Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan menjadi kebutuhan primer manusia untuk menjalankan kehidupan sehari-


hari. Pendidikan menjadi indikator perkembangan suatu Negara. Hal ini didasari dari pendidikan
yang diterima oleh warga negara di negara tersebut. Jika suatu n egara memiliki system
pendidikan yang maju hal ini akan sebading lurus dengan perkembangan Negara tersebut, dan
sebaliknya jika suatu Negara memiliki system pendidikan yan buruk maka Negara tersebut
diperkirakan akan mengalami ketertinggaln dari Negara lain. Indonesia adalah Negara yang
sedang berkembang menuju Negara yang lebih baik. Hal ini sejalan degan pendidikan di
Indonesia. Demi mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualiatas pemerintah
berusaha mempasilitasi pendidikan dengan system kurikulum terbaru yaitu K13 revisi. Hadirnya
kurikulm K13 diharapkan menjadi revisi terhadap kurikulum sebelumnya, walau secara utuh
K13 belum bisa dikatakan sempurna, namun itikad baik menunju sesuatu pembaharuan
pendidikan sudah dilakukan oleh pemerintah.

Salah satu cara untuk mendapatkan pendidikan adalah melakukan proses pembelajaran di
sekolah. Proses pembelajaran adalah proses menstransfer nilai yang yang diciptakan oleh
pendidik dan dirancang untuk peserta didik guna melaksanakan aktivitas belajar (Yuwono,
2010). Dalam proses pembelajaran guru mengambil peranan besar dalam menentukan
kesuksesan pembelajaran yang dilaksanan. Berbagai pendekatan, metode, teknik dan strategi
pembelajaran dilakukan seorang pendidik demi mencapai membelajaran yang dinginkan.
Keberhasilan suatu pendidik dengan indicator keberhasilan peserta didik dalam proses belajar,
proses belajar tidaknya hanya dititik beratkan pada kognitif saja tapi juga sikap dan tingkah laku
sutu perserta didik menjadi suatu yang peting untuk dikembangkan. Dalam proses pembelajaran
peserta didik diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang diberikan kepada guru, hal ini
bertujuan agar peserta didik mampu berpikir logis dan kritis atas masalah yang mereka terima
sehingga akan tumbuh sikap dewasa dalam mengambil keputusan dari suatu masalah. Pemberian
masalah dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan metode pembelajaran berbasis masalah

1
2

(Problem bise Learning), diharapkan dengan siswa mampu terbisa untuk mengambil sikap
masalah yang ada disekitar mereka.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari paparan latar belakang masalah dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pembelajaran berbasis masalah (Problem Bised Learning)?
2. Apa pengaruh metode learning terhadap sikap dan tingkah laki siswa?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan malakah ini adalah sebai salah satu tugas martikulasi kuliah
PascaSarjana jurusan pendidikan Matematika Universitas Agung Tirtayasa (UNTIRTA) Serang.

D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan makalah pembelajar bebasis masalah ini adalah tambahan
pengetahuan bagi penulis dan bisa menjadi rujukan ilmu untuk awal kuliah pasca sarjana
Pendidikan Matematika Universitas Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)
3

BAB II
LANDASAN TEORI

A. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


Belajar adalah aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan
keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Menurut Hilgarf
(1962), belajar adalah suatu proses di mana suatu prilaku muncul atau berubah karena respon
terhadap suatu situasi. Lebih lanjut Hilgarf mengembangkan definisi belajar adalah suatu proses
mencari ilmu yang terjadi dalam diri seorang melalui latihan, pembelajaran dan lain-lain,
sehingga terjadi perubahan dalam diri (Suyono & Hariyanto 2016). Kata dasar pembelajaran
adalah belajar. Sedangkan pembelajaran dapat diartiakan sebagai suatu proses atau cara yang
dilakukan agar seorang dapat melakukan kegiatan belajar (Arifin, 2010)

B. MODEL PEMBELAJARAN
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dan mengorganisasikan penglaman belajar untuk mencapai tuan belajar. Berikut
diberikan empat model pembelajaran yang memiliki kecendrungan berdasarkan paradigm
konstruktivistik, yaitu : model reasoning and problem solving, model inquiry training, model
problem based instruction, dan model pembelajaran perubahan konseptual,
Model Reasoning and problem solving, merupakan keterampilan utama yang harus
dimiliki siswa ketika mereka meinggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan
aktivitas di dunia nyata. Model reasoning and problem solving memliki lima langkah
pembelajaran
1) Membaca dan berpikir
2) Mengeksplorasi dan merencanakan
3) Menseleksi strategi
4) Menemukan jawaban
5) Refleksi dan peluasan.
Model Inquiry Training, Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan
bersifat tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia
mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses
4

penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa


melakukan eksplorasi, dan yang ketiga kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati
diri dan sikap ilmiah. Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran.
1) Menghadapkan masalah
2) Menemukan masalah
3) Mengakaji data dan eksperimentasi
4) Mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan
5) Menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosesdur yang lebih efektif
Model Problem-Based Instruction, Problem-based instruction adalah model
pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi
keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends et al., 2001).
Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa
belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan
menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta,
mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual
atau kolaborasi dalam pemecahan masalah. Model Problem-Based Instruction memiliki
lima langkah pembelajaran.
1) Guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang bderkaitan
2) Guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaiman
masalha itu diinvestigasi.
3) Guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan
masalah yang akan dilaporkan.
4) Pengorganisasia laporan
5) Presentasi
Model Pembelajaran Perubahan Konseptual, Pengetahuan yang telah dimiliki oleh
seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari
interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari
intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri
sendiri. Dalam kondisi konfli kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1)
mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses
5

asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan
mengakomodasikan pengetahuan baru. Model ini memiliki enam langkah pembelajaran.
1) Sajian masalah konseptual dan konsektual
2) Konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalh tersebut.
3) Konfrontasi sangakaan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-
contoh tandingan.
4) Konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah
5) Konfrontasi materi dan contoh-contoh kontektual
6) Konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan
pengetahuan secara bermakna (Santyasa, 2007).

C. TEORI BELAJAR
Teori tentantang belajar berkembang dari satu teori ke teori berikutnya, yang mengacu
pada hakekat belajar. Dalam pembahasan ini tiga teori pembeljaran saja yang akan dibahas
secara singkat yaitu teori belajar aliran behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme.

A. Teori Belajar Behaviorisme

Aliran ini disebut dengan behaviorisme karena sangat menekankan kepada perlunya
prilaku (behavior). Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu : 1. Mengutamakan bagian
terkecil atau unsur-unsur, 2. Bersifat mekanisme, menekankan peran lingkungan, 4.
Mementingkan pembentukan respon, dan 5. Menekankan pentingnya latihan (Suyono &
Hariyanto 2016). Arah perubahan tingkah laku setiap manusia melalui proses belajar sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu lingkungan internal ataupun eksternal. Perubahan ini
terjadi karena ada hubungan antara rangsangan (stimulus) dengan perilaku reaktif (respon).
Secara umum hal penting dalam teori belajar behaviorisme meliputi : pentinya factor lingkungan,
menekankan pada tingkah laku yang kasat mata, sifatnya mekanis serta ,melihat masa lalu.
Secara umum konsep belajar menurut behaviorisme dapat dinyatakan dengan gambaan
sederahana seperti berikut
Prilaku pribadi Pengalaman, Prilaku/pribadi
sebelum belajar praktik, latihan sudah belajar (post-
(pre- learning) (learning learning)
experience)
6

Teori-teori belajar aliran behaviorisme dilandasi dari tokoh-tokoh berkut :


1. Koneksionisme Menrut Edward Lee Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan. Teori
Thorndike ini sering disebut teori koneksionisme. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah
belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit
menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas
dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Dengan adanya pandangan-
pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut,
maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu,
bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah
trial and error learning atau selecting and connecting learning dan berlangsung menurut
hukum-hukum tertentu. Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama yaitu :
a. The Law of Effect (Hukum Akibat). Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang
cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya
koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan
cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang
diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau
melemah, tergantung pada buah hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila
anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia
akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
b. The Law of Exercise (Hukum Latihan) Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini,
hukum latihan mengandung dua hal: The Law of Use : hubungan-hubungan atau koneksi-
koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat
hubungan itu. Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah
7

atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan hubungan
tersebut.
c. The Law of Readiness (Hukum Kesiapan). Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu
organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan
membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit,
maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas
dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.

2. Pengondisian Klasik Oleh Ivan Pavlov


Teori pengondisian klasik merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori
konektisionisme. Objike eksperimne valvoo yaitu seekor anjing. Teori ini dilatarbelakangi oleh
percobaan valvov tentang keluarnya air liur anjing. Air liur akan keluar, apabila melihat atau
mencium bau makanan. Terle bih dahulu Palvov membunyikan bel sebelm anjing Diberi makan.
Pada percaobaan berikutnya begitu medengar bel, otomatis air liur anjing akan keluar, walau
belum melihat makanan, artinya prilaku individu dapat dikondisikan. Belajar adalah
mengkondisikan pembentukan suatu prilaku atau respon terhadap sesuatu. Hukum belajar yang
dikemukan Polvov :
a. Law of Resondent Conditioning, atau hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara serentak maka reflex dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction, atau hukum pemusnahan yang dituntut. Jika reflek yang
sudah diperkuat melalui Resondent Conditioning didatangkan kembali tanpa reinforcer,
maka kekuatannya akan menurun.

3. Teori Belajar Menurut Clark L. Hull


Clark Hull juga menggunakan variable hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Menurut Clark Hull, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan
kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting
8

dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus
dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Prinsip-prinsip utama
teorinya : Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi
reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied factor. Dalam
mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari intervening variable (atau
yang juga dikenal sebagai unsure O (organisma) . Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu
yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output. Karena
pandangan ini Hull dikritik karena bukan behaviorisme sejati. Proses belajar baru terjadi setelah
keseimbangan biologis terjadi. Di sini tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan
adaptasi biologis organism.

4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie.


Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-
stimulus yang disertai suatu gerakan. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, sehingga dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu diberi stimulus dengan sering agar hubungan stimulus dan respon bersifat
lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan
penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.

5. Burrhus Frederic Skinner


Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep
para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon
9

yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang


nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku
seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya,
serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah
rumitnya masalah karena perlu penjelasan lagi.

2. Teori Belajar Kognitivisme

Belajar tidak lah hanya mengandalkan stimulus dan respon, akan tetapi belajar perlu juga
di dasarkan pada kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana prilaku itu
terjadi. Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa
meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi
antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Teori-teori
belajar kognitivisme dilandasi dari teori-teori berikut :
a. Teori Belajar Kognivitisme Menurut Piaget

Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
umur siswa. Secara garis besar skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya dibagi
menjadi empat periode utama atau tahapan-tahapan sebagai berikut :

Tahap Sensorik motor (sejak lahir sampai sekitar usia 2 tahun)

Tahap pra-operasional (sekitar usia 2 7 tahun)

Tahap opersional konkret (berlansung sekitar 7 11 tahun)

Tahap operasional formal (mulai usia 11 tahun dan seterusnya)

Proses belajar kognivitisme menurut Piaget terjadi melalui tahap-tahap:

Asimilasi, dari sudut pandang biologi adalah integrasi unsur-unsur eksternal terhadap
struktur yang sudah lengkap pada organisme. Asimilasi kognitif meliputi objek eksternal
yang disintesiskan untuk menjadi struktur internal.

Akomodasi, adalah menciptakan langkah baru, memperbarui, atau menggabung-


gabungkan istilah/konsep lama untuk menghadapi tantangan baru.
10

Equilibrasi, adalah keseimbangan yang terjadi antara aktivitas individu terhadap


lingkungan (asimilsi), dan aktivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi).

b. Teori Belajar Kognitif Menurut Brunner

Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran dan
bukan ditentukan oleh umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:

Enaktif (aktivitas), seorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi-aksi terhadap
suatu objek. Dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan keterampilan dan
pengetahuan motorik seperti meraba, memegang, mencengkeram, menyentuh, menggigit
dan sebagainya. Anak-anak harus diberi kesempatan bermain dengan berbagai bahan/alat
pembelajaran tertentu agar dapat memahami bahan/alat itu bekerja.

Ikonik (visual verbal), pembelajaran terjadi melalaui penggunaan model-model dan


gambar-gambar dan visualisasi verbal. Anak-anak mencaoba memahami dunia sekitarnya
melalui bentuk-bentuk perbandingan dan perumpamaan, dan tidak lagi memerlukan
manipulasi objek-objek pembelajaran secara langsung.

Simbolik, siswa sudah mampu mengambarkan kapasitas berpikir dalam istilah-istilah


yang abstak. Dalam memahami dunia sekitanya anak-anak belajar melalui simbol-simbol
bahasa, logika, matematika dan sebagainya.

c. Teori Belajar Bermakna Menurut David P. Ausubel

Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya
dengan pengetahuan baru Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:

Memperhatikan stimulus yang diberikan

Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah


dipahami.

3. Teori Belajar Konstruktivisme


Teori Piaget di atas melahirkan teori konstruktivisme dalam belajar. Piaget mengatakan
bahwa struktur kognisi itu dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu sendiri.
Menurut konstruktivisme, pebelajar (learner, orang yang sedang belajar) akan membangun
pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya. Karena itu belajar tentang dan
11

mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat diborongkan kepada orang
lain.
Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan
yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan
asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses mengkonstruksi,
sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:

Skemata. Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan


disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang
kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya,
anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat
keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki
empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur
kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua.
Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses
penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang.
Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
12

Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah
ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi
untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Keseimbangan. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi
sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses
asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman
luar dengan struktur dalamnya.

a. Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky


Karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual
dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua,
perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang
diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan
masalah, dengan demikian perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi
budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir
diri sendiri. Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama,
dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok
siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan
tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif
di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding,
semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi
perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik
melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang
mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan
memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
13

Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang
belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat
mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya.
Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah
perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka
selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
14

BAB III
PEMBAHASAN

A. MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING


Salah satu inovasi yang dapat diterapkan pada pembelajaran adalah dengan penggunaan
model PBL (problem-based learning). Pembelajaran berbasis masalah menurut Tan dalam
merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa betul-
betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa
dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikir-nya
secara berkesinambungan. Pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) menurut
Bern dan Erickson dalam Komalasari merupakan strategi pem-belajaran yang melibatkan siswa
dalam memecahkan masalah dengan meng-integrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari
berbagai disiplin ilmu. Strategi ini diantaranya adalah mengumpulkan dan menyatukan
informasi, dan mempresentasikan pe-nemuan yang didapat dari pembelajaran. Pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah
kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan
pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah
dunia nyata (real world).

1. Langkah-langkah Operasional dalam Proses Pembelajaran


Dalam pembelajaran problem based learning ada beberpa langkah yang hrus
diperhatikan, hal ini bertujuan agar pembelajaran yang dismapaikan kepada siswa dengan model
pembelajaran problem dapat dipahami dan menstimulus siswa untuk aktif belajar.
Konsep Dasar (Basic Concept)
Fasilitator memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang
diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih
cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan peta yang akurat tentang
arah dan tujuan pembelajaran
Pendefinisian Masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan
peserta didik melakukan berbagai kegiatan brainstorming dan semua anggota kelompok
15

mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga
dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif pendapat.
Pembelajaran Mandiri (Self Learning)
Peserta didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang
diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan
di perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap
investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi
dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah
didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu
dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
Pertukaran Pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah
pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi
dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari
permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara
peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge),
kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang
mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester
(UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan. Penilaian terhadap
kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software,
hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian

B. Kelebiahan Model Pembelajaran Problem Based Learning


Pembelajaran problem based learning menitik beratkan pada kepekaan siswa dalam
menyikapi masalah yang mereka hadapi, model pembelajaran ini bisa diterapkan pada anak SMP
dan SMA (usia sekitar 11 tahun keatas), di mana pada usia tersebut siswa sudah ada dalam massa
operasional formal. Di massa opersional formal siswa sudah mampu berpikir abtrak yaituberpikir
mengnai ide mereka sudah mampu memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka
sudah dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbagna ilmiah.
16

Mereka juga sudah mampu menarik kesimpulan, menafsirkan, dan mengembangkan hipotesis.
Adapun kelebihan model pemebelajaran problem based learning adalah sebagai berikut:
Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang
belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang
dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat
semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik/mahapeserta didik
berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan
Dalam situasi PBL, peserta didik/mahapeserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan
ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta
didik/mahapeserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat
mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Dengan pembelajaram model Problem Based learning siswa akan terasah untuk terbiasa
memecahkan masalah mereka dari hal yang sederhana sampai hal yang komplek di dalam
kehiduapan nyata meraka. Model pembelajaran problem based learning juga bisa sebagi sarana
melatih otak siswa untuk berpikiran secara kritis untuk segala hal yang mereka hadapi, shingga
ketika dihadapkan dalam suatu masalh siswa mampu berpikir mencari jalan terbaik untuk
mememcahkan masalah yang mereka hadapi.
17

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan teori dan pembahasan dapat dikatakan bahwa belajar adalah proses
untuk mencari pengetahuan yang baru. Proses belajar dapat dilakukan secara formal dan non
formal. Belajar adalah proses yang sangat panjang, mulai dari lahir sampai tiada. Dalam teori
belajar piaget menjelaskan bahwa usia berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang akan
diterima. Model problem based learning merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang
menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Model
problem based learning hanya bisa diterapkan pada siswa yang memasuki periode operasional
formal yaitu usia 11 tahun ke atas. Di mana dalam model problem based learning menuntut anak
untuk berpikir kritis, mengemukan pemdapat dan mampu memecahkan masalah yang diberikan
oleh guru. Ketika siswa terbiasa bersifat kritis akan suatu masalah maka akan terbangun pondasi
pada siswa untuk berpikiran logis dalam menykapai masalah dalam dunia nyata.

B. SARAN
Dalam proses pembelajaran gunakanlah model pembelajaran yang sesuai dengan fisiologi
anak didik dan usianya. Karena setiap model pembelajaran memiliki kekurangan dan kelebihan.

.
18

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. (2010). Evaluasi Pembelajaran (Kempat). Bandung: Rosda.

Santyasa, I. W. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Makalah, 116.

Suyono & Hariyanto. 2016. Belajar dan pembelajaran Teori dan Konsep dasar edisi keenam.
Bandung :Rosda

Yuwono, A. (2010). Profil Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika ditinjau dari
Tipe Kepribadian. Tesis: Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai