan model pengembangan four-D yang
meliputi define, design, develop, dan disseminate. Data hasil belajar fisika dan
keterampilan berpikir kritis diperoleh melalui metode tes. Dari hasil penelitian diperoleh
informasi bahwa hasil belajar fisika siswa berdasarkan kategori gain skor secara rata-rata
adalah tinggi sedangkan hasil tes keterampilan berpikir kritis menunjukkan bahwa hanya
3% siswa berada pada kategori terampil sedangkan rata-rata kelas menunjukkan berada
pada kategori antara tidak terampil sampai agak terampil. Korelasi hasil belajar dengan
keterampilan berpikir kritis cukup kuat dimana 22,37% keterampilan berpikir kritis siswa
dipengaruhi oleh hasil belajar.

Kata kunci: Pemrosesan top down, scaffolding, hasil belajar fisika, keterampilan berpikir
kritis

ABSTRACT

This research was implementation of physics’ developmental learning through top


down processes bassed on scaffolding to practice critical thinking skills. The results were
described by physics achievement and critical thinking skills achieved by students of class

*Korespondensi:
email: aqil.rusli@yahoo.com

1
Rusli, dkk (2014)

XI after attending the learning process. This study used four-D model of development
which consist of define, design, develop, and disseminate. The data of physics achievement
and critical thinking skills acquired through the provision of tests. From the results
obtained information that the students physics achievement by gain score category on
average was higher while the critical thinking skills test results showed that only 3% of
students were in the skilled category, while the average of student’s critical thinking skills
was from limited proficiency to some proficiency category. Pearson correlation showed
significant effect of physics achievement to critical thinking skills where 22,37% critical
thinking skills were explained by physics achievement.

Key words: Top down processes, scaffolding, physics achievement, critical thinking skills

PENDAHULUAN domain kognitif yang meliputi


pengetahuan, aplikasi dan argumentasi juga
Mata pelajaran fisika bertujuan untuk secara signifikan berada di bawah rata-rata
memupuk sikap kritis siswa, mampu (TIMMS, 2011). Hasil penelitian ini
bernalar, dan menggunakan konsep dan merupakan tantangan terbesar bagi dunia
prinsip fisika untuk menjelaskan peristiwa pendidikan Indonesia, khususnya di bidang
alam (BSNP, 2006). Untuk mewujudkan pengajaran fisika untuk membenahi
hal ini, maka pemerintah telah menetapkan pelaksanaan pengajaran dikelas agar
SKL dalam pelajaran fisika yang menuntut pembelajaran berorientasi kepada
siswa melakukan percobaan, antara lain kemampuan siswa berpikir berdasarkan
merumuskan masalah, mengajukan dan konsep dan prinsip fisika dalam mengambil
menguji hipotesis, menentukan variabel, keputusan, tindakan, maupun pelaksanaan.
merancang dan merakit instrumen, Berpikir adalah proses yang
mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan membentuk representasi mental baru
data, menarik kesimpulan, serta melalui transformasi informasi oleh
mengkomunikasikan hasil percobaan secara interaksi kompleks dari atribusi mental
lisan dan tertulis (BSNP, 2006). Tujuan ini yang mencakup pertimbangan,
mencerminkan produk pendidikan di pengabstrakan, penalaran, penggambaran,
Indonesia akan menghasilkan siswa yang pemecahan masalah logis, pembentukan
memiliki pemahaman yang baik, mampu konsep, kreativitas dan kecerdasan (Solso,
berargumen, dan mengambil suatu 2008). Berpikir melibatkan kegiatan
keputusan dilandasi penilaian secara kritis. memanipulasi dan mentransformasi
Dari hasil observasi penulis informasi dalam memori (Santrock, 2008).
disimpulkan bahwa kemampuan siswa Ada tiga ide dasar tentang berpikir: (1)
dalam menerapkan pengetahuan fisika berpikir adalah kognisi secara internal
masih sangat rendah, hal ini sejalan dengan dalam pemikiran, namun keputusan diambil
hasil penelitian terbaru TIMMS tentang lewat perilaku, (2) berpikir adalah proses
pencapaian hasil belajar sains khususnya yang melibatkan beberapa manipulasi
fisika yang menempatkan Indonesia pada pengetahuan dalam sistim kognisi, (3)
urutan 3 terendah dari 42 negara dimana berpikir bersifat langsung dan
pencapaian hasil belajar fisika secara menghasilkan perilaku yang
signifikan berada di bawah rata-rata dengan

2
Pembelajaran Fisika melalui Pemrosesan Top Down Berbasis Scaffolding

“memecahkan” masalah atau langsung mampu memutuskan untuk meyakini atau


menuju pada solusi (Solso, 2008). mengerjakan sesuatu berdasarkan apa yang
Dalam pembelajaran, siswa yang diamati, dicermati, dan pikirkan dengan
dihadapkan pada sebuah masalah baru, nalar yang logis.
maka mereka akan memilih teknik yang Untuk mewujudkan pembelajaran yang
tepat untuk menghadapi masalah tersebut berorientasi pada kemampuan berpikir,
dan mengaitkannya pada informasi- maka pendidikan harus dioptimalkan
informasi yang penting, baik fakta-fakta melalui pembelajaran yang menantang bagi
maupun prinsip. Keadaan ini disebut siswa sehingga proses asimilasi dan
“berpikir kritis” oleh beberapa ahli, “oleh akomodasi dapat menghasilkan
Dewey disebut “berpikir reflektif” dan pertumbuhan intelektual (Hergenhahn &
sebagian lain menyebutnya Olson, 2009). Salah satu teori pemrosesan
“problemsolving” (Bloom, 1956). Menurut informasi yang dapat diterapkan dalam
Ennis (1985) berpikir kritis merupakan cara membangun priorknowledge siswa untuk
berpikir reflektif, masuk akal atau berpikir adalah melalui pendekatan
berdasarkan nalar untuk menentukan apa konstruktivis pemrosesan topdown.
yang akan dikerjakan dan diyakini. Esensi Pemrosesan top down merupakan teori
pemikiran kritis adalah evaluasi (Ruggiero, yang mengajukan gagasan bahwa proses
(2012). Berpikir kritis dapat didefinisikan pengenalan diawali oleh suatu hipotesis
sebagai proses dimana kita menguji klaim mengenai identitas suatu pola, yang diikuti
dan argumen dan menentukan mana yang oleh pengenalan terhadap bagian-bagian
memiliki manfaat dan mana yang tidak. pola tersebut berdasarkan asumsi yang
Dalam Jeevanantham (2005), Lipman sebelumnya telah dibuat (Solso, 2008).
mengatakan bahwa pemikiran kritis adalah Menurut Sun, Merril, dan Peterson dalam
terampil berpikir untuk bertanggung jawab (Sun & Zhang, 2004), pembelajaran
memfasilitasi penilaian yang baik, topdown didefenisikan sebagai
karenaitu (a) bergantung pada kriteria, (b) pembelajaran yang diawali dari
mengoreksi diri, dan (c) sensitif terhadap pengetahuan eksplisit kepada pengetahuan
konteks. Splitter mengungkapkan implisit. Pengetahuan eksplisit adalah
pandangan bahwa dalam belajar berpikir pengetahuan yang mudah diingat dan
kritis, kita memberi struktur pada dijelaskan, sedangkan pengetahuan implisit
pengalaman dengan jalan (a) reflektif dan adalah pengetahuan yang susah diingat atau
koreksi-diri, (b) diatur oleh alasan dan dijelaskan tetapi mempengaruhi perilaku
kriteria, (c) diarahkan pembuatan (Ellis & Ormrod, 2012).
keputusan tentang dunia. Dia Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
menambahkan bahwa berpikir kritis adalah Berpikir kritis dapat dikembangkan melalui
berpikir normatif: seorang pemikir kritis hands on activities, inquiry terpimpin,
adalah seseorang yang sudah siap untuk eksperimen terbimbing dan pemecahan
membuat penilaian beralasan tentang masalah (Triwiyono, 2011; Yuliati dkk.,
kualitas apa yang ia telah lihat, dengar atau 2011; Setyorini dkk., 2011; Sochibin dkk.,
pikirkan. Dari uraian di atas penulis 2009). Merujuk pada uraian di atas dan
simpulkan bahwa seorang pemikir kritis hasil penelitian, maka pembelajaran

3
Rusli, dkk (2014)

sebaiknya melibatkan prior knowledge (Santrock, 2008). Mengajukan pertanyaan-


siswa yang diawali dari sebuah pertanyaan yang mendalam adalah sebuah
permasalahan yang nantinya akan cara yang sangat baik untuk menunjang
dipecahkan oleh siswa melalui hands on pembelajaran siswa dan membantu mereka
activities, eksperimen, maupun dengan mengembangkan keterampilan berpikir
kajian literatur. Peran guru di kelas tidak yang lebih rumit. Seorang guru dapat
lagi sebagai sumber utama informasi, mengajukan pertanyaan kepada siswa
melainkan sebagai fasilitator yang selalu seperti “apakah contoh dari hal tersebut?”
siap membantu siswa dalam mengatasi “mengapa kamu berpikir demikian?”
kendala dalam memecahkan masalah. “sekarang, apakah hal berikutnya yang
Pembelajaran seperti ini merupakan harus kamu lakukan?” “dan bagaimana
gambaran dari pemrosesan top down kamu menghubungkan hal-hal itu?”.
berbasis scaffolding, dimana pembelajaran Seiring waktu, siswa harus mulai
diawali dari sebuah masalah kompleks menginternalisasi penyelidikan semacam
kemudian dipecah menjadi beberapa ini dan lebih memantau kerja mereka
konsep yang akan dieksplorasi oleh siswa sendiri seperti yang dipostulatkan Horowitz
melalui beberapa metode, seperti praktikum dalam Santrock (2008)
dan kajian pustaka. Sedangkan guru akan Keyakinan Vygotsky mengenai
memberi scaffolding berdasarkan pentingnya pengaruh sosial tercermin pada
kebutuhan siswa. konsep Zona Perkembangan Proksimalnya
Scaffolding akan diberikan jika (ZPD). ZPD menangkap keterampilan
diperlukan dan akan dikurangi seiring kognitif anak yang sedang dalam proses
dengan meningkatnya pengetahuan siswa. kematangan dan hanya dapat dicapai
Para peneliti menemukan bahwa ketika dengan bantuan seseorang yang lebih
guru dan teman sebaya menggunakan terampil (Santrock, 2008). Jika ZPD
scaffolding dalam pembelajaran merupakan zona potensial dimana siswa
kolaboratif, pembelajaran siswa-siswa dapat mencapainya dengan bantuan teman
mendapatkan manfaat (Santrock, 2008). yang lebih terampil, maka zona of current
Dialog adalah sebuah alat scaffolding yang development (ZCD) adalah tingkatan
penting dalam zona perkembangan dimana siswa dapat mencapai pemecahan
proksimal, dalam pandangan Vygotsky, masalah tanpa bantuan dari orang lain
anak-anak memiliki konsep-konsep yang (Wass, 2011). Untuk membantu guru dalam
kaya tetapi tidak sistematis, tidak menyiapkan cara untuk mengoptimalisasi
terorganisasi, dan spontan. Dalam sebuah ZPD, maka digunakanlah scaffolding
dialog, konsep tersebut bertemu dengan sebagai panduan dalam penyelesaian tugas.
konsep pembimbing yang lebih sistematis, Bruner dalam ((Wass, 2011) Scaffolding
logis, dan rasional. Hasilnya, konsep anak berarti mengubah tingkat dukungan. Di
menjadi lebih sistematis, logis dan rasional. sepanjang sesi pengajaran, seseorang lebih
Sebagai contoh, sebuah dialog mungkin terampil (seorang guru atau teman sebaya
berlangsung antara guru dan anak ketika yang lebih ahli) menyesuaikan jumlah
guru menggunakan scaffolding untuk bimbingan sesuai dengan kinerja anak yang
membantu anak memahami sebuah konsep ada. Ketika siswa sedang mempelajari

4
Pembelajaran Fisika melalui Pemrosesan Top Down Berbasis Scaffolding

sebuah tugas baru, orang yang lebih (4) sangat terampil (Frank, 2004). Untuk
terampil dapat melakukan pengajaran mengetahui korelasi hasil belajar dengan
langsung. Seiring meningkatnya keterampilan berpikir kritis maka
kompetensi siswa, bimbingan yang digunakan pearson correlation yang
diberikan lebih sedikit. Scaffolding sering dianalisis melalui SPSS 16. Selain itu,
kali digunakan untuk membantu siswa koefisien determinasi juga diperlukan
mencapai batas atas dari zona untuk menjelaskan seberapa besar
perkembangan proksimal mereka. kontribusi pencapaian hasil belajar fisika
Horowitz dalam (Santrock, 2008). siswa terhadap keterampilan berpikir kritis.
Melalui pembelajaran fisika
pemrosesan top down berbasis scaffolding, HASIL DAN PEMBAHASAN
maka diharapkan dapat menjadikan siswa
Sebuah pertanyaan yang mengawali
lebih menyukai fisika, lebih cerdas dalam
pelajaran dilontarkan oleh guru serentak
belajar fisika serta mampu menilai, dan
membuat siswa - siswa memusatkan
memutuskan sesuatu berdasarkan
perhatiannya kepada peneliti. Pertanyaan
pengetahuan fisika yang mereka miliki.
tersebut adalah, “Jika silinder pejal, dan
METODE silinder berongga dilepaskan pada
ketinggian yang sama pada bidang miring,
Penelitian ini merupakan penelitian maka manakah yang lebih dulu sampai
pengembangan dengan uji pengembangan pada dasar bidang miring?” ada lima
kuantitatif dilaksanakan dengan desain one orang siswa dalam kelas IPA 1 menjawab
group pretest posttest. Pengambilan sampel silinder berongga, sedangkan 31 siswa
secara purpossive yaitu kelas XI IPA I menjawab silinder pejal, dengan alasan
dengan populasi seluruh kelas XI IPA di lebih berat. Untuk membuktikan jawaban
SMAN 1 Polewali, kabupaten Polewali tersebut, siswa mendemonstrasikan di
Mandar, Sulawesi Barat. Pengumpulan data depan kelas. Serentak suasana kelas
dilakukan dengan menggunakan metode tes menjadi ramai dengan teriakan
dan angket. Metode tes digunakan untuk ‘benar’sebagai ungkapan akan benarnya
memperoleh data hasil belajar kognitif dan jawaban mereka.
kemampuan berpikir kritis siswa setelah Pertanyaan kemudian dilanjutkan
dilakukan pembelajaran. Data hasil belajar dengan menunjukkan kelereng kecil dan
dijelaskan melalui analisis deskriptif yang kelereng besar, guru kemudian berkata,
dihitung menggunakan gains skor, dengan “mana yang lebih dahulu mencapai dasar
rumus sebagai berikut; bidang miring apakah kelereng besar
< > = (% − % )/(100 − % ) ataukah yang kecil?” kali ini para siswa
Data keterampilan berpikir kritis berbeda pendapat, ada yang mengatakan
dianalisis menggunakan rubrik kelereng kecil dengan alasan lebih ringan
keterampilan berpikir kritis yang dan ada juga yang mengatakan kelereng
dikembangkan oleh Illinois University, besar karena lebih berat. Untuk
dibedakan menjadi 4 kategori, (1) tidak membuktikan kebenaran jawaban mereka,
terampil; (2) agak terampil; (3) terampil; salah seorang siswa tampil ke depan kelas

5
Rusli, dkk (2014)

untuk mendemonstrasikannya. Dan yang pada tingginya motivasi siswa untuk


terjadi adalah, serentak siswa berkata “coba merefleksikan fakta yang mereka temui
ulangi”, mereka seolah tidak percaya jika berdasarkan konsep. Hal ini sesuai dengan
jawaban yang mereka sampaikan tidak hasil penelitian bahwa minat merupakan
satupun sesuai dengan fakta yang mereka salah satu faktor potensial yang secara
amati pada demonstrasi tersebut. Akhirnya langsung berkaitan dengan peristiwa yang
dengan spontan siswapun bertanya, bertentangan dengan logika, karena
“kenapa bisa seperti itu?”. beberapa aspek yang menarik diharapkan
Pertanyaan ini merupakan sebuah dapat dipicu ketika siswa mengalami
ekspresi bahwa terjadi perbedaan konsepsi informasi yang kontradiktif dan konsepsi
pada diri siswa dengan fakta yang mereka mereka akan tertantang (Hidi, 2001; Lee
dapatkan yang berujung pada motivasi atau dkk., 2003).
rasa ingin tahu. Keadaan ini akan memicu Dari tinjauan psikologi dikatakan
pembelajaran yang muncul dari keinginan bahwa minat dicirikan oleh perhatian yang
intrinsik. Ketika belajar dimulai dari diri fokus, meningkatnya fungsi kognitif dan
pelajar, maka hal itu akan menjadi proses afektif serta usaha yang gigih (Ainley dkk.,
generatif di mana pembelajar berusaha 2002), dengan demikian maka perhatian
untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk dan usaha bisa menjadi mediator potensial
membawa ide atau strategi menjadi ada. untuk perubahan konsepsi. Perspektif ini
(Castleberry, 2000). Melalui identifikasi ditinjau dari perkembangan kognitif
fakta, siswa dipandu untuk berdasarkan teori Relational and
mengklasifikasikan kejadian-kejadian yang Contextual Reasoning (RCR) yaitu sejauh
mereka amati pada demonstrasi, yang mana seseorang mampu 'mengubah
kemudian akan mereka kaji melalui tahap kembali pikiran sendiri' (Reich, 2004).
eksplorasi. Merujuk kepada teori Evolusi kognitif
Uraian di atas merupakan deskripsi berdasarkan faktor lingkungan (realitas
pembelajaran fisika melalui pemrosesan yang dirasakan) dalam kajian yang
top down yang diawali dengan berkaitan dengan usia perkembangan
permasalahan kompleks yang jawabannya kognitif, maka siswa SMA kelas XI
terdiri dari konsep dan hukum fisika. merupakan siswa pada kategori masa
Pemilihan masalah yang akan ditampilkan remaja dan dewasa muda yang mampu
pada awal pembelajaran harus mudah merefleksikan pengetahuan yang mereka
dipahami dan dapat dibuktikan secara peroleh berdasarkan fakta dan mampu
faktual di hadapan siswa. Hal ini menjelaskan fakta tersebut berdasarkan
dimaksudkan agar siswa memiliki rasa konsep (Reich, 2004) diadaptasi dari
ingin tahu terhadap materi yang akan Campbell and Bickhard (1986).
mereka eksplorasi dalam menjelaskan Untuk mengetahui pencapaian hasil
permasalahan yang didemonstrasikan belajar fisika siswa setelah mengikuti
tersebut. Selain itu, hasil demonstrasi yang pembelajaran fisika melalui pemrosesan
bertentangan dengan konsepsi siswa dapat top down berbasis scaffolding dapat diamati
memicu konflik kognitif yang bermuara pada tabel berikut:

6
Pembelajaran Fisika melalui Pemrosesan Top Down Berbasis Scaffolding

Tabel 1. Hasil belajar fisika

Nilai rata-rata
Indikator
Pretest Posttest N-Gain
Menuliskan momen inersia berbagai benda tegar 29.0 91.0 0.9
Memutuskan pilihan pada benda yang mudah berotasi 14.5 61.5 0.5
Mampu memutuskan pilihan berdasarkan konsep momen
gaya 5.8 85.2 0.8
Menerapkan konsep momen gaya pada benda setimbang 9.7 100 1.0
Menganalisis persamaan momen inersia 7.3 70.0 0.7
Menganalisis persamaan momen gaya 7.3 50.8 0.5
Mensintesis persamaan momen gaya dan momen inersia 5.8 66.8 0.6
Menghitung momentum sudut benda 7.3 60.8 0.6
Rata-rata 0.7

Tabel 2. Keterampilan berpikir kritis

Skor berpikir kritis


Indikator
pretest posttest N-Gain
Menganalisis momen gaya benda menggelinding 1 2,2 0.4
Mengidentifikasi konsep gerak menggelinding 1 1,7 0.2
Menganalisis persamaan percepatan gerak 1 1,5
menggelinding 0.2
Menyimpulkan hasil analisis percepatan gerak 1 1,7
menggelinding 0.2
Memutuskan solusi yang tepat berdasarkan hukum 1 2,5 0.5
kekekalan momentum sudut
Rata-rata 0.3

Dari hasil analisis data N-Gain setiap memiliki penjelasan yang logis, ternyata
tujuan pembelajaran diperoleh bahwa rata- siswa belum mampu memutuskan alasan
rata siswa memiliki kemampuan logis yang lebih tepat dalam menjelaskan
menyelesaikan soal dengan baik, hal ini suatu persoalan. Akibatnya mereka hanya
terlihat dari gain skor yang dicapai oleh meninjau satu alasan saja dalam mengambil
rata-rata kelas. Namun terdapat beberapa keputusan, sedangkan alasan lain yang
soal yang memiliki gain skor pada kategori diabaikan ternyata memiliki alasan yang
sedang, yaitu indikator memutuskan pilihan lebih kuat. Hal ini menjelaskan bahwa
pada benda yang mudah berotasi, siswa masih terkendala dalam mengambil
menganalisis momen gaya, dan menghitung suatu keputusan atau pilihan yang tepat
momentum sudut. Hasil ini ketika diperhadapkan pada permasalahan
mengindikasikan bahwa untuk memutuskan fisika yang melibatkan dua buah konsep
pilihan pada dua buah jawaban yang fisika. Hal ini tidak hanya terjadi pada

7
Rusli, dkk (2014)

persoalan konseptual, melainkan pada saja, yaitu menganalisis momen gaya pada
kemampuan siswa dalam menganalisis. benda menggelinding dan menentukan
ketika siswa diperhadapkan pada soal yang solusi yang tepat berdasarkan hukum
memerlukan kemampuan manipulasi kekekalan momentum. Hal ini senada
variabel matematis yang terdiri dari dua dengan pencapaian hasil belajar fisika yang
persamaan atau lebih, siswa akan memiliki menjelaskan bahwa siswa cukup baik
kendala dalam memecahkan persamaan menyelesaikan permasalahan fisika yang
tersebut. Hal ini terlihat pada kemampuan hanya melibatkan satu konsep fisika.
siswa dalam menganalisis persamaan Sedangkan soal yang melibatkan
momen gaya yang melibatkan momen kemampuan siswa dalam memanipulasi
inersia dan menghitung momentum sudut variabel secara matematis lebih dari satu
benda yang juga melibatkan konsep momen variabel ternyata sulit. Hal inilah yang
inersia. menyebabkan keterampilan berpikir kritis
Pencapaian hasil belajar fisika siswa siswa berada pada kategori tidak terampil
tidak terlalu jauh dari keterampilan berpikir sampai agak terampil. Untuk memetakan
kritis. Berdasarkan nilai rata-rata kelas, keterampilan berpikir kritis yang dicapai
keterampilan berpikir kritis siswa yang oleh siswa, maka berikut ini ditampilkan
berada pada kategori agak terampil gambar persentase keterampilan berpikir
sampai terampil terlihat pada dua indikator kritis.
Terampil
3%

Agak Terampil -
Terampil
26%

Tidak Terampil -
Agak Terampil Agak Terampil
11% 60%

Gambar 1. Persentase pencapaian keterampilan berpikir kritis


Dari Gambar 1 di atas tampak jelas korelasi pearson dengan nilai α 0,01
bahwa pada umumnya siswa masih berada diperoleh kesimpulan bahwa korelasi
pada kategori tidak terampil sampai agak antara hasil belajar dengan keterampilan
terampil, sedangkan untuk kategori berpikir kritis cukup kuat, yaitu 0,473,
terampil masih sangat rendah yaitu 3%. dengan angka koefisien determinasi hasil
Pencapaian keterampilan berpikir kritis ini belajar sebagai prediktor keterampilan
tentunya tidak terlepas dari pengaruh hasil berpikir kritis adalah 0,2237, yang berarti
belajar fisika, dimana melalui analisis bahwa 22,37% keterampilan berpikir kritis

8
Pembelajaran Fisika melalui Pemrosesan Top Down Berbasis Scaffolding

memperoleh kontribusi dari hasil belajar dengan siswa, diperoleh informasi bahwa
fisika, sedangkan 77,62% lainnya selama ini fisika diajarkan melalui
dijelaskan oleh aspek lain berupa kebiasaan pemberian contoh soal disertai latihan.
siswa di sekolah, di rumah maupun di Dengan demikian, set mental yang
lingkungan. tertanam pada siswa menganggap fisika
Implementasi pembelajaran fisika sebagai pelajaran yang hanya mengajarkan
melalui pendekatan pemrosesan top down persamaan dan perhitungan serta contoh
pada pertemuan pertama menyulitkan siswa dan penyelesaian soal dari guru. Pemberian
memecahkan masalah. Hal ini terjadi contoh soal, disertai penyelesaian menjadi
karena set mental siswa berbeda dengan budaya dalam pembelajaran fisika.
apa yang mereka peroleh melalui Akibatnya guru menjadi penentu kebenaran
pemrosesan top down. Dengan kata lain, mutlak yang sama halnya menutup peluang
budaya dan pendidikan memiliki pengaruh bagi siswa untuk berpikir kritis (Tyler dkk.,
lebih kuat pada perkembangan anak-anak 2008).
(Santrock, 2008). Selama ini KBM fisika Keadaan ini bukan berarti bahwa siswa
hanya mengajarkan contoh soal dan latihan tidak bisa diajarkan berpikir kritis,
yang melibatkan satu konsep fisika. melainkan siswa perlu dibiasakan untuk
Akibatnya, siswa yang mengikuti KBM berpikir secara kritis (Ruggiero, 2012).
pemrosesan topdown mengalami kesulitan Rendahnya peningkatan keterampilan
dalam menjelaskan suatu fakta yang berpikir kritis yang diperoleh dari hasil
melibatkan beberapa konsep dan hukum penelitian ini bisa disebabakan oleh
fisika. Lebih tepatnya dikatakan bahwa beberapa faktor. Di antaranya adalah:
mereka mempunyai sebuah skema pembelajaran melalui pendekatan
permasalahan, atau pengetahuan tentang pemrosesan topdown berbasis scaffolding
beberapa masalah tertentu dan langkah yang masih baru bagi siswa, sehingga
pemecahannya, yang mereka gunakan butuh pembiasaan. Selain itu, soal yang
dalam mengklasifikasikan masalah (Ellis & diberikan pada umumnya memerlukan
Ormrod, 2012). Setmental membuat siswa pemahaman konseptual dan prosedural
berpegang kaku pada asumsi-asumsi dan untuk menarik kesimpulan sedangkan
pendekatan-pendekatan kuno yang pembelajaran sebelumnya lebih
menghalangi mereka untuk mencoba menitikberatkan pada kemampuan
pendekatan atau solusi yang lebih baik dan prosedural siswa menyelesaikan soal soal
lebih efisien (Wade & Tavris, 2008). dengan contoh yang sudah ada.
Dengan demikian, untuk sampai pada Data 22,37% menunjukkan kontribusi
keterampilan berpikir kritis berdasarkan pencapaian hasil belajar terhadap
konten fisika maka terlebih dahulu siswa keterampilan berpikir kritis. Hasil
harus mengetahui pengetahuan tentang penelitian ini menunjukkan bahwa untuk
konsep yang berkaitan dengan melatihkan keterampilan berpikir kritis
permasalahan yang diberikan. Fakta hasil sampai pada tingkat terampil khususnya
tes keterampilan berpikir kritis ini tidak kepada siswa yang memiliki set mental dan
lepas dari pengaruh pembelajaran di budaya penghambat berpikir kritis tidak
sekolah. Berdasarkan hasil wawancara cukup hanya dalam beberapa kali

9
Rusli, dkk (2014)

pertemuan, melainkan dibutuhkan waktu khususnya yang melibatkan lebih dari satu
untuk membiasakan dan melatihkan sikap konsep fisika, selain itu siswa perlu
kritis siswa. Hal ini didukung oleh dibiasakan dalam menyelesaikan berbagai
penelitian Burbach dkk. dalam (Burris & persoalan fisika yang melibatkan lebih dari
Garton, 2007) yang menyatakan bahwa satu konsep sehingga kemampuan siswa
dibutuhkan waktu 10 sampai 16 pekan dalam menganalisa sebuah persoalan
untuk membiasakan siswa dalam sebagai dasar untuk memutuskan suatu
meningkatkan keterampilan berpikir kritis. masalah akan menjadi lebih baik.
Selain itu, hasil penelitian Wass dkk.,
(2011) yang menyatakan bahwa dibutuhkan DAFTAR PUSTAKA
dua sampai tiga tahun agar siswa mampu
mengintegrasikan ide-ide mereka dan Ainley M, Hidi S, Berndorff D. 2002. Interest,
learning, and the psychological processes
menerapkan berpikir kritis untuk hal-hal
that mediate their relationship. Journal of
yang baru. Sedangkan penelitian yang
Educational Psychology. 94(3): 545-561.
penulis lakukan hanya 2 pekan saja. Oleh
Bloom BS. 1956. Taxonomy of Educational
karena itu dibutuhkan penelitian lebih Objectives. USA: Longmans.
lanjut dengan waktu yang lebih lama BSNP. 2006. BSNP-Indonesia. http://bsnp-
dengan menggunakan pendekatan indonesia.org/id/?page_id=103/. Diakses
pemrosesan top down. Sebab dengan Pada 19 Oktober 2011.
pendekatan ini, siswa memiliki minat dan BSNP (Producer). 2006b. BSNP-Indonesia.
motivasi yang cukup tinggi untuk BSNP-Indonesia web site. http://bsnp-
mengikuti pembelajaran fisika. indonesia.org/id/?page_id=103/. Diakses
Pada 19 Oktober 2011.
PENUTUP Burris S, Garton BL. 2007. Effect of
instructional strategy on critical thinking
Berdasarkan uraian hasil penelitian di and content knowledge: Using problem-
atas dapat disimpulkan bahwa based learning in the secondary
pembelajaran fisika melalui pemrosesan classroom. Journal of Agricultural
topdown berbasis scaffolding mampu Education. 48(1): 106-116.
Castleberry PJWaMS. 2000. Educators as
meningkatkan hasil belajar fisika demikian
learners. Creating a professional learning
halnya untuk keterampilan berpikir kritis.
community in your school. Alexandria,
Namun khusus untuk pencapaian Virginia USA: ASCD.
keterampilan berpikir kritis, siswa perlu Ellis J, Ormrod. 2012. Human learning (6 ed.).
dibiasakan melalui pembelajaran ini Pearson: USA.
sehingga nantinya secara rata-rata kelas Ennis RH. 1996. Critical thinking. New Jersey:
siswa mampu mencapai kategori terampil Prentice Hall.
dalam berpikir kritis. Sebagai saran dalam Frank LP. 2004. General Education Critical
pelaksanaan penelitian ini adalah siswa Thinking Rubric. http://www.neiu.edu
dibekali pengetahuan prosedural dalam /~neassess/pdf/. Diakses pada 12 February
mengoperasikan manipulasi variabel secara 2012.
Hergenhahn BR, Olson MH. (2009). Theories
matematis sebagai pendukung dalam
of Learning. Jakarta: Kencana.
menyelesaikan permasalahan fisika

10
Pembelajaran Fisika melalui Pemrosesan Top Down Berbasis Scaffolding

Hidi S. 2001. Interest, reading, and learning: Sternberg RJ, Sternberg K. 2012. Cognitive
theoretical and practical considerations. Psychology (Sixth ed.). USA: Wadsworth,
Educational Psychology Review. 13(3). Cengage Learning.
Jeevanantham LS. 2005. Why teach critical Sun R, Zhang X. 2004. Top-down versus
thinking?. Africa Education Review. 2 (1): bottom-up learning in cognitive skill
118-129. acquisition. Cognitive Systems Research.
Lee G, Kwon J, Park SS, Kim JW, Kwon HG, 63-89.
Park HK. 2003. Development of an TIMSS T. 2011. Kementrian Pendidikan
instrument for measuring cognitive Nasional Badan Penelitian dan
conflict in secondary-level science classes. Pengembangan. http://litbang.kemdiknas.
Journal of research in science teaching, go.id. Diakses pada 18 Oktober 2011.
40(6): 585-603. Triwiyono. 2011. Program pembelajaran fisika
Reich KH. 2004. Developing the horizons of menggunakan metode eksperimen
the mind. Relational and contextual terbimbing untuk meningkatkan
reasoning and the resolution of cognitive keterampilan berpikir kritis. Jurnal
conflicts. United Kingdom: Cambridge Pendidikan Fisika Indonesia. 80-83.
University Press. Tyler KM, Uqdah AL, Dillihunt ML, Beatty H,
Ruggiero VR. 2012. Beyond feelings. A guide Connor T, Gadson N. 2008. Cultural
to critical thinking (Ninth ed.). New York: discontinuity: Toward a quantitative
Mc Graw Hill. investigation of a major hypothesis in
Santrock JW. 2008. Psikologi Pendidikan. education. Educational Researches. 280-
Terjemahan oleh Diana Angelica. 2009. 297.
Jakarta: Salemba Humanika Wade C, Tavris C. 2008. Psychology. New
Setyorini U, Sukiswo SE, Subali B. 2011. York: Pearson Education.
Penerapan model problem based learning Wass R, Harland T, Mercer A. 2011.
untuk meningkatkan kemampuan berpikir Scaffolding critical thinking in the zone of
kritis siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika proximal development. Higher Education
Indonesia. 52-56. Research & Development. 317-328.
Sochibin A, Dwijananti P, Marwoto P. 2009 Yuliati DI, Yulianti D, Khanafiyah S. 2011.
Penerapan model pembelajaran inkuiri Pembelajaran fisika berbasis hands on
terpimpin untuk peningkatan pemahaman activities untuk menumbuhkan kemampuan
dan keterampilan berpikir kritis siswa SD. berpikir kritis dan meningkatkan hasil
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 96- belajar siswa SMP. Jurnal Pendidikan
101 Fisika Indonesia. 23-27.
Solso RL, Maclin OH, Maclin MK. 2008.
Cognitive psychology. Jakarta: Erlangga.

11

Anda mungkin juga menyukai